Anda di halaman 1dari 0

1

Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance


melalui Penerapan E-Government di Indonesia
*

Teguh Kurniawan
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI,Kampus FISIP UI Gd B Lt 2 Depok 16424,
email teguh1@ui.edu
Abstrak
Keberadaan e-government dalam konteks Indonesia sangat diperlukan karena sejumlah
pertimbangan terkait adanya tuntutan akan terbentuknya kepemerintahan yang bersih,
transparan, dan mampu menjawab tuntutan perubahan secara lebih efektif. Melalui e-
government diharapkan akan meningkatkan efisiensi, efektivitas dan percepatan
pelayanan publik selain membuka kesempatan yang semakin luas kepada masyarakat
untuk berpartisipasi dalam mendiskusikan, mengkritisi, dan menganalisis keputusan
politik dan tindakan administrasi publik. Kemajuan teknologi informasi melalui internet
telah membuka kesempatan yang semakin luas hubungan antara politik, birokrasi dan
masyarakat. Masyarakat dapat terlibat secara langsung dalam proses perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan kebijakan publik. Penerapan e-government di Indonesia
selama ini bisa dikatakan masih cukup tertinggal dibandingkan sejumlah negara lain.
Hal ini ditandai dengan mayoritas situs pemerintah yang berada dalam tahapan web
presence sementara sebagian kecil lainnya mulai memasuki fase interaksi dan belum
satupun lembaga yang menerapkan e-government sampai tahap transaksi dan
transformasi. Makalah ini berusaha mengidentifikasi sejumlah hal yang ditengarai
sebagai penyebab minimnya adopsi dan kapasitas penerapan e-government dalam
mewujudkan good governance di Indonesia.
Kata kunci: good governance, e-government

*
Disampaikan dalam Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006, J urusan Teknologi
Informasi Universitas Pasundan dan ITB, Bandung, 18 Februari 2006, diterbitkan
sebagai buku Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006, Bandung: Penerbit
Informatika, ISBN 979-3338-71-7
1. Pendahuluan
Internet dan semua bentuk komunikasi
digital lainnya telah menjadi instrumen
yang penting dalam semua sektor.
Demikian juga di sektor pelayanan
publik dan politik, media elektronik ini
telah menjadi instrumen yang penting
dalam komunikasi data internal dan
eksternal. Penggunaan jaringan internet
telah mempercepat proses komunikasi,
kontak antara instansi pemerintah
dengan masyarakat semakin dekat dan
langsung, waktu tunggu untuk
memperoleh informasi semakin singkat,
dan aliran data dari satu unit instansi
pemerintah ke unit organisasi lain (baik
privat maupun publik) juga mengalami
peningkatan yang luar biasa.

Perkembangan tehnologi internet tidak
saja telah meningkatkan efisiensi,
efektivitas dan percepatan pelayanan
publik, tetapi juga telah memungkinkan
debat-debat yang bersifat publik yang
bertujuan untuk mendiskusikan,
mengkritisi, dan menganalisis keputusan
politik dan tindakan administrasi publik.
Kemajuan tehnlologi komunikasi dan
informasi melalui internet telah
membuka kesempatan yang semakin
luas hubungan antara politik, birokrasi
dan masyarakat. J ika penggunaan
internet ini dilakukan dengan baik dan
sempurna, maka proses politik akan
semakin partisipatif dan demokratis.
Masyarakat dapat terlibat secara
langsung dalam proses perencanaan,
2
pelaksanaan dan pengawasan kebijakan
publik.

Merujuk kepada latar belakang di atas,
makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi dan
mengklasifikasi karakteristik dan
ciri-ciri dari good governance serta
macam penerapan e-government
dalam sektor publik;
2. Mengidentifikasi sejumlah hal yang
ditengarai sebagai penyebab
minimnya adopsi dan kapasitas
penerapan e-government dalam
mewujudkan good governance di
Indonesia.

2. Governance vs Government dan
Good Governance
Pada dasarnya governance, government
dan good governance merupakan
terminologi yang berbeda satu sama lain,
meskipun ketiganya saling berhubungan.
Untuk memahami ketiga terminologi
tersebut, uraian berikut diharapkan dapat
membantu.

(1) Governance vs Government
Dalam memahami perbedaan antara
governance dan government, Schwab
dan Kubler (2001) melihatnya dari 5
(lima) fitur dimensi berdasarkan
pengamatan mereka terhadap interaksi
pada sebuah kontinuum pengaturan
kebijakan antara governance dan
government sebagai berikut:
Dimensi aktor;
Dimensi fungsi;
Dimensi struktur;
Dimensi konvensi interaksi;
Dimensi distribusi kekuasaan.

Dilihat dari dimensi aktor, governance
dicirikan dengan banyaknya jumlah
peserta baik yang berasal dari sektor
publik maupun privat yang terlibat
dalam pengaturan sebuah kebijakan.
Sementara itu, government dicirikan
dengan sangat sedikit dan terbatasnya
jumlah peserta dalam proses pengaturan
kebijakan tersebut, aktor yang terlibat
pun biasanya merupakan badan-badan
(lembaga) pemerintahan.

Dari dimensi fungsi, governance
dicirikan melalui banyaknya konsultasi
yang dilakukan dalam pengaturan
kebijakan. Hal ini memungkinkan bagi
adanya kerjasama dalam pembuatan
kebijakan antara aktor-aktor yang
terlibat sehingga issue-isue kebijakan
yang dihasilkan menjadi lebih sempit.
Hal ini berbeda dengan government yang
dicirikan dengan sedikitnya konsultasi,
tidak adanya kerjasama antar aktor
dalam pembuatan kebijakan yang
menyebabkan luasnya issue kebijakan
yang dihasilkan.

Berdasarkan dimensi struktur,
governance dicirikan dengan adanya
batas-batas yang didefinisikan secara
fungsional dan sangat terbuka selain
keanggotaan dari struktur yang bersifat
sukarela. Batas-batas yang didefinisikan
secara fungsional disini berarti
pertimbangan pengaturan kebijakan
didasarkan atas kebutuhan fungsional.
Hal ini tidak seperti government yang
mendefinisikan batas-batas berdasarkan
kewilayahan dan bersifat tertutup selain
tentu saja keanggotaannya yang tidak
sukarela, artinya untuk dapat masuk
sebagai struktur harus merupakan
anggota dari organisasi sektor publik.

Dari dimensi konvensi interaksi,
governance dicirikan dengan konsultasi
yang sifatnya horisontal dengan pola
hubungan yang bersifat kooperatif
sehingga lebih banyak keterbukaan.
Sementara itu government dicirikan
dengan adanya hirarkhi kewenangan
sehingga pola hubungan yang terjadi
lebih banyak bersifat konflik dan
dipenuhi dengan banyak kerahasiaan.

Berdasarkan dimensi distribusi
kekuasaan, governance dicirikan dengan
rendahnya dominasi negara,
dipertimbangkannya kepentingan
masyarakat dalam pengaturan kebijakan
serta adanya keseimbangan atau
simbiosis antar aktor. Sementara itu
government dicirikan dengan adanya
dominasi negara yang dalam banyak hal
tidak terlalu memperhatikan kepentingan
masyarakat serta tidak adanya
keseimbangan antar aktor yang terlibat.

(2) Good Governance
3
Pengertian dari good governance dapat
dilihat dari pemahaman yang dimiliki
baik oleh IMF maupun World Bank yang
melihat Good Governance sebagai
sebuah cara untuk memperkuat
kerangka kerja institusional dari
pemerintah. Hal ini menurut mereka
berarti bagaimana memperkuat aturan
hukum dan prediktibilitas serta
imparsialitas dari penegakannya. Ini juga
berarti mencabut akar dari korupsi dan
aktivitas-aktivitas rent seeking, yang
dapat dilakukan melalui transparansi dan
aliran informasi serta menjamin bahwa
informasi mengenai kebijakan dan
kinerja dari institusi pemerintah
dikumpulkan dan diberikan kepada
masyarakat secara memadai sehingga
masyarakat dapat memonitor dan
mengawasi manajemen dari dana yang
berasal dari masyarakat.

Berdasarkan pengertian di atas, good
governance memiliki sejumlah ciri
sebagai berikut:
Akuntabel, artinya pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan harus disertai
pertanggungjawabannya;
Transparan, artinya harus tersedia
informasi yang memadai kepada
masyarakat terhadap proses
pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan;
Responsif, artinya dalam proses
pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan harus mampu melayani
semua stakeholder;
Setara dan inklusif, artinya seluruh
anggota masyarakat tanpa terkecuali
harus memperoleh kesempatan
dalam proses pembuatan dan
pelaksanaan sebuah kebijakan;
Efektif dan efisien, artinya kebijakan
dibuat dan dilaksanakan dengan
menggunakan sumberdaya-
sumberdaya yang tersedia dengan
cara yang terbaik;
Mengikuti aturan hukum, artinya
dalam proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan
membutuhkan kerangka hukum yang
adil dan ditegakan;
Partisipatif, artinya pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan harus
membuka ruang bagi keterlibatan
banyak aktor;
Berorientasi pada konsensus
(kesepakatan), artinya pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan harus
merupakan hasil kesepakatan
bersama diantara para aktor yang
terlibat.

3. E-Government dan
Penerapannya di Lapangan
Terminologi E-Government dapat
diartikan sebagai kumpulan konsep
untuk semua tindakan dalam sektor
publik (baik di tingkat Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah) yang
melibatkan tehnologi informasi dan
komunikasi dalam rangka
mengoptimalisasi proses pelayanan
publik yang efisien, transparan dan
efektif. Hal ini dimungkinkan, karena
secara internal pertukaran informasi
antar unit organisasi publik menjadi
lebih cepat, mudah dan terintegrasi.

Setidaknya ada tiga faktor yang
menyebabkan pentingnya E-
Government dalam pembangunan
masyarakat jaringan (network society):
Pertama, elektronisasi komunikasi
antara sektor publik dan masyarakat
menawarkan bentuk baru partisipasi
dan interaksi keduanya. Waktu yang
dibutuhkan menjadi lebih singkat,
disamping tingkat kenyamanan
pelayanan juga semakin tinggi.
Disamping itu, bentuk transaksi baru
ini akan menyebabkan tingginya
tingkat pemahaman dan penerimaan
masyarakat terhadap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah;
Cyberspace dalam pelayanan publik
memungkinkan penghapusan
struktur birokrasi dan proses klasik
pelayanan yang berbelit-belit.
Tujuan realistis yang hendak dicapai
melalui cyberspace adalah efisiensi
pelayanan dan penghematan
finansial. Disamping itu, informasi
online dalam pelayanan publik dapat
meningkatkan derajat pengetahuan
masyarakat mengenai proses dan
persyaratan sebuah pelayanan
publik;
E-government menyajikan juga
informasi-informasi lokal setempat.
Penggunaan internet dalam sektor
4
publik akan memungkinkan
kemampuan kompetisi masyarakat
lokal dengan perkembangan
internasional dan global.

4. Hambatan dan Tantangan
Mewujudkan Good Governance
melalui E-Government
Hambatan penerapan e-government
dapat lihat misalnya dari hasil
pengamatan yang dilakukan
Kementerian Komunikasi yang
menyimpulkan bahwa mayoritas situs
pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah
masih berada pada tingkat persiapan
(pertama) apabila ditinjau dari sejumlah
aspek:
E-Leadership: prioritas dan inisiatif
negara di dalam mengantisipasi dan
memanfaatkan kemajuan teknologi
informasi;
Infrastruktur Jaringan Informasi:
kondisi infrastruktur telekomunikasi
serta akses, kualitas, lingkup, dan
biaya jasa akses;
Pengelolaan Informasi: kualitas dan
keamanan pengelolaan informasi;
Lingkungan Bisnis: kondisi pasar,
sistem perdagangan, dan regulasi
yang membentuk konteks
perkembangan bisnis teknologi
informasi;
Masyarakat dan Sumber Daya
Manusia: difusi teknologi informasi
didalam kegiatan masyarakat baik
perorangan maupun organisasi, serta
sejauh mana teknologi informasi
disosialisasikan kepada masyarakat
melalui proses pendidikan.

Terdapat sejumlah kelemahan
pembentukan e-government di
Indonesia:
Pelayanan yang diberikan situs
pemerintah belum ditunjang oleh
sistem manajeman dan proses kerja
yang efektif karena kesiapan
peraturan, prosedur dan keterbatasan
SDM sangat membatasi penetrasi
komputerisasi ke dalam sistem
pemerintah;
Belum mapannya strategi serta tidak
memadainya anggaran yang
dialokasikan untuk pengembangan e-
government;
Inisiatif merupakan upaya instansi
secara sendiri-sendiri; dengan
demikian sejumlah faktor seperti
standardisasi, keamanan informasi,
otentikasi, dan berbagai aplikasi
dasar yang memungkinkan
interoperabilitas antar situs secara
andal, aman, dan terpercaya kurang
mendapatkan perhatian
Kesenjangan kemampuan
masyarakat untuk mengakses
jaringan internet.

Dengan melihat kepada kondisi di atas,
maka tantangan yang muncul kemudian
adalah bagaimana meningkatkan
penerapan e-government di masa datang
menjadi lebih memadai sehingga tidak
memungkinkan lagi adanya tahapan
pelayanan yang memerlukan pertemuan
tatap muka antara masyarakat dengan
penyedia pelayanan publik. Ketiadaan
tatap muka dapat meminimalisir dan
meniadakan aktivitas-aktivitas rent
seeking.

4. Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah ini dapat
disimpulkan bahwa jalan bagi penerapan
good governance di Indonesia yang
memadai melalui e-government masih
cukup panjang. Hal yang perlu dilakukan
untuk mengatasi hal ini adalah melalui
pengembangan lebih lanjut dari e-
government pada tahapan paling tinggi
yang memungkinkan selain melalui
pendidikan dan pemerataan akses
masyarakat terhadap internet.
5. Daftar Pustaka
1. E. Prasojo dan T. Kurniawan,
Hambatan dalam Penerapan E-
Government di Indonesia, Laporan
Penelitian, DIA FISIP UI,
Desember 2004
2. B. Schwab and D. Kubler,
Metropolitan Governance and the
democratic deficit: Theoretical
Issues and Empirical Findings,
Paper in Conference Area-based
initiatives in contemporary urban
policy, Copenhagen, May 2001
3. N. Woods, The Challenge of Good
Governance for the IMF and the
World Bank Themselves, on World
5
Development, Vol. 28, No. 5,
Pergamon, 2000
4. B. N. Hague and B. D. Loader,
Digital Democracy: Discourse and
Decision Making in the Information
Age, Routledge, 1999
5. D. Holmes, E.gov: E-business
Strategies for Government,
Nicholas Brealey, 2001

Anda mungkin juga menyukai