Anda di halaman 1dari 19

OKI Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah sebuah organisasi antarpemerintahan yang menghimpun 57 negara di dunia.

OKI didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsa pada 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerussalem.

Organisasi Konferensi Islam (OKI)


Organisasi Konperensi Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konperensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22-25 September 1969, dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak azasi manusia. Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengkoordinasikan kerjasama antara negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia. Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi OKI yang disiapkan oleh Malaysia. Pada pertemuan tingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (KTT) ke-10 di Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk memulai upaya kongkrit dalam merestrukturisasi Sekretariat OKI terutama pada empat aspek: perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. KTT Luar Biasa OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi pada 7-8 Desember 2005 telah mengakomodir keinginan tersebut dan dituangkan dalam bentuk Macca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015. OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; menentang Islamophobia; meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar negara anggota, conflict prevention, peanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika. KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret dan bertemakan The Islamic Ummah in the 21st Century menghasilkan dokumen utama, yaitu: Piagam OKI, Final Communiqu dan sejumlah resolusi. Final Communiqu mengangkat isu antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti Kosovo, terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek dan sosial budaya. Sedangkan resolusi terkait yang berhubungan dengan keamanan global/ regional antara lain: Resolutions on the Cause of palestine, the City of Al-Quds Al Sharif, and the Arab-Israel Conflict, Resolutions on Political Affairs, Resolutions on Muslim Communities and Minorities in Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan penegasan bagi OKI untuk mengeksplorasi bentuk kerjasama yang lain dan tidak hanya terbatas pada kerjasama politik saja.

Dalam kesempatan menghadiri KTT OKI ke-14, 13-14 Maret 2008, Presiden RI dalam pidatonya menyampaikan antara lain (a) dukungan terhadap OICs Ten-Year Plan of Action yang merupakan cerminan pragmatisme OKI dalam menghadapi tantangan dan permasalahan umat (b) konflik Palestina-Israel merupakan penyebab utama krisis di Timur Tengah dan juga merupakan tantangan serius perdamaian dan keamanan internasional. Terkait dengan hal ini, Presiden Indonesia menyambut baik hasil Konferensi Annapolis pada bulan Desember 2007, terutama mengingat adanya joint understanding untuk mendirikan negara Palestina pada akhir tahun 2008 (c) potensi kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam memainkan perannya dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global, pemberantasan kemiskinan dan percepatan pembangunan (d) Islam, demokrasi, dan modernitas maupun HAM adalah compatible (e) Islam adalah agama perdamaian dan toleran. Upaya interfaith dan intercivilization dialogue perlu didukung dalam mengurangi persepsi yang salah dan ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) di kalangan Barat (f) pembangunan umat Islam harus memperhatikan aspek lingkungan. Dapat disampaikan bahwa wakil Asia, Afrika, dan Arab juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Selanjutnya, dalam KTM ke-35 OKI dengan tema Prosperity and Development di Kampala, Uganda, tanggal 18-20 Juni 2008, telah dilakukan penandatanganan Piagam Baru OKI oleh para Menteri Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri RI. Indonesia sangat mendukung proses revitalisasi OKI dan menginginkan agar OKI dapat semakin efektif dalam menanggapi berbagai perubahan dan tantangan global sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif dalam OKI dengan tujuan akhir untuk mendorong proses good governance di dunia Islam untuk menjadikan OKI sebagai organisasi yang kredibel, kompeten, dan diakui perannya di dunia internasional. Pertemuan ke-36 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (PTM ke-36 OKI) yang dilaksanakan di Damaskus, tanggal 23-25 Mei 2009 membahas isu-isu kerjasama yang menjadi perhatian bersama seperti politik; komunitas muslim di negara bukan anggota OKI; kemanusiaan (humanitarian affairs); hukum; masalah-masalah umum dan keorganisasian; informasi; ekonomi; ilmu pengetahuan dan teknologi; dawah; sosial budaya; dan administrasi serta keuangan. Dalam kesempatan tersebut Menlu RI menyampaikan pokok-pokok pidato antara lain mengenai perlunya diintensifkan pelaksanaan reformasi OKI, khususnya di bidang demokrasi, good governance, dan HAM termasuk hak-hak wanita, sesuai dengan mandat Program Aksi 10 Tahun OKI (TYPOA) dan Piagam Baru OKI, disamping isu Palestina, kerjasama perdagangan dan pelibatan sektor swasta di antara negara anggota, serta,sebagai Ketua PCSP-OIC, melaporkan perkembangan proses perdamaian di Filipina Selatan terkait dengan pelaksanaan pertemuan Tripartite antara Pemerintah FilipinaMNLF-OKI yang merundingkan implementasi sepenuhnya Perjanjian Damai 1996; Peran Pemri yang menonjol lainnya dalam OKI adalah dalam rangka memfasilitasi upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) dengan mengacu kepada Final Peace Agreement / Perjanjian Damai 1996. Peran Indonesia saat ini adalah sebagai Ketua Organization Islamic Conference Peace Committee for the Southern Philippines (PCSP-OIC). Adapun hasil penting terakhir adalah diadakannya Pertemuan JWGs ke-2 antara GRP dan MNLF difasilitasi PCSP-OIC pada tgl. 19-28 Agustus 2008, bertempat di KBRI-Manila. Sebagai tindaklanjutnya, Pertemuan Tripartite ke-3 antara GRP, MNLF dan PCSP-OIC direncanakan diselenggarakan pada bulan Januari ataupun Februari 2009. Dengan pelaksanaan proses-proses sebagaimana dimaksud, diharapkan akan membantu tercapainya proses pencapaian penyelesaian konflik secara damai di kawasan Filipina Selatan dan memberikan situasi aman dan bebas dari konflik di kawasan dimaksud. Indonesia selaku Ketua Peace Committee for the Southern Philippines (OIC-PCSP) 2009-2011 berkunjung ke Manila pada tanggal 3-6 November 2009 guna mengadakan serangkaian konsultasi informal dengan para pihak yang terkait dalam proses Tripartite Meeting untuk Filipina Selatan. Kunjungan tersebut diperlukan untuk mendorong agar proses yang diamanatkan di dalam Communiqu 3rd Session of the Tripartite Meeting between the GRP, MNLF and OIC-PCSP di Manila pada 11-13 Maret 2009, termasuk proses Legal Panel antara Government of the Republic of the Philippines (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) yang sedang macet, dapat berjalan kembali. Selaku Ketua PCSP, Indonesia mengadakan tukar pandangan dengan wakil-wakil negara anggota OIC-PCPS yang memiliki perwakilan di Manila dalam upaya kolektif untuk mendorong kembali kelanjutan proses perdamaian GRP-MNLF. Juga dilakukan pertemuan secara terpisah dengan MNLF baik faksi Nur Misuari maupun faksi Muslimin Sema, serta dengan GRP, yaitu dengan Under-Secretary Office of the Presidential Adviser on the Peace Process (OPAPP) Nabil Tan; Under-Secretary Kemlu Rafael Seguis; dan Ketua OPAPP yang baru Secretary Annabelle Tescon Abaya. Pada Akhir pertemuan konsultasi informal tersebut dicapai kesediaan kedua pihak untuk bertemu kembali di dalam Legal Panel merupakan suatu peluang yang perlu dimanfaatkan (to be seized) bagi kelanjutan proses Tripartite.

Pada tanggal 17 Desember 2009, Indonesia telah menfasilitasi Pertemuan Pendahuluan Legal Panel GRPMNLF di KBRI Manila, yang dihadiri pula oleh para wakil negara-negara OIC-PCSP. Pertemuan diadakan untuk membahas agenda, tanggal dan tempat Pertemuan Legal Panel mendatang. Pertemuan telah menghasilkan joint statement yang intinya menyatakan bahwa Pertemuan Legal Panel berikutnya akan dilangsungkan tanggal 11-15 Januari 2010. Sedangkan mengenai tempat Pertemuan yang diusulkan di Tripoli, Libya, masih menunggu konfirmasi dari Libya. Lebih lanjut, dalam berbagai forum internasional, termasuk OKI, Indonesia telah memberikan dukungan bagi berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Realisasi dari dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan diplomatik, yaitu pengakuan terhadap keputusan Dewan Nasional Palestina (Palestinian National Council) untuk memproklamirkan Negara Palestina pada tanggal 15 Nopember 1988. Dukungan kemudian dilanjutkan dengan pembukaan hubungan diplomatik antara Pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989. Di samping itu, Indonesia adalah anggota Committee on Al Quds (Yerusalem) yang dibentuk pada tahun 1975. Selain itu, Isu terorisme juga telah menjadi perhatian utama OKI. Komitmen OKI untuk mengatasi masalah terorisme terlihat antara lain pada The Extraordinary Session of the Islamic Conference of Foreign Ministers on Terrorism di Kuala Lumpur, Malaysia, 1-3 April 2002 yang menghasilkan Kuala Lumpur Declaration on International Terrorism. Deklarasi tersebut pada intinya menekankan posisi negara-negara anggota OKI dalam upaya untuk memerangi terorisme dan upaya-upaya untuk mengkaitkan Islam dengan terorisme. Terorisme merupakan salah satu isu di mana OKI memiliki sikap bersama pada pembahasan di forum SMU PBB. Hal ini terkait dengan implementasi UN Global Counter-Terrorism Strategy dan penyelesaian draft konvensi komprehensif anti terorisme internasional di mana menyisakan outstanding issue pada definisi terorisme. Inti posisi OKI menekankan perlunya dibedakan antara kejahatan terorisme dengan hak sah perlawanan rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam kaitan ini maka penyelesaian politik konflik Palestina secara adil akan memberikan sumbangan bagi pemberantasan the root causes of terrorism. Pertemuan ke-37 Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Konferensi Islam (KTM ke-37 OKI) telah dilaksanakan di Dushanbe, Tajikistan, tgl 18-20 Mei 2010. Pertemuan merupakan KTM OKI pertama yang diadakan di Asia Tengah, dengan tema Shared Vision of a More Secure and Prosperous Islamic World. Pertemuan KTM yang pertama kali diadakan di Asia Tengah ini merupakan momentum khusus bagi kawasan tersebut, dalam rangka meningkatkan kerjasamanya dengan negara-negara anggota OKI lain, dan diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya OKI dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI menekankan kembali mengenai proses reformasi OKI yang tengah berjalan saat ini dan keperluan untuk negara-negara anggota OKI mendukung proses tersebut antara lain melalui implementasi Charter OKI dan Program Aksi 10 Tahun (TYPOA. Disampaikan pula bahwa Pemri mendukung upaya OKI bagi realisasi pembentukan Komisi HAM OKI dan terhadap statuta Organisasi Pembangunan Perempuan OKI yang telah disahkan. Kedepan, pembentukan kedua badan dimaksud akan semakin memperjelas posisi OKI dalam mempromosikan dan mengembangkan HAM dan isu perempuan di dunia internasional. Pemri juga menyatakan sikapnya atas upaya terciptanya dunia yang bebas dari senjata nuklir berdasarkan 3 pilar utama yaitu: nuclear disarmament, non proliferasi nuklir dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Untuk itu, Pemri menyambut baik tercapainya kesepakatan antara Iran, Turki dan Brazil dalam hal pengaturan penggunaan enerji nuklir. Hal ini diharapkan akan membantu penyelesaian isu nuklir Iran. Disamping itu, pada kesempatan yang sama Pemri juga menyatakan dukungannya atas berdirinya negara Palestina yang merdeka dan ajakan kepada komunitas internasional untuk secara bersama memberikan bantuan yang diperlukan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Palestina. Indonesia telah memberikan prioritas pada pengembangan capacity building bagi rakyat palestina pembangunan sosial, pemerintahan, ekonomi, infrastruktur dan keuangan untuk periode 2008-2013. Berkenaan dengan isu Islamophobia, Pemri menekankan mengenai perlunya untuk mengajak pihak Barat dalam proses penciptaan proses dialogis lintas agama dan kebudayaan yang konstruktif guna memperkecil timbulnya pemahaman yang keliru atas Islam, disamping memperkenalkan Islam sebagai agama yang mengedepankan toleransi dalam menjawab tantangan global saat ini. Di dalam pembahasan resolusi tentang OIC Strategy Paper on Combating Defamation of Religion, Pemri menekankan kembali perlunya untuk menjaga kesatuan sikap dan posisi Kelompok OKI terhadap isu-isu

yang bersifat prinsipil dan juga menghimbau kiranya Kelompok OKI dapat lebih menunjukkan fleksibilitas melalui engagement yang lebih bersifat konstruktif kepada pihak dan kelompok lain. KTM OKI ke-37 telah mengesahkan apa yang disebut Deklarasi Dushanbe. Deklarasi tersebut menggarisbawahi mengenai beberapa isu seperti Perdamaian di Timur Tengah; Afghanistan; pengutukan agresi Armenia terhadap Azerbaijan; menyambut baik kesepakatan pertukaran bahan bakar nuklir oleh Iran, Turki dan Brazil; terorisme; perlucutan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal; pengembangan SDM dan pendidikan; mendorong kelancaran barang, jasa diantara Negara OKI; dialog antar peradaban dan Islamophibia. Disela-sela pelaksanaan KTM, selaku Ketua Komite Perdamaian OKI untuk Filipina Selatan (OIC-PCSP Peace Committee for the Southern Philippines), Indonesia mengadakan pertemuan Komite pada tanggal 20 Mei 2010. Pertemuan dipimpin oleh Dirjen Multilateral Kemlu selaku Ketua PCSP dan dihadiri oleh anggota Komite, yaitu Arab Saudi, Brunei Darussalam, Libya, Malaysia, Mesir, Tajikistan, Turki, Senegal, serta Utusan Khusus Sekretaris Jenderal OKI untuk Filipina Selatan, Dubes Sayyed El-Masry. Bangladesh tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam kesempatan tersebut, selaku Ketua Komite, Indonesia menyampaikan laporan perkembangan implementasi dari Perjanjian Damai 1996, khususnya pasca Pertemuan Tripartite (GRP - OKI - MNLF) Maret 2009 hingga pertemuan di Tripoli, Libya, 20 Mei 2010.

ORGANISASI KONFERENSI ISLAM SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL


Oleh: Yanuardi Syukur
Latar Belakang

Homo homini socius (manusia adalah kawan bagi sesamanya), demikian salah satu ajaran pokok filsafat Driyarkara untuk mengoreksi konsep homo homini lupus (sesama adalah serigala bagi manusia).[1] Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia sejak dahulu kala selalu hidup bersama-sama dalam satu kelompok. Dalam kelompok manusia itulah manusia berjuang mempertahankan hidupnya seperti dalam mencari makan, melawan marabahaya dan menanggulangi bencana serta untuk melanjutkan keturunan. Termasuk dalam hal ini adalah keinginan negara-negara di dunia untuk bergabung dalam sebuah wadah yang disepakati bersama demi tujuan bersama. Konflik yang kerap terjadi antar negara, perang yang mengkibatkan banyaknya korban materi dan immaterial[2] membuat masyarakat internasional berpikir untuk bergabung dalam wadah-wadah kerjasama yang konstruktif. Kerjasama ini terjadi antara satu dan dua negara, atau beberapa negara, bahkan pada tingkatan yang lebih jauh adalah kerjasama negara-negara di dunia. Berdirinya organisasi internasional ini menarik untuk dikaji karena terkait dengan national interest sebuah negara, masalah geopolitik dan faktor ideologis. Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Konferensi Islam (OKI)untuk menyebut dua contohdidirikan untuk tujuan tertentu. PBB didirikan

memiliki tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan karena ancaman keamanan termasuk menjadi perhatian negara-negara di dunia. OKI didirikan untuk menggalang solidaritas keislaman di kalangan negara-negara Arab dan muslim. Fenomena pengorganisasian dalam skala internasional ini menurut L. Leonard adalah, ..pengembangan cara/metode kerjasama berkesinambungan yang lebih baik mengenai penanggulangan berbagai masalah.[3] Negara-negara yang membentuk, atau yang kemudian bergabung dalam organisasi tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan solusi bagi negara, kawasannya masing-masing dan dunia secara umum. Fenomena OKI yang berdiri pada Mei 1971 setelah sebelumnya terjadi akumulasi keinginan dan masalah bersama umat Islam menarik untuk dikaji. Organisasi ini telah memiliki anggota sebanyak 57 negara di dunia dan memiliki pengaruh bagi negaranegara Arab dan Muslim, dan dunia secara umum. Kebutuhan Kerjasama Regional Regionalisme adalah salah satu konsep yang dibahas dalam kajian Hubungan Internasional. Di antara pakar, ada silang pendapat tentang definisi konsep ini. Joseph S. Jr Nye, salah seorang teoritisi menyebut bahwa konsep ini bersifat ambiguous. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pembagian kawasan/region yang didasarkan pada aspek keamanan mungkin dapat berbeda dari kawasan/regionekonomi. Beberapa teoritisi lain mengklasifikasikan suatu kawasan dalam lima karakteristik. Pertama, Negara-negara yang tergabung dalam suatu kawasan memiliki kedekatan geografis. Kedua, mereka memiliki pula kemiripan sosio kultural. Ketiga, terdapatnya kemiripan sikap dan tindakan politik seperti yang tercermin dalam organisasi internasional. Keempat, kesamaan keanggotaan dalam organisasi internasional. Dan kelima, adanya ketergantungan ekonomi yang diukur dari perdagangan luar negeri sebagai bagian dari proporsi pendapatan nasional. Pendapat lain dikemukakan oleh Louis Cantori dan Steven Spiegel. Keduanya mendefinisikan kawasan sebagai dua atau lebih negara yang saling berinteraksi dan memiliki kedekatan geografis, kesamaan etnis, bahasa, budaya, keterikatan social dan sejarah dan perasaan identitas yang seringkali meningkat disebabkan adanya aksi dan tindakan dari negara-negara luar kawasan.[4] Keuntungan yang diperoleh dari adanya organisasi regional ini[5] salah satunya adalah dengan adanya perdagangan bebas (free trade areas). Dengan perdagangan bebas, maka sebuah negara akan mendapatkan kemudahan, termasuk dalam masalah tarif masuk. Sebagai contoh, bisa dilihat dari negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Eropean Union), SACU, MESCOSUR, CARICOM di Karibia, Andean, dan Pasar Bersama Amerika Tengah (Central American Common Market).[6] Begitu juga pada

1992, negara-negara Visegrad (Polandia, Hongaria, Republik Chechnya, da Slovakia) membentuk Wilayah Perdagangan Bebas Eropa Tengah (Central Europen Free Trade Area) dan pada 1994 menunjukkan kemajuan yang pesat.[7] Uni Eropa, sebagai contoh lainnya. Organisasi ini berdiri tidak lepas dari adanya proposal Prancis pada tahun 1950 yang dikenal dengan nama Schuman Plan. Dalam proposal itu diajukan pengaturan pasar bersama batu bara dan besi baja di bawah badan pengawas yang independen di Eropa. Rencana Prancis ini diterima oleh negara-negara Eropa seperti Jerman, Italia, Belgia, Belanda, dan Luxemburg. Kesepakatan di antara keenam negara itu secara resmi ditandangani pada 18 April 1951 dengan terbentuknya European Coal and Steel Community(Masyarakat Batubara dan Besi Baja Eropa/ECSC). Seiring di perjalanan waktu, negara-negara di Eropa pun bergabung pada Uni Eropa seperti Austia, Finlandia, dan Swedia pada 1995. Uni Eropa juga bekerjasama dengan beberapa negara dalam kawasan lain seperti Mercosur, The Gulf Cooperation Council (GCC), ASEAN dan lain sebagainya. Sejarah Organisasi Konferensi Islam (OKI) Organisasi Konferensi Islam (OKI) atau Organization of the Islamic Conference (OIC) adalah Organisasi antar-pemerintahan terbesar kedua setelah PBB yang menghimpun 57 negara di empat benua. OKI adalah suara kolektif dari dunia Muslim dan menjamin untuk menjaga dan melindungi kepentingan Muslim di dunia dalam semangat internasional mempromosikan perdamaian dan keharmonisan di antara berbagai masyarakat dunia.[8] Organisiasi ini didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsha pada 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerusalem.[9] Organisasi regional ini didirikan pada Mei 1971. Pembentukan lembaga yang disponsori oleh Raja Hasan II dari Maroko ini diawali oleh KTT Islam pertama yang berlangsung di Rabat (Maroko), 22-25 September 1969 kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Tingkat Menteri yang diselenggarakan di Jeddah pada Maret 1970, dan disusul pada Desember 1970 di kota Karachi Pakistan serta Konferensi Tingkat Menteri III di Jeddah 29 Februari-Maret 1972.[10] Pembentukan organisasi ini sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu: pertama, menguatnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin alAfghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rashid Ridha (1865-1938) sebagai reaksi terhadap dominasi politik dan ekonomi barat. Kedua, sebagai reaksi atas munculnya paham sekularisme yang antara lain ditandai dengan kemenangan Musthafa Kemal at-Taturk (1881-1938) yang pada 1923 mendirikan Republik Turki dari puing-puing reruntuhan Kerajaan Ottoman dan nasionalisme Arab yang dibawa oleh

Gamal Abdul Nasser (1918-1970). Ketiga, sebagai dampak dari terjadinya konflik ArabIsrael, khususnya perang 1967 yang mengakibatkan jatuhnya kota suci al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid al-Aqsha ke tangan Israel. Di antara tokoh yang mempelopori pembentukan OKI terdapat nama-nama seperti Raja Faisal dari Arab Saudi dan Tunku Abdul Rahman dari Malaysia.[11] Tujuan pembentukan organisasi ini adalah: pertama, menggalang solidaritas Islam di kalangan para anggotanya; kedua, konsolidasi dan kerjasama di kalangan para anggotanya di bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, iptek, dan bidang-bidang lain yang dianggap penting; ketiga, melakukan konsultasi dan kerjasama di kalangan negara-negara anggota di berbagai organisasi internasional; keempat, mengeliminasi diskriminasi rasial dan kolonialisme dalam segala bentuknya;kelima, mendukung perdamaian internasional dan terciptanya tatanan politik internasional yang adil.[12] Di dalam struktur OKI ada tiga badan utama, yaitu: pertama, Konferensi Tingkat Tinggi atau juga yang disebut sebagai konferensi para raja dan kepala Negara/pemerintahan; kedua, Konferensi Para Menteri Luar Negeri; ketiga, Sekretariat Jenderal. Namun pada KTT di Thaif, Arab Saudi (Januari 1981) diputuskan untuk mendirikan Mahkamah Hukum Islam Internasional sebagai organ keempat OKI. Fungsi pengambilan keputusan tertinggi ada pada KTT. Di bawahnya adalah Konferensi Para Menteri Luar Negeri. Komponen ketiga adalah Sekretariat Jenderal yang berkedudukan di Jeddah (Saudi Arabia). Sedangkan jabatan Sekjen dipilih oleh Konferensi Tingkat Menlu untuk satu kali empat tahun. Para Sekretaris Jenderal yang pernah ada di menjabat di OKI secara berturut-turut adalah sebagai berikut: 1971-1973: Tunku Abdul Rahman (Malaysia),1974-1975: Hassan AlTouhami (Egypt), 1975-1979: Amadou Karim Gaye (Senegal), 1979-1984: Habib Chatty (Tunisia), 1985-1988: Syed Sharifuddin Pirzada (Pakistan), 1989-1996: Hamid Algabid (Niger), 1997-2000: Azeddine Laraki (Morocco), 2001-2004: Abdelouahed Berleziz (Morocco), 2005-sekarang: Ekmeleddin Ihsanoglu (Turkey).[13] Sekretariat OKI dibantu oleh empat asisten sekjen yang masing-masing berfungsi sebagai: 1. Masalah-masalah politik 2. Masalah-masalah Yerussalem, Palestina dan Minoritas Islam 3. Masalah-masalah budaya, sosial, dan dana solidaritas Islam 4. Masalah-masalah ekonomi, administratif, dan keuangan

Sampai tahun 2005, OKI telah mengadakan sebanyak 11 kali KTT, yaitu yang berlangsung di Rabat (1969), Lahore (1974), Thaif-Mekkah (1981), Casablanca (1984), Kuwait (1987), Dakar (1991), Casablanca (1994), Teheran (1997), Doha-Qatar (2000), Putrajaya-Malaysia (2003), serta KTT darurat di Doha (2003) dan KTT Luar Biasa di Mekkah, Saudi Arabia (2005). Keberadaan OKI kerap dipandang sebagai hanya mewakili kepentingan negara-negara Arab yang kaya (yang notabene pro-Barat), karena dari segi finansial OKI sangat bergantung pada negara-negara Arab kaya. Oleh sebab itu, OKI lebih sering terlihat kurang responsif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh negara-negara Islam seperti kasus Bosnia, Kashmir, Palestina dan Chechnya. Menurut Riza Sihbudi, paling kurang ada dua kendala yang dihadapi OKI sampai saat ini, yaitu: Pertama, keanggotaan OKI, kendati sama-sama mendasarkan diri atas sentiment keislamanyang belakangan mulai kabur dengan diterimanya Suriname sebagai anggota ke-54dalam kenyataannya, sangat heterogen, baik secara kultural geografis dan ideologis. Kedua, sulit dipungkiri, bahwa selama ini OKI lebih didominasi oleh negaranegara Arab yang kaya minyak dan lebih dekat kepada Barat. Efek dari hal ini adalah terjadi perbedaan pandangan dalam melihat masalah Umat Islam. Inilah yang kemudian menjadikan OKI tidak berdaya dalam menghadapi kasus-kasus konflik Iran-Libya-IrakSudan di satu sisi dan Amerika Serikat di sisi lainnya. Dari sisi ini, lanjut Sihbudi, sulit untuk berharap banyak dari OKI. Olehnya itu, peneliti dari LIPI itu mengusulkan agar diadakan perubahan orientasi secara internal dan mulai memikirkan kerjasama bagi peningkatan ekonomi maupun iptek di kalangan anggotanya. Jika tidak ini bisa menjadikan citra OKI memudar di mata Dunia Islam.[14] OKI sebagai Organisasi Internasional Organisasi Konferensi Islam (OKI) dilahirkan di Timur Tengah. Sejak lama, kawasan Timur Tengah memiliki peranan penting sebagai sumber daya ekonomi dan penghubung antara Eropa, Asia dan Afrika. Kawasan ini juga memiliki tiga faktor kunci yaitu teknologi (technology), sumber daya (resources) dan ideologi politik (political ideology).[15] Keberadaan OKI di Timur Tengah adalah salah satu fenomena dari keinginan masyarakat untuk mengembangkan ketiga faktor tersebut. Untuk melihat tentang OKIseperti dalam landasan teori di bagian awaloganisasi internasional dimaknai sebagai berikut: Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan untuk diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda.[16]

Dari definisi ini, maka sebuah organisasi internasional setidaknya memiliki kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara dan adanya struktur organisasi yang jelas dan lengkap. Dalam definisi lainnya, organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai berikut, Any cooperative arrangement instituted among states, usually by a basic agreement, to perform some mutually advantageous functions implemented trough periodic meetings and staff activities (Pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang member manfaat timbal-balik yang diejawantahkan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala). Organisasi Konferensi Islam (OKI) termasuk dalam lingkup organisasi internasional yang global. Wilayah kegiatannya global dan keanggotaannya terbuka di berbagai penjuru dunia oleh dunia Arab dan Islam. Belakangan, negara Suriname juga diterima menjadi anggota yang ke-54. Ini berarti bahwa, heterogenitas dalam OKI sebagai organisasi internasional adalah niscaya. Kerjasama Lintas Batas Negara

Pada point bahwa organisasi OKI memiliki anggota yang melintasi batas negara, kita melihat bahwa OKI termasuk di antaranya. Negara-negara yang bergabung di OKI terdiri dari lintas negara dan benua dan 57 negara sebagai anggota penuh adalah sebagai berikut: Afghanistan, Aljazair, Chad, Mesir, Guinea, Indonesia,Iran, Yordania, Kuwait, L ebanon, Libya, Malaysia, Mali, Mauritania, Maroko,Niger, Pakistan, Palestina, Arab Saudi, Yaman, Senegal, Sudan, Somalia, Tunisia,Turki, Bahrain, Oman, Qatar, Suriah, U ni Emirat Arab, Sierra Leone, Bangladesh,Gabon, Gambia, GuineaBissau, Uganda, Burkina Faso, Kamerun, Komoro, Irak,Maladewa, Djibouti, Benin, Brunei, Nigeria, Albania, Aze rbaijan, Kirgizstan,Tajikistan, Turkmenistan, Mozambik, Kazakhstan, Uzbekistan, Surina me, Togo,Guyana, dan Pantai Gading.[17] Selain itu, dalam OKI juga ada negara yang berstatus sebagai peninjau, yaitu:Afrika Tengah, Bosnia Herzegovina, Siprus Utara, Thailand dan Rusia. Peninjau OKI juga ada yang berasal dari Organisasi dan Komunitas Muslim seperti Front Pembebasan Nasional Moro, atau dari Organisasi Internasional lainnya sepertiLiga Arab (1975), Persatuan Bangsa-Bangsa (1976), Gerakan Non-Blok (1977),Organisasi Kesatuan Afrika (1977), Organisasi Kerjasama Ekonomi (1995). Saat ini, sebagai organsasi global, ada tiga negara yang menjadi calon anggota baru OKI, yaitu India (dengan jumlah penduduk muslimnya yang terbesar ke-3 di dunia), Filipina, dan Kabul Island.

Organisasi kerjasama antarapemerintah ini sejak awal memang telah dibuat untuk menjadi organisasi yang disebut juga dengan International Government Organization (IGO). Unsur Organisasi yang Lengkap Guna berjalannya roda organisasi internasional, maka dalam struktur OKI juga didirikan organisasi-organisasi yang memiliki kekhususan dalam bidangnya masing-masing. Ada empat badan utama dalam struktur OKI, yaitu: 1). Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 2). Konferensi Para Menteri Luar Negeri 3). Sekretariat Jenderal 4). Mahkamah Hukum Fungsi pengambilan keputusan tertinggi ada pada KTT. Di bawah itu adalah konferensi para Menlu dan Sekretariat Jenderal yang bermarkas di Jeddah. Jabatan Sekjen ini dipilih oleh konferensi tingkat Menlu untuk satu kali empat tahun. Ketentuan hal ini terdapat dalam pasal IV Piagam OKI bahwa KTT adalah otoritas tertinggi. KTT diselenggarakan sekali dalam tiga tahun, atau dapat juga diselenggarakan jika para anggota menganggap ada masalah-masalah penting dan mendesak untuk dibahas. Pada Pasal II Piagam OKI disebutkan bahwa konferensi tingkat Menteri Luar Negeri diadakan sekali setahun, atau jika ada masalah-masalah yang dianggap penting dan mendesak. Konferensi ini dapat dianggap kuorum jika dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari seluruh anggota, dan resolusi serta rekomendasi bisa di-sahkan jika disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga anggota yang hadir. Mengenai Sekretariat Jenderal yang berpusat di Jeddah adalah organ eksekutif/administratif OKI. Sekjen diketuai oleh seorang Sekretaris Jenderal. Pada mulanya piagam OKI menetapkan masa jabatan Sekjen selama dua tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi (maksimal dua kali dua tahun). Namun KTT di Thaif memperluas masa jabatan Sekjen selama satu kali empat tahun, dan tidak bisa dipilih kembali. Pada KTT di Dakar (1991), keputusan ini pun kemudian diubah menjadi dua kali empat tahun. Sekjen adalah pemegang otoritas tertinggi dalam Sekretariat OKI.

Dalam menjalankan tugas sehari-hari, Sekjen dibantu oleh empat Asisten Sekjen serta sejumlah pejabat dan ahli. Jika Sekjen tidak dapat menjalankan tugasnya, maka fungsinya didelegasikan kepada asisten yang paling senior. Asisten Sekjen diangkat oleh Konferensi Menteri Luar Negeri atas rekomendasi dari Sekjen yang didasarkan atas pertimbangan berbagai faktor seperti kompetensi, integritas dan dedikasinya kepada tujuan-tujuan yang tercantum dalam Piagam OKI. Masa jabatan asisten sama dengan masa jabatan Sekretaris Jenderal.[18] Di dalam struktur OKI juga mendirikan lima komite khusus[19], yaitu: 1). Komite al-Quds (al-Quds Committee) termasuk Perwakilan Baitul Mal al-Quds (Bayt Mal al-Quds Agency) 2). Komite Khusus yang meliputi: Komite kerja untuk masalah-masalah informasi dan kebudayaan (Standing Committee for Information and Cultural Affairs), Komite Islam untuk masalah-masalah ekonomi, kebudayaan dan sosial (Islamic Committee for Economic, Cultural and Social Affairs), Komite kerjasama ilmu pengetahuan dan teknik (Standing Committee for Scientific and Technological Cooperation/COMSTECH) 3). Komite tetap bidang keuangan (Permanent Finance Committee) 4). Komite kerjasama ekonomi dan perdagangan (Standing Committee for Economic and Commercial Cooperation/COMCEC) 5). Badan Kontrol Keuangan (Financial Control Organ)

Selain itu, OKI juga membentuk organisasi-organisasi yang bergerak di bidang ekonomi dan pembangunan, yaitu: Bank Pembangunan Islam (IDB), Kamar Dagang, Industri, dan Pertukaran Komoditi (negara-negara) Islam, Yayasan Islam bagi Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan, Pusat Islam bagi Riset dan Latihan Teknik dan Kejuruan, Pusat Islam bagi Pembangunan dan Perdagangan, Dewan Penerbangan Sipil Islami, dan Asosiasi Pemilik Kapal Islami. Dari komite-komite yang dibentuk dalam OKI, sebagai organisasi internasional, lembaga ini telah hierarki organisasi demi mencapai tujuan bersama antara anggotanya dalam berbagai bidang yang dianggap penting. Kesimpulan Dari penjelasan di atas, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu:

Pertama, Kerjasama regional negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) menciptakan komunitas antar negara dalam mencapai tujuan bersama para anggotanya. Kedua, Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah organisasi internasional yang memiliki kerjasama lintas batas negara dan benua. Ketiga, Demi mencapai tujuan bersama para anggotanya, Organisasi Konferensi Islam (OKI) membentuk badan-badan khusus di bidang ekonomi, sosial, budaya demi kemajuan negara anggotanya

I. Latar Belakang Didirikannya OKI

Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional non militer yang didirikan di Rabat,Maroko pada tanggal 25 September 1969. Dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsha yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 telah menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al Quds. Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger, Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan Maroko, terselenggara Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko.Konferensi ini merupakan titik awal bagi pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Secara umum latar belakang terbentuknya OKI sebagai berikut : 1) Tahun 1964 : Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Mogadishu timbul suatu ide untuk menghimpun kekuatan Islam dalam suatu wadah internasional. 2) Tahun 1965 : Diselenggarakan Sidang Liga Arab sedunia di Jeddah Saudi Arabia yang mencetuskan ide untuk menjadikan umat Islam sebagai suatu kekuatan yang menonjol dan untuk menggalang solidaritas Islamiyah dalam usaha melindungi umat Islam dari zionisme khususnya. 3) Tahun 1967 : Pecah Perang Timur Tengah melawan Israel. Oleh karenanya solidaritas Islam di negaranegara Timur Tengah meningkat. 4) Tahun 1968 : Raja Faisal dari Saudi Arabia mengadakan kunjungan ke beberapa negara Islam dalam rangka penjajagan lebih lanjut untuk membentuk suatu Organisasi Islam Internasional.

5) Tahun 1969 : Tanggal 21 Agustus 1969 Israel merusak Mesjid Al Agsha. Peristiwa tersebut menyebabkan memuncaknya kemarahan umat Islam terhadap Zionis Israel. Seperti telah disebutkan diatas, Tanggal 22-25 September 1969 diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat, Maroko untuk membicarakan pembebasan kota Jerusalem dan Mesjid Al Aqsa dari cengkeraman Israel. Dari KTT inilah OKI berdiri. II. Tujuan Didirikannya OKI Secara umum tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk mengumpulkan bersama sumber daya dunia Islam dalam mempromosikan kepentingan mereka dan mengkonsolidasikan segenap upaya negara tersebut untuk berbicara dalam satu bahasa yang sama guna memajukan perdamaian dan keamanan dunia muslim. Secara khusus, OKI bertujuan pula untuk memperkokoh solidaritas Islam diantara negara anggotanya, memperkuat kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek. Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI secara lebih lengkap, yaitu : A. Memperkuat/memperkokoh : 1) Solidaritas diantara negara anggota; 2) Kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek. 3) Perjuangan umat muslim untuk melindungi kehormatan kemerdekaan dan hak- haknya. B. Aksi bersama untuk : 1) Melindungi tempat-tempat suci umat Islam; 2) Memberi semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam memperjuangkan haknya dan kebebasan mendiami daerahnya. C. Bekerjasama untuk : 1) menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan; 2) menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian diantara negara anggota dan negara-negara lain. III. Prinsip OKI Untuk mencapai tujuan diatas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu: 1) Persamaan mutlak antara negara-negara anggota

2) Menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain. 3) Menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara. 4) Penyelesaian setiap sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi. 5) Abstein dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik sesuatu negara. IV. Kiprah OKI dalam Dunia Internasional Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi yang juga menjabat sebagai Ketua Organisasi Konferensi Islam berpendapat, kekuatan ekonomi negara-negara anggota OKI, menjadi salah faktor utama yang akan menentukan posisi OKI di dunia internasional. Kekuatan ekonomi negara-negara anggotanya yang akan menambah kekuatan OKI dan membuat suara OKI lebih berpengaruh dalam pergaulan dunia internasional Berbagai permasalahn terus Ada satu hal yang menjadi perhatian serius para pakar. Yaitu reformasi OKI. Di hadapan problema umat yang sedemikian kompleks ini, OKI sebagai organisasi keislaman terbesar sedunia harus mereformasi diri hingga problem-problem itu mendapatkan penyelesaian yang kontekstual. Reformasi OKI tersebut setidaknya menyangkut dua hal mendasar, yaitu visi dan keanggotaan. Dari segi visi, OKI sebenarnya berwajah Islam politik. Sebab, OKI (secara historis) lahir (25/1969 di Rabat, Maroko) untuk merespons peristiwa politik, yakni pembakaran Masjid Al-Aqsha (21/8/1969) oleh ekstremis Yahudi. Karena itu, bisa dipahami bahwa permasalahan Palestina selalu menjadi agenda utama pada setiap pelaksanaan konferensi OKI. Baik yang berbentuk konferensi tingkat tinggi (KTT), konferensi tingkat Menlu (KTM), maupun konferensi luar biasa. Pada titik itu, di satu sisi, OKI tidak berbeda dari lembaga-lembaga politik berkelas dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Liga Arab. Perbedaannya, OKI membatasi diri untuk negara-negara berpenduduk Islam. Di sisi lain, OKI telah menjadikan Islam sebagai kekuatan seperti gerakan Islamis lainnya selama ini. Perbedaannya, OKI menjadikan Islam sebagai kekuatan untuk membentengi dan membela umat Islam di mana pun. Sementara itu, gerakan Islamis bertujuan menerapkan syariat Islam atau negara Islam. kesalahan paling fatal yang pernah dilakukan manusia adalah pemaknaan agama dengan kekuatan. Dan, diakui atau tidak, pemaknaan agama sebagai kekuatan terjadi hampir merata di semua agama. Sehingga, suatu agama menjadi ancaman bagi agama yang lain. Relasi antarumat beragama pun terjebak dalam kecurigaan, ketegangan, bahkan kekerasan. Pada perkembangan berikutnya, pemaknaan tersebut melahirkan terma politik yang diagamakan. Misalnya, istilah mayoritas dan minoritas, kemudian disebut agama mayoritas dan agama minoritas.

Karena pemaknaan tersebut, Yahudi menjadi Zionis, Kristen menjadi asosial, dan Islam menjadi tak terpisahkan dari kekerasan. Keanggotaan OKI juga menjadi permasalahan tersendiri. Sebagaimana dimaklumi, OKI menetapkan negara-negara berpenduduk muslim sebagai syarat utama menjadi anggota tetapnya. Bukan aliran atau sekte. Hingga saat ini, sudah 59 negara berpenduduk muslim yang bergabung dengan OKI. OKI pun menjadi elitis dan eksklusif. Menjadi elitis karena OKI hanya melibatkan pihak-pihak pengambil kebijakan seperti kepala negara dan menteri. Hal tersebut terlihat jelas dalam setiap konferensi OKI, baik yang bersifat reguler (tiga tahun sekali) maupun darurat. Kalaupun melibatkan pihak lain seperti Sekjen PBB, kalangan intelektual, dan lainnya, itu tak lebih sekadar tamu kehormatan. Mereka tidak mempunyai hak untuk masuk lebih jauh ke dalam pembahasan konferensi dalam bentuk kebijakan. Bahkan, OKI juga menjadi eksklusif. Tak hanya bagi sosok lain yang tidak islami, melainkan juga terhadap umat Islam. Tokoh-tokoh muslim pada tingkat lokal (darah) -apalagi umat Islam- tidak bisa ambil bagian dalam perumusan masalah serta pengambilan kebijakan. Padahal, bila mau jujur, para intelektual muslim secara umum dan yang di daerah secara khusus, maaf, jauh lebih penting daripada para pengambil kebijakan itu. Alasannya sederhana. Secara akademis, mereka cukup merasakan asam garam kehidupan umat Islam dalam menghadapi berbagai problema. Di sisi lain, mereka lebih dekat dengan masyarakat. Karena itu, mereka cukup memahami problem keumatan yang selama ini bergulir di masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, OKI tak hanya gagal menyatukan umat Islam, tapi telah menjadi serpihan, bahkan penyebab perpecahan tersebut. OKI gagal menjadi payung besar yang bisa menaungi umat Islam di ragam sekte, aliran, negara, suku, dan budayanya. Sebaliknya, OKI justru memperbanyak angka sekte dalam Islam. V. Langkah-langkah OKI ke Depan Ada tiga hal yang mendesak untuk dilakukan ke depan. Pertama, reformasi sistem keanggotaan OKI. Dari sekadar melibatkan negara dan para pengambil kebijakan menuju tokoh-tokoh lokal yang tersebar di ragam aliran yang ada. Dengan kata lain, OKI semestinya mengembangkan kepak sayap hingga mencakup sekte-sekte Islam, selain negara-negara Islam. Ibarat payung besar, OKI harus bisa menaungi umat Islam di semua aliran dan negaranya. Diakui atau tidak, ketegangan, kecurigaan, bahkan kekerasan antarsekte Islam sudah merupakan fakta historis yang cukup ironis. Ketegangan antara kelompok Syiah dan Sunni di Iraq, Ikhwan Muslimin dan kalangan Islam moderat di Mesir, serta Islam mayoritas dan Ahmadiyah di tanah air merupakan permasalahan serius yang tak gampang diselesaikan.

Kedua, inklusivitas OKI, terutama di ranah teologis. Diakui atau tidak, OKI selama ini hanya
mencerminkan dua aliran besar dalam Islam. Yakni, Syiah dan Ahlussunnah. Aliran lain seperti Ahmadiyah tidak mempunyai ruang dalam diri OKI. Padahal, baik secara kualitas maupun kuantitas, Ahmadiyah tak kalah besar dari dua aliran Syiah dan Ahlussunnah.

Ketiga, konsensus (ijma) keumatan. Selama ini, umat Islam -kalangan agamawan khususnyasering berpapasan dengan ijma tersebut. Sebab, ijma menempati posisi yang sangat strategis dalam hukum Islam. Yaitu, dasar kedua setelah Alquran dan sunah. Namun, harus jujur diakui, ijma pada masa sekarang ibarat makhluk langka. Ijma tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kecuali dalam bentuk cerita masa lalu. Dalam kitab-kitab klasik, misalnya, ditengarai bahwa ulama ini, sahabat ini, pernah mencapai ijma seperti ini *Ditulis Oleh: Misbahus Surur (Mahasiswa STAI Mahad Aly Al-Hikam Malang).

KERJASAMA MULTILATERAL ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI)

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional non militer yang didirikan di Rabat,Maroko pada tanggal 25 September 1969. Dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsha yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 telah menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al Quds.

Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger, Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan Maroko, terselenggara Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik awal bagi pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Secara umum latar belakang terbentuknya OKI sebagai berikut :

Tahun 1964

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Mogadishu timbul suatu ide untuk menghimpun kekuatan Islam dalam suatu wadah internasional.

Tahun 1965

Diselenggarakan Sidang Liga Arab sedunia di Jeddah Saudi Arabia yang mencetuskan ide untuk menjadikan umat Islam sebagai suatu kekuatan yang menonjol dan untuk menggalang solidaritas Islamiyah dalam usaha melindungi umat Islam dari zionisme khususnya.

Tahun 1967

Pecah Perang Timur Tengah melawan Israel. Oleh karenanya solidaritas Islam di negara-negara Timur Tengah meningkat.

Tahun 1968

Raja Faisal dari Saudi Arabia mengadakan kunjungan ke beberapa negara Islam dalam rangka penjajagan lebih lanjut untuk membentuk suatu Organisasi Islam Internasional.

Tahun 1969

Tanggal 21 Agustus 1969 Israel merusak Mesjid Al Agsha. Peristiwa tersebut menyebabkan memuncaknya kemarahan umat Islam terhadap Zionis Israel.

Seperti telah disebutkan diatas, Tanggal 22-25 September 1969 diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat, Maroko untuk membicarakan pembebasan kota Jerusalem dan Mesjid Al Aqsa dari cengkeraman Israel. Dari KTT inilah OKI berdiri.

B.

TUJUAN dan PRINSIP ORGANISASI

1.

TUJUAN ORGANISASI

Secara umum tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk mengumpulkan bersama sumber daya dunia Islam dalam mempromosikan kepentingan mereka dan mengkonsolidasikan segenap upaya negara tersebut untuk berbicara dalam satu bahasa yang sama guna memajukan perdamaian dan keamanan dunia muslim. Secara khusus, OKI bertujuan pula untuk memperkokoh solidaritas Islam diantara negara anggotanya, memperkuat kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek.

Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI secara lebih lengkap, yaitu : a. Memperkuat/memperkokoh : 1). 2). 3). solidaritas diantara negara anggota; kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek. perjuangan umat muslim untuk melindungi kehormatan kemerdekaan dan hakhaknya.

b.

Aksi bersama untuk : 1). 2). melindungi tempat-tempat suci umat Islam; memberi semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam memperjuangkan haknya dan kebebasan mendiami daerahnya.

c.

Bekerjasama untuk : 1). 2). menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan; menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian diantara negara anggota dan negara-negara lain.

2.

PRINSIP ORGANISASI

Untuk mencapai tujuan diatas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu :

a. b. c. d. e.

Persamaan mutlak antara negara-negara anggota Menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain. Menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara. Penyelesaian setiap sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi. Abstein dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik sesuatu negara.

C.

NEGARA ANGGOTA

Kini OKI memiliki 57 negara anggota serta sejumlah negara pengamat, antara lain Bosnia Herzegovina, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading dan Thailand. Daftar selengkapnya negara anggota OKI dan tahun bergabungnya dapat dilihat pada lampiran 2.

Anda mungkin juga menyukai