_____________________________________________________________________
Bab 1
Post-Tradisionalisme Islam:
Antara Epistemologi dan Praksis Sosial
2
Penulis pertama kali mengenal istilah ini pada akhir tahun 1999 dalam
perbincangan dengan beberapa teman mengenai fenomena munculnya corak baru
intelektualitas di kalangan muda NU. Dari perbincangan itu penulis tertarik untuk
mengadakan semacam kajian lebih lanjut terhadap tokoh dan organ-organ muda NU,
khususnya komunitas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang sejak tahun 1980-
an mengalami perkembangan pemikiran yang sangat pesat. Dalam konteks ini, konstribusi
Muh. Hanif Dhakiri, sahabat dan teman diskusi penulis, sangat besar memberi inspirasi,
bahan-bahan dan gagasan dalam rangka kajian tersebut sampai akhirnya muncul istilah Post-
Tradisionalisme Islam. Pada bulan Maret 2000, Post-Tradisionalisme Islam menjadi tema
diskusi yang diselenggarakan oleh ISIS di hotel Megamatra Jakarta dengan pembicara Drs.
Abdul Mun’im Dz dan Drs. MM. Billah, MA. Istilah itu semakin popular ketika LKiS
menerbitkan buku karangan Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri yang diterjemahkan dan diedit
oleh Ahmad Baso dengan judul Post-Tradisionalisme Islam. Selanjutnya gema post-
tradisionalisme Islam terus bergulir dan menjadi bahasan utama pada jurnal “Tashwirul
Afkar” Edisi No. 10 Tahun 2001 yang diterbitkan oleh Lakpesdam Jakarta, walaupun kajian
yang ada di dalamnya lebih berorientasi pada pemikiran Islam di Timur Tengah. Pada tahun
2001 juga ISIS Jakarta menerbitkan Jurnal Ilmiah dengan nama POSTRA, dengan maksud
sebagai media kajian terhadap pemikiran-pemikiran yang senafas dengan gagasan Post-
tradisionalisme Islam. Yang menjadi catatan di sini adalah bahwa sepengetahuan penulis,
munculnya istilah Post-Tradisionalisme Islam lahir dalam konteks wacana pemikiran Islam
di Indonesia, khususnya fenomena “revolusi” pemikiran yang lahir dari sebuah
“komunitas”, yakni kaum muda Nahlhatul Ulama’ (NU), dan bukan bersetting Timur
Tengah atau negara Islam lainnya.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
sempurna dan modern.3 Fazlur Rahman, misalnya, mengatakan bahwa
pembaharuan pemikiran Islam berkembang melewati empat fase.
Fase Pertama adalah gerakan revivalis di akhir abad ke-18 dan awal
abad ke 19. Gerakan ini diwakili oleh Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di
Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat. Kedua, gerakan modernis yang
dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani di Timur Tengah dan Sayyid Ahmad
Khan di India; Ketiga, neo-revivalis melalui Abu al-A’la al-Maududi di
Pakistan; Keempat, neo-modernisme dengan tokohnya Fazlur Rahman sendiri
yang merupakan sintsesis dari semangat modernis dan tradisi klasik. 4
Hampir sama dengan Rahman, Charles Kurzman membagi fase
perkembangan pemikiran Islam menjadi empat, yaitu tradisionalis, revivalis,
modernis dan liberal. Akan tetapi, Islam Liberal yang dimaksud oleh
Kurzman lebih mengacu ke dalam teks-teks internal Islam itu sendiri, dan
tidak mendialogkannya dengan tradisi liberal di luar Islam. Akibatnya, terjadi
kerancuan di dalam membuat kategori terhadap para tokoh yang dianggap
liberal.5
Hal ini berbeda dengan Leonard Binder yang menekankan pada
terjadinya interaksi dan dialektika secara terbuka antara pemikiran Islam
dengan tradisi liberalisme Barat dalam proses take and give dalam hal problem
kemodernan, transformasi sosial dan tradisi lokal. Menurut Binder, wacana
liberalisme Islam berperan signifikan dalam mengantarkan pada
terbentuknya kesadaran berfikir tentang nation-state dan pluralisme dalam
pembangunan politik di beberapa negara Islam.6
3
Teori evolusi pengetahuan semacam ini misalnya diperkenalkan oleh Auguste
Comte yang mengatakan bahwa pengetahuan berkembang melewati fase-fase yang berjalan
secara linear, yaitu dari bentuk-bentuk pemikiran teologis, kemudian metafisik dan akhirnya
berpuncak pada pemikiran positifistik. Lihat Auguste Comte, The Positive Philosophy of
Auguste Comte, (New York: AMS Press, 1974), hlm. 453.
4
Fazlur Rahman, “Islam: Past Influent and Present Challenge”, dalam Alford T.
Welch dan Cachia Pierre (ed.), Islam: Challenges and Opportunities, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1979), hlm. 315-330.
5
Dalam hal ini, Charles Kurzman memasukkan tokoh-tokoh yang tidak mau
berdialog dengan tradisi liberal barat sebagai liberal seperti Muhammad Abdul Wahab, Syah
Waliyullah al-Dahlawi, Jamaluddin al-Faghani, Muhammad Abduh, Yusuf al-Qordlawi
sampai Muhammad Natsir di Indonesia. Lihat Charles Kurzman, “Introduction: Liberal Islam
and Its Islamic Context”, dalam Liberal Islam: A Sourcebook, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1988), hlm. 13.
6
Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies
(Chicago: The Chicago Universitu Press, 1988), hlm. 26.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
Di Indonesia, selama ini terjadi asumsi-asumsi dikotomis antara Islam
modernis dan tradisionalis dengan stereotype-nya masing-masing. Islam
modernis dipandang sebagai kelompok yang berusaha melakukan
pembaruan Islam menghadapi perkembangan modern, memerangi tradisi
yang dianggap bid’ah, bercorak purifikasi dan membuka pintu ijtihad.
Sementara itu kelompok tradisionalis diasumsikan sebagai kelompok
yang tidak mau beranjak dari kitab kuning dengan berpegang teguh pada
madzhab tertentu (taqlid) dan masih kental dengan tradisi lokal dalam
praktek keagamaan. Kelompok ini memandang tradisi sebagai esensi dari
persepsi dan definisi tentang komunitasnya di mana mereka memang
mengaku sebagai pemelihara tradisi dan khazanah pemikiran yang
diwariskan oleh para pendahulu Islam.7 Pandangan dikotomis ini kemudian
berlanjut pada pengelompokan primordial di mana Muhammadiyah sebagai
Modernis dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai tradisionalis.
Akan tetapi sejak tahun 1970-an, muncul corak intelektualitas baru di
kalangan NU yang antara lain dimotori oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
dan Mahbub Junaidi. Corak baru tersebut terus berkembang di kalangan
generasi berikutnya seperti Dr. Bisri Effendi, Masdar F. Mas’oedi, Arief
Mudatsir Mandan, Enceng Shobirin Naj., Abdul Mun’im Dz, Ulil Abshar
Abdallah, Ahmad Baso dan sebagainya. 8 Pengembangan wacana di kalangan
mereka sampai menyentuh pada persoalan-persoalan yang tidak lazim di
kalangan NU, karena telah melampaui batas tradisionalisme yang
sebelumnya menjadi stereotype mereka. Gagasan-gagasan yang dilahirkan
juga sangat liberal melampaui apa yang dilahirkan oleh kelompok modernis.
Anehnya, komunitas intelektual NU tersebut tidak mengambil
inspirasi dari pemikir-pemikir modernis. Di kalangan mereka, tokoh-tokoh
modernis seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Ahmad Khan,
7
Martin van Bruinessen, “Tradisi Menyongsong Masa Depan: Rekonstruksi Wacana
Tradisionalis dalam NU”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal:
Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 139.
8
Corak intelektualitas baru di kalangan NU mengalami perkembangan secara relatif
massif di kalangan PMII, sebuah organisasi bagi kalangan mahasiswa NU, dan lembaga atau
kelompok-kelompok kajian yang dibangun oleh komunitas PMII di luar struktur organisasi.
Begitu juga dengan munculnya lembaga-lembaga berlatar belakang NU yang menjadi motor
bertebarnya corak pemikiran dan wacana yang mereka bangun, seperti LKiS di Yogyakarta,
eLSAD di Surabaya, Lakpesdam, Desantara, P3M, ISIS di Jakarta dan sebagainya.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
Muhammad Natsir dan Norcholish Madjid, kurang begitu populer. Mereka
justru lebih tertarik pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Hassan Hanafi,
Muhammed Arkoun, Mahmud Muhammad Toha, Muhammad ‘Abid al-
Jabiri, Nasr Hamid Anu Zayd, Abdullah Ahmed al-Na’im dan sebagainya.
Memang, hampir secara luas diakui bahwa telah terjadi perkembangan
yang cukup pesat dalam tradisi intelektual kalangan NU. Akan tetapi
bagaimana bentuk dan identitasnya masih belum banyak yang mengkaji.
Greg Barton, ketika menkaji corak pemikiran Gus Dur, mengkategorikannya
sebagai noe-modernis.9 Mengacu kepada konsep Fazlur Rahman, Greg Barton
memandang corak pemikiran Gus Dur sebagai perpaduan antara semangat
modernis dan khazanah klasik, walaupun Barton sendiri mengakui bahwa
tema-tema pemikiran mereka merupakan kelanjutan dari apa yang telah
dilakukan oleh kaum modernis sebelumnya.
Yang perlu diberi catatan di sini adalah bahwa corak pemikiran Gus
Dur sama dan menjadi inspirasi bagi kalangan intelektual muda NU pada
umumnya. Dengan demikian, kategori neo-modernisme juga dapat
dilabelkan kepada mereka. Yang menjadi pertanyaan adalah benarkan tradisi
intelektual baru di kalangan NU mempunyai pijakan modernisme Islam yang
disentesiskan dengan khazanah klasiknya? Kalau benar, apa indikasi dan
referensi yang dipakai oleh Barton? Sebab dalam kenyataanya, baik dalam
even-even presentasi maupun tulisan-tulisannya, mereka jarang atau bahkan
tidak pernah, bereferensi kepada pemikiran tokoh-tokoh modrnis.
9
Ketegori neo-modernis oleh Barton diberikan kepada pemikiran empat tokoh yang
dikajinya, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nuscholish Madjid, Djohan Effendi, dan
Ahmad Wahib. Keempat tokoh itu menurutnya mencoba mensentesiskan antara khazalah
klasik dan semangat modernisme. Istilah neo-modernisme digunakan untuk
menggambarkan posisi keempat tokoh tersebut dan membedakannya dengan tokoh-tokoh
modernis sebelumnya. Komunitas neo-modernis ini mencoba menawarkan sebuah
mendekatan baru pada konsep ijtihad, di mana pola pendekatan yang dikembangkan
merupakan kelanjutan lebih jauh dari yang pernah dilakukan oleh para modernis
sebelumnya dan sekaligus, khususnya bila dilihat dari gaya yang dikenal dalam tradisi
belajar klasik, lebih actual, lebih menantang serta lebih radikal. Dalam pemahaman seperti
inilah istilah neo-modernisme mampu menggambarkan gerakan intelektual baru dan
bertujuan untuk membedakan dari gerakan yang dikembangkan oleh kalangan
tradisionalisme dan modernisme, meskipun sebenarnya neo-modernisme tersebut masih
menyentuh ide-ide yang dikembangkan oleh gerakan kaum modernis sebelumnya.
Selanjutnya lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme
Nuscholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina,
1999), hlm. 12.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
Barton mungkin lupa bahwa gerakan modernisme Islam, khususnya di
Indonesia, mempunyai sejarah dan konteksnya sendiri. Garis geneologi
pemikiran modernis, juga neo-modernis, bersambung kepada Wahabi dan
berpuncak kepada Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas mencerca tradisionalis. 10 Di
Indonesia, juga terjadi hal yang sama di mana dalam sejarahnya modernis
mendiskreditkan keberadaan tradisionalis dan begitu sebaliknya.
Dengan demikian, apapun produk pemikiran kalangan intelektual NU
tidaklah relevan dikatakan mempunyai keterkaitan yang kuat dengan tokoh-
tokoh pemikir modernis. Produk pemikran mereka merupakan pilihan
independen yang mencoba mengolah dan mentransformasikan khazanah
tradisinya secara radikal dalam menjawab tuntutan riil masyarakat dan
bangsanya, dan tidak mengacu kepada modernisme seperti yang dikatakan
Barton.
Bantahan terhadap pelabelan neo-modernisme kepada tradisi
intelektualisme di kalangan NU didasarkan kepada beberapa argumen.
Pertama, dari segi geneologi pemikiran dan pemahaman keagamaan,
kalangan NU lebih menekankan kepada keberlanjutan tradisinya. Mereka
justru mempunyai resistensi yang kuat terhadap gerakan modernis.
Kalaupun muncul corak diberal dalam pemikiran mereka, tidak lebih dari
upaya mentransformasikan dan meramu tradisinya dengan pemikiran yang
lebih progresif, sehingga menjadi pemikiran yang berakar kepada tradisi
secara kuat, tapi mempunyai jangkauan pemahaman yang luas.
Kedua, dari segi topik dan pilihan wacananya, terlihat adanya
kegusaran terhadap fenomena gerakan simbolis dan formalisme Islam yang
dinilainya tidak produktif bagi gerakan Islam. Sementara pada saat yang
bersamaan, kalangan modernis justru mengusung isu formalisme Islam yang
ingin dimasukkan pada kehidupan kenegaraan. Kalangan NU menempatkan
agama sebagai subkultur di tengah kultur besar yang bernama bangsa.
Islam dalam hal ini haruslah berada pada wilayah masyarakat dan
menjadi roh bagi masyarakat dan bangsa ini tanpa harus dimasukkan ke
dalam institusi negara. Dalam wacana kehidupan bernegara, kalangan
10
Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme Islam” dalam
Tashwirul Afkar Edisi No. 9 Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2000), hlm. 32.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
intelektual NU lebih memilih mengusung tema-tema demokrasi, pluralisme,
civil society dan toleransi antar umat beragama dari pada terjebak pada
masalah formalisasi dan simbolisme Islam.
Karena sikap resistensinya terhadap modernis, kalangan intelektual
NU tentu saja tidak bisa dikatakan mengambil inspirasi atau mengikuti sejak
tahapan pemikiran modernis. Sebab, kalau itu terjadi berarti setiap kemajuan
pemikirannya akan terjebak pada klaim selalu berada di belakang dan
mengikor secara linear kepada apa yang dicapai modernis.
Oleh karena itu, munculnya corak pemikiran liberal di kalangan
mereka merupakan kelanjutan dari transformasi tradisinya secara meloncat
melampaui batas yang dicapai oleh moderinis. Hal itu terjadi karena wacana
dan doktrin yang diusung oleh kaum modernis dinilai tidak produktif bagi
lahirnya transformasi dan revolusi sosial komunitasnya. Istilah yang muncul
kemudian adalah “Post-Tradisionalisme Islam”.
Hassan Hanafi, Al-Turats wa al-Tajdid: Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, (Beirut: al-
12
Tsahratsani, Kitab al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: Dar al-Manar, 1951), hlm. 99. Perguruan
Nidzamiyah sebagai institusi pendidikan tidak hanya memberantas dan menutup ruang
paham Mu’tazilah dan Syi’ah di kalangan umat, tetapi juga aliran pemikiran filsafat yang
oleh al-Ghazali dianggap sebagai pemikiran yang menyesatkan dan membuat umat Islam
syirik. Lihat Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, (London: Longman, 1983), hlm.
304. Institusi pendidikan inilah yang paling efektif dan meluas sebagai alat produksi
pemikiran sekaligus menyingkirkan pemikiran lainnya.
17
Lihat al-Tsahratsatani, Kitab al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: Dar al-Manar, 1951), hlm.
71.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
ortodok bangkit dan mengembalikan posisinya di tingkat lembaga
pemerintahan dan politik.18
Kedua; Kasus pertarungan antara Islam tradisionalis (selanjutnya
muncul istilah post-tradisionalime) dan modernis di Indonesia yang tidak
hanya berlangsung dalam tataran wacana tetapi juga pada wilayah politik
dan kekuasaan. Proses untuk saling mendominasi tersebut sampai
berkembang pada pengkelasan antara Islam kota yang borguis dan Islam
desa yang agraris dengan tingkat ekonomi yang lemah.
Pokok perselisihan berada di sekitar akses politik, ekonomi dan
kekuasaan di pemerintahan, yang pada gilirannya akses terhadap asset-asset
ekonomi-politik global. Dalam konteks ini, akses politik, ekonomi dan
kekuasaan selalu dimenagkan oleh Islam modernis. Begitu juga, praktek
wacana seringkali berjalan tidak berimbang karena terjadi proses
pengendalian melalui prakteks ideologi lawat kekuasaan politik dan
penguasaan media, dengan jargon-jargon simbolis-keagamaan dan ingin
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Yang perlu digaris bawahi di sini
adalah bahwa sebenarnya tidak ada kelompok yang benar-benar otentik
berfikir tentang dan demi Islam, melainkan karena tujuan dan sasaran-
sasaran kekuasaan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sebuah pemikiran tidak lain adalah
berada dalam jaringan relasi kuasa melalui praktek ideologi, hegemoni dan
dominasi yang terus berdialektika.19 Pola seperti ini bisa sedikit dinetralisir
melalui mikanisme analisis khusus untuk membongkar dan mengembalikan
pemikiran-pemikiran kepada dasarnya dan menjelaskan sumber ideologinya.
Ketika landasan ideologis dari sebagian pemikiran yang sudah kokoh dan
mapan itu terkuak, maka akan tersingkirlah atribut-atribut kebenaran itu,
termasuk yang dibungkus dengan keniscayaan agama.
Pola pertarungan wacana lainnya adalah perebutan otoritas
interpretasi secara kompetitif seperti melalui pemilikan teks dan upaya
menampilkannya sejalan dengan sasaran-sasaran dan kepentingan-
18
Stanford J. Shew dan Ezel Kural Shew, History of The Ottoman Empire and Modern
Turkey (Cambredge: Cambredge University Press, 1971), hlm. 375.
19
Michel Foucault, The Archeology of Knowledge, (New York: Random House, 1972),
hlm. 42.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
kepentingan kelompok pemikiran. Proses itu juga berlangsung melalui
perebutan dan kepemilikan kata dan bahasa (istilah) yang bertujuan
melegitimasi kebenaran pemikirannya melalui simbol bahasa, sekaligus
untuk menyingkirkan bahasa dan pemikiran kelompok lainya. 20
Pola seperti di atas juga berlangsung dalam perebutan makna,
walaupun terhadap suatu simbol bahasa yang sebenarnya milik bersama.
Dalam konteks ini bukanlah bahasa yang menentukan makna, melainkan
kepentingan dan praktek ideologi penggunanyalah yang menentukan makna
tersebut.21 Contohnya dalam Islam adalah istilah ahlussunnah dipakai untuk
menyingkirkan dan mendeligitimasi keberadaan pemikiran kelompok lain
yang dianggap berada di luar golongan ahlussunnah; kata al-Qur’an yang oleh
Mu’tazilah didefinisikan sebagai rangkaian suara dan kata yang bersifat
mahluk yang baharu, sementara oleh Sunni didefinisikan sebagai kalamullah
yang melekat pada dzat Tuhan dan bersifat qodim.
Pada situasi yang lain, munculnya bahasa dalam kacamata wacana
terkadang berlangsung dalam relasi antagonistik. Artinya sebuah istilah atau
maknanya lahir sebagai alat dan simbol untuk meruntuhkan legitimasi
bahasa dan pemaknaan kelompok atau kelas lain. 22 Contoh pola ini dalam
Islam banyak terjadi, seperti istilah qadariyah yang antagonis dengan
jabariyah, diterministik yang antagonis dengan fatalistik. Ketika muncul
istilah civil society yang oleh kalangan post-tradisionalis diidentikkan dengan
masyarakat tradisional pedesaan dengan resistensinya yang cukup kuat
berhadapan dengan negara, oleh kaum modernis dimunculkan pula istilah
masyarakat madani yang merujuk pada masyarakat Madinah masa Nabi,
masyarakat beradab dan masyarakat Islam urban kota.
Dalam konteks di atas, yang perlu disadari adalah bahwa kelompok
yang melakukan hegemoni dalam suatu trend pemikiran dan kepemilikan
teks terhadap trend pemikiran lain, tidak berarti bahwa pemikiran kelompok
tersebut menjadi pemilik dan penguasa kebenaran. Begitu juga tren
20
Muhammad ‘Abid al-Jabiry, Al-Khitab al-‘Arab al-Mu’ashir: Dirasah Tahliliyah
Naqdiyah, (Beirut: Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1992), hlm. 11.
21
Michel Pecheux, Language., hlm. 185.
22
Diane Macdonell, Theories of Discourse: An Introduction, (Oxford:Basil Blackwell,
1986), hlm 45.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
kelompok pemikiran yang melakukan hegemoni dan dominasi itu, dalam
konteks agama, tidak berarti bahwa trend-trend pemikiran lainnya adalah
trend yang sesat dan kafir.23
Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa munculnya pemikiran
post-tradisionalisme Islam juga terlahir dari keterlibatannya dalam praktek
wacana, interaction of interest, praktek ideologi dan politik sekaligus.
Istilahnya sendiri merupakan counter terhadap modernis maupun neo-
modernis. Bagitu juga wacana yang dekembangan menunjukkan adanya
pertarungan dengan wacana dan gagasan yang diusung oleh kalangan
modernis.
23
Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’I: Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme,
(Yokyakarta: LkiS, 1997), hlm. 111.
24
Muncul juga istilah “Islam Liberal” yang lahir dari komunitas Islam Utan Kayu.
Tokoh-tokohnya antara lain Saiful Muzani, Ahmad Sahal, Luthfi Syaukani, termasuk juga
ikut bergabung Ulil Abshar Abdallah, seorang intelektual dari komunitas NU. Bahkan dalam
perkembangannya, terma “Islam Liberal” ini pernah mengklaim sebagai identitas pemikiran
Islam NU melalui sebuah acara yang bernama “Muktamar Pemikiran NU” di Situbondo
pada tanggal ..... 2003. Acara ini diback up dengan pemberitaan yang cukup gencar di media,
sehingga terbangun opini seolah-olah “Islam Liberal” benar-benar menjadi identitas
pemikiran kalangan NU. Akan tetapi, dalam forum “muktamar pemikiran” tersebut tidak
terlihat keterlibatan atau kehadiran tokoh-tokoh dan simpul-silmpul gerakan pembaruan
pemikrian di kalangan muda NU, semisal komunitas LkiS di Yogyakarta dan eLSAD di
Surabaya. Melalui klaim “Islam Liberal” sebagai identitas intelektual NU dalam muktamar
pemikiran tersebut, dengan sendirinya istilah “Post-Tradisionalisme Islam” seolah
dikesankan sudah kehilangan relevansi dalam kajian tentang corak intelektualitas kaum
muda NU. Namun demikian, sebagai sebuah perspektif, khususnya dalam hal kajian tentang
arti penting tradisi dalam bangunan sebuah pengetahuan, wacana “Post-Tradisionalisme
Islam” tetaplah penting untuk dikembangkan terlepas dari soal klaim dan kekuasaan
“media” dalam praktek pewacanaan.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
Pertama, sebagai kelompok Islam tradisional yang berlatar belakang
pendidikan pesantren, ia justru mencoba melepaskan diri dari kungkungan
tradisi. Doktrin teologi sunni yang selama ini “tak tersentuh” bahkan
diharamkan untuk sekedar “diusik”, kembali dipertanyakan. Kalangan post-
tradisionalisme Islam lebih memilih wacana teologi pembangunan atau
transformatif yang membawa Aswaja ke tataran yang lebih rasional dan
empirik, dengan jargon yang cukup populer, yakni “Aswaja sebagai manhaj
al-fikr”.
Indikator kedua adalah munculnya kesadaran untuk melepaskan beban
sejarah. Dalam konteks ini Islam dipahami sebagai yang berdimensi historis
dimana produk pemahaman masyarakat Islam terhadap ajarannya selalu
berdialektika dengan dimensi ruang dan waktu. Produk pemahaman ulama
terdahulu tidak lagi dibebankan untuk diterima dan dilaksanakan secara
taken for granted oleh umat Islam saat ini. Selanjutnya adalah muncul
indikator ketiga, yakni keharusan munculnya pola berpikir ke-Islaman yang
bisa melepaskan ikatan harfiah teks.
Dari sinilah lahir pemikiran yang lebih menekankan substansi dari
pada yang bersifat simbolik dan formal. Dalam hal wacana politik
kebangsaan, kalangan post-tradisionalisme selalu meneriakkan pluralisme,
kesadaran akan nilai-nilai kebangsaan dan anti diskriminasi agama maupun
gender dalam konteks demokrasi, walaupun sikap dan cara pandang seperti
ini tidak jarang harus berbenturan dengan kelompok Islam lainnya.
Namun demikian, kalangan post-tradisionalisme Islam dalam banyak
hal masih mempertahankan terma-terma khazanah klasiknya dengan
mencoba menafsirkan ulang sesuai dengan konteks dan kebutuhannya.
Aswaja tetap dipertahankan dengan penafsiran baru, yakni sebagai sistem
pengetahuan yang terbuka untuk diperdebatkan dan dikritik. Pembaharuan
pemikiran Islam yang dikembangkan lebih menekankan pada arti penting
nilai-nilai kemanusiaan dengan berusaha melawan berbagai bentuk
hegemoni kultural dan ideologis yang seringkali membelenggu harkat
kemanusiaan.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________
Dengan pemikiran di atas, gerakan Islam lebih diorientasikan pada apa
yang disebut sebagai “perlawanan kultural”. Dalam pandangan Gus Dur,
Islam tidak lagi cukup menjadi ekspresi keimanan sebagai muslim untuk
menegakkan ajaran formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari
upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat-rakyat yang tertindas
dari belenggu kenistaan, kehinaan dan kepapaan yang menurunkan
derajatnya sebagai makhluk yang mulia. Selanjutnya Gus Dur mengatakan:
25
Abdurrahman Wahid, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, dalam
Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta: Leppenas, 1983), hlm. 111.
Post-Tradisionalisme Islam
_____________________________________________________________________