Anda di halaman 1dari 12

Nama: Nailu Roifatul Chusna

Nim: 933503119

Kelas: PMDI/KPI-6C

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER

MATAKULIAH: PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM

FAKULTAS/PRODI/SEMESTER: FUDA/KPI/VI

Jawablah soal dibawah ini dengan menegedepankan analisa dan argumentasi !

1. Secara garis besar respon pembaruan pemikiran Islam bertumpu pada tipologi Revavalisme dan
Modernisme
a. Apa perbedaan keduanya bila anda tinjau dalam perspektif tantangannya, dan apa respon
keduanya menjawab tantangan tersebut ?, jelaskan dengan argumentasi !.
b. Bila ditinjau dalam perspektif Dialektika Hegel, apa bentuk pertentangan antara tesa dan
antitesanya ?, jelaskan dengan menyebut karakteristik bentuk tesa dan antitesanya !
2. Revivalisme dalam sejarahnya terbentuk menjadi 3 tipologi, yakni revivalisme klasik,
revivalisme pasca modernisme dan revivalisme pasca neo-modernisme.
a. Apa perbedaan ketiga tipologi revivalisme tersebut?, jelaskan dengan menyebut alasan
kemunculannya !
b. Jelaskan,Mengapa diantara tokoh revivalisme klasik dalam merespon untuk memajukan
ummat berbeda cara dan metodenya, seperti antara Wahabi dan Sanusiyah ! Coba analisis
dengan argumentasi berdasarkan fakta sejarah keduanya !
3. Modernisme dalam aplikasinya untuk memajukan ummat terjadi dua kategori, yaitu lebih bersifat
islamis, dan yang lain lebih westernis dan sekuler.
a. Mengapa Turki lebih berkembang menjadi westernis dan sekuler, sedang Mesir lebih
menampilkan wajah yang islamis ?, jelaskan denganmemahami latar belakang dan
bentukminteraksinya dengan Barat !
b. Mengapa antara guru-murid, al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridla, berbeda sikap jalan untuk
memajukan ummat Islam ?, jelaskan berdasarkan fakta yang terjadi di Mesir saat itu !
4. Al-Ikhwan al-Muslimun banyak mendapat simpati di Mesir di kalangan ummat, bahkan bisa
menjadi pemenang dalam pemilu tahun 2011, meskipun lama diblacklist, bila dibanding dengan
Jamiati Islami yang didirikan al-Maududi di Pakistan.
a. Mengapa terjadi semacam itu ?, jelaskan dengan membandingkan kedua gerakan ini !
b. Mengapa al-Ikhwan al-Muslimun sangat dimusushi oleh pemerintah Mesir ?, jelaskan dengan
argumentasi !
5. Neo-modernisme muncul dengan paradigma baru, yaitu perlunya dekontruksi tafsir lama
terhadap Qur’an dan membentuk kontruksi baru, dimana ajaran Islam harus menyesuaikan
dengan perubahan dan prkembangan saat ini, supaya tetap diterima oleh masyarakat.
a. Bagaimana cara yang ditempuh oleh pemikir neo-modernisme tersebut, ?, jelaskan dengan
menguraikan pandangan Fazlurrahman dengan aplikasi tafsir kontekstualnya !
b. Kenapa pemikir Revivalisme pasca neo-modernisme menolak gagasan neo-modernisme?
Jelaskan tokohnya seperti al-Attas atau ala-Faruqi dan bagaimana pandangan mereka tentang
pembaruan Islam yang terbaik !

Jawaban

1. A). Pemikiran modernisme adalah tipe pemikiran yang berfikir dengan menggunakan tesis-
antitesis-sintesis, yang sering dikonotasikan sebagai seorang kaum muda atau reformis modernis.
Tipe ini termasuk yang paling semangat untuk mengadakan pembaaruan. Organisasi yang selalu
diidentikan dengan tipe pemikiran ini adala Muhammadiyah dan juga Persatuan Islam (PERSIS)
serta al-irsyad. Kelompok tipe ini menggunakan rasio akal lebih besar untuk mengembangkan
pemikirannya dan menjawab tantangan yang ada. Mereka tetap merujuk kepada fatwa dan ijtihad
ulama terdahulu jikamemang didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis Sahih.
Selain itu, mereka menggunakanra’yu untuk mengembangkan pemikiran keislaman. Pada
tipe pemikiran modernis inipintu ijtihad terbuka selebar-lebarnya, dan mengurangi sedapat
mungkin taklid secara membabi buta pada suatu mazhab tertentu. Sedangkan tipologi
Revivalisme yakni tipe pemikiran yang dimana gerakan pemikiran ini berusaha untuk
membersihkan dan mengembalikan pemahaman serta pengamalan ajaran Islam yang murni.
Organisasi yang di identifikasikan termasuk revivalisme adalah Wahhabiyah yang memperoleh
inspirasi dari Nabi Muhammad SAW. Perbedaan dengan gerakan modernisasi adalah terletak
pada perwujudan dari tipe ini lebih bisa beragam misalnya tadi seperti Wahhabiyah, yang
dianggap sebagai representasi dari prototype Islam fundamentalis modern.

B). Revivalisme pasca modernisasi adalah bentuk pemikiran dan juga gerakan yang dimana
kebangkitannya merupakan bentuk reaksi dan juga antitesa terhadap pemikiran modernism klasik.
Saat itu kelompok modernism hanya memperhatikan faktor internal umat islam yang terbelakang.
Keterbelakangan ini didalam pandangan mereka ada yang salah dalam anutan dari teologi
masyarakat yang berakibat pada keterbelakangan tersebut.
Dengan itu mereka membarikan solusi berupa mengambil atau menjadikan Barat sebagai
inspirasi, dengan mengikuti arah perjalanan pembangunan Barat, dimana hal itu membawa
kepada keadaan seperti Barat hingga saat ini. Namun hal itu berdampak pada hal yang terlalu
melampaui batas serta merusak akidah Islam dengan munculnya paham-paham baru seperti
westrenisme, sekulerisme dan materialism, serta perilaku yang tidak mencerminkan etika qur’ani
dalam kehidupan umat Islam. Revivalisme pasca modernisasi mencoba untuk membangun sintesa
baru, dengan tetap menjadikan ide barat terutama dalam bidang sosial, politik dan juga ekonomi
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari adanya inspirasi perbaharuannya.
Karakteristik tessanya yakni problem yang dimana adanya reaksi terhadap pemikiran
modenisme. Saat itu kelompok modernism hanya memperhatikan faktor internal umat islam yang
keterbelakangan, sedangkan. Karakteristik antitesanya, yakni dengan menjadikan ide Barat
terutama dalam bidang sosial, politik dan ekonomi sebagai bagian dari konsep pembaharuan,
dengan penyaringan yang begitu ketat terhadap pola-pola budaya Barat, dengan memberikan
kesejajaran arti dengan istilah Islam.
2. A). Revivalisme klasik merupakan paham pemikiran dan gerakan yang muncul pertama kali di
era modern (mulai abad 18) sebagai reaksi dari kemunduran moralitas masyarakat Islam pada
waktu itu karena diliputi oleh kebekuan pemikiran akibat terperangkap oleh sebuah tradisi yang
berkembang dan mewabah. Bentuk pemikiran revivalisme klasih dari Wahhabiyah yakni:
Pemikiran Akidah, Pemikiran Fiqh, Tentang Filsafat, Tasawuf, dan Perilaku Keagamaan,
Pandangan Tentang Wahabi.

Revivalisme pasca modernisasi, adalah bentuk pemikiran dan juga gerakan yang
kebangkitannya merupakan bentuk reaksi terhadap pemikiran modernisasi klasik. Bentuk gerakan
revivalisme pasca modern ini, yakni Al-Ikhwan al-muslimun, yang merupakan organisasi
keagamaan yang didirikan pada 1928 di Ismailiyah oleh Hasan Al-Bana. Bentuk pemikiran
pembaharuan berupa: Pemikiran Pendidikan, Pemikiran Ekonomi, Politik dan Sosial dan masil
banyak lagi dari tokoh-tokoh lainnya.

Revivalisme pasca neo-modernisasi, merupakan pemikiran dan juga gerakan yang


kebangkitannya merupakan reaksi neo-modernisme. Kebangkitan dari neo-revivalisme, neo-
modernisme dan revivalisme secara tidak langsung merupak bentuk reaksi dari modernism.
Tokoh yang memberikan sumbangsihnya terhadap banyaknya upaya untuk membentengi
khasanah tradisi Islam dan mencoba untuk membangun argumentasi ilmiah pada ajaran Islam ini
adalah Ismail Raji al-Faruqi dan Syed al-Naquib al-Alatas. Pada saat itu pemikiran neo-
revivalisme masih dalam tataran embrional dan masih dalam proses pembentukannya, tetapi pada
akhirnya dapat dibuat tipologi dan ciri challenge dan responnya. Berikut pembaharuan dari al-
Faruqi diantaranya: Pemikiran Tauhid (dasar peradaban Islam), Islamisasi Pengetahuan, Toleransi
Agama.

B). Karena tujuan dari gerakan wahabi adalah pemurnian atas adanya ideologi islam yang telah
banyak berubah dan disesuaikan dengan bentuk Islam di masa Nabi Muhammad Saw.
Muhammad bin Abdul Wahab mendirikan sekolah untuk mencetak kader-kader. Serta gerakan ini
tradisional formalistic dan tidak kenal kompromi. Sedangkan gerakan sanusi sendiri adalah
gerakan tradisional spiritualistic yang akomodatif baik terhadap penguasa sufi. Cita-citanya hanya
ingin membentuk pengikutnya menjadi muslim yang percaya diri, terhormat, disegani oleh
kelompok lain dengan melaksanakan gagasan teoritis kedalam bentuk praktis kehidupan zawiyah
yakni melatih untuk mencapai kebersihan jiwa dengan sinar al-qur’an dan bimbingan Sunnah
Nabawiyah.

3. A). karena modernisasi islam yang berkembang di Turki hampir seluruhnya dilakukan oleh
kalangan penguasa dan birokrat dinasti Turki Usmani. Hal ini juga disebabkan karena dominasi
Negara yang begitu kuat dalam segala aspeknya, sedangkan saat itu masyarakat tidak punya akses
ke pusat kekuasaan. Rakyat disini adalah masyarakat yang termarjinalkan secara structural, dalam
aspek politik, sosial dan juga ekonomi. Dalam agama pun meski mereka mempunyai organisasi
kuat seperti tarikat (Bektasyi) atau madzhab Sunni namun mereka dibawah kendali Negara.
Karena pembaharuan yang dilakukan di Turki didominasi oleh kalangan elite politik yang banyak
bersentuhan dengan Barat, dan hal itu membuat ekspansi dari Turki akhirnya kalah dan berakibat
terjadinya instabilitas di dalam negeri. Perjalanan modernisasi di Turki yang lebih menjadikan
Turki seperti Negara Barat dengan nilai ukuran kemajuan yang timbul dari adanya kelompok
Westernisai. Sedangkan kenapa Mesir lebih terlihat islaminya karena pada zaman itu walaupun
terkena penjajahan Barat yang menguasai wilayah Islam, membuat salah satu tokoh islam saat itu
yakni al-Afghani untuk memperkokoh akidah islam dimasyarakat mesir serta menghimpun
masyarakat Islam dalam satu payung pemerintahan, keinginan itu ia jalankan bukan hanya untuk
penetrasi kebudayaan Barat yang timbul di mesir akan tetapi juga untuk membentuk
pemerintahan Islam yang dipimpin oleh orang Islam dan ajarannya pun hanya tentang agama
Islam dan al-Qur’an. Oleh sebab itu mengapa pengaruh agama islam lebih kuat di mesir dan dapat
mengalahkan pengaruh westernisasi yang masuk. Karena memang sejak awal pemimpin dan
tokoh di Mesir pada masanya memang selalu melakukan berbagai cara agar Islam tidak dicampur
adukkan dengan budaya Barat.

B). Jawaban:
1. Perbandingan Latar Belakang
Abduh dan Ridha menempati posisi yang amat penting dalam sejarah pergerakan
pemikiran dan pembaruan dalam Islam, baik di Mesir maupun dunia Islam pada umumnya.
Ide-idenya begitu cepat meluas ke berbagai pelosok dunia Islam. Hubungan antara Abduh dan
Ridha adalah sebagai guru dan murid. Ridha mulai mengenal Abduh ketika Abduh berada
dalam pembuangan di Beirut. Namun demikian, Ridha sudah mengenal Abduh jauh lewat
karya-karyanya di dalam majalah Al-Urwah al-Wustqa.
Ia mencoba menjalankan ide-ide pembaruannya ketika masih tinggal di Suriah, tetapi
usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Ustmani, karena merasa terikat dan
tidak bebas, maka ia memutuskan untuk ke Mesir bergabung dengan Muhammad Abduh pada
Januari 1898.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termashyur, Al-Manar
al-Wusqa, yakni mengadakan- pembaruan dalam bidang agama sosial dan ekonomi,-
memberantas takhayul dan bid’ah yang masuk dalam Islam, menghilangkan paham fatalisme
dan paham-paham keliru lainnya yang dibawa tarekat-tarekat tasawuf, meningkatkan mutu
pendidikan dan membela umat Islam dari permainan politik negara Barat.
Apa yang termuat di dalam Al-Manar sesungguhnya tidak lain adalah ide-ide Abduh,
bahkan di antara artikel-artikel yang terdapat didalamnya adalah karangankarangan atau
bahan-bahan kuliah Abduh.
Meskipun demikian, tidak berarti Abduh identik dengan Ridha. Dalam banyak hal
pemikiran Abduh kelihatan jauh lebih liberal dibandingkan dengan pemikiran Ridha,
sebagaimana yang akan diuraikan nanti. Hal itu mungkin disebabkan oleh latar belakang
lingkungan keluarga, pendidikan, pengalaman pribadi, dan yang tak kurang pentingnya adalah
faktor kecerdasan.
Ayah Abduh termasuk keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan. Dalam
tempo dua tahun Abduh sudah hafal Al-Qur’an ketika usianya baru dua belas tahun, setelah itu
Abduh diupayakan oleh orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi, tetapi watak yang keras Abduh menyebabkan ia berpindah-pindah dari satu sekolah ke
sekolah yang lain. Ia tidak puas terhadap sekolah yang hanya menerapkan metode menghafal
di luar kepala yang dinilainya tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Abduh mulai
bergairah kembali belajar setelah diperkenalkan metode baru oleh Syeikh Darwisy Khadr,
seorang guru yang pernah mengecap pendidikan di Mesir, Libia, dan Tripoli. Selanjutnya
Abduh melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar dan di sanalah ia bertemu tokoh idolanya,
Jamaluddin al-Afghani.
Rasyid Ridha yang memakai gelar al-Sayyid di depan namanya karena ia berasal dari
keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Ia melanjutkan pendidikan di sebuah
sekolah yang didirikan oleh Syeikh Husain al-Jisr, yang telah dipengaruhi ide-ide modern.
Sekolah tersebut sudah memasukkan mata kuliah Barat (bahasa Prancis dan sains). Namun
demikian, materi pendidikan agama masih dipengaruhi secara mendalam oleh tulisan-tulian al-
Ghazali. Pada mulanya Ridha mencoba kehidupan spiritual dengan menjalankan ajaran sufi
sekalipun kemudian ia keluar karena ketidaksetujuannya akan penekanan mereka pada tata-
cara dan upacara eksotis.
Pikirannya mulai berubah dalam tahun 1893 setelah menemukan salinan-salinan Al-
Urwah al-Wusqa, di antara tumpukan buku-buku ayahnya dan sejak itu Ridha mulai sangat
tertarik pada ide-ide al-Afghani. Ridha tambah bersemangat setelah sempat bertemu dan
berdialog dengan murid Afghani, yakni Muhammad Abduh.
Sepintas dapat dilihat adanya perbedaan latar belakang pendidikan dan pengalaman
keagamaan antara Abduh dan Ridha. Abduh sejak kecil tampaknya secara bebas menentukan
model pendidikan yang disukainya. Sedangkan Ridha sampai dalam usia 28 tahun masih
terikat dengan pola kehidupan sufistik.
Kecemerlangan Abduh dan Ridha tak dapat dipisahkan dengan pengaruh Jamaluddin
Afghani. Abduh tertarik dan banyak dipengaruhi oleh ide-ide Afghani, sekalipun antar
keduanya sering terjadi perbedaan, demikian pula Ridha, sekalipun ia tidak pernah bertemu
dengan Afghani tetapi melalui karya-karyanya ia banyak mengenal ide-ide Afghani.
Kalau Ridha tidak pernah bertemu langsung dengan Afghani, sebaliknya Abduh
bertemu langsung dengannya, bahkan sering kali terlibat secara bersama-sama dalam suatu
masalah politik, ia sering kali turut memikul akibat yang sesungguhnya disebabkan oleh
Afghani, gurunya.
Afghani yang berpengaruh terhadap kedua tokoh yang kita bahas ini, hingga sekarang
belum ada kesepakatan tentang asal usulnya. G.H. Jansen menduga bahwa dia adalah seorang
anggota utama salah satu tarekat yang bergerak dari suatu daerah ke daerah lain seperti di
India, Persia, Mesir, Turki, Inggris, Iran, dan Rusia. Dalam kapasitasnya pembawa misi
tertentu, ia terkadang bertindak sebagai guru atau dai yang menarik dari Afghani ialah kemana
saja ia pergi di situ mempunyai murid dan pengikut. Murid-muridnya pun bermacam-macam,
ada yang menonjol sebagai politisi, seperti Arabi Pasha, dan ada yang menonjol sebagai
penulis seperti Adib Ishaq, murid dan sekaligus sahabatnya yang paling menonjol dan paling
memahami ide-idenya ialah Muhammad Abduh. Abduh sering kali menyertai lawatan
gurunya, termasuk ketika gurunya itu melakukan lawatan ke Paris. Dalam lawatan ke Paris ini,
Abduh merasa mendapat pengalaman berharga terutama ia sempat mengikuti dialog antara
gurunya dengan filsuf dan sejarawan Prancis terkenal, Ernest Renan, yang banyak mendalami
karya-karya Ibn Rusyd dan Ibn Sina.
Optimisme Afghani yang kemudian ditularkan kepada murid-muridnya didasarkan
pada kenyataan bahwa keunggulan Islam atas agama lain, dari Hinduisme sampai Kristen dan
Zoroasterianisme, terletak pada dogmadogmanya (Islam) yang fundamental yang sepenuhnya
dapat dirasionalkan dan bebas dari unsur-unsur raha- sia. Konsep rasionalisasi dogma Afghani
selanjutnya ber- pengaruh kepada murid-muridnya. Abduh misalnya, secara gamblang telah
menguraikan hal tersebut ke dalam berbagai karyanya. Ridha juga mencoba melanjutkan ide-
ide tersebut dalam berbagai karyanya, tetapi kelihatan Ridha lebih hatihati, seperti ketika ia
membahas tentang fungsi wahyu, soal perbuatan manusia, dan sifat-sifat Tuhan, kelihatan
Abduh jauh lebih liberal.
Abduh yang banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dan menguasai beberapa
bahasa di Eropa seperti bahasa Prancis, demikian pula banyaknya jabatan profesi yang pernah
didudukinya, seperti Mufti Mesir, Anggota Majelis Perwakilan (Legislative Concil), di
samping kapasitasnya sebagai seorang guru. Pengalaman-pengalaman yang padat yang pernah
dilalui memberinya wawasan yang luas. Sedangkan Ridha, meskipun juga mempunyai banyak
pengalaman tetapi tidak seluas pengalaman gurunya, sekalipun masa hidup Ridha lebih lama
(70 th) dibanding dengan Abduh (56 th). Kalau ideide Abduh dengan gurunya (Afghani) tidak
dijumpai perbedaan yang mendasar tetapi Ridha dengan gurunya (Abduh) dapat ditemukan
beberapa perbedaan mendasar.
2. Perbandingan Metodologi
Kalau kita meminjam istilah dalam teologi, metodologi berpikir itu dapat dibagi pada
dua bagian, yaitu pola berpikir Mu’tazilah, yang memberikan peran lebih besar kepada akal
dan pola berpikir Asy’ariah yang memberikan peran yang sangat kecil kepada akal. Mungkin
pola ini kurang tepat, tetapi dalam memudahkan permasalahan untuk sementara pola ini
dipergunakan pada kedua tokoh yang kita bahas; yakni Abduh menganut pola yang pertama
sedangkan Ridha menganut pola yang kedua.
Indikator yang dapat mendukung dasar kategori tersebut adalah sebagai berikut:
 Sebagai halnya Ridha, Abduh mendasarkan pikirannya pada al-Qur’an dan Hadis, tetapi
Abduh, sebagai mana halnya mu’tazilah, menerapkan ta’wil dalam memahami ayat-ayat al-
Qur’an dan hanya berpegang kepada hadis-hadis mutawatir, sedangkan Ridha tidak
membenarkan ta’wil pada ayat-ayat mutajassimah dan bukan hanya berpegang kepada hadis-
hadis mutawatir tetapi juga kepada hadis-hadis sahih.
 Sebagaimana halnya Mu’tazilah, Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab,
sedangkan Ridha masih mengikuti suatu mazhab, yaitu mazhab Ahmad ibn Hanbal dan
pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Wahabiyah.
 Dalam menafsirkan al-Qur’an, Abduh, sebagaimana halnya Mu’tazilah, menekankan kepada
penafsiran secara filosofis, sehingga surga dan neraka misalnya, menurut Abduh tidak bersifat
fisik tetapi bersifat rohaniah, sedangkan Ridha banyak menghindar kepada penafsiran secara
filosofis, sehingga surga dan neraka menurutnya sama dengan pendapat Asy’ariah, yaitu
bersifat jasmaniah.
3. Perbandingan Pemikiran
Perbedaan pokok pemikiran antara Abduh dan Ridha dapat ditemukan pada tiga hal
pokok, yaitu mengenai fungsi wahyu dan kekuatan akal, perbuatan dan kebebasan manusia,
dan sifat-sifat Tuhan.
a) Fungsi Wahyu dan Kekuatan Akal.
Perbedaan pandangan teologis antara Abduh dan Ridha dapat dianalisis melalui
pernyataan-pernyataan dan penafsiran-penafsirannya terhadap beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Abduh mengaggap kekuatan akal dapat mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui
adanya hidup di akhirat, mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan perbuatan jahat, mengetahui wajibnya mengenal Tuhan, mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaannya
di akhirat, dan membuat hukumhukum untuk kewajiban itu.
Begitu besar peranan akal bagi Abduh sehingga tidak tampak fungsi wahyu. Bahkan,
walau demikian pandangan teologis Abduh, berarti Abduh jauh lebih liberal daripada tokoh-
tokoh Mu’tazilah lain sebelumnya. Abduh mengemukakan enam poin dan bandingkan dengan
Asy’ary yang hanya mengemukakan satu poin, Maturidi Bukhara dua poin dan Maturidi
Samarkan tiga poin.
Sebagai murid Abduh, Ridha juga memberikan peran akal yang besar, yaitu mampu
mengantarkan pada buktibukti adanya al-wajib al-wujub, ilmu dan hikmahnya, kewajiban
bersyukur dan mengagungkan serta kewajiban beribadah kepada-Nya. Bahkan me-nurut Ridha
akal juga dapat menerima ajaran tentang kekekalan jiwa. Sampai di sini belum ditemukan
perbedaan yang prinsip dengan gurunya, bahkan pada bagian lain ketika Ridha menjelaskan
fungsi wahyu, ia hanya menukil pendapat gurunya tanpa memberikan komentar, misalnya
ketika menjelaskan tentang kebutuhan manusia pada Rasul.
Meskipun Ridha tampaknya menghargai kedudukan akal, tetapi agaknya ia tidak
konsisten. Terbukti ketika membahas ajaran-ajaran yang bersifat ‘ubudiyah tampaknya
menekankan penggunaan akal. Bagi Ridha persoalan-persoalan seperti ‘ubudiyah tidak perlu
diijtihadkan lagi; ijtihad hanya diperlukan dalam soal hidup kemasyarakatan. Demikian pula,
terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengandung arti tegas, ijtihad tidak diperlukan lagi,
akal hanya diperlukan pada ayat-ayat dan hadis-hadis yang pengertiannya tidak tegas dan tidak
mendapatkan penjelasan dari ayat-ayat lain atau dari hadis.
Perbandingan antara keduanya dapat pula dilihat ketika keduanya memberikan komentar
terhadap hadishadis Nabi tentang terpecahnya umat menjadi 73 golongan dan hanya satu
golongan di antara golongan tersebut yang dinyatakan masuk surga. Abduh tidak menegaskan
siapa yang satu golongan tersebut karena menurutnya semua golongan tersebut tetap
mendasarkan pandanganpandangannya kepada al-Qur’an dan Hadis serta ijma’. Sedangkan
Rida menegaskan bahwa golongan yang selamat tersebut ialah golongan al-Hadis dan
ulamanya yang mendapat petunjuk dari orang-orang salaf, yakni ulama yang mendahulukan
kalam Allah dan Rasul-Nya atas segala sesuatu dan tidak mentakwilkannya. Ridha memahami
sikap gurunya yang tidak memberikan ketegasan karena gurunya dianggap masih kurang
menelaah kitab-kitab hadis, lagi pula gurunya waktu itu masih sedang menekuni ilmu kalam,
ditambah lagi al-Azhar pada waktu itu sedang dikembangkan kebebasan berpikir dan
menentang fanatisme dan taklid. Yang sangat kontradiksi dengan gurunya adalah mengenai
ta’wil, Ridha menolak penggunaan ta’wil sedangkan Abduh membolehkannya.
b) Perbuatan dan Kebebasan Manusia
Menurut Ridha, perbuatan manusia atas dasar kehendak dan pilihannya sediri, apakah itu
perbuatan baik atau buruk. Semua perbuatan manusia, termasuk iman terjadi karena perbuatan
dan pilihannya, hanya saja yang menjadikan manusia mewujudkan perbuatannya adalah iradah
Allah. Kasb dan masyiah Allah, dengan demikian, manusia tidak dapat membebaskan diri dari
Allah ia senantiasa membutuhkan taufik dan pertolongannya. Ridha beranggapan bahwa
Tuhan telah membuat sunah Allah yang tidak berubah-ubah yang berlaku untuk semua
makhluk. Sunah tersebut ia juga menyebutnya dengan nidhzam al-‘am.
Ridha beranggapan bahwa daya (qudrah), kemampuan, dan iradah manusia untuk berbuat
adalah pemberian Allah dan dijadikan menurut masyiah-Nya. Tuhan menciptakan manusia
dengan daya yang terbatas dan dengan masyiah yang berpangkal pada perbuatan yang
dipilihnya sendiri. Tuhan menjadikan sesuatu dengan qadar dan takdir, yakni menciptakan
aturan yang didalamnya berlaku hukum sebab akibat. Ridha lebih jauh menjelaskan bahwa
manusia itu tidak menciptakan perbuatannya sendiri secara bebas tanpa masyiah Tuhan dan
Sunnah-Nya pada makhluk-Nya. Tampaknya menurut Ridha, pilihan manusia itu terbatas
hanya pada memilih hukum sebab akibat yang telah disediakan kepadanya, agaknya ia ingin
mengatakan bahwa perbuatan itu bukan semata-mata perbuatannya sendiri melainkan ada
keterlibatan Tuhan di dalamnya, tetapi ia juga enggan mengatakan bahwa perbuatan itu
sepenuhnya kehendak Allah. Yang jelas kita dapat lihat dalam uraian tersebut bahwa manusia
dalam melakukan perbuatannya adalah tidak merdeka, karena perbuatan-perbuatannya tidak
murni dari manusia, tetapi ada campur tangan Tuhan, karenanya, menurut pendapat ini,
manusia itu lemah dan bergantung kepada kehendak kekuasaan Allah dan dengan demikian
sesungguhnya Tuhanlah yang lebih aktif dalam mewujudkan perbuatan manusia.
Pandangan teologis Ridha ketika menafsirkan ayat 123 Surah Hud, mengingatkan kita
pada konsep kasbnya Asy’ary yang cenderung searah dengan paham Jabariah. Ridha
mengatakan bahwa:
Begitu pula ketika menafsirkan ayat 20 Surah al-Baqarah ia mengatakan: Dari uraian
tersebut dapat dilihat betapa lemahnya posisi manusia dalam menentukan dan melakukan
perbuatannya di mata Ridha. Berbeda dengan Abduh yang memandang manusia itu
mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatannya. Kebebasan manusia menurut
Abduh hanya dibatasi oleh perhitungan-perhitungannya sendiri dalam meraih sukses bukan
karena keterbatasan kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya melainkan kelemahan
manusia dalam memperhitungkan perilaku Sunnah Allah. Jadi, kegagalan manusia dalam
meraih sukses bukan karena keterbatasan kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya
melainkan kelemahan manusia dalam memperhitungkan perilaku Sunnah Allah. Mengenai
Sunnah Allah, Ridha seolah-olah membayangkan Tuhan itu adalah bagaikan raja yang absolut,
bebas berbuat tanpa keterikatan dengan Sunnah yang sudah dibuatnya, berbeda dengan Abduh,
seolah-olah menganggap Sunnah Allah dibuat oleh Tuhan dan juga dirinya.
c) Sifat-sifat Tuhan
Ridha dengan tegas mengakui adanya sifat-sifat Allah. Ia menempatkan pengetahuan
tentang Allah, sifat-sifat, dan perbuatannya, sebagai ilmu yang fundamental bagi
kesempurnaan manusia, sebagaimana yang ia katakan:
‫ال‬JJ‫ نى عا ه نا م ل عال ى ذ ال ه ل بق من و ب رق ق رط ال م ل ع‬،‫لى اع ت ىف ه ق لخ وه ف سوة يل وم ق صد‬
‫ال له با ه يال ى وق او ت ياال ا ةل د ال ه ي لع مظ عا ل ئا س وال الم كل‬
Lebih jauh Ridha mengatakan bahwa Allah sendirilah yang menetapkan sifat-sifat itu bagi
dirinya akan tetapi sifat-sifat itu tidak serupa dengan sifat-sifat yang ada pada makhluknya,
semua sifat Allah menunjukkan kepada kesempurnaan yang paripurna. Allah menggunakan
sifatnya dengan bahasa manusia agar manusia dapat memahami sifat-sifat tersebut sesuai
dengan tingkat kemampuannya; namun, perbandingan antara sifat Tuhan dengan sifat
makhluknya adalah ketidakserupaan pada esensinya. Ridha banyak menukil pendapat
Ahlusunnah dalam membela pendapat-pendapatnya tentang adanya sifat-sifat Tuhan dengan
mengatakan bahwa Allah itu Maha Suci dari keserupaan dengan makhluknya, baik dalam zat,
sifat, maupun perbuatannya. Bagi Ridha, penggunaan nama yang sama tidak mengharuskan
persamaan pada sesuatu yang diberi nama tersebut. Pendapat Ridha ini sangat berbeda dengan
pendapat gurunya yang cenderung kepada pendapat filsuf yang meniadakan sifat-sifat Allah.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan, Ridha cenderung melakukan penafsiran
secara harfiah dengan berpegang kepada tanzih, sebaliknya gurunya cenderung
menafsirkannya secara rasional dan filosofis, sebagai contoh, melihat Tuhan di akhirat, bagi
Ridha adalah suatu kenikmatan yang tertinggi dan sempurna, tentang cara melihatnya, Ridha
mengikuti pendapat ulama Salaf yakni ru’yah bi la kaif. Sedangkan Abduh berpendapat bahwa
melihat Tuhan di akhirat adalah dengan suatu daya yang ada pada manusia ataupun daya yang
baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya. Contoh lain mengenai
al-arsy, Ridha menafsirkan sebagai pusat pengendali alam semesta, sedangkan Abduh
menafsirkan dengan kerajaan atau kekuasaan.
Tentang Kalam Allah, Ridha memandangnya sebagai sifat kesempurnaan Tuhan yang
berkaitan dengan ilmu. Kalam adalah sifat yang tetap bagi Allah, sedangkan esensi Kalam
Allah adalah qadim dan azali dan tidak dapat dikatakan sebagai mahluk atau baharu (hadis).
Sedangkan Abduh, kalam bukanlah sifat Tuhan melainkan perbuatan Tuhan, dengan demikian,
al-Qur’an adalah diciptakan.
Metode berpikir Ridha dapat dikategorikan masih terikat pada metode berpikir tradisional,
masih terikat pada salah satu aliran dan mazhab salaf, sedangkan Abduh memakai metode
berpikir rasional dan tidak lagi terikat pada salah satu aliran atau mazhab.
Perbedaan pola pikir antarguru dan murid mungkin disebabkan oleh perbedaan latar
belakang lingkungan keluarga, pendidikan, pengalaman, dan kecerdasan antara keduanya.
Ridha masih dapat ditempatkan ke dalam deretan tokoh pembaru, karena sesungguhnya
yang tradisional hanyalah pemikirannya tetapi sikap-sikap yang ditampilkannya adalah sikap
dinamis. Mungkin karena itu Charles Adams menyebutkan sebagai pembaru yang konservatif.

4. A). Jawaban:
 A). Al-Ikhwan Al-Muslimun atau Ikhwanul Muslimin adalah organisasi Islam tertua
dan terbesar di Mesir. Gerakan yang didirikan oleh Hassan Al-Banna pada 1928 ini
pada awalnya dimaksudkan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Namun dalam
perkembangannya, ajaran Ikhwanul Muslimin menyebar ke luar Mesir dan tumbuh
menjadi gerakan politik karena ingin mengakhiri kendali kolonial Inggris dan
memusnahkan segala pengaruh Barat. Tujuan organisasi ini adalah membentuk
negara yang diatur oleh humuk Syariah, dengan slogan "Islam adalah solusi".
Ikhwanul Muslimin mampu menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, lewat
aktivitas politik yang dipadukan dengan kegiatan amal.
Sejarah dan perkembangan
Ikhwanul Muslimin yang berarti “saudara-saudara Muslim“ didirikan di Kota
Ismailiyah, Mesir, pada 1928 oleh Hassan Al-Banna dengan nama Jam’iyat Al-
Ikhwan al-Muslimin. Saat itu, Hassan Al-Banna didukung oleh enam tokoh lainnya,
yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman
Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Enam tokoh tersebut ingin
mendedikasikan hidup dan menawarkan kekayaan mereka untuk kepentingan
organisasi.
Masa perkembangan Ikhwanul Muslimin dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
fase, sebagai berikut. Fase Perintisan (1928-1932) Pada fase awal ini, konsentrasi
Ikhwanul Muslimin lebih tertuju pada gerakan dakwah yang universal, tidak terbatas
pada kaum muslim. Hassan Al-Banna dan enam tokoh lainnya kemudian mendirikan
kantor pusat, madrasah tandzib, berbagai sekolah ma’had, forum kajian dan ceramah,
penerbitan majalah al-Fath, serta beberapa cabang. Saat Menteri Pendidikan
memindahkan pusat Ikhwanul Muslimin ke Kairo, gerakannya semakin menyebar ke
seluruh mesir.
 Pada bulan Agustus 1941, Maududi bersama 75 pengikutnya mendirikan “Jama’at-i
Islami”. Segera setelah berdiri, Jama’at ini berpindah markas ke Pathankot. Di sini
dikembangkan struktur partai, sikap politik, ideologis dan rencana aksi. Jama’at ini
berkembang pesat dan dapat mengorganisasi seluruh India sehingga berpengaruh
pada perkembangan politik di India. Ketika Pakistan lahir 1947, terpisah dari India,
Maududi dan 385 pengikutnya pindah ke Pakistan, dia benar-benar berkeinginan
mendirikan negara Islam. Pada tahun 1953 Maududi dijatuhi hukuman mati dengan
tuduhan “Subversif”, berkaitan dengan masalah Ahmadiyah Qadiani, tetapi karena
mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah Pakistan mengubahnya
menjadi hukuman seumur hidup.

Dari penjelasan diatas, dibuktikan bahwa Al-Ikhwan Al-Muslimun telah


mendapatkan blacklist namun adanya organisasi Islam ini memjadi yang tertua dan
terbesar di Mesir dan juga tersebar bahkan hingga berdampak bagi negara kita, Indonesia
dibandingkan dengan Jama’at-i Islami di Pakistan yang belum terlalu menyebar di luar
daerah tersebut.

4.B). Karena pemerintah Mesir menyatakan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi


teroris, dengan menjadikan serangan ke markas polisi di Mansour pada 24 Desember
2013 sebagai alasan. Padahal kelompok radikal Ansar Yerusalem telah mengaku
bertanggung jawab atas serangan yang menewaskan 16 orang dan melukai 130 yang lain,
dengan mayoritas korban tewas adalah polisi. Saat organisasi ini sedang berkembang
pesat, Muhammad Fahmi Naqrasyi, Perdana Menteri Mesir, justru membekukannya
karena diduga menyerang target-target Inggris dan Yahudi. Pada 1949, Hassan Al-Banna
meninggal dunia setelah dibunuh secara misterius. Satu tahun berselang, pemerintah
Mesir merehabilitasi Ikhwanul Muslimin, yang kala itu telah dipimpin oleh Hasan al-
Hudhaibi.

5. A). Pola pembaruan neomodernisme yang dicanangkan oleh Rahman dapat dismpulkan
dengan menggiring dua dimensi dan sekaligus hendak mengkompromikannya, yaitu antara
tradisi dan modernitas. Menolak keduanya adalah tidak mungkin sama sekali, demikian juga
menerima kedua tanpa kritisisme sama artinya dengan tidak melakukan pembaruan apapun.
Oleh karena itu, mengingat target Neomodernisme adalah pemecahan masalahmasalah aktual
dan rekonstruksi untuk masa depan secara utuh maka tidak dapat Neo-modernisme harus
membekali dirinya dengan suatu perangkat metodologi yang tepat. Secara singkat dapat
dijelaskan bahwa metodologi sistematis yang ditawarkan Rahman bertumpu pada gerakan
ganda sebagai berikut;
a) Penelaahan historis atas doktrindoktrin Islam secara ilmiah. Dalam hal Ini konteks sosio-
kultural adalah mutlak diperhatikan, karena untuk mendapatkan gagasan yang orisinal
perlu dibedakan doktrin normative dan doktrin historis. upaya ini dapat diakhiri setelah
berhasil merekomendasikan misi Islam secara universal dan jika perlu secara khusus
dalam beberapa aspeknya.
b) Kajian atas kondisi aktual yang berkembang lengkap dengan berbagai problematikanya
dan kemudian merumuskan beberapa alternatif penyelesaiannya dengan tetap berpijak
pada gagasan sentral Qur’an dan Sunnah.

Menurut Rahman sendiri metodologi seperti itu belum pernah dipraktekkan secara
sungguh-sungguh dalam sejarah perkembangan Islam. Akibatnya gerakan pembaruan Islam
belum mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan atas masalah-masalah yang
dihadapinya, dan dengan demikian sulit untuk memberikan perspektif ke depan. Efeknya
lebih jauh dari tidak dikembangkannya metode kontekstual yang sistematis terlhat pada
tulisantulisan keagamaan umat Islam pada abad pertengahan yang mana tidak dapat
memberikan bimbingan yang menyeluruh untuk masa sekarang, baik itu dalam bidang teologi
maupun hukum. Dalam hal ini kata Rahman, fakta yang paling jelas dalam adalah adanya
proses pengadopsian gagasan-gagasan asing dalam bidang teologi dengan ketiadaan wawasan
yang padu akan pandangan dunia al-Qur’an.

Pandangan Rahman demikian memang terjadi dalam sejarah dimana aliran-aliran teologi
membungkus doktrin-doktrinnya dengan gagasangagasan rasional-filosofis yang diambil dari
warisan pemikiran Yunani. Meskipun sumber-sumber dari Yunani itu tidak dengan
sendirinya seluruhnya bertentangan dengan Qur’an tetapi secara pasti adalah asing dan tidak
jarang menunjukkan ide yang berseberangan dengan kandungan al-Qur’an. Sedangkan dalam
bidang hukum menurut Rahman, efeknya terjadi dalam bentuk-bentuk ijtihad yang semata-
mata ad hoc, bersifat juz’i, untuk kasus per kasus, sehingga gagal merumuskan bentuk ijtihad
yang komprehensip dan berjangka panjang.

Memang dalam kenyataannya watak hukum Islam merupakan respon atas maslah-
masalah yang baru muncul dan kemudian dicarikan status hukumnya atau penyelesaiannya
berdasarkan asasasas syari’ah, sehingga hukum Islam tidak pernah menghasilkan suatu teori
yang menyeluruh untuk penyelesaian masalahmasalah yang muncul dalam jangka panjang.
Sangat mungkin yang dilihat Rahman adalah kenyataan bahwa produkproduk hukum Islam
senantiasa ketinggalan zaman mengingat laju dan denyut kehidupan sedemikian cepat
bergerak dengan membawa persoalan-persoalan yang tidak sederhana, sementara dengan
pemecahan masalah secara konvensional yaitu menangani kasus per kasus hanya akan
membuat struktur hukum tidak sistematis dan pada gilirannya juga tidak terarah. Disinilah
kiranya dapat dipahami usulan Rahman tentang perlunya membuat kerangka metodologi
secara sistematis dengan bertolak pada gagasan sentral Qur’an dan Sunnah disertai dengan
pendekatan baru, sehingga produk dan pemikiran teologi maupun hukum nantinya dapat
makin terarah.

B). Revivalisme pasca modernisme dalam menghadapi neo-modernisme dilakukan dengan


membangun argumentasi secara ilmiah dan menawarkan alternatif yang disusun secara ilmiah
juga. Hal ini dikarenakan yang dihadapi vis-a-vis adalah metodologi keilmuan Barat yang
diajdikan argumentasi struktur keilmuan mereka. neo-revivalisme membangun
epistimologinya dengan meng gunakan metodologi Islam yang selama ini sudah terbukti bisa
memajukan umat, namun dengan perbaikan yang dianggap tidak keluar dari prinsip dasar
Islam.

Anda mungkin juga menyukai