Anda di halaman 1dari 19

1

Paradigma Ekonomi Konvensional


Dalam Sosialisasi Ekonomi Islam



Oleh Dr. Ugi Suharto M.Ec
#


This paper suggests that in the process of Islamization of economics, three methods,
namely negation, integration, and value addition can be applied simultaneously to
the existing body of conventional economics. What is inherently in conflict with Islamic
worldview must be rejected and negated. Likewise, what is in line with it must be
accepted by and integrated into Islamic economics. Moreover, Islamic economics must
also give a new contribution to this conventional science by adding more universal
Islamic values acceptable to humanity. Then what to negate, integrate, and value add, is
to be guided by the Islamic worldview, which is a prerequisite for Islamization of
knowledge.

Seorang peneliti ekonomi Islam terkemuka, Dr. Umer Chapra, mengungkapkan bahwa
yang dikatakan ekonomi Islam adalah economics with an Islamic perspective. (Chapra,
2002). Sudah tentu yang beliau maksudkan dengan economics disitu tidak lain adalah
disiplin ekonomi konvensional. Adapun Islamic perspective yang dimaksudkannya
adalah pandangan hidup Islam, karena beliau juga menghubungkan istilah perspective
dengan istilah-istilah lain seperti vision, dan worldview (Chapra, 2002). Jadi secara
singkatnya, ekonomi Islam adalah ekonomi konvensional yang sejalan dengan pandangan
hidup Islam.

Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) perlu mendapat perhatian khusus dari
disiplin ekonomi Islam. Kata sifat Islam yang dihubunghan dengan Ekonomi
bukanlah sekedar tempelan yang tidak berarti. Tetapi mempunyai maksud yang
mendalam yang meliputi bukan saja aspek keagamaan yang sering difahami secara
sempit, bahkan mencakup juga aspek peradaban yang luas. Oleh sebab itu ekonomi
Islam juga adalah ekonomi yang lahir dari peradaban Islam atau tamaddun Islam, bukan
sekedar ekonomi agama Islam. Yang menarik adalah, asal-usul kata tamaddun yang
berarti peradaban atau civilization itu berasal dari perkataan din yang berarti
agama. Seorang pemikir Muslim kontemporer, Syed Muhammad Naquib al-Attas,
mengatakan bahwa perkataan din, madinah, dan tamaddun itu berasal dari akar
kata Arab yang sama (Al-Attas, 1993). Jadi peradaban atau tamaddun Islam adalah
peradaban yang tumbuh dari Din Islam itu sendiri. Maka tidak terkecuali ekonomi Islam
juga; ia adalah ekonomi yang berdasarkan Din Islam yang berkembang dalam peradaban
dan tamaddun Islam. Oleh sebab itu, dalam arti yang lebih luas, ekonomi Islam lebih


#
Assistant Professor di Kulliyyah of Economics and Management Sciences (KENMS), International
Islamic University Malaysia (IIUM).
2
bersifat civilizational ketimbang religious walaupun dalam Islam civilization itu
dasarnya adalah religion juga.

Pandangan hidup Islam (Islamic worldview) pula, adalah prinsip-prinsip Islam yang tetap
(tsawabit) dan tidak berubah, yang usuli, yang qati, yang ijma, yang muhkamat, yang
malum min al-din, dan yang wahdah. Inilah the hard core Islam, dan selainnya yang
bersifat mutaghayyirat, fari, zanni, khilaf, mutasyabihat, dan kathrah, adalah the
protective belt meminjam istilah Lakatos (Lakatos, 1995). Sarjana Muslim yang paling
banyak membicarakan topik Islamic worldview pada hari ini adalah Syed Muhammad
Naquib al-Attas dalam karyanya Prolegomena to the Metaphysics of Islam.
1
Sudah tentu
sebelum kita melangkah membicarakan ekonomi Islam, membahas Islamic worldview
adalah satu kemestian, karena kita telah nyatakan di atas bahwa ekonomi Islam adalah
ekonomi konvensional yang sejalan dengan Islamic worldview. Namun agar tidak
menimbulkan pertanyaan dalam hati para pembaca, terutama bagi mereka yang
menyangka hal ini kurang relevant, saya akan menangguhkan perbincangan mengenai
pandangan hidup Islam dibagian yang lain nanti.

Adalah jelas bahwa ekonomi Islam tidak bisa terlepas begitu saja dari ekonomi
konvensional. Paradigma ekonomi konvensional akan tetap berfungsi dalam membentuk
paradigma ekonomi Islam dan pelaksanaannya. Teori-teori ekonomi konvensional, baik
yang mikro ataupun yang makro, akan tetap terpakai dalam diskursus ekonomi Islam.
Buku Readings in Microeconomics An Islamic Perspective (Tahir et, al. 1992), adalah
satu contoh teks ekonomi Islam yang memanfaatkan analisa ekonomi mikro
konvensional. Topik-topik seperti consumer behaviour, producer behaviour, market
structure, resource allocation, distribution dan lain-lainnya didiskusikan dalam buku
tersebut menurut pandangan hidup Islam. Di sisi lain paradigma ekonomi positif (positive
economics) dan ekonomi normatif (normative economics) akan juga berlaku dalam
disiplin ekonomi Islam. Apa yang dikatakan sebagai law of demand, law of supply,
law of diminishing marginal utility, dan law of diminishing return dalam paradigma
ekonomi positif tentunya akan juga terpakai dalam ekonomi Islam. Bahkan dalam
beberapa aspek ekonomi normatif, baik dari kapitalisme ataupun sosialisme, ada yang
bisa dimanfaatkan untuk pelaksanaan ekonomi Islam.

Persoalannya adalah, sejauh manakah pengaruh paradigma disiplin ekonomi
konvensional dalam membentuk disiplin ekonomi Islam dimasa depan? Apakah pula
yang dimaksudkan dengan Islamization of Economic Discipline seperti yang banyak
dibicarakan pada hari ini? Jawaban ini memerlukan penguasaan ilmu mengenai ekonomi
konvensional dan Islam sekaligus. Memang ada disiplin Islam, seperti fiqh al-muamalat,
yang mempunyai sudut kedekatan dengan ilmu ekonomi, tetapi dimensi ilmu ekonomi
jauh lebih besar dari sekedar dimensi hukum dan etika dalam fiqh al-muamalat. Yang

1
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995). Untuk resensi buku ini
lihat, Ugi Suharto, Metafizika Islam dalam Dewan Sastera (Agustus 1996), hal. 44-46, yang
diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur; Lihat juga Ugi Suharto, Ulasan Buku
Prolegomena to the Metaphysics of Islam, dalam buletin ISTAC, al-Hikmah Forum ISTAC (Bil. 3
Tahun 3, Juli-September, 1977), hal. 45-50.
3
jelas, ilmu ekonomi merangkumi science yang tidak dirangkum dalam fiqh al-muamalat.
Walaupun begitu, ilmu ekonomi Islam pastinya akan menggunakan fiqh al-muamalat
sebagai salah satu kerangka ekonomi normatifnya.
2


Dengan mengambil pelajaran dari para ulama Islam yang terdahulu dalam mensikapi
disiplin yang asalnya berparadigma asing yang kemudian masuk dalam peradaban Islam,
kita mungkin dapat membuat analogi untuk kasus ekonomi konvensional dan ekonomi
Islam. Misalnya dalam kasus ilmu filsafat (falsafah) yang masuk dalam peradaban Islam,
ada tiga sikap para ulama yang berbeda: (1) Ibnu Sina dan para filosof peripatetik yang
pada umumnya menerima filsafat tanpa memandang sudut negatifnya; (2) al-Ghazali
yang menerima sebagiannya dan menolak sebagiannya; (3) Ibnu Taymiyyah yang
memandang filsafat secara negatif. Memang ada perbedaan dimensi antara filsafat dan
ekonomi, karena filsafat lebih berdimensi pemikiran sedangkan ekonomi bukan
seluruhnya pemikiran, bahkan banyak dimensi penerapannya. Dalam kasus lain seperti
ilmu kedokteran (tibb) yang lebih banyak bidang penerapannya, kita tidak mendengar
Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Taymiyyah berbeda pandangan dalam menerima ilmu
warisan Yunani itu. Namun ini juga tidak bermakna bahwa semua penerapan ekonomi
konvensional bisa diterima begitu saja dalam ekonomi Islam, karena penerapan ilmu
ekonomi juga tidak sama dengan penerapan ilmu kedokteran.

Ilmu ekonomi ada segi pemikirannya dan ada juga segi penerapannya, atau dengan
perkataan lain, ada sudut ilmunya (al-ilm) dan juga sudut amalnya (al-amal). Dari segi
keilmuannya, maka ilmu ekonomi konvensional mesti dibandingkan dengan standar
keilmiahan Islam. Contohnya konsep kebutuhan (want) dalam ekonomi konvensional
harus dibandingkan dengan konsep daruriyah, hajjiyah, dan kamaliyah dalam usul
al-fiqh. Kebutuhan manusia yang tidak terbatas, sepertimana yang diklaim oleh
ekonomi konvensional, bisa dipertanyakan lagi dalam ekonomi Islam karena adanya
perbincangan konsep tama dan qanaah dalam akhlak Islam.

Dalam hal ini epistemologi Islam juga diperlukan. Maka Ilmu Kalam akan turut
berperanan ketika berdialog dengan dasar-dasar pemikiran ekonomi konvensional.
Apakah asumsi-asumsi dan teori-teori ekonomi itu sudah mencapai derajat ilmu atau
masih ditingkat zann, hal itu harus diperdebatkan dahulu. Sebagai contoh, konsep-konsep
seperti wants, scarcity, rationality, maximization, self-interest, ceteris paribus,
dalam ekonomi konvensional yang mengkhususkan hanya pada aspek kalkulatif untung-
rugi manusia, jelas tidak bisa dianggap sebagai ilmu begitu saja dalam Islam. Begitu
juga dari segi pelaksanaannya, maka penerapan ekonomi konvensional mesti juga
dibandingkan dengan standar amaliah Islamiah. Sebagai contoh, penerapan praktek riba
dalam ekonomi konvensional, walaupun disokong oleh berbagai teori mengenai
interest, jelas tidak bisa masuk begitu saja dalam standar amaliah Islamiah. Dengan itu
juga teori faktor produksi yang mengatakan bahwa modal (capital) mendapat imbalan

2
Oleh sebab itu judul makalah ini adalah Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi
Islam bukan Ekonomi Syariah seperti yang diusulkan oleh panitia seminar pada awalnya. Karena
ekonomi Islam lebih luas dari sekedar ekonomi syariah yang mempunyai konotasi ekonomi muamalat,
walaupun pengertian syariah lebih luas dari pengertian muamalat.
4
bunga (interest), pastinya tidak diizinkan masuk dalam teori faktor produksi ekonomi
Islam (Sadeq, 1989).

Bahkan lebih jauh lagi, sebagian ahli ekonomi Islam telah mencoba memberikan
alternatif yang lain dari teori faktor produksi ekonomi konvensional. Fahim Khan,
misalnya, membagi faktor produksi ekonomi Islam hanya menjadi dua bagian saja, yaitu
hired factors of production (HFP) dan entrepreneurial factors of production (EFP)
(Khan, 1995) sesuai dengan konsep ujrah dan ribh dalam fiqh al-muamalat. Bagian-
bagian faktor produksi konvensional seperti tanah (land) dan tenaga kerja (labour) masuk
dalam HFP yang menerima ujrah (upah), sementara modal (capital) dan pengusaha
(entrepreneur) masuk dalam EFP yang menerima ribh (untung).

Sudah tentu banyak lagi topik-topik dan praktek dalam ekonomi konvensional yang bisa
ditanggapi dari perspektif ekonomi Islam. Munculnya berbagai literatur mengenai
ekonomi Islam sendiri menunjukkan semaraknya penelitian dan pengkajian ekonomi
Islam ditengah-tengah rimbunnya disiplin ekonomi konvensional. Muhammad Nejatullah
Siddiqi, misalnya, pada tahun 1981 pernah membuat survey tentang literatur ekonomi
Islam yang berkembang pada waktu itu. Beliau berjasil menjaring 700 judul ekonomi
Islam dalam berbagai topik dalam bukunya Muslim Economic Thinking A Survey of
Contemporary Literature(Siddiqi, 1981). Kini kita yakin bahwa jumlah literatur ekonomi
Islam diseluruh dunia Islam telah bertambah berlipat kali ganda setelah melewati masa
dua dekade terakhir ini.

Sosialisasi ekonomi Islam di dunia Islam yang secara gencarnya baru bermula sekitar
tahun 1970an adalah berbanding lurus dengan keinginan kaum Muslimin untuk kembali
melaksanakan Islam disemua bidang, tidak terkecuali di bidang ekonomi. Namun seperti
yang telah dinyatakan di atas, upaya untuk mengislamkan disiplin ekonomi
konvensional memerlukan keterpaduan penguasaan ilmu ekonomi konvensional dan
ilmu-ilmu Islam sekaligus. Sayangnya sejauh ini kita hanya baru mampu melahirkan
sarjana-sarjana ekonomi konvensional yang memiliki semangat keislaman yang tinggi,
tetapi mereka masih lagi terpisah dengan kesarjanaan Islam yang sebenarnya.

Pada hari ini sistem pengajaran ekonomi Islam di perguruan tinggi dunia Islam masih lagi
terpisah dengan pembelajaran dirasah Islamiyah (Islamic studies) yang meliputi beberapa
mata kuliah utama seperti Bahasa Arab, Ulum al-Quran, Ulum al-Hadith, Mantiq,
Usul al-Fiqh, Kalam, Tasawwuf, Fiqh, dan Sejarah Islam.
3
Sosialisasi ekonomi Islam di
perguruan tinggi sepatutnya dimulai dengan integrasi ilmu-ilmu Islam dengan ilmu
ekonomi konvensional. Karena dari sudut pandang epistemologi Islam, ilmu-ilmu Islam
itu bersifat fardu ain bagi seorang individu Muslim, lebih-lebih lagi bagi seorang sarjana
Muslim, sementara ilmu ekonomi itu bersifat fardu kifayah. Namun apa yang terjadi pada

3
Diantara tantangan Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer, perlu juga disebutkan disini bahwa sebagian ilmu-
ilmu Islam ini juga kini sedang di dekonstruksi oleh kalangan pengkaji Barat (Orientalists) dan juga
orang-orang yang mengikuti mereka. Ada kecenderungan menggunakan metode filsafat post-modernism
dalam menilai ilmu-ilmu Islam ini dikalangan orang-orang Islam sendiri. Apabila hal ini semakin meluas,
maka kesukaran untuk mensosialisasikan ekonomi Islam akan semakin bertambah. Karena itu ekonomi
Islam harus membuat lompatan dua kali. Pertama mendekati ilmu-ilmu Islam, dan kedua, membenahi
ilmu-ilmu Islam yang dirusak juga.
5
hari ini adalah, kaum Muslimin, karena mengikuti sistem pendidikan Barat, memulakan
kesarjanaannya dengan ilmu fardu kifayah. Mereka memiliki keilmuan yang tinggi dalam
bidang ekonomi, tetapi keilmuan Islamnya yang fardu ain tidak setanding dengan ilmu
fardu kifayahnya. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin Islamisasi ilmu ekonomi bisa
terlaksana jika para sarjananya tidak memiliki filter ilmu Islam yang kokoh? Bahkan
yang sering terjadi adalah sebaliknya; para sarjana ini mempersoalkan dan menyalahkan
prinsip-prinsip Islam yang berseberangan dengan ilmu ekonomi. Begitulah contoh kasus
apabila ilmu fardu kifayah mengatasi ilmu fardu ain. Ilmu fardu kifayah yang seharusnya
berfungsi untuk menjaga ummat, kini malah terbalik mempersoalkan prinsip-prinsip
Islam yang dianut oleh ummat.

Padahal kalau para sarjana ekonomi konvensional faham tentang ilmu-ilmu Islam, maka
mereka akan jadi jauh lebih baik lagi dari sekedar menjadi sarjana ekonomi
konvensional. Khiyarukum fil-jahiliyah khiyarukum fil-Islam, idza faquhu (sebaik-baik
kamu di kala jahiliah adalah sebaik-baik kamu di masa Islam apabila faham), begitu kata
Rasulullah (s.a.w.) dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
4
Oleh itu,
sarjana ekonomi konvensional yang baik akan menjadi sarjana ekonomi Islam yang baik
juga, kalau mereka faham ilmu-ilmu Islam dengan baik.

Kesadaran untuk mengislamkan ekonomi konvensional pada mulanya lahir dari para
sarjana yang memiliki ilmu fardu ain dan ilmu fardu kifayah. Tokoh-tokoh seperti
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Muhammad Baqir al-Sadr, Umer Chapra, dll., adalah
diantara mereka yang memiliki kemampuan ilmu-ilmu Islam yang baik. Siddiqi,
misalnya, pernah menjadi guru besar dan menjabat kepala departemen Islamic Studies di
Universitas Aligarh (Haneef, 1995). Baqir al-Sadr, dalam masyarakat Syiah Iraq,
dianggap sebagai mujtahid mutlaq dan marja (Haneef, 1995). Begitu juga Umer Chapra,
dalam buku terbarunya itu, mengetengahkan konsep ekonomi Islam yang
multidisciplinary, sekaligus menunjukkan penguasaannya akan aspek-aspek dirasah
Islamiyah.

Bahkan sejak tahun 1986 lagi hal yang sama juga sudah ditegaskan dalam proceedings
sebuah simposium mengenai Problem of Research in Islamic Economics yang
diselenggarakan oleh The Islamic Research and Training Institute (IRTI), Islamic
Development Bank (IDB). Dalam proceedings itu Prof. Dr. Nevzat Yalcintas
5

mengatakan:

It is natural for Islamic economics to be related to other areas of Islamic
knowledge, because it derives from the same sources as they do and deals
with an aspect of human behaviour whose other aspects are tackled by
other branches of Islamics. Yet Islamic economics has closer ties with
some Islamic disciplines especially ethics, usul, (axioms) fiqh, theology
(Aqidah), and history.
6


4
Lihat Sahih al-Bukhari, Kitab al-Anbiya, no. 8, 14 dan 19.
5
Beliau ketika itu adalah kepala bagian riset IRTI (IDB).
6
Problems of Research in Islamic Economics, Research Papers and Proceedings (Amman: The Royal
Acedemy for Islamic Civilization Research, 1986), 27.
6

Oleh sebab itu beliau mensyaratkan mereka yang menekuni bidang ekonomi Islam dan
membuat riset mengenainya hendaknya memenuhi beberapa kualifikasi:

A researcher working in Islamic economics must have, I believe, the
following academic qualifications in order to be able to contribute in this
new field:

(i) Sound, deep and up-to-date knowledge of economics;
(ii) Solid background of Shariah
(iii) Proficiency in Arabic to be able to use primary sources

I think, these are the basic requirements for any researcher working in
this new domain. Some might find it difficult and unnecessary, especially
for the third qualification. But those who are serious about research will
appreciate it. We have also to bear in mind that no important step in
Islamic studies can be realized without sufficient knowledge of Arabic. As
we have seen in this paper, the ties of Islamic economics with other
branches of Islamics are direct and very strong.
7


Setelah kita melihat keterkaitan antara ekonomi Islam dengan ilmu-ilmu Islam yang lain,
marilah kita masuk kepada metodologi islamisasi ekonomi konvensional itu sendiri. Saya
mengusulkan bahwa islamisasi ekonomi akan mengambil tiga bentuk pendekatan yang
adil terhadap ekonomi konvensional:
(i) Pendekatan Menolak (negation)
(ii) Pendekatan Memadukan (integration)
(iii) Pendekatan Menambah Nilai (value addition)

Pendekatan Menolak (negation)

Unsur negation, seperti juga unsur menolak (nafi) tuhan-tuhan selain Allah (la ilaha illa
Allah), adalah bahagian dari proses Islamisasi.
8
Oleh sebab itu, dalam konteks islamisasi
ekonomi, tidak semua paradigma ekonomi konvensional bisa diterima masuk dalam
ekonomi Islam. Sebagian paradigma ekonomi konvensional, bahkan mungkin bagian
yang paling fundamentalnya, harus ditolak dan tidak bisa dikompromikan dengan ajaran
Islam. Umer Chapra (2002) dalam hal ini menyatakan:

The paradigms of both disciplines are radically different. The Islamic
paradigm is not secularist, value-neutral, materialist and social-
Darwinist. It is rather based on a number of concepts which strike at the
root of these doctrines.


7
Ibid., 40.
8
Dalam masyarakat jahiliyyah, Allah adalah salah satu dari tuhan-tuhan yang banyak. Dalam proses
Islamisasi, tuhan-tuhan yang banyak itu ditolak dan dinafikan, dan Islam hanya menetapkan satu Tuhan
saja yaitu Allah.
7
Jelas sekali unsur-unsur sekularisme, faham kebebasan nilai, materialisme dan
darwinisme sosial mesti ditolak dari pandangan hidup ekonomi Islam. Sebelum buku The
Future of Economics terbit, dalam karyanya Islam and the Economic Challenge, Chapra
juga sudah menyatakan pentingnya mekanisme filter (penyaringan) yang perlu dalam
proses islamisasi ekonomi. Sebagai contoh, paradigma ekonomi konvensional yang
menyatakan bahwa problem ekonomi bermula dengan kelangkaan sumber (scarcity of
resources) untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas (unlimited wants) harus
disaring dahulu oleh moral filter, sebelum masuk dalam diskursus ekonomi Islam.
Katanya:

Islam makes it incumbent upon all Muslims to pass their potential claims
on resources through the filter of Islamic values so that many are
eliminated before they can be expressed in the market place. In this way
claims on resources that do not contribute to positively to or which divert
from the realisation of human well-being are eliminated at source before
exposure to the second filter of market price.
9


Walaupun Chapra membincangkan mekanisme filter secara spesifik, tetapi konsep
filter yang lebih umum dapat juga diterapkan dalam proses penyaringan paradigma
ekonomi konvensional yang tidak sejalan dengan paradigma Islam. Dalam hal ini
tentulah dengan cara menolak (negation) dan membuangnya (elimination).

Sejajar dengan Chapra, pemikir ekonomi Islam yang lain, Baqir al-Sadr, juga
mengemukaan hal yang sama. Beliau bahkan lebih radikal lagi dengan mengatakan
bahwa ekonomi Islam itu adalah mazhab ekonomi Islam (al-mazhab al-iqtisadi li al-
islam) yang berbeda sama sekali dengan mazhab ekonomi kapitalis atau sosialis dan
komunis. Kata al-Sadr (1991):

Ketika kita mengatakan perkataan ekonomi Islam hal ini tidaklah
bermaksud secara langsung ilmu ekonomi politik, karena ilmu ini secara
relatifnya baru saja muncul. Selain itu, Islam [yang lebih lama muncul]
adalah agama dakwah dan jalan kehidupan, dan bukan tugas utamanya
untuk melakukan penelitian ilmiah tersebut. . . .Oleh sebab itu apa yang
kita maksudkan dengan ekonomi Islam adalah mazhab ekonomi Islam
yang merealisasikan cara-cara Islam dalam mengatur kehidupan
berekonomi. Dengan segala apa yang dimiliki oleh mazhab ini dan
dengan segala apa yang ditunjukkan oleh inti pemikirannya, [ekonomi
Islam] menggabungkan pemikiran-pemikiran Islam dalam akhlak,
keilmuan, ekonomi, dan sejarah lantas mengaitkannya dengan masalah-
masalah ekonomi politik [seperti dalam kasus kapitalisme] ataupun
dengan analisa sejarah masyarakat manusia [seperti dalam kasus
marxisme].


9
Idem., Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation, 1992), 215. Dalam
bukunya yang terbaru Chapra juga membincangkan peranan Islamic filter ini dalam menyaring
paradigma ekonomi konvensional yang tidak sejalan dengan Islam. Lihat. Hal. 814.
8
Bahkan al-Sadr berani mengklaim bahwa ekonomi Islam itu bukan dan belum bersifat
sains selagimana belum terlaksananya Islam dalam kehidupan bermasyarakat yang
dengannya data dan fakta lengkap tentang ekonomi itu bisa diambil untuk membentuk
ilmu ekonomi Islam positif. Jelas sekali dalam hal ini bahwa al-Sadr sedang memberi
penekanan pada metode inductive sains itu sendiri. Walaupun begitu, al-Sadr juga
mengakui cara lain untuk membayangkan kewujudan ilmu ekonomi Islam, tanpa mesti
didahului oleh terwujudnya masyarakat Islam yang sempurna, yaitu dengan
menggunakan teori ajaran-ajaran Islam yang bisa memformulasikan teori ekonomi Islam
,
10
yaitu dengan mengemukakan metode deductive sains. Karena masih menyebelahi
sains yang bersifat inductive keadaan terkahir inilah yang juga disebut oleh
Muhammad Nejatullah Siddiqi sebagai ilmu ekonomi Islam yang masih bersifat
ideational and not empirical (Siddiqi, 1989). atau oleh Muhammad Akram Khan,
sebagai sekedar statement of the Shariah position on economic issues. (Khan, 1989).
Walaupun begitu, bagi saya kedua-dua pendekatan induksi dan deduksi ini sebenarnya
bisa dilakukan sekaligus dalam merangka teori-teori ekonomi Islam. Ahli filsafat sains
modern, seperti Karl Popper (1902-1994), yang sempat mengajar di London School of
Economics, tidak menganggap induksi itu sebagai dasar metodologi dalam sains.
11
Sains
adalah disiplin ilmu yang memiliki scientific research programmes (SRP), kata Imre
Lakatos (1922-1974), juga salah seorang ahli filsafat sains yang pernah mengajar di
London School of Economics.
12
Oleh sebab itu, ilmu ekonomi Islam juga bisa bersifat
sains, kalau memang ada SRP-nya.

Apapun keadaannya, penolakan (negation) unsur-unsur paradigma ekonomi
kanvensional, baik secara ilmu ataupun secara amal, akan tetap menjadi bagian penting
dalam proses islamisasi ekonomi. Hal itu terlihat dalam pandangan-pandangan para
sarjana ekonomi Islam yang kita sebutkan di atas yang menyatakan bahwa Islam
mempunyai sisi perbedaan yang tersendiri dari ekonomi konvensional. Barangkali contoh
yang paling terang yang dapat dikemukakan dalam kasus negation paradigma ekonomi
konvensional adalah kasus riba. Secara konsensusnya diskursus tentang riba (usury;
interest)
13
tidak akan masuk dalam, dan harus dibuang dari, ilmu ekonomi Islam.

10
Dalam hal ini Sardar mengkhususkan satu bab dengan judul al-Iqtisad al-Islami laysa Ilman
(Ekonomi Islam bukan Sains).
11
Popper lebih dikenali sebagai penggagas metode falsification dalam sains. Dalam sebuah kamus fisafat
diterangkan: Popper offered a dramatic solution to the classical problem of induction. David Hume had
shown that inductive procedures are invalid, and yet induction seems to be the basic method of science,
in that individual instances are taken to confirm general hypotheses. On Poppers account, science does
not depend on induction, since it is not confirmation but refutation that is at the core of scientific
method. Lihat, Penguin Dictionary of Philosophy, ed. Thomas Mautner (Middlesex: Penguin Books,
1997), 433-434.
12
Imre Laktos, The Methodology of Scientific Research Programmes, ed. John Worral and Gregory Currie
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984, first published 1978). Lakatos mengatakan: But all the
research programmes I admire have one characteristic in common. They all predict novel facts, facts
which had been either undreamt of, or have indeed been contradicted by previous or rival programmes. . .
Thus, in a progressive research programme, theory leads to the discovery of hitherto unknown facts. In
degenerating programmes, however, theories are fabricated only in order to accommodate known facts.
(h. 5). . . .If we have two rival research programmes, and one is progressing while the other is
degenerating , scientists tend to join the progressive programme. (h. 6)
13
Perbedaan riba dengan bunga bank adalah perbedaan kadar (degree) saja dan bukan perbedaan jenis
(kind). Kedua-duanya tidak diterima oleh Islam. Seperti juga konsep syirik ada yang terang (jaliy) seperti
9

Pendekatan Memadukan (integration)

Selain menolak yang tidak sesuai, Islam juga mengakui kebaikan-kebaikan yang ada pada
pada sistem lain. Hikmah adalah barang mukmin yang tercicir, dimana saja ia
mendapatinya, maka ia lebih berhak untuk mengambilnya. Seperti yang telah disentuh
di awal makalah ini, banyak unsur-unsur ekonomi konvensional yang bisa dipakai dalam
ekonomi Islam. Dalam hal ini tugas ekonomi Islam adalah mengambilnya dan
menjadikannya sebagai sebagian darinya. Sekali lagi kita melihat pendekatan Dr. Umer
Chapra dalam buku terbarunya itu ketika diberikan ulasan oleh seorang ahli ekonomi
Islam kondang lainnya, Prof. Khurshid Ahmad, dalam pendahuluan buku itu.

As a professional economist Dr. Chapra is aware of the usefulness as well
as the limitations of economics as it has developed in the Western
capitalist context. Conscious of the intrinsic value of economic analysis
and the contributions it can make towards the amelioration of the human
situation on the globe, he identifies the weaknesses that have marred the
discipline from playing its rightful role. His approach is not negative, it is
positive and creative. He identifies where things have gone wrong and
suggests what is needed to set them right. He is not an iconoclast. He is an
innovator and a reformer who wants to build on what exists, yet build in a
manner that rectifies what has gone wrong.
14


Integralisme juga adalah salah satu unsur islamisasi. Ekonomi konvensional yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam mesti diterima oleh ekonomi Islam. Oleh sebab itu,
ilmu ekonomi konvensional mestilah dikuasai juga oleh para sarjana ekonomi Islam.
Dengan perkataan lain, mereka yang ingin mengislamkan ekonomi konvensional mestilah
lulusan fakultas ekonomi juga, supaya mengetahui mana hak-hak ilmu ekonomi yang
mesti dihargai dan diapresiasi. Menolak mentah-mentah satu bidang ilmu yang tidak
dikuasainya atas nama Islam merupakan satu kejahilan dan kebodohan yang merugikan
Islam sendiri. Al-Ghazali, sembilan abad yang lalu, ketika membincangkan bagian-
bagian ilmu filsafat yang bisa diintegrasikan dengan Islam, telah memperingatkan kita
akan wujudnya golongan yang membela Islam tetapi kurang ilmu (sadiq li al-Islam
jahil). Golongan ini, dengan sikap mereka itu, menurut beliau turut memberi andil dalam
menjadikan filsafat semakin dicintai dan Islam semakin dibenci (fazdada li al-falsafah
hubban wa li al-Islam bughdhan), karena mereka menyerang filsafat serampangan tanpa
ilmu yang cukup.
15
Begitu juga dengan ilmu ekonomi konvensional, apabila tidak
diberikan penilaian yang sewajarnya, atau bahkan ditolak secara serampangan begitu saja
tanpa ilmu, walaupun atas semangat Islam, maka bisa jadi akan membawa dampak yang
sama, yaitu ilmu ekonomi Islam semakin tidak disukai, manakala ilmu ekonomi

menyembah berhala, dan samar (khafiy) seperti riya, dan kedua-dua syirik itu tidak dikehendaki oleh
Islam, maka Islam ingin menghapuskan semua bentuk kemusyrikan, dan membawa manusia hanya
kepada tauhid saja.
14
Lihat forward Khurshid Ahmad hal. xvii.
15
Lihat al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalal, ed. Abdul Halim Mahmud dalam al-Majmuat al-Kamilah
li Muallafat al-Duktur Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar al-Kutub al-Misri, 1990), 8: 102.
10
konvensional akan semakin dicintai. Sudah tentu proses sosialisasi ekonomi Islam akan
tersekat dan terhambat dengan sikap yang seperti itu.

Pendekatan integralisme adalah salah satu metodologi islamisasi sejak zaman berzaman.
Rasulullah (s.a.w.) sendiri di utus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Apa-apa saja akhlak dan perbuatan yang baik di zaman jahiliah, maka Rasulullah (s.a.w.)
mengekalkannya dan bahkan menyempurnakan kebaikannya. Sifat dermawan (karam)
pada era pra-Islam, dikekalkan dan disempurnakan lagi dalam Islam. Dalam contoh kasus
ekonomi, muamalah mudharabah yang berasal dari amalan jahiliyah, yang beliau dan
Siti Khadijah pernah mengamalkannya sebelum diangkat menjadi Nabi, dikekalkan
dalam Islam, dan bahkan peraturan-peraturannya disempurnakan lagi dalam fikih Islam
nantinya. Begitu juga penggunaan uang emas (Dinar) Romawi yang bahkan tertera pada
dua sisinya gambar dan lambang raja-raja mereka, Rasulullah (s.a.w.) tidak mengusiknya
sama sekali.
16
Malahan mata uang itu juga yang digunakan untuk membayar zakat dan
jual beli dalam masyarakat Islam di zaman Abu Bakar juga.
17


Dalam sejarah peradaban Islam, tidak semua ilmu-ilmu yang bersumber dari peradaban
Yunani dibuang begitu saja. Sebagiannya bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Buku-buku kedokteran Galen (Jalinus), astronomi Ptolemy, dan sebagian filsafat Plato
dan Aristoteles yang tidak bertentangan dengan Islam, dipersilahkan masuk dalam
peradaban Islam. Selagi ilmu-ilmu itu adalah hikmah maka semua itu adalah barang
mukmin yang tercecer yang perlu diambil oleh orang-orang yang beriman. Oleh sebab
itu, ilmu ekonomi konvensional pada hari ini tidak terkecuali dari metodologi
integration Islam sepanjang zaman. Hakikat bahwa disiplin ekonomi itu lahir dari
peradaban barat tidak membutakan mata para sarjana Muslim untuk bersikap adil dalam
mengakui sumbangan mereka. Tanpa integralisme ini, untuk apa kita sibuk-sibuk
membuat ekonomi Islam, padahal kita masih lagi menggunakan istilah ekonomi yang
diciptakan dalam peradaban Barat. Jadi bukti yang kokoh bahwa integralisme itu penting
adalah kita tetap memakai terminologi ekonomi Islam atau ekonomi Syariah tanpa
bisa keluar dari istilah ekonomi itu sendiri.

Pendekatan Menambah Nilai (value addition)

Ekonomi Islam juga bisa memberi sesuatu yang baru, yang lebih baik, dan yang lebih
bermanfaat bagi kehidupan berekonomi umat manusia. Pada tataran ini peranan
islamisasi ekonomi adalah dengan memasukkan nilai-nilai khusus Islam yang tidak ada
pada pada ekonomi konvensional. Konsep zakat, misalnya, hanya ada dalam ekonomi
Islam dan tidak ada pada ekonomi konvensional. Memang kita mengenal konsep cukai
atau pajak, tetapi konsep zakat berbeda dengan pajak. Alasan wujudnya pajak adalah
karena wujudnya pemerintahan. Jadi kalau pemerintahan tidak ada maka pajak juga tidak
ada. Tetapi dalam ekonomi Islam, zakat akan tetap ada, baik pemerintahan ada ataupun

16
Lihat al-Maqrizi, al-Nuqud al-Islamiyyah, ed. Muhammad al-Sayyid Ali Bahr al-Ulum (Qum:
Intisyarat al-Syarif al-Radhi, 1967), 8.
17
Lihat Ugi Suharto, Dinar Sebagai Asas Pengukuhan Sistem Keuangan Islam di Malaysia, makalah
yang disampaikan dalam seminar keuangan Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Syariah dan
Pengurusan, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, pada 18 Juni 2002.
11
tiada. Selain itu fungsi zakat lebih berorientasi kepada distribusi, dan bukan pada koleksi.
Maksudnya adalah, kita bisa membayar zakat langsung kepada mereka yang berhak
menerimanya, tanpa melalui perantara. Sedangkan pajak perlu dibayar pada pemerintah
dahulu, sebagai perantara, baru dibagikan kepada rakyat. Jadi pajak perlu pada koleksi
dahulu baru distribusi, sedangkan zakat bisa tidak. Jelas dalam hal-hal seperti ini zakat
adalah satu value added (nilai tambah) kepada sistem pajak, karena tujuan pajak bisa juga
dicapai oleh zakat, bahkan lebih cepat lagi.

Contoh yang lainnya adalah sistem mudharabah , atau dengan nama lain qiradh ,
yang merupakan ciri khas partnesrship dalam ekonomi Islam yang tidak ada pada sistem
lain. Dalam sejarahnya mudharabah sempat mempengaruhi metode pertnership dunia
Eropah abad pertengahan dengan nama Commenda. Seorang sarjana sejarah asal
Perancis, Andre-E Sayous dalam bukunya Le Commerce des Europeens a Tunis depuis le
XII siecle jusqua la fin de XVIe (Paris: 1929) menyatakan:

Orang-orang Islam di abad ke 10-11 telah memiliki metode perdagangan
yang lebih sempurna dari, dan tak tertandingkan dengan, orang-orang
Eropa. Sejak era Muhammad, bahkan tak diragukan lagi sejak zaman pra-
Islam, sejenis kontrak yang mengandungi pengembalian uang dan
partisipasi dalam keuntungan yang dihasilkan, telah ada dalam satu
bentuk yang hampir sama dengan commenda yang muncul tidak lama
setelah itu di negeri-negeri Kristen bagian Barat Mediterranean..Eropa
Kristen tidak bisa mengungguli mereka (Cizakta, 1996).

Ahli sejarah ekonomi yang lain, Abraham L. Udovitch, bahkan menyatakan bahwa
metode commenda yang berkembang kemudian di Eropa mempunyai ciri yang secara
keseluruhannya sama dengan qiradh atau mudharabah dalam ekonomi Islam yang
lebih maju dari Eropa di abad 9, 10, dan 11 Masehi. Dalam paragraf terakhir artikelnya
yang sempat menggemparkan sejarawan Barat itu, Udovitc mengatakan:

The qirad, it can be unequivocally stated, is the earliest example of a
commercial arrangement identical with the latter commenda, and
containing all its essential features. Whether the qirad was taken over
wholesale by Italian sea merchants and transformed into the commenda
or evolved independently to meet a need created by commercial expansion
is something which cannot be stated with certainty. However, even in the
darkest period of the Dark Ages trade between the Catholic West and the
Muslim World did not come to a complete standstill. The political and
economic contracts between Islam and the West during the eight, ninth,
and tenth centuries offered Western merchants numerous and convenient
opportunities to learn and adopt commercial techniques and practices
from their more advanced Eastern colleagues (Udovitc, 1962).

Berdasarkan penelitiannya juga, seorang sejarawan ekonomi Muslim, Murat Cizakca,
menyatakan secara tegas bahwa commenda berasal dari dunia Islam. Dalam bukunya
yang diterbitkan oleh E.J. Brill itu, Prof. Cizakca manyatakan:
12

it should be up to those who argue that commenda originated from non-
Islamic sources to furnish the proof. Until they are able to do so, this
author, at least, feels safer with the argument that commenda originated
in the world of Islam.
18


Banyak lagi konsep-konsep ekonomi Islam yang mempunyai nilai tambah kepada
ekonomi konvensional., baik secara keilmuan ataupun secara praktek. Disinilah peranan
para ekonom Muslim untuk membuat riset dan penelitian dalam sejarah pemikiran dan
lembaga ekonomi Islam untuk ditampilkan kembali dalam persada ekonomi
konvensional. Banyak buku-buku turats Islam yang masih perlu dikaji terutamanya yang
berhubungan langsung dengan skop perekonomian. Literatur mengenai hisbah, kharaj,
amwal, kasb, nuqud, tijarah, dll., adalah diantara sumber-sumber rujukan langsung
mengenai sejarah pemikiran dan lembaga ekonomi Islam (Ormon, 1997 and 1998) .

Tidak dapat dinafikan juga bahwa ide dan praktek ekonomi Islam kontemporer telah
menyumbang kepada nilai tambah ekonomi konvensional. Ide tentang Islamic banking,
Islamic insurance, Islamic Dinar, dll., merupakan contoh-contoh gagasan baru yang
mendapat perhatian ekonomi konvensional. Walapupn begitu masih banyak lagi tugas
ekonomi Islam yang harus dipikul untuk memperbaiki lagi kondisi ekonomi dunia masa
depan. Ekonomi Islam diharapkan bisa menjadi the future economics, meminjam istilah
Chapra, yang mempunyai tugas yang jauh lebih susah dari ekonomi konvensional (a
task far more difficult than conventional economics) (Chapra, 2002).

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kemunculan disiplin atau ilmu-ilmu yang baru
berbanding lurus dengan kemunculan peradaban (umran) yang melahirkannya.
Peradaban Islam pernah melahirkan ilmu-ilmu baru, begitu juga peradaban Barat.
Apabila peradaban Islam kembali muncul, maka akan lahirlah sintesis ilmu-ilmu Islam
yang baru. Sebenarnya peradaban dan tamaddun Islam tidaklah mati, karena selagimana
ada Dinul Islam dan orang-orang Islam itu sendiri tamaddun Islam itu tetap ada.
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menyatakan begini:

tamaddun Islam juga memiliki sifat yang tersendiri yang
memungkinkannya kekal dan bukan menjadi sebahagian sejarah lampau.
Ini karena adanya pertalian yang erat antara tamaddun Islam dengan ad-
din itu sendiri. Pertalian ini sangat ketara pada tataran etymology, yang
mana menurut Prof. al-Attas, perkataan tamaddun berkait rapat dengan
perkataan din. Bertolak dari konsep ini dapatlah dikatakan bahwa
tamaddun Islam adalah penzahiran aspek-aspek ad-din dalam kehidupan.
Derajat penzahiran ini bisa menjadi luas dan besar serta menguasai
kehidupan manusia seperti mana yang terjadi dalam sejarah Islam. Hal
itu bisa jadi juga terbatas dalam aspek-aspek tertentu seperti yang terjadi
dalam kehidupan hari ini. Tetapi walau sekecil manapun derajat
penzahiran itu, tamaddun Islam tetap wujud. Ini bermakna bahwa selagi

18
Prof. Dr. Murat Cizakca pernah menjadi Visiting Professor di ISTAC dan penulis makalah ini sempat
mengambil mata kuliah beliau ketika di ISTAC.
13
di sana ada agama Islam dan umat Islam, maka selagi itu pula tamaddun
Islam tetap ada (Suharto, 1998).

Pada hari ini bidang ekonomi Islam, khususnya perbankan Islam, sedang bergerak maju
kedepan dengan terobosan-terobosan produk baru yang mau tak mau diakui dan diikuti
juga oleh bank-bank konvensional. Pohon peradaban dan tamaddun Islam kini mulai
berputik kembali dengan kemunculan upaya-upaya seperti itu. Pada tataran ini ekonomi
Islam merupakan suatu ekonomi yang universal yang bisa dinikmati oleh siapa saja, baik
Muslim atau non-Muslim. Pada pendekatan value addition ini juga ekonomi Islam
memunculkan dirinya menjadi ekonomi rahmatan lil alamin.

Pendekatan negation, intergration dan value addition dalam proses sosialisasi ekonomi
Islam itu mestilah berjalan serentak. Oleh sebab itu ekonomi Islam harus membangun
dirinya dengan kebijaksanaan. Ia menolak yang buruk, menerima yang baik, dan
menambah lagi kebaikan yang ada sekaligus. Pada tataran pendekatan negation, sikap
ekonomi Islam mestilah tegas dan tidak kompromi. Karena tataran inilah yang
merupakan pembeda (furqan) antara ekonomi Islam dan ekonomi bukan Islam. Pada
tataran pendekatan integration pula, sikap ekonomi Islam adalah merangkul dan
menyambut baik segala kebaikan dan manfaat ekonomi konvensional. Sementara pada
tataran value addition, sikap ekonomi Islam adalah tidak memaksa orang lain untuk
mengikuti ekonominya, seperti tercermin dalam sikap la ikraha fid din (tidak ada paksaan
dalam agama).

Ekonomi Islam juga menerima kritik dan komentar untuk mendewasakan dirinya.
Karena, disela-sela tumbuhnya literatur yang menyokong ekonomi Islam, disana juga
tidak kurang literatur yang mengkritik ide dan pelaksanaan ekonomi Islam, khususnya
perbankan Islam, baik dari kalangan orang Islam sendiri ataupun dari kalangan bukan
Islam (Jomo and haque, 1993 and 1995). Apakah kritik-kritik itu valid atau tidak,
ekonomi Islam harus juga mampu berdialog dan membersihkan dirinya dari tuduhan-
tuduhan yang dikenakan ke atasnya. Kita mesti sadar bahwa gerakan ekonomi Islam ini
diperhatikan oleh para sarjana yang bukan Islam juga diseluruh dunia. Kalau memang
kita bisa memberikan nilai tambah kepada perekonomian yang ada, dengan sendirinya
mereka yang jujur akan mengakuinya juga. Kritk biasanya muncul karena adanya
islamisasi yang bersifat kosmetik yang hanya memoles bagian luar saja, sementara
yang dalam tidak tersentuh sama sekali. Tidak heran apabila seorang pengamat non-
Muslim, misalnya, membuat komentar antara pelaksanaan perbankan Islam di Pakistan
dan di negara-negara Arab:

In Pakistan, the government imposed the Islamisation of the economy in
1985. This process was carried out without serious attention to Islamic
legal doctrine, leaving the interest-based banking system fundamentally
unchanged, but covering it with an Islamic varnish. Thus much of the
scholarly literature relating to the Pakistani system either discusses
theories which are totally irrelevant to actual Islamic banking practice, or
lists the verious ruses used to hide interest-based banking practice in
Islamic terminology. This hypocrisy has led the few Western bankers who
14
know of Islamic banking to see it as a mere semantic sacralization of
normal banking, and to discount its originality and importance. While
these conclusions founded with respect to the Pakistani system, they are
much less so in relation to Arab Islamic banking, which is developing a
system based on the framework provided by medieval Islamic law (Ray,
1995).

Hal yang sama juga disuarakan oleh Umer Chapra:

Islamization was introduced in Pakistan by President Ziaul Haq in July
1979. He certainly deserves credit for taking the initiative. Since this was
done in response to popular demand, there was whole-hearted public
support for the same. However, even though the Council of Islamic
Ideology had clearly warned that the elimination of interest is but a part
of the overall value system of Islam and this measure alone cannot be
expected to transform the entire economic system in accordance with the
Islamic vision, no serious effort was made to implement the
recommendations of the Council or to introduce greater integrity into the
financial system (Chapra, 2002).

Apa saja yang dikaitkan dengan Islam, tidak terkecuali ekonomi Islam, akan diteliti dari
berbagai seginya yang berhubungan dengan Islam itu sendiri. Oleh sebab itu ekonomi
Islam bukan sekedar ekonomi syariah. Ia adalah ekonomi yang melambangkan
peradaban dan tamaddun Islam yang luas. Dalam hal ini kaitan ilmu ekonomi Islam
dengan ilmu-ilmu Islam jelas bukan hanya dengan ilmu fikih saja, tetapi dengan ilmu-
ilmu yang lain juga yang terkait dengan peradaban Islam itu sendiri.

Islamic World-view

Metodologi negation, integration dan value addition yang kita sebutkan di atas tidak lain
adalah teknik dan cara mengislamkan ilmu ekonomi konvensional khususnya, dan bisa
juga untuk ilmu-ilmu konvensional yang lain umumnya. Namun ada sesuatu yang lebih
fundamental dari sekedar metodologi tersebut yang perlu diperhatikan supaya proses
Islamisasi itu tepat mengenai sasarannya dan tidak dikelirukan oleh proses-proses yang
malah menghambatnya. Karena bisa jadi, ranting-ranting metodologi Islamisasi itu
seakan-akan membantu proses Islamisasi ekonomi keseluruhannya, padahal ia menyekat
hakikat yang sebenarnya. Sebagai contoh, metodologi masjid dhirar di zaman Nabi
yang secara lahirnya mendirikan masjid yang merupakan salah satu lembaga Islam paling
suci untuk menyokong proses Islamisasi, namun apabila didirikan sebagai sebuah
counter-program, hal itu sebenarnya menghambat Islamisasi. Secara sederhananya
seharusnya Rasulullah (s.a.w.) melakukan metodologi integration terhadap masjid yang
didirikan itu, namun apa yang dilakukan oleh beliau adalah malah malaksanakan
metodologi negation dengan membakar dan memusnahkan masjid tersebut. Ini berarti
ada sesuatu yang lebih dasar dan pokok dalam menentukan mana yang perlu ditolak,
dipadukan, atau ditambah nilai dalam proses Islamisasi. Hal yang pokok dan fundamental
itulah yang kita maksudkan dengan pandangan hidup Islam (Islamic world-view) itu
15
sendiri. Proses Islamisasi pandangan hidup (Islamisation of world-view) inilah yang akan
membimbing dan mengarahkan metodologi negation, integration, dan value addition
dalam proses Islamisasi sesuatu disiplin, tidak terkecuali disiplin ekonomi konvensional.

Seperti yang telah kita sentuh sepintas di awal tulisan ini, Islamic world-view adalah
pandangan hidup Islam yang tidak berubah oleh ruang dan waktu. Ia merupakan usul
Islam, qati Islam, muhkam Islam, malum Islam, tsawabit Islam, ijma Islam, dan intipati
Islam itu sendiri dalam hal-hal pengenalan (marifah) terhadap sifat-sifat Tuhan, hakikat
wahyu, hakikat alam semesta, hakikat diri manusia, hakikat ilmu, hakikat agama, hakikat
kebahagiaan, hakikat nilai dan akhlak, hakikat kebahagiaan dan lain-lain. Pada hari ini
hakikat-hakikat itu telah dikelirukan oleh filsafat dan peradaban Barat, sehingga umat
Islam menjadi keliru dalam memahami agama mereka sendiri. Sebagai contoh, semakin
banyak orang Islam yang terpengaruh dengan cara berfikir orang Barat dan mengatakan
semua agama sama. Kalau pemahaman seperti ini tidak dibereskan dahulu, apa perlunya
kita sibuk-sibuk membangun ekonomi Islam, kalau Islam sama dengan yang lain? Kita
ambil contoh di Indonesia, kalau orang-orang islib sudah berani menyatakan tidak ada
syariaat Islam,
19
dimana akan ada ekonomi syariah? Kalau mereka ingin membuat al-
Quran edisi kritis,
20
maka sudah pasti bukan ekonomi Islam saja yang tidak akan pernah
muncul, bahkan Islam itu sendiri akan hancur. Jelas sekali isu-isu yang mereka
kemukakan itu sangat berkait dengan masalah Islamic world-view. Dengan perkataan
lain, pendapat-pendapat mereka yang seperti itu sebenarnya sudah keluar dari Islamic
world-view. Jadi kalau hal ini tidak dibenahi dahulu, bahkan kalau hal ini diterima oleh
orang-orang Islam, maka tidak ada artinya Islamisasi sama sekali. Coba kita bayangkan
kalau pendapat-pendapat yang seperti itu diterima oleh sarjana ekonomi yang beragama
Islam, mungkinkah kita harapkan dari pemikirannya akan terpancar konsep ekonomi
Islam?

Masalahnya adalah, fahaman-fahaman yang outside Islamic world-view itu kini mulai
disebarkan di perguruan tinggi Islam itu sendiri! Kini kita akan dapati dosen yang
mengajar Ulum al-Quran, tapi ragu akan authenticity al-Quran. Guru besar yang
mengajar pemikiran Islam, tapi mengatakan semua agama sama. Mungkinkah akan lahir
pemikiran ekonomi Islam dari orang-orang ini ataupun dari murid-murid yang patuh pada
mereka? Sebenarnya kita akan berhadapan dengan mereka dahulu sebelum berdepan
dengan orang-orang non-Muslim kalau mereka menolak ekonomi Islam. Jadi jelaslahlah
bahwa mengislamkan kembali world-view merupakan prasyarat proses kearah Islamisasi
ekonomi itu sendiri. Dengan perkataan lain, disebalik masalah ilmu ekonomi yang ingin
kita selesaikan, disana ada masalah yang lebih mendasar lagi yang perlu ditangani juga,
yaitu masalah world-view. Oleh sebab itu, sebenarnya masalah ekonomi Islam dapat
diibaratkan seperti hanya sebungkah kecil gunung es yang muncul dipermukaan masalah

19
Lihat Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal (Jakarta: Gema Insani Press,
2003), 33. Salah seorang anggota islib, Luthfi Assyaukanie, mengatakan dengan tanpa malu-malu lagi:
Saya pribadi menganggap bahwa konsep syariat Islam tidak ada. Itu adalah karangan orang-orang
yang datang belakangan yang memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam (sama seperti negara
Islam, ekonomi Islam, bank Islam, matematika Islam, etc).
20
Lihat dialog interaktif antara penulis dengan salah seorang anggota islib, Taufik Adnan Amal, dalam:
Ugi Suharto, Upaya Meruntuhkan Mushaf Utsmani Dari Dahulu Sehingga Kini, al-Hikmah Forum
ISTAC (Bil. 1, Tahun 8, 2002), hal. 32-40.
16
pandangan hidup Islam itu sendiri. (The problem of Islamic economics is only a tip on the
iceberg of that of the Islamic world-view).

Peranan Epistemologi Islam

Seperti yang telah kita sebut di atas, salah satu unsur pandangan hidup Islam adalah
pengenalan akan hakikat ilmu itu sendiri. Dalam konteks ini saya ingin menarik
perhatian pembaca bahwa Islam menyatakan manusia itu bisa menerima ilmu. Sengaja
perkataan bisa itu saya beri garis miring, karena ada world-view yang menyatakan bahwa
manusia itu tidak bisa menerima ilmu. Pandangan hidup yang menyatakan bahwa
manusia tidak bisa menerima ilmu seperti ini sebenarnya bukan satu pandangan yang
baru. Sejarah telah mengenalinya sejak zaman peradaban Yunani lagi, yaitu sekitar 5
abad sebelum Masehi. Pandangan ini disebut sebagai Sophists (Hatta, 1982). Perkataan
sophistry dan sophisticated dalam bahasa Inggris berasal dari perkataan sophist itu juga.
(Ayto, 1999) Apabila fahaman mereka masuk dalam peradaban Islam, orang-orang Islam
memanggil fahaman ini dengan panggilan Sufastaiyyah. Dan oleh karena bahayanya
world-view sufastaiyyah terhadap akidah Islam ini, maka para ulama tauhid
memasukkan faham ini sebagai faham yang bertentangan dengan akidah Islam.
Pernyataan yang paling jelas telah dikemukakan oleh seorang ulama akidah abad ke 6
Hijrah yang bernama Umar Najmuddin al-Nasafi (w. 537/1142) dalam buku akidahnya
yang terkenal di seluruh dunia Islam yaitu al-Aqaid al-Nasafiyyah (Al-Attas, 1988).

Buku ini telah diberi komentar oleh banyak ulama, namun diantara komentar yang paling
terkenal adalah apa yang dibuat oleh Saduddin al-Taftazani (w. 791/1387). Dalam
komentarnya, al-Taftazani menyebutkan tiga golongan Sufastaiyyah: (1) al-Inadiyyah,
(2) al-Indiyyah, dan (3) al-Laadriyyah (Elder, 1950). Saya hanya ingin mengambil satu
contoh saja dalam hal ini, yaitu golongan yang kedua, al-Indiyyah, yang menyatakan
bahwa kebenaran itu bersifat subjektif. Kebenaran dan ilmu itu tergantung dengan
orangnya, tempatnya, dan waktunya. Lain orang lain pandangannya dan pemahamannya,
karena beda tempat dan waktunya. Kebenaran yang dahulu, mungkin sekarang salah, dan
kesalahan yang dulu mungkin sekarang benar. Bagi mereka tidak ada kebenaran bersama
yang mutlak yang senantiasa benar baik dulu, kini, ataupun nanti. Ringkasnya, tidak ada
kebenaran yang universal; kebenaran adalah relatif. Nah, apabila fahaman ini diterima
oleh umat Islam, jangan harap akan ada ekonomi Islam. Sebagai konsekwensi logisnya
malah Islam itu sendiri yang akan hilang. Jadi epistemologi Islam yang ditanamkan
dalam buku-buku aqidah mempunyai tujuan untuk menjaga ilmu supaya tidak hancur dan
dirusak oleh fahaman yang sebaliknya.

Kita ambil contoh lagi pada hari ini berkembangnya faham deconstruction yang
dipelopori oleh aliran filsafat post-modernism. Bagi fahaman ini, apa-apa disiplin yang
sudah mapan harus dibongkar lagi, supaya disiplin tadi tidak menghalang seseorang dari
mengetahui perkara yang sebenarnya, terutama dalam kasus-kasus sejarah. Coba
bayangkan apabila al-Quran itu ingin di deconstruct seperti yang diinginkan oleh
Muhammad Arkoun, pemikir liberal dari Algeria, apakah akan ada Islam lagi?
Bagaimana pula dengan ekonomi Islam, kalau al-Quran itu harus dibongkar pasang lagi?

17
Prinsip pertama Islamisasi ilmu adalah memahami bahwa suatu epistemologi, disiplin,
dan sains itu tidak netral. Semua itu adalah produk peradaban yang melatarbelakanginya
dan yang berfihak kepadanya. Epistemologi Islam, disiplin Islam , dan sains Islam yang
lahir dalam peradaban Islam akan memihak pada pandangan hidup Islam. Begitu juga
epistemologi Barat dan sains Barat akan memihak pandangan hidup Barat. Disiplin-
disiplin yang lahir dalam peradaban Islam seperti Ulum al-Quran, Ulum al-Hadits,
Fiqh, Usul al-Fiqh, Kalam, Tasawwuf, dll. menayangkan dan membela pandangan hidup
Islam. Begitu juga disiplin-disiplin yang lahir dari peradaban Barat, seperti Economics,
Political Science, Sociology, Comparative Religion, dll. mencerminkan pandangan hidup
mereka. Karena pandangan hidup Barat itu bercampur aduk antara kebenaran dan
kebatilan, maka hal itu tercermin juga pada disiplin-disiplin yang dilahirkannya. Untuk
melakukan Islamisasi ilmu, maka, inter alia, kita juga perlu deconstruct disiplin-
disiplin Barat itu untuk kita sesuaikan dengan Islamic world-view. Deconstruction yang
seperti itu jelas merupakan bagian dari Islamization. Tetapi deconstruction al-Quran
ataupun Aqidah Islam jelas tidak bisa diterima oleh umat Islam karena itu malah
deislamization. Jadi kita hanya menjadikan deconstruction itu sebagai alat saja,
bukan sebagai faham, seperti yang tumbuh di Barat.

Kita ambil contoh ilmu ekonomi yang nyata-nyata lebih pro kepada kapitalisme,
walaupun di Barat lahir juga lawannya yaitu sosialisme dan marxisme. Kalau kita
deconstruct ilmu ekonomi ini, maka akan nampak bahwa ilmu itu memang membela
dan berfihak pada para kapitalis dan orang-orang kaya yang bermodal saja. Adapun
orang-orang miskin dan yang tidak bermodal, maka tidak ada tempatnya dalam ilmu
ekonomi. Memang topik poverty dibahas dalam ilmu ekonomi pembangunan, tapi jalan
penyelesaiannya adalah hanya pajak dan cukai, tentu dengan berbagai teorinya yang lagi-
lagi memihak pada orang-orang kaya juga. Rupa-rupanya ilmu ekonomi yang kita
pelajari ini menyokong revolusi industri yang terjadi di negara-negara Barat pada abad ke
18. Untuk berindustri harus ada pabrik, dan untuk ada pabrik harus ada modal. Maka
lagi-lagi modal menjadi faktor produksi utama. Kalau ada modal, maka pabrik dan buruh
bisa dibeli. Akibatnya yang kaya akan makin kaya, dan yang miskin akan semakin
miskin, wlaupun kemiskinannya itu mungkin hanyalah bersifat relative poverty.

Persoalannya, dimana letak ekonomi Islam dalam paradigma ekonomi konvensional ini?
Menurut hemat saya, ia mula-mula sekali terletak dalam pemikiran dan pandangan hidup
orang-orang Islam dan para sarjananya. Para sarjana yang melihat dunia ini dengan
pandangan hidup Islam akan tampak olehnya adanya kepincangan dalam kehidupan
ekonomi dunia. Salah satu penyebab kepincangan ini pula adalah ilmu ekonomi yang
diajarkan selama ini. Kalau Prof. Dr. Mubyarto pernah mengatakan bahwa pengajaran
ilmu ekonomi di Indonesia keliru besar karena, para guru dan dosen ekonomi hanya
membebek dengan apa yang diajarkan oleh Amerika. Dan ekonomi yang benar-benar
ekonomi Indonesia tetap belum berkembang karena semua yang diajarkan hanya impor
dan belum cocok dengan kondisi Indonesia,(Majalah Ekonomi Syariah, 2003) maka
begitu juga dengan ekonomi Islam. Beliau menyarankan supaya diadakan upaya-upaya
Indonesianisasi ilmu-ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat
dan bangsa Indonesia, seperti keinginan kita juga untuk mengadakan upaya-upaya
18
Islamisasi ilmu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia seluruhya di dunia
ini dan di akhirat juga.

Wallahu alam bisawaB








References
Al-Attas, S.M.N. (1988) The Oldest Known Malay manuscript: A 16
th
Century Malay Translation of the Aqaid of al-
Nasafi. Kuala Lumpur: Department of Publication University of Malaya.
. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali, (1990). al-Munqidh min al-Dhalal, ed. Abdul Halim Mahmud dalam al-Majmuat al-Kamilah li Muallafat
al-Duktur Abd al-Halim Mahmud : Cairo: Dar al-Kutub al-Misri.
Al-Maqrizi, (1967). Al-Nuqud al-Islamiyyah, ed. Muhammad al-Sayyid Ali Bahr al-Ulum. Qum: Intisyarat al-Syarif al-
Radhi.
Al-Sadr, S.M.B. (1991). Iqtisaduna. Beirut: Dar al-Taaruf li al-Matbuat.
Armas, A. (2003). Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
Ayto, J. (1990). Arcade Dictionary of Word Origins. New York: Arcade Publishing.
Chapra, M.U. (1992). Islam and the Economic Challenge. Leicester: The Islamic Foundation.
. (2000). The Future of Economics An Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation.
Cizakca, M. (1996). A Comparative Evolution of Business Partnership The Islamic World and Europe, with Specific
Reference to the Ottoman Archives. Leiden: E.J. Brill.
Elder E.E. (1950), A Commentary on the Creed of Islam. New York: Columbia University Press.
Haneef, M.A. (1995) Contemporary Islamic Economic Thought. Petaling Jaya: Iqrak.
Haque, Z. (1995). Riba The Moral Economy of Usury, Interest and Profit. Kuala Lumpur: Ikraq.
Hatta, M. (1982) Alam Fikiran Yunani. Kuala Lumpu: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jomo K.S. (1993). Islamic Economic Alternatives Critical Perspectives and New Direction, ed. Jomo K.S. Kuala
Lumpur: Ikraq.
Khan, M. F. (1995). Essays in Islamic Economics. Leicester: The Islamic Foundation.
Khan, M.A. (1989) Islamic Economics: The State of the Art, dalam Readings in the Concept and Methodology of
Islamic Economics, eds. Aidit Ghazali dan Syed Oma. Petaling Jaya: Pelanduk Publications.
Laktos, I. (1984). The Methodology of Scientific Research Programmes, ed. John Worral and Gregory Currie.
Cambridge: Cambridge University Press.
.(1986). Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes dalam Criticism
and the Growth of Knowledge, ed. Imre Lakatos dan Alan Musgrave. Cambridge: Cambridge Univeristy
Press.
Nicholas D.R (1995). Arab Islamic Banking and the Renewal of Islamic Law. London: Graham and Trotman.
19
Orman, S. (1997 and 1998).Sources of the History of Islamic Economic Thought. al-Shajarah Journal of the
International Institute of islamic Thought and Civilization (ISTAC), vol. 2 no. 1 dan vol. 3 no. 2.
Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia Keliru Besar (2003) Majalah Ekonomi Syariah, Jakarta: Ekaba-Usakti, vol. 2,
No. 1. 24.
Penguin Dictionary of Philosophy, ed. Thomas Mautner (Middlesex: Penguin Books, 1997), 433-434.
Problems of Research in Islamic Economics. (1986). Research Papers and Proceedings. Amman: The Royal Acedemy for
Islamic Civilization Research.
Sadeq, A. H. M. (1989). Factor Pricing and Income Distribution from an Islamic Perspective. Journal of Islamic
Economics. Petaling Jaya: International Islamic University, January, 45-64.
Sahih al-Bukhari, Kitab al-Anbiya, no. 8, 14 dan 19.
Sayyid Tahir, S Aidit Ghazali, Syed Omar Syed Agil (eds.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective
(Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd., 1992). Buku ini merupakan kumpulan artikel dari berbagai peneliti
ekonomi Islam.
Siddiqi, M.N. (1981). Muslim Economic Thinking. leicester: The Islamic Foundation.
. (1989) Islamizing Economics, dalam Toward Islamization of Discipline. Herdnon: The International
Institute of Islamic Thought.
Suharto, U. (1989). Persoalan-Persoalan Mengenai Sumber-Sumber Rujukan Kajian Tamadun Islam. Al-Hikmah
Forum ISTAC, bil. 1, Tahun 4, Januari-Maret, hal. 24.
. (2002). Dinar Sebagai Asas Pengukuhan Sistem Keuangan Islam di Malaysia, makalah yang disampaikan
dalam seminar keuangan Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Syariah dan Pengurusan, Akademi Pengajian
Islam, Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
. (2002). Upaya Meruntuhkan Mushaf Utsmani Dari Dahulu Sehingga Kini, al-Hikmah Forum ISTAC,
Bil. 1, Tahun 8, 32-40
Udovitch, A.L. (1962) At the Origins of the Western Commenda: Islam, Israel, Byzantium? Speculum, 37, 207.

Anda mungkin juga menyukai