Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti


melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual
menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu
dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jual beli
merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cukup lama dalam
masyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan yang pasti kapan awal mulanya
aktivitas bisnis secara normal ini dilaksanakan. Aktivitas ini tidak dapat
dihindarkan dari masyarakat. Kegiatan jual beli adalah kegiatan yang melibatkan
banyak orang atau pihak dan harus mempunyai status hukum yang jelas,
khususnya terkait keabsahan transaksi yang dilakukan. Jika zaman dahulu
transaksi dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka
pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.
Sistem perekonomian di Indonesia saat ini telah berkembang pesat. Dengan
kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat
bertransaksi dengan lancar. Para pedagang terkadang melakukan berbagai cara
untuk menarik perhatian konsumen tanpa memperhatikan hukum jual beli dalam
perspektif Islam. Padahal dalam pelaksanaan jual beli, Islam telah memberikan
arahan yang sangat jelas mengenai tata cara, etika, dan objek yang diperjual
belikan.
Saat ini kasus yang paling sering terjadi dalam jual beli yaitu kenaikan harga
karena menggunakan sistem kredit. Lalu apakah jual beli dengan sistem kredit ini
sah menurut fiqh mu’amalah?. Maka dalam hal ini penulis akan mengkaji lebih
dalam tentang pengertian jual beli dan juga hukum jual beli dengan sistem kredit
dalam perspektif Islam.

1
B. Tujuan penulisan

1. Agar mengetahui defenisi dari jual beli


2. Agar mengatahui hukum tentang jual beli secara kredit
3. Agar mengetahui dalil dalil tentang jual beli

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Jual beli menurut pengertian bahasa (lughawi) ialah saling tukar. Sekalipun
ada kata al-Bi’i (jual) dan kata aasy-syira’(beli)tetapi biasanya dipergunakan
dalam pengertian yang sama. Sedangkan menurut pengertian syara’ jual beli ialah
pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti
yang dapat dibenarkan.1
Jual beli adalah salah satu sarana untuk memiliki properti tertentu, yang
tantunya ia memiliki aturan-aturan dan etika.2
Jual beli atau bay’u adalah suatu kegiatan tukar menukar barang dengan
barang yang lain dengan cara tertentu baik dilakukan dengan menggunakan akad
maupun tidak menggunakan akad.3
ada beberapa ulama yang mendefinisikan jual beli. Diantaranya adalah
a. Imam Hanafi, beliau menyatakan jual beli adalah tukar menukar harta atau
barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu yang disenangi
dengan barang yang setara nilai dan manfaatnya nilainya setara dan membawa
manfaat bagi masing-masing pihak. 4
b. Menurut Ibn Qudamah yang dikutip oleh Siti Mujiatun pengertian jual beli
adalah “tukar menukar harta untuk saling dijadikan hak milik. Tukar menukar
tersebut dilakukan dengan ijab kabul atau saling memberi.5
c. Sayid Sabiq mendefinisikan jual beli dengan arti ‘saling menukar harta dengan
harta atas dasar suka sama suka’.
d. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa jual beli adalah ‘saling menukar harta
dengan harta dalam bentuk pemindahan milik’. Definisi ini tidak jauh berbeda
1
Drs.H.Sokon Saragih, M.Ag,Fikih Pendidikan Dasar, (Medan:2018), H.166
2
Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada,Ensiklopedia Etika Islam, (Jakarta:Magfirah Pustaka,2005),
H.343
3
Dr.Nurhayati,M.Ag Dan Dr. Ali Imran Sinaga,M.Ag,Fiqh Dan Ushul Fiqh,(Jakarta: Prenada Media,
2018)
4
Imam Mustofa,Fiqh Muamalah kontemporer(,Jakarta:Rajawali pers,2016) h.21
5
Siti Mujiatun, “Jual Beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna’”, dalam JURNAL RISET
AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No . 2 / September 2013 (1-15), h. 3

3
dengan apa yang didefinisikan oleh Abu Qudamah yaitu ‘saling menukar harta
dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan’.
e. Sementara menurut Hasbi ash-Shiddieqy jual beli adalah akad yang terdiri atas
penukaran harta dengan harta lain, maka terjadilah penukaran dengan milik
tetap.

Berdasarkan pemaparan berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa


jual beli adalah tukar menukar barang antara dua orang atau lebih atas dasar suka
sama suka, untuk saling memiliki. Dengan jual beli, penjual berhak memiliki uang
secara sah. Pihak pembeli berhak memiliki barang yang ia terima dari penjual.
Kepemilikan masing-masing pihak dilindungi oleh hukum.

B. Hukum Jual Beli Dengan Sistem Kredit Dalam Islam

Apabila kita membicarakan tentang masalah penjualan dan perdagangan,


maka kita tidak akan terlepas dari apa yang disebut dengan riba atau bunga uang.
Allah SWT berfirman:

ۚ ‫ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ ُكلُونَ ٱلرِّ بَ ٰو ْا اَل يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم ٱلَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ٱل َّش ۡي ٰطَنُ ِمنَ ۡٱل َم‬
َ ِ‫سِّ ٰ َذل‬
‫ك بِأَنَّهُمۡ قَالُ ٓو ْا‬
( ‫ى فَلَ ۥهُ َما‬iٰ َ‫ة ِّمن َّربِّ ِهۦ فَٱنتَه‬ٞ َ‫م ٱل ِّربَ ٰو ۚ ْا فَ َمن َجٓا َء ۥهُ َم ۡو ِعظ‬iَ ‫إِنَّ َما ۡٱلبَ ۡي ُع ِم ۡث ُل ٱل ِّربَ ٰو ۗ ْا َوأَ َح َّل ٱهَّلل ُ ۡٱلبَ ۡي َع َو َح َّر‬
ٓ
َ‫ار هُمۡ فِيهَا ٰخَ لِ ُدون‬ ۡ َ‫ك أ‬
ِ ۖ َّ‫ص ٰ َحبُ ٱلن‬ iَ ِ‫) َسلَفَ َوأَمۡ ُر ٓۥهُ إِلَى ٱهَّلل ۖ ِ َو َم ۡن عَا َد فَأُوْ ٰلَئ‬٢٧٥
Artinya : “ Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya”. (Q.S Al Baqarah : 275)

4
Ayat diatas merupakan dalil nash yang menjadi dasar bagi kita dalam
menangani muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa Islam melarang jual beli
setiap tindakan pembungaan uang, akan tetapi tidak boleh menganggap bahwa
Islam melarang jual beli secara kredit.

Apalagi di dalam masyarakat yang menganut system perekonomian


modern  seperti saat ini yang sangat menuntut pada pengkreditan dan pinjaman.
Dalam semua itu masing-masing pihak ingin sama-sama diuntungkan, akan tetapi
kadang keuntungan yang diperoleh tidak sama dan berubah-ubah karena
perekonomian Negara kurang stabil.6

Ada dua pandangan mengenai hukum dari jual beli dengan system kredit,
seperti di bawah ini.

a. Hukum yang Memperbolehkan Kredit

Ulama dari empat madzhab, Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah,


Hambaliyah, Zaid bin Ali dan mayoritas ulama membolehkan jual beli dengan
sistem ini, baik harga barang yang menjadi obyek transaksi sama dengan harga
cash maupun lebih tinggi. Namun demikian mereka mensyaratkan kejelasan akad,
yaitu adanya kesepahaman antara penjual dan pembeli bahwa jual beli itu
memang dengan sistem kredit. Dalam kasus ini biasanya penjual meyebutkan dua
harga, yaitu harga cash dan harga kredit.7

Adapun ayat yang juga berhubungan juga dengan masalah.

Allah SWT berfirman :

‫ب‬ َ ‫أ‬iۡ iَ‫ بِد َۡي ٍن إِلَ ٰ ٓى أَ َج ٖل ُّم َس ٗ ّمى فَ ۡٱكتُبُو ۚهُ َو ۡليَ ۡكتُب ب َّۡينَ ُكمۡ َكاتِ ۢبُ بِ ۡٱل َع ۡد ۚ ِل َواَل ي‬i‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َذا تَدَايَنتُم‬
‫س ِم ۡنهُ َش ٗۡ‍ٔي ۚا‬
ۡ َ‫ق ٱهَّلل َ َربَّ ۥهُ َواَل يَ ۡبخ‬ ۡ ُّ ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ ٱهَّلل ۚ ُ فَ ۡليَ ۡكتُ ۡب َو ۡليُمۡ لِ ِل ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي ِه ۡٱل َح‬
ِ َّ‫ق َوليَت‬ َ ُ‫َكاتِبٌ أَن يَ ۡكت‬
‫د ۚ ِل‬iۡ i‫ل َولِيُّ ۥهُ بِ ۡٱل َع‬iۡ iِ‫ َو فَ ۡليُمۡ ل‬iُ‫ َّل ه‬i‫ع أَن يُ ِم‬iُ ‫ت َِطي‬i‫ ِعيفًا أَ ۡو اَل يَ ۡس‬i‫ض‬ ُّ i‫ ِه ۡٱل َح‬i‫انَ ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي‬ii‫إِن َك‬iَ‫ف‬
َ ‫فِيهًا أَ ۡو‬i‫ق َس‬

6
Kutbudin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 216

7
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo, 2014)

5
َ‫ ۡونَ ِمن‬i ‫ض‬ َ ‫ان ِم َّمن ت َۡر‬i ِ iَ‫ل َوٱمۡ َرأَت‬i ٞ i‫ا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج‬iiَ‫إِن لَّمۡ يَ ُكون‬i َ‫ ف‬iۖۡ‫الِ ُكم‬ii‫ ِهيد َۡي ِن ِمن ِّر َج‬i ‫ُوا َش‬ ْ ‫ ِهد‬i ‫ٱست َۡش‬
ۡ ‫َو‬
‫ ُم ٓو ْا أَن‬ii‫َس‬ ْ ۚ ‫ب ٱل ُّشهَدَٓا ُء إِ َذا َما ُدع‬
‍ٔiََٔ ۡ ‫ُوا َواَل ت‬ َ ‫ فَتُ َذ ِّك َر إِ ۡح َد ٰىهُ َما ٱأۡل ُ ۡخ َر ٰۚى َواَل يَ ۡأ‬i‫ض َّل إِ ۡح َد ٰىهُ َما‬ ِ َ‫ٱل ُّشهَدَٓا ِء أَن ت‬
َّ ِ‫م ل‬iُ ‫ َو‬i‫ َد ٱهَّلل ِ َوأَ ۡق‬i‫ ِعن‬iُ‫ط‬i‫يرًا إِلَ ٰ ٓى أَ َجلِ ِۚۦه ٰ َذلِ ُكمۡ أَ ۡق َس‬iِ‫ص ِغيرًا أَ ۡو َكب‬
‫ا إِٓاَّل أَن‬iْ‫اب ُٓو‬iَ‫َى أَاَّل ت َۡرت‬iٰٓ ‫ ٰهَ َد ِة َوأَ ۡدن‬i‫لش‬ َ ُ‫ت َۡكتُبُوه‬
‫ايَ ۡعتُمۡۚ َواَل‬iiَ‫ ِهد ُٓو ْا إِ َذا تَب‬i‫ا َوأَ ۡش‬iۗ iَ‫ا ٌح أَاَّل ت َۡكتُبُوه‬iiَ‫س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجن‬ َ ‫ ِديرُونَهَا بَ ۡينَ ُكمۡ فَلَ ۡي‬iُ‫ َر ٗة ت‬i‫اض‬ ِ ‫ج َرةً َح‬ iَ ٰ ِ‫تَ ُكونَ ت‬
‫يم‬ٞ ِ‫ ۡي ٍء َعل‬i ‫لِّ َش‬ii‫وا ٱهَّلل ۖ َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ۗ ُ َوٱهَّلل ُ بِ ُك‬ ُ iۢ ‫وا فَإِنَّهۥُ فُسُو‬
ْ ُ‫ق بِ ُكمۡۗ َوٱتَّق‬ ْ ُ‫ۚيد َوإِن ت َۡف َعل‬ٞ ‫ب َواَل َش ِه‬ٞ ِ‫ضٓا َّر َكات‬
َ ُ‫ي‬
٢٨٢
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali
jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S Al-Baqarah :
282)

6
            Membayar harga secara kredit diperbolehkan, asalkan tempo atau waktu
ditentukan dan jumlah pembayaran telah ditentukan sesuai kesepakatan.8

ٓ iُ‫اض ِّمن ُكمۡۚ َواَل ت َۡقتُل‬


َ ‫ ُكمۡۚ إِ َّن ٱهَّلل‬i‫و ْا أَنفُ َس‬i َ iَ‫وا اَل ت َۡأ ُكلُ ٓو ْا أَمۡ ٰ َولَ ُكم بَ ۡينَ ُكم بِ ۡٱل ٰبَ ِط ِل ِإٓاَّل أَن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً عَن ت‬
ٖ ‫ر‬i
ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
٢٩ ‫َكانَ بِ ُكمۡ َر ِح ٗيما‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (Q.S An-Nisa : 29)

Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit yaitu,


dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-
syarat keabsahannya sebagai berikut :

a)      Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan
pembeli.

b)      Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran
dibatasi sehingga terhindar dari parktik bisnis penipuan.

c)      Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan
lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada
praktik riba.

d)     Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli


dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku,
agar tidak termasuk kategori jual-beli dengan terpaksa yang dikecam Nabi saw.

Contoh : jika seseorang ingin membeli hp , tapi dia tidak bisa membayar secara
kontan maka pedagang menawarkan dengan harga kredit dan tempo pembayaran,
8
Imam Mustofa mengutip dari Muhammad Shir Shur, Ba’I al-Murabahah lil amir bi Al-Syra’, I/81

7
misalnya jika membeli hp secara kontan harganya 10 juta, akan tetapi kalau secara
kredit, pedagang akan mengambil keuntungan misalnya 500 ribu, penambahan
tersebut secara angsuran , akan terjadi diantara keduanya kesepakatan yang saling
menguntungkan bagi si pembeli karna kredit meringankan dan bagi pedagang
menguntungkan, jadi sama-sama mencari keuntunagan.9

b.Hukum yang Tidak Membolehkan Kredit

Kalangan ulama yang melarang jual beli dengan system kredit  antara lain
Zainal Abidin bin Ali bin Husen, Nashir, Manshur, Imam Yahya, dan Abu Bakar
al-Jashash dari kalangan Hanafiyah serta sekelompok ulama kontemporer.10

Allah SWT berfirman :

(١٦١) ‫اس بِ ۡٱل ٰبَ ِط ۚ ِل َوأَ ۡعت َۡدنَا لِ ۡل ٰ َكفِ ِرينَ ِم ۡنهُمۡ َع َذابًا أَلِ ٗيما‬
ِ َّ‫ُوا ع َۡنهُ َوأَ ۡكلِ ِهمۡ أَمۡ ٰ َو َل ٱلن‬
ْ ‫َوأَ ۡخ ِذ ِه ُم ٱلرِّ بَ ٰو ْا َوقَ ۡد نُه‬

Artinya: “dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya


mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda
orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (Q.S An-Nisa : 161)

Artinya : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba”. (Q.S Al- Baqarah : 275)

Ayat di atas mendefinisikan mengharamkan riba karena dalam jual beli


terdapat tambahan harga sebagai penundaan permbayaran.

Rasulullah Saw bersabda yang artinya:

Artinya : “Dari Abu Hurairah dia berkata, telah melarang Rasulullah Saw
melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Turmuzi).

9
Kutbudin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 216
10
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo, 2014), h. 49

8
Sebagian fuqoha (Ahli Fiqih) juga tidak memperbolehkan jual beli secara
kredit, mereka beralasan bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan masalah
waktu, dan hal itu tidak ada bedanya dengan riba. Pendapat lain juga mengatakan
bahwa menaikkan harga diatas yang sebenarnya adalah mendekati dengan riba
nasi’ah yaitu harga tambahan, maka itu jelas dilarang Allah. 11Mereka berpendapat
bahwa Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah
riba. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.

Contohnya: Seseorang memerlukan sebuah motor, lalu datang kepada


pedagang yang tidak memilikinya, seraya berkata, “saya memerlukan motor yang
begini dan begini”. Lantas pedagang pergi dan membelinya, kemudian menjual
kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal
lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan, tersebut karena si pedagang mau
membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya
karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan
tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba.

Tafsir dari larangan Rasulullah “Dua transaksi jual beli dalam satu
transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai
harganya segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu”. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ucapan seseorang: “Saya jual barang ini
padamu kalau kontan harganya sekian dan kalau ditunda pembayarannya
harganya sekian” adalah sistem jual beli yang saat ini dikenal dengan nama jual
beli secara kredit dan hukumnya adalah haram karena dilarang oleh Rasulullah
Saw.

3. Jual Beli Dengan Sistem Kredit Menurut Jumhur Ulama


Jumhur menyanggah argumen ulama yang melarang jual beli
menggunakan system kredit.penambahan harga hampir terjadi di dalam semua
11
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2003), h.172

9
system jual beli dan ini berlaku umum. Penambahan harga dalam jual beli
tidaklah dilarang, kecuali tambahan-tambahan tersebut yang merugikan atau
mengandung usur zalim.12
Sementara mengenai hadis nabi yang melarang adanya dua akad dalam
transaksi, hadis tersebut adalah larangan terhadap jual beli ‘ainah dan bukan jual
beli kredit. Jual beli ‘ainah adalah jual beli di mana seorang pembeli menjual
barang yang dibelinya dengan harga tunai dengan harga yang sangat murah. Maka
riba dalam kategori ‘ainah ini sangat jelas. Karena pembeli bersepakat atas harga
yang ditentukan oleh penjual dan diharuskan bagi pembeli untuk membayar harga
barang pada waktu tertentu dengan jumlah penambahan tertentu ditambah dengan
harga asli.13

KESIMPULAN
Kredit adalah cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai
(pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Tentang kredit ini, Murtadla

12
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 60

13
Ibid,h.61

10
Muthahhari mengatakan bahwa transaksi secara kredit pada hakikatnya adalah
mengambil manfaat dari keadaan terdesak.

Ulama dari empat madzhab, Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah,


Hambaliyah, Zaid bin Ali dan mayoritas ulama membolehkan jual beli dengan
sistem ini, baik harga barang yang menjadi obyek transaksi sama dengan harga
cash maupun lebih tinggi. Namun demikian mereka mensyaratkan kejelasan akad,
yaitu adanya kesepahaman antara penjual dan pembeli bahwa jual beli itu
memang dengan sistem kredit.

Daftar pustaka

Drs.H.Sokon Saragih, M.Ag,Fikih Pendidikan Dasar, (Medan:2018),

11
Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada,Ensiklopedia Etika Islam,
(Jakarta:Magfirah Pustaka,2005)

Dr.Nurhayati,M.Ag Dan Dr. Ali Imran Sinaga,M.Ag,Fiqh Dan Ushul


Fiqh,(Jakarta: Prenada Media, 2018)

Imam Mustofa,Fiqh Muamalah kontemporer(,Jakarta:Rajawali pers,2016)

Siti Mujiatun, “Jual Beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna’”,
dalam JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No . 2 / September
2013 (1-15)
Kutbudin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009)

Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai


Siwo, 2014)

Imam Mustofa mengutip dari Muhammad Shir Shur, Ba’I al-Murabahah


lil amir bi Al-Syra’, I/81

Kutbudin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2009)

Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai


Siwo, 2014)

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga


Keuangan (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003)

Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,


2016)

12

Anda mungkin juga menyukai