Anda di halaman 1dari 17

PEMIKIRAN TEOLOGI FUNDAMENTAL

1.

PENDAHULUAN
Makna fundamentalisme mengalami penyempitan, terbatas pada dan kebudayaan
dan lebih disempitkan lagi dihubungkan dengan Islam. Maka dengan serta merta kata
fundamentalisme bagi orang yang sudah terpengaruh oleh media massa Barat
akanlangsung diidentikan dengan golongan Islam politik. Sehingga fundamentalisme
disamakan dengan Islam atau Islam politik.
Munculnya

fundamentalisme

sebagai

gerakan

keagamaan

sesungguhnya

merupakan reaksi terhadap perjalanan panjang pergolakan dan pertarungan pemikiran di


dunia Barat, tepatnya hubungan antara perseteruan sebagai akibat dari semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin merosotnya peran gereja. Peranan gereja
yang demikian besar, secara perlahan menjadi pudar, apalagi setelah muncul beberapa
gerakan-gerakan besar di Eropa, semisal terjadinya Renaisance, bangkitnya Humanisme
dan Reformasi. Gerakan-gerakan besar inilah yang kemudian menyebabkan kemajuan di
bidang ilmu pengtehuan, yang pada akhirnya kemudian melahirkan Revolusi Industri,
yang membawa perubahan radikal terhadap pandangan manusia atas agama.1
fundamentalisme sebagai gerakan keagamaan sesungguhnya merupakan reaksi
terhadap perjalanan panjang pergolakan dan pertarungan pemikiran di dunia Barat,
tepatnya hubungan antara perseteruan sebagai akibat dari semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan semakin merosotnya peran gereja. Peranan gereja yang demikian besar,
secara perlahan menjadi pudar, apalagi setelah muncul beberapa gerakan-gerakan besar
di Eropa, semisal terjadinya Renaisance, bangkitnya Humanisme dan Reformasi.
Sebagai ideologi gerakan Islam kontemporer, fundamentalisme mewujudkan diri
dalam beragam bentuk, dan berkaitan erat dengan orientasi ideologi lain, sekalipun pada
mulanya fundamentalisme lebih menunjukan watak keagamaan, ia kemudian lebih
dipahami sebagai bentuk ekspresi Islam yang berdimensi politik. makalah ini mencoba
menjelaskan tentang pokok pemikiran fundamentalisme Islam dan fundamentalisme di
Indonesia relevansi dan implikasi
.
2. KERANGKA METODOLOGIS
1

Djaka Soetapa, Asal-Usul Gerakan Fundamentalisme, Jurnal Ulumul Quran, Nomor 3, Vol. IV,
1993, Hlm. 6.

a. Konsep Fundamentalisme
Fundamentalisme, diungkapkan dalam bahasa Arab dengan kata alus liy dengan
bentuk jamaknya al-usliyyn
yang berarti sesuai dengan aturan, prinsip-prinsip dan

kaidah.2 Kata fundamentalisme dalam kamus Saku Grand Larousse Encyclopedique


edisi 1979 hanya mengaitakan dengan agama Katolik saja, yakni kondisi-kondisi
pemikiran di kalangan sebagai penganut Katolik yang menolak penyesuaian dengan
kondisi kehidupan modern. Kemudian edisi revisi terbitan tahun 1987 memberikan
definisi fundamentalisme adalah sikap sementara penganut Katolik yang menentang
semua pembaharuan saat mereka menyatakan keterkaitan dengan warisan lama.3
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata fundamental berarti kata
sifat yang memberikan pengertian bersifat dasar (pokok). Mendasar di ambil dari kata
fundament yang berarti dasar, asas, alas, fondasi.4 Sehingga fundamentalisme bisa
diartikan dengan paham yang berusaha memperjuangkan atau menerapkan sesuatu yang
mendasar atau pokok dalam segala hal.
Adapun awalnya, istilah fundamentalisme berasal dari umat Kristen Protestan di
Amerika Serikat yang mempunyai makna berusaha kembali ke azas ajaran Kristen yang
pertama. Azas mendasar tentang kitab suci yang diusung dalam fundamentalisme tersebut
adalah: (1) Kitab suci secara harfiah tidak mengandung kesalahan (the literal inerrancy of
the scriptures) (mengamankan kitab suci terhadap kritik kitab suci); (2) Kitab suci tidak
dapat dipertentangkan dengan akal manusia; (3) Kitab suci (sacred text) tidak
dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan; (4) Mereka yang tidak sependapat dengan
konsep tersebut dianggap Kristen yang tidak benar.5
Dalam kerangka beraktivitas, fundamentalisme juga mempunyai karakteristik
tertentu yaitu: (1) Bersifat tertutup dan eksklusif; (2) Hidup berkelompok secara
berkoloni, sebagai bias dari cara pandang mereka yang ekslusif; (3) Mempunyai
pemikiran politik yang integralistik yaitu menyatukan antara agama dan kekuasaan; (4)
Merancang perubahan radikal.6

Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, 1999, Hlm. 75.
R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, Penerjemah: Afif Muhammad,
Bandung: Pustaka, 1993. Hlm. 3.
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Edisi I, Cet. Ke-4, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Hlm. 245.
5
Djaka Soetapa, op.cit., Hlm. 8.
6
Nur Rosidah, Fundamentalisme Agama, IAIN Walisongo Semarang Volume 20, Nomor 1, Mei 2012.
Hlm. 14.
3

Bagi fundamentalisme, agama adalah ekspresi tatanan Tuhan, sebagaimana


secara skematis dipertentangkan dengan tatanan sekuler. Dalam perspektif ini, kekuasaan
Tuhan menggantikan kekuasaan manusia. Hal ini sebenarnya memperjelas kentataan
bahwa fundamentalisme bukan semata kebangkitan pandangan dunia agama pra-modern.
Para fundamentalis tidak berdebat mengenai klub-klub intelektual, juga tidak
menyibukkan diri ikut dalam kontroversi-kontroversi teologis. Para fundamentalis adalah
para aktivis ideologis dan politis, terutama yang berkaitan dengan politik.7
b. Sejarah Fundamentalisme Islam
Kalau melihat sejarah perjalanan Islam secara menyeluruh, Fundamentalisme Islam
sudah ada sejak abad ke 6 dan 7. Pada zaman-zaman perkembangan Islam, telah muncul
perpecahan ditengah ummat. Perpecahan itu sudah terjadi ketika Nabi wafat. Umat Islam
saat itu terpecah setidaknnya dalam tiga kelompok untuk menentukan siapa pengganti
Nabi. Pemerintahan itu semakin nyata ketika pemerintahan Khalifah Usman memerintah
dan akhirnya terbunuh oleh sebuah gerakan pemberontakan yang menganggap Utsman
nepotis. Khalifah Usman kemudian digantikan oleh Ali. Pada masa Ali ini lah terjadi
perang Siffin yang sangat terkenal dengan arbitrasenya. Dari sana pula umat Islam
semakin terpecah dalam tiga kelompok besar. Salah satu kelompok yang sangat radikal
adalah Khawarij. Kelompok Khawarij ini banyak disebut sebagai cikal bakal
fundamentalisme Islam. Kelahiran Khawarij sendiri disebut sebagai fittnatul qubro
(fitnah besar).
Khawarij melawan kelompok Muawiyah (pendukung Utsman) dan juga kelompok
Ali. Menurut mereka, kedua kelompok ini telah kafir karena keluar dari ajaran agama
Islam. Mereka begitu mudah memberikan label kafir kepada kelompok yang tidak
sejalan dengan pendapatnya. Pemahaman keagamaan mereka sangat kaku. Mereka
merencanakan pembunuhan terhadap siapa saja yang di nilai kafir. Ali termasuk salah
satu korban pembunuhan yang mereka lakukan.8
Tidak hanya itu, dikelompok Ali sebenarnya juga muncul kaum fundamentalis
yang sangat fanatik terhadap Ali. Bahkan diantara mereka ada yang mengganggap Ali
sebagai Nabi, bahkan sebagai Tuhan. Suatu ketika Nabi mendengar beberapa orang Islam
yang memaksakan diri berkuasa terus menerus, salat sepanjang hari, dan tidak mau
7

Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000. Hlm. 35.
8
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar (keluar dari kelompok Ali). Sekte ini
melakukan oposisi terhadap pemerintahan Ali maupun Muawiyah. Lihat: Nur Rosidah, Ibid. Hlm. 14.

beristri. Hal ini kemudian di tegur oleh Nabi sebagai tindakan berlebih-lebihan dalam
beragama. Ini bukti bahawa fenomena radikalisme beragama ini sebenarnya juga pernah
muncul pada masa Nabi.
Dalam kasus Islam, fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan politik dan
keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi sasaran titik fundamentalisme Islam, dan
disini fundamentalisme memiliki fungsi kritik. Seperti di tipologikan oleh Fazlur
Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme) merupakan reaksi terhadap
kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut terakhir ini tidak
mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai
dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya, fundamentalisme Islam mengajukan tawaran
solusi dengan kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan
menolak segala sesuatu yang berasal dari warisan modernisme Barat.9
Menyelamatkan

Islam

dari

fundamentalisme,

dengan

menganggap

fundamentalisme sebagai fenomena baru atau gerakan pembebasan, juga akan semakin
terbantah kalau kita lebih jauh melihat ajaran teologis Islam itu sendiri. Munculnya
Khawarij, dimana ketika itu belum dikenal globalisasi, inperialisme, kapitalisme global,
dan modernitas, menunjukkan bahwa fundamentalisme tidak cukup dijelaskan dengan
teori reaksi terhadap penindasan dan kehampaan spritual. Ada baiknya perdebatan ini
dilanjutkan lebih dalam kearah doktrin teologi Islam itu sendiri.
Di Indonesia, fundamentalisme Islam disinyalir berkembang sekitar abad ke-17
dengan dua alasan yaitu: Yang pertama untuk memerangi adanya bidah dan khurafat
agar kembali kepada Islam yang benar sebagaimana ajaran Wahhabi, hal ini ditandai
dengan munculnya kelompok Padri di Minangkabau. Yang kedua karena kondisi sosialpolitik serta ekonomi yang carut-marut, sedangkan pemerintah lamban dalam mengambil
tindakan. Pada masa akhir pemerintahan Soeharto muncul fundamentalisme kontemporer
karena saat itu Indonesia mengalami krisis multidimensi yang cukup hebat, adanya
ketidakstabilan sosial-politik, ekonomi dan etika yang parah. Masyarakat menjadi resah
serta kepercayaan terhadap pemerintah dan sistemnya menghilang, sebagaimana yang
dialami oleh kelompok Khawarij pada masa awal kemunculannya.10

Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979. Hlm. 222-223.
Nur Rosidah, Fundamentalisme Agama, IAIN Walisongo Semarang Volume 20, Nomor 1, Mei 2012.

10

Hlm. 14.

c. Landasan Teologi Fundamentalisme


Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada
fundament agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu sendiri
secara rigid dan literalis. Terlepas dari keberatan-keberatan yang dipahami, ide dasar
dalam istilah fundamentalisme Islam terdapat kesamaan dengan fundamentalisme
Kristen, yaitu kembali kepada fundamentals (dasar-dasar) agama secara total dan
literal, bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpretasi. 11 Dalam ranah sejarah,
fundamentalisme Islam berawal dari persoalan teologis, namun dalam perkembangannya
lebih merupakan teori politik ketimbang teologi dan praktik sosial. Menurut kalangan
fundamentalis, Islam bukan hanya diasumsikan sebagai alternatif ideologis, akan tetapi
merupakan keharusan teologis dan politik secara bersamaan.
Teori tersebut dikemas dalam sistem Islam yang menyeluruh, ideal dan
modern dengan cara mengimplementasikan syariat Islam ke seluruh kehidupan pribadi
maupun sosial sesuai dengan nash yang tersurat dalam al- Quran dan Hadits Nabi.
Dengan deskripsi tersebut, fenomena fundamentalisme dalam Islam dapat ditemukan
pada dua akar teologi, yaitu pertama, merujuk pada gerakan yang memperjuangkan
Islam sebagai entitas politik, asumsi ini diperkuat dengan latar sejarah Khawarij yang
pada zamannya menempatkan hukum sebagai landasan politik. Kedua, merujuk pada
generasi awal, yakni pada era kehidupan Nabi dan para sahabatdi mana saat itu orang
Islam hidup secara sederhana dan agama dijalankan melalui prinsip-prinsip dasar Islam.
Untuk melanjutkan akivitasnya, di samping bersandar pada akar teologi juga
menggunakan instrumen yang di sebut jihadyang diartikan dengan perang. Konsep
jihad ini sering kali dilegitimasi oleh kalangan Islam fundamentalis untuk melakukan
tindakan teroris. Alasan yang mendasari berjihad secar teologis adalah sebuah ayat (QS.
al-Baqarah [2]: 120) Tidak akan rela baik Yahudi maupun Nasrani sehingga engkau
tunduk kepadanya. Ayat ini dipahami bahwa orang Yahudi maupun Nasrani adalah
pihak yang perlu diwaspadai karena selalu menyerang terutama terhadap akidah.34
Implikasi dari pemahaman yang literalistik ini dalam sejarah dapat dilihat ketika terjadi
perang Salib antara umat Islam dan Kristen selama kurang lebih 300 tahun.12

11

Abdurrahman Wahid, Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta:
elSAQ Press, 2007. Hlm. 39.
12
Nur Rosidah, op.cit., Hlm. 14.

Kerangka penjelas seperti yang dikemukakan oleh Martin E. Marty (seorang


sosiolog agama) dapat diterapkan dalam melihat gejala fundamentalisme Islam, dengan
beberapa prinsip;13
1) Prinsip pertama fundamentalisme adalah oppotitionalism (paham perlawanan).
2) Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika, Dengan kata lain, kaum
fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya.
3) Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme.
4) Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis.
3.

POKOK-POKOK PIKIRAN FUNDAMENTALISME


Satu ciri keunikan Islam adalah bahwa semua kelompok yang sangat berbeda
sekalipun masing-masing tidak pernah lari dari sumber ajaran Islam (al-Quran dan
hadits). Tidak hanya Islam fundamentalis yang mencari rujukan al-Quran, tapi juga
Islam liberal, bahkan kaum sekuler Islam pun mengklaim punya landasan dalam alQuran itu sendiri.
Ada beberapa ayat-ayat provokatif yang ada dalam al-Quran yang seakan-akan
melegitimasi gerakan fundamentalisme. Salah satu ayat yang paling terkenal adalah wa
la angkal yahudu walan nashara hatta tattabia millatahum (orang Yahudi dan orang
Kristen tidak akan pernah rela kepadamu sampai kamu mengikuti agamanya). Ayat lain
yang lebih mengerikan menyebutkan : faqtulul musyrikiina haitsu wajadtumuuhum
wahshuruuhum waquduu lahum kulla marshadin (maka bunuhlah orang-orang
musyirikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian).14
Ayat tersebut dijadikan dasar melegitimasi tindakan tidak toleran dan terorisme
terhadap kelompok keyakinan yang lain atau tidak, yang jelas ayat-ayat seperti di atas
ada dalam al-Quran. Dan itu dipergunakan sejak abad-6 oleh orang-orang Islam radikal
untuk pembantaian. Untuk membantai sesama Muslim sendiri, kaum Khawarij akrab
mempergunakan ayat waman lam yahkum bimaa anzalallahi, faulaaika humul
kaafirun (barang siapa yang tidak mengikuti hukum Allah, maka mereka adalah orang
kafir). Dan bagi kaum Khawarij, orang yang mengikuti hukum Allah adalah mereka yang
tidak bergabung dalam kelompoknya, dan mereka layak untuk dibunuh.
13

Azyumardi Azra, Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam Survey Historis dan Doktrinal, Jurnal
Ulumul Quran Nomor 3, Vol.IV, 1993. Hlm. 18.
14
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, (Surat Albaqarah ayat 120), Jakarta: PT Syaamil
Cipta Media, 2005. Hlm. 18.

Menurut M. Said Al Asymawi, fundamentalisme itu sebenarnya tidak selalu


berkonotasi negatif, selama gerakan itu bersifat rasional dan spritual. Artinya memahami
ajaran agama berdasarkan semangat dan konteksnya sebagaimana ditunjukkan oleh
fundamentalisme spiritualis rasionalis yang di bedakan dengan fundamentalisme aktivis
politis karena memperjuangkan Islam sebagai entitas politik dan tidak menekankan
pembaharuan pemikiran keagamaan yang otentik.15
Bukan hanya orang yang di anggap kaku pemikirannya yang melakukan tindakan
teroris di dalam sejarah Islam, bahkan orang-orang yang di kenal rasional pun bersikap
fundamentalis. Pada masa pemerintahan kaum Mutazilah (sekte rasional di dalam Islam
klasik), terjadi pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang berbeda pendapat
dengan kaum rasional Mutazilah. Salah satu korbannya adalah salah satu imam besar
kaum sunni, Imam Ahmad bin Hambal.
Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah
pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Quran dan al Sunnah).
Literalisme kaum fundamentalisme tampak pada ketidaksediaan mereka untuk
melakukan penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka kalau-lah membuat
penafsiran sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis.
Menurut Ali Syuabi, fundamentalisme dalam bahasa arab di sebut dengan istilah
ushuliyah,artinya kembali kepada Al Quran dan Sunah. Dari pengertian ini, mayoritas
umat Islam yang beriman bisa digolongkan sebagai fundamentalis (ushuliyun). Mereka
tidak mengamini kekerasan dan tindak terorisme karena bertentangan dengan Al Quran
dan Sunah. Oleh sebab itu, ketika istilah fundamentalisme disematkan kepada gerakan
Islam politik yang seringkali diwarnai dengan aksi kekerasan dan teror, maka tidak bisa
secara mutlak dikatakan sebagai gerakan agama Islam, melainkan lebih dekat kepada
gerakan politik biasa.16
Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan modern.
Fundamentalisme tradisional (ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama atau oligarki
klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam, terutama Syiah.
Islam Syiah memberikan otoritas sangat besar kepada ulama untuk menafsirkan doktrin
agama. Tafsir merekapun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk

15
16

M. Said Al-Asymawi, Menentang Islam Politik, Bandung: Alfiya, 2004. Hlm. 120.
Ali Syuaibi dan Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, Jakarta: Pustaka Azhari, 2004. Hlm. 166-

167.

menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas. 17 Dapat dinyatakan
bahwa salah satu faktor yang mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional)
adalah kuatnya otoritas ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara
fundamentalisme di satu pihak dan tradisionalisme di pihak lain.
Fundamentalisme tradisional menganggap ulama dan penguasa politik merupakan
dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum klerikal, sementara
negara berada di tangan figur sekular presiden , raja. Karenanya, tidak ada teokrasi
dalam Islam, kecuali dalam kasus wilayat al-faqih di Iran.
Para fundamentalis Islam memang menentang Barat, dengan meyakini secara bulat
bahwa dunia telah menyaksikan keruntuhannya dan bahwa karena itu mereka berada
pada satu posisi yang segera akan memproklamirkan tatanan baru untuk menggantikan
tatanan dunia Barat yang sudah tidak dipercaya. Pandangan mereka tentang dunia baru,
sebagaimana mereka katakana, didasarkan pada prinsip politik Islam, tentu saja Islam
seperti yang sudah diinterpretasikan oleh mereka. Seseorang tidak perlu menjadi ahli
tentang gerakan-gerakan Islam untuk mengetahui bagaimana lemah dan terpecahpecahnya gerakan-gerakan ini, dalam pengertian yang relative, dan untuk menduga-duga
dari kelemahan mereka bahwa mereka tidak mampu mewujudkan tatanan dunia baru
yang mereka nyatakan dengan retorika yang menggebu-gebu. Tentu saja, para
fundamentalis dapat merancang level-level terorisme dan menakutkan selain itu
membikin jalan menuju kekacauan, namun sulit membayangkan gerakan-gerakan
fundamentalisme Islam yang beragam dan saling bersaing yang cukup lama muncul
bersama-sama untuk menciptakan tatanan baru, meskipun mereka telah memiliki sarana
ekonomi, politik dan militer yang diperlukan. Argument buku ini adalah bahwa gerakangerakan ini meskipun dapat menciptakan kekacauan di Negara mereka yang dalam waktu
lama mampu menimbulkan kombinasi kekacauan regional dan global, ditunjukkan di sini
sebagai kekacauan dunia baru.18
Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang
ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam terhadap
dunia sekular-modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti ideologi modern,
seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena fundamentalisme bukanlah
17

Olivier Roy, The Failure of Political Islam, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press,
1994. Hlm. 12.
18
Bassam Tibi, op.cit., Hlm. 8.

gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik yang
memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada Islam (syariah), dapat
di pahami mengapa kebanyakan pemimpin fundamentalisme adalah kaum intelektual
tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah
teolog, tetapi pemikir sosial dan aktifis politik. 19 Ini sangat tampak terutama dalam tradisi
fundamentalisme Sunni.
Bagi fundamentalisme Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang
domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi
sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus di dasarkan pada hukum atau
syariat Islam (ideologi Islam). Meskipun kaum fundamentalis meyakini sikap religius
mereka, fundamentalisme corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama
(mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan karakterkarakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik, fundamentalisme di pandang
sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan pluralisme.
Fundamentalisme Islam dapat mengekspresikan orientasi radikal. Radikal Islam
memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian
kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi
Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam
kehidupan publik, terutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah para
keharusan untuk mendirikan negara Islam yang di dasarkan pada syariah. Perbedaa
antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan
Islam. Mereka dengan tegas menolak setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan
demokrasi, kapitalisme, sosialisme atau ideologi barat lainnya. 20 Hanya saja, berbeda dari
Islamis atau neo- fundamentalis, radikalisme Islam memperbolehkan penggunaan cara
kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk mewujudkan agenda dan tujuan politiknya.
Karakteristik fundamentalisme paling menonjol adalah skriptualisme, yaitu
keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan di anggap tanpa
kesalahan. Dengan keyakinan itu, dikembangkan gagasan dasar yang menyatakan bahwa

19

Anwarul Haq Ahady, The Decline of Islamic Fundamentalism, Journal of Asian and African Studies
XXVII, 1992. Hlm. 13.
20
William Shepard, op.cit., Hlm. 11.

agama tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi,
perlunakan, reinterpretasi dan pengurangan.21
Meski ada beberapa kelompok Islam yang menolak disebut sebagai fundamentalis,
namun secara umum tidak dapat dinafikan bahwa didalamnya terdapat beberapa
karakteristik gerakan Islam fundamentalis. Karakteristik-karakteristik yang menjadi
platform gerakan Islam fundamentalis diantaranya sebagai berikut :22
Pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci
agama, dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti
ini di anggap akan mereduksi kesucian agama. Dari segi metodologi, pemahaman, dan
penafsiran teks-teks keagamaan, kaum fundamentalis mengklaim kebenaran tunggal.
Menurut mereka, kebenaran hanya ada di dalam teks dan tidak ada kebenaran diluar teks,
bahkan sebetulnya yang dimaksud adalah kebenaran hanya ada pada pemahaman mereka
terhadap hal yang dianggap sebagai prinsip-prinsip agama. Mereka tidak memberi ruang
(space) kepada pemahaman dan penafsiran selain mereka. Tidak ada kebenaran diluar
itu, baik pada agama lain, maupun dalam aliran lain atau denominasi lain dari agama
yang sama. Sikap yang demikian dalam memperlakukan teks keagamaan, yang menurut
Abou el-Fadl adalah sikap otoriter. Seolah-olah upaya yang dilakukan oleh penafsir teks
lalu di anggap itulah kehendak Tuhan. Menurutnya, para tokoh agama sekarang ini
tidak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan berbicara atas nama Tuhan, bahkan
menjadi corong Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan moral di atas bumi. Hal ini
cukup berbahaya karena ketika terjadi perselingkuhan antara agama dan kekuasaan,
maka yang muncul keudian adalah otoritarianisme atau kesewenang-wenangan penguasa
(baca: pembaca).23
Kedua, mereka memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis
cenderung menganggap dirinya sebagai panafsir yang paling absah atau paling benar
sehingga memandang sesat kepada aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka
juga tidak bisa membedakan antara din (agama) dan dini (pemikiran keagamaan) yang
berbentuk tafsir. Adapun yang lebih parah adalah adanya klaim hanya tafsir dan pendapat
mereka sendiri yang paling benar, sementara tafsir dan pendapat orang lain/kelompok
21

Azumardi Azra, Fenomena Fundamentalisme dalam Islam, dalam Ulumul Quran No. 3 Vol. IV,

1993.
22

Abdurrahman Kasdi, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan
Politisasi Agama, Jurnal Tashwirul Afkar, Jakarta: LAKPESDAM dan The Asia Foundation, Edisi No. 3, 2002.
Hlm. 21.
23
Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, Penerjemah: R. Cecep
Lukman Yasin, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004. Hlm. 16.

10

lain salah. Padahal, dalam khazanah Islam perbedaan tafsir merupakan sesuatu yang
biasa hingga dikenla banyak mazhab.
Sikap keagamaan seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan. Dengan dalih
atas nama agama, atas nama membela Islam, atas nama Tuhan, mereka melakukan tindak
kekerasan, pengerusakan, penganiayaan, bahkan sampai pembunuhan. Pertanyaaannya
adalah benarkah agama menjustifikasi kekerasan, benarkah hanya karena perbedaan
agama, perbedaan tafsir dan pendapat seseorang boleh membunuh manusia lainnya yang
tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?
Kaum fundamentalisme sebenarnya tidak serta merta meski memilih jalan
kekerasan, namun banyaknya fundamentalis yang tidak sabar melihat penyimpangan
dalam masyarakat dan melakuka tindakan kekerasan atas mereka yang dianggap
bertanggung jawab. Selanjutnya, kekerasan dan fundamentalisme dalam kesadaran
banyak orang sangat sulit untuk dipisahkan. Selain itu, peran media massa sengat besar
dalam penisbahan yang salah kaprah ini.24
Bagi orang yang percaya akan paham ini akan selalu mengarahkan segala
kegiatannya sesuai dengan pemahaman mereka. Model pegerakan sangat mendominasi
aktivitasnya. Mereka sadar betul bahwa pemahaman jika tidak diamalkan akan tinggal
teori belaka, yang tidak berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Secara otomatis
mereka senang terhadap kekerasan, teror dan perang, karena berambisi untuk merubah
orang lain, dan sulit untuk toleran dengan lingkungan yang berlainan dengan pahamnya.
Mereka senang sekali memberi arahan kepada pembelot dan orang-orang yang dianggap
kafir.
Selain itu mereka percaya terhadap kebenaran absolut dalam agama mereka,
sehingga menggiring kepada fanatisme dan penindasan terhadap golongan lain. Pada
realitasnya fundamentalisme lebih cenderung kepada kekerasan dari pada dialog dan
saling memahami.
Akibatnya mereka malas dan ogah mengkaji akidah yang di anut, dan tak berusaha
menyegarkan pemahaman terhadap keyakinan mereka. Bagi mereka Tuhan selalu
mendukung paham-paham yang mereka anut, setelah memberikan batasan-batasan apa
yang sepatutnya menjadi akidah. Disaat seperti ini mereka telah dengan sengaja
mencabut akar sejarah nash-nash agama, seperti dalil-dalil yang dipakai untuk

24

Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme, dalam Negara Tuhan: The Thematic Enclycopeida,
Jakarta: SR Ins Publishing, 2004. Hlm. 798.

11

menguatkan ataupun menentang satu pemahaman tertentu. Dan inilah yang dimaksud
dengan ideologi kitab.
4. FUNDAMENTALISME

DI DINDONESIA : SEBUAH IMPLIKASI DAN

RELEVANSI
Dalam konteks Indonesia, pemetaan orientasi ideologi gerakan Islam
membutuhkan observasi dan identifikasi yang mendalam. Namun, jika kita mengikuti
pendekatan Olivier Roy atau Nazih Ayubi, maka fundamentalisme Islam di Indonesia
memiliki karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dari rekannya di kawasan Timur
Tengah misalnya, meskipun terdapat keunikkan dan paradoks-paradoks.
Menurut Mahmud Amin al Alim, istilah fundamentalisme secara etimologi berasal
dari kata fundamen, yang berarti dasar. Secara terminologi, berarti aliran pemikiran
keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan
literalis

(tekstual).

Menurutnya

pemikiran

fundamentalisme

telah

kehilangan

relevansinya karena zaman selalu berubah dan problematika semakin kompleks. Perlu
dilakukannya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan mengedepankan
ijtihad, membongkar teks-teks yang kaku, dan mengutamakan masalah serta maqashid
al-syariah.25
Munculnya gerakan keagamaan yang berkarakter fundamentalis merupakan
fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer di Indonesia. Hal ini
disebabkan definisi yang dibuat tidak sepenuhnya mampu mendeskripsikan fenomena
beragam atas gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia. Selain itu, dalam
beberapa literatur, istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena kontemporer
fundamentalisme Islam tidaklah seragam. Istilah Islam fundamentalisme sering kali
dipakai secara overlapping dengan istilah Islam radikal atau Islam revivalis.
Sementara itu, fundamentalisme modern atau neo- fundamentalisme dalam politik
diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadailan Sejahterah (PKS),
Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang bercita-cita mendirikan
negara Islam dengan dasar syariah dan ideologi Islam. Mereka yang memperjuangkan
Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk dalam kelompok fundamentalisme atau
neo- fundamentalisme. Mereka tidak mempersoalkan watak negara-bangsa dengan
demokrasi sekularnya. Namun, secara subtansial sesugguhnya terdapat paradoks antara
penerimaan mereka terhadap sistem politik sekular dengan perjuangan mereka
25

Abdurrahman Kasdi, op.cit., Hlm. 20.

12

menerapkan syariat Islam. Jadi, ditemukan adanya sikap kompromistis atau bahkan
pragmatis dikalangan kelompok fundamentalis Islam ini, tidak lagi taktik politik.
uluSedangkan berdasarkan karakteristik-karakteristik yang menjadi platform
gerakan fundamentalis di Indonesia, terdapat beberapa kelompok yang diasumsikan
sebagai kelompok Islam fundamentalis. Di antaranya adalah Front Pembela Islam (FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jamaah (FKAWJ),
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan laskar Jihad.26
Contoh fundamentalisme Islam adalah Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang
memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai dasarnya.
Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan mereka tidak untuk
mendirikan negara Islam di Indonesi, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi
membangun negara Islam trans-nasional dibawah kepemimpinan tunggal khilafah
Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan jamaah Islamiyyah yang di
anggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah
kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI maupun MMI memiliki kesamaan dalam
orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular, demokrasi dan hegemoni
Barat (Amerika) Meminjam Roy, mereka ini adalah kelompok political Islam (Islam
politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Iindonesia.
Sementara itu, ekspresi fundamentalisme Islam yang lain adalah orientasi
radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI), dan
Laskar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat
masyarakat, tidak pada level negara. Dengan mengikuti penjelasan Roy terdahulu,
orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum fundamentalis dari
pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara) ke pengislaman (penerapan
syariah pada level masyarakat). Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam,
tetapi lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat. Hanya saja,
dalam mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga moralitas Islam, mereka
cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan.
Maraknya terorisme dan radikalisme yang berasal dari fundamentalisme Islam
membuat banyak kalangan ketakutan atas memudarnya citra Islam yang baik, damai, dan
mengayomi semua ummat manusia. Lalu di bikinlah sebuah teori, bahwa
26

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004. Hlm. 10.

13

fundamentalisme

Islam

tidak

ada

hubungannya

dengan

islam

itu

sendiri;

fundamentalisme Islam adalah fenomena baru yang muncul di abad 19 atau 18;
fundamentalisme hanyalah semacam reaksi terhadap tatanan kehidupan yang lebih global
saat ini.
5.

KESIMPULAN
Dari uraian penulis, dapat dicapai beberapa poin penting. Pertama,
fundamentalisme yang pada awalnya berasal dari agama Kristen di Amerika dengan
azasnya yang keras diadopsi oleh agama-agama lain termasuk Islam dengan azas dan
karakter yang serupa walau tidak sama persis. Kedua, fundamentalisme pada mulanya
muncul akibat masalah teologi namun selanjutnya berkembang sejalan dengan
perkembangan politik ketimbang masalah teologi. Ketiga, dalam rentang sejarah
fundamentalisme Islam merujuk pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
munculnya sekte Khawarij yang berwatak keras sebagai akibat ketidakpercayaan
sekelompok masyarakat terhadap kebijaksanaan pemerintah.
Pemikiran teologi fundamentalisme, dalam banyak hal muncul sebagai reaksi
terhadap teologi modernisme yang dipandang telah mengobarkan Islam untuk
kepentingan modernisasi yang oleh kalangan fundamentalis dianggap nyaris identik
dengan westernisasi. Tema pokok teologi ini adalah kembali pada Islam yang murni
sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Juga, tema lain yang
cukup dominan adalah Islamisasi pemikiran dan kelembagaan masyarakat Muslim.
Dilihat dari substansinya pandangan, sikap dan keyakinan keagamaan kaum
fundamentalis tidak keluar dari Islam. Mereka termasuk orang muslim dan mukmin yang
taat, bahkan dapat dikatakan bahwa mereka sangat berpegang teguh pada ajaran Islam
serta ingin memperjuangkannya dengan segala upaya dan kemampuan yang dimiliki agar
ajaran, yang mereka pahami dengan benar dapat dilaksanakan oleh seluruh ummat
manusia tanpa kecuali. Dengan demikian, kehadiran fundamentalisme tidak mesti di
respon secara searah dan dengan pandangan negatif.
Dari militansi yang terlihat dalam kelompok fundamentalis, dapat diambil
pelajaran mengenai semangat kerja, dan kemampuan untuk bekerja keras. Kemalasan
dan kelemahan semangat merupakan penyakit yang menimpa kaum muslimin. Negeri ini
untuk waktu yang cukup lama. Fundamentalisme mengajak manusia untuk berbuat dan
untuk tidak diam saja karena piliham lainnya adalah perubaha kearah yang lebih buruk.
14

6.

PENUTUP
Demikianlah makalah ini penulis

susun sebagai tambahan ilmu pengetahuan

tentang fundamentalisme dalam Islam. Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami
harapkan untuk kebaikan kita bersama dan perbaikan penulis makalah berikutnya. Atas
perhatian dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Ahady, Anwarul Haq, The Decline of Islamic Fundamentalism, Journal of Asian and African
Studies XXVII, 1992.
Al-Asymawi, M. Said, Menentang Islam Politik, Bandung: Alfiya, 2004.
Al-Fadl, Abou, Atas Nama Tuhan: Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, Penerjemah: R.
Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Azra, Azumardi, Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam Survey Historis dan Doktrinal,
Jurnal Ulumul Quran Nomor 3, Vol.IV, 1993.
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, 1999, Hlm. 75.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Edisi I, Cet. Ke-4, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Garaudy, R., Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, Penerjemah: Afif
Muhammad, Bandung: Pustaka, 1993.
Jamhari, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
15

Kasdi, Abdurrahman, Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana
dan Politisasi Agama, Jurnal Tashwirul Afkar, Jakarta: LAKPESDAM dan The Asia
Foundation, Edisi No. 3, 2002.
Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme, dalam Negara Tuhan: The Thematic
Enclycopeida, Jakarta: SR Ins Publishing, 2004.
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979.
Rosidah, Nur, Fundamentalisme Agama, IAIN Walisongo Semarang Volume 20, Nomor 1,
Mei 2012.
Roy, Olivier, The Failure of Political Islam, Cambridge, Massachusetts: Harvard University
Press, 1994.
Soetapa, Djaka, Asal-Usul Gerakan Fundamentalisme, Jurnal Ulumul Quran, Nomor 3, Vol.
IV, 1993.
Syuaibi, Ali dan Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, Jakarta: Pustaka Azhari, 2004.
Tibi, Bassam, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000.

Wahid, Abdurrahman, Islam Liberal dan Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana,


Yogyakarta: elSAQ Press, 2007.

PEMIKIRAN TEOLOGI FUNDAMENTAL

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Dr. Nasihun Amin, MA.

16

Disusun Oleh :
Bobby Rachman Santoso
1400018053

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

17

Anda mungkin juga menyukai