Anda di halaman 1dari 4

Gerakan revivalisme Islam timbul pada abad ke-18 M.

yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul


Wahab di Saudi Arabia. Sebagaimana neo-fundamentalisme nantinya, revivalisme ini lahir dari
kesadaran internal umat Islam akan kemerosotan agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh
karena itu, dalam perkembangannya revivalisme berorientasi pada gerakan pemurnian Islam dari
bid’ah, khurafat, tahayyul dan seruan kembali pada al-Qur’an dan Hadis. Ironisnya, pada saat
yang sama aliran ini menyerukan ijtihad, kecenderungan “anti-intelektualisme” juga terus
dikembangkan, sedangkan al-Qur’an dan Hadis sendiri tidak dikaji aspek metodologinya.
Akibtanya, gerakan ini kemudian mengalami stagnasi intelektual, bahkan melebihi kelesuhan
ulama konservatif yang dikritiknya.

Kemunculan revivalisme Islam menurut Dekmejian disebabkan oleh adanya krisis yang hampir
merata di dunia Islam. Krisis tersebut bersifat menyeluruh di segala bidang, sosial-ekonomi,
politik, budaya, psikologi, dan spiritual. Akibatnya terjadi krisis yang kumulatif yang
mencerminkan akumulasi kegagalan dalam mewujudkan pembangunan negara, pengembangan
sosial-ekonomi, dan kekuatan militer. Sebenarnya krisis tersebut telah berlangsung cukup lama,
namun baru mencapai puncaknya pada sekitar 1970-an. Di antara peristiwa besar yang
menyebabkan kesadaran baru kaum revivalis Islam adalah peristiwa 1967, ketika Palestina jatuh
ke tangan Israil, termasuk kota Jerusalem yang selama berabad-abad menjadi simbol salah satu
kota suci bagi umat Islam.

Kata revivalisme dari segi bahasa diderevasikan dari kata “revival” yang berarti “kebangkitan
kembali” atau “kebangunan baru”. Sedangkan kata “revivalis” berarti orang atau kelompok yang
mengalami kebangkitan kembali dari keadaan semula yang statis. Ini semakna dengan kata
resurgence dan kata awakening (kebangunan atau kesadaran)”. Kata revival (kebangkitan
kembali) berarti suatu upaya menghidupkan kembali perasaan keagamaan, sedangkan kata
reform (pembaharuan) adalah upaya memberikan bentuk baru. Pendukung kedua gerakan itu
disebut dengan, yang pertama revivalis, dan yang kedua reformis”. Menurut Fazlur Rahman,
revivalisme Islam (pramodern) adalah gerakan semisal Wahabi, sementara neo-revivalisme
adalah gerakan semisal Ikhwanul Muslimin. Istilah ini juga dipergunakan oleh Yusuf Qardlawi
dengan sebutan “alsakhwah alIslamiyyah” sebagai pengganti istilah fundamentalisme yang
dinilai kurang tepat dipergunakan (Esposito, 1990: 35). Lebih lanjut, Esposito (1990:44)
mendefinisikan ”revival” dengan kebangkitan kembali; atau ikhtiar menghidupkan kembali
perasaan keagamaan. Dalam buku yang lain, beliau menambahkan maksud itu dengan
menuliskan. ”at the heart of the revivalist movements lies the quest for authenticity, identity and
tradition.” ….“Islamic revivalism is not theoretically and politically a unified movement. In fact,
there are significant differences among the Islamist groups on many basic issues. Although
revivalist movements seek to return to the basic or fundamental truths of their religion,
revivalism is not a monolithic, unified and coherent movement, and there is no single strategy for
the pursuit of its goals. There is no precedent for Muslims from different sects uniting under the
banner of Islam, of Jihad, of anything, to form a political military phalanx”. Jika dilihat dari sisi
ideologi, gerakan revivalisme pada umumnya memperjuangkan ide-ide yang diyakini meliputi:
(1) Islam adalah agama dan negara (aldin wa aldaulah); (2) Islam agama menyeluruh, totalitas
dan universal; (3) Kembali kepada Islam yang sebenarnya, yaitu al Quran dan al Sunnah; (4)
Mengidealkan masa depan masyarakat, negara dan peradaban dalam kerangka Syariah Islam. Di
dalam memahami Islam, gerakan revivalisme menggunakan pendekatan tekstual,
literalskriptualistik. Sementara tujuan umum gerakan ini seperti dituturkan berikut (Said,
2000:182-184). “The common objectives of the Islamic revival movement are: (1) Application of
Shari’ah rules, principles and values in Muslim societies and their public institutions; (2)
development of socio-economic and political system which would reflect Islamic principles and
Shari’ah; (3) promotion of cultural identity basic on Islamic principles and heritage which would
confirm historical continuity and represent a defensive response to the alienation which is
associated with Western cultural domination; (4) promotion of Islamic moral values in everyday
life, behavior or social interaction at both the individual and the collective levels; (5) production
of socio-economic model of development, independent from Western industrial control, sensitive
to national culture and responsive to actual local needs. This is a model that stems from the
historical and objective conditions of Arab and Muslim societies; (6) promotion of Arab unity as
a pre-condition for a wider Islamic unity based on the common shared historical Islamic values,
Shari’ah principles and shared interests; (7) revival of Islamic civilization as a model with a
universal message so that the Arab and Muslim world may gain its international status”.
1. Revivalis Islam merupakan kebangkitan kembali Islam ke ajaran yang murni dan bersumber pada
al-Qur’an dan As-Sunnah
2.      karakteristik gerakan-gerakan revivalis Islam tersebut, yaitu: kembali kepada Islam yang asli,
memurnikan Islam pada tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran
bebas, ijtihad dan menolak taqlid, hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir,
keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.
3.      Salah satu contoh dari gerakan revivalis Islam di Timur Tengah adalah Gerakan Wahabi.
4.      Lahirnya gerakan revivalis Islam di Indonesia berawal dari dakwah kampus.
5.      Gerakan-gerakan revivalis Islam di Indonesia antara lain HTI, Tarbiyyah, dan Dakwah Salafi,
gerakan pembaharuan Islam kelompok minoritas (LDII, Al-Irsyad, Isa Bugis dan gerakan
Ahmadiyah).

Garis keras

Hubungan gerakan revivalisme dengan gerakan garis keras, yaitu sama-sama menentang seluruh
ajaran yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadits. Tidak ada toleransi apapun itu, walaupun
hanya sekedar budaya ataupun kejadian turu-temurun. Terlebih lagi produk yang dihasilkan oleh
dunia barat, maka itu akan langsung ditolak. Karena dalam ajaran Islam sudah lengkap dan
terpadu.

Fundamental

Gerakan ini mengkritik hal apa saja yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, terutama mengenai
modernisasi dan sekularisme yang muncul dalam kehidupan berpolitik dan beragama. Gerakan
ini mengupayakan untuk pendekatan Sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis.

Militan

Hubungannya, kedua gerakan ini sangat bersemangat dan besinergi dalam memurnikan ajaran
Islam yang memang sudah sempurna, mulai dari konsep akidah, syariat, berakhlak dan
sebagainya. Dalam peradaban Islam dahulu juga sudah mengajarkan cara berislam yang benar,
maka dalam gerakan ini mengupayakan untuk mengabdi dengan agama sesuai ajaran Islam yang
murni.

Revivalisme Islam juga berhubungan dengan fundamentalisme. Gerakan dan pemikiran ini
muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan
sekularisme dalam kehidupan politik dan keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi
sasaran kritik fundamentalisme Islam, dan di sini fundamentalsime memiliki fungsi kritik.
Seperti ditipologikan oleh Fazlur Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme Islam)
merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut
terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan yang lebih
baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya, fundamentalisme Islam mengajukan tawaran
solusi dengan kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak segala
sesuatu yang berasal dari warisan modernisme Barat.
Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah pendekatannya
yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur‟an dan al-Sunnah).
Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan
penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka -kalau-lah membuat penafsiran-
sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis. Literalisme ini
berkoinsidensi dengan semangat skripturalisme, meskipun Leonard Binder membuat kategori
fundamentalisme non-skriptural untuk pemikir fundamentalis seperti Sayyid Qutb.
Pembedaan yang signifikan antara revivalisme dan undamentalisme adalah, revivalisme Islam
(Islamic revivalism) atau Islamic resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam,
misalnya Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari prototipe Islam fundamentalis
modern

Anda mungkin juga menyukai