Anda di halaman 1dari 17

Bahan Makalah Kuliah

KOPI AKSES, 25/1/2022

Fundamentalisme Islam
Perspektif Historis dan Doktrinal
Prof Azyumardi Azra, CBE

‘Fundamentalisme’ adalah istilah relatif baru dalam kamus


peristilahan Islam. Istilah ‘fundamentalisme Islam’ di kalangan Barat
mulai populer berbarengan dengan terjadinya revolusi Islam Iran pada
1979 yang memunculkan kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik
yang siap mati melawan the Great Satan, Amerika Serikat. Meski istilah
fundamentalisme Islam baru populer setelah peristiwa historis ini, namun
dengan mempertimbangkan beberapa prinsip dasar dan karakteristik,
seperti kita lihat nanti, fundamentalisme Islam telah muncul jauh
sebelumnya.
Setelah revolusi Islam Iran, istilah fundamentalisme Islam
digunakan untuk menggeneralisasi berbagai gerakan Islam yang muncul
dalam gelombang yang sering disebut sebagai ‘kebangkitan Islam’
(Islamic revival). Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat
gejala ‘kebangkitan Islam’, yang muncul dalam berbagai bentuk
intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam yang diikuti pencarian
dan penegasan kembali nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
Tetapi menyebut semua gejala intensifikasi itu sebagai fundamentalisme
Islam jelas merupakan simplikasi distortif.1
Fundamentalisme Islam bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem
dari gejala revivalisme (revivalism, kebangkitan kembali). Jika
revivalisme dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke
dalam (inward oriented)–dan karenanya sering bersifat individual–pada
fundamentalisme, intensifikasi itu juga diarahkan ke luar (outward
1
Lihat,Bruce Lawrence, ‘From Islamic Revivalism to Islamic Fudamentalism’, Currents in Modern Thought, Februari 1991.
Argumen Lawrence lebih luas dapat dilihat dalam Defenders of God; The Fundamentalist Revolt against the Modern Age,
London:1990. Bandingkan J.L.Esposito, The Islamic Threat; Myth or Reality?, New York: 1992, 7-8; Dilip Hiro, Islamic
Fundamentalism, London: 1989, 1-3.
oriented). Tegasnya, intensifikasi bisa berupa sekadar peningkatan
attachment pribadi pada Islam–dan sebab itu sering mengandung dimensi
esoteris–tetapi fundamentalisme menjelma dalam komitmen tinggi tidak
hanya untuk mentransformasi kehidupan individual, tetapi sekaligus
kehidupan komunal dan sosial. Karena itu, fundamentalisme Islam juga
sering bersifat eksoteris yang sangat menekankan batas kebolehan dan
keharaman berdasarkan fikih (halâl-harâm complex).
Mempertimbangkan sedikit kualifikasi di atas, jelas membuat batas
apa yang disebut ‘fundamentalisme Islam’ tidak terlalu mudah. Terdapat
ahli dan kalangan Muslim yang menolak penggunaan istilah
‘fundamentalisme’ untuk menyebut gejala intensifikasi Islam. Hujjah-
nya, secara historis penggunaan istilah ini berkaitan dengan kebangkitan
fundamentalisme dalam gereja Protestan, khususnya di Amerika Serikat.2
Sedangkan bagi Garaudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang
tidak terbatas pada agama; terdapat pula fundamentalisme di bidang
politik, sosial dan budaya. Karena baginya, fundamentalisme adalah
“suatu pandangan yang ditegakkan di atas keyakinan, baik bersifat
agama, politik ataupun budaya, yang dianut pendiri yang menanamkan
ajarannya di masa lalu dalam sejarah”.3
Mempertimbangkan keberatan seperti itu dan untuk lebih
memperjelas pengertian, sebagian pengamat lain mempergunakan istilah
integrisme (Prancis) untuk menyebut fenomena fundamentalisme. Bagi
mereka, integrisme dipandang lebih cocok; istilah ini semula mengacu
kepada kelompok ‘tradisionalis’ Katolik yang ingin mengintegrasikan
seluruh kehidupan ke dalam agama mereka; dan sebaliknya, agama ke
dalam seluruh aspek kehidupan.4
Gagasan atau posisi yang mengacu pada istilah fundamentalisme
(atau integrisme) masih perlu dielaborasi lebih jauh lagi. Seperti
dikemukakan Gellner, gagasan dasar fundamentalisme adalah bahwa
suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal (harfiah) dan
bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.5
2
Untuk pembahasan tentang penggunaan istilah fundametalisme Kristen dan perkembangan gerakannya, lihat Azyumardi Azra,
‘Fundamentalisme Kristen: Fenomena Kebangkitan Agama di AS’, Kompas 6 Maret 1987.
3
Pandangan Garaudy tentang fundamentalisme umumnya bernada apologetik, lihat R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan
Fundamentalis Lainnya, Bandung: 1993, 1.
4
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, London: 1987, 304; W.M Watt, Islamic Fundamentalism
and Modernity, London:1998, 2.
5
Ernest Gellner, Post Modernism, Reason and Religion, London: 1992, 2.
Kalangan Muslim tertentu yang keberatan dengan istilah
fundamentalisme, terutama berdasarkan konteks historis istilah ini
dengan fundamentalisme Kristen. Karena itu, sebagian mereka
menggunakan istilah ushûliyyûn (pokok atau dasar) untuk menyebut
orang fundamentalis yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-
fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat pada al-Qur’an dan al-
Hadîts. Dalam kaitan ini pula digunakan istilah al-Ushûliyyah al-
Islâmiyyah (fundamentalis Islam) yang mengandung pengertian; kembali
kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik
ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas absah (syar’iyyah al-
hukm). Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik
gerakan Islam ketimbang aspek keagamaannya.6
Terdapat sejumlah istilah lain dalam bahasa Arab yang digunakan
kalangan fundamentalis Islam untuk mengacu kepada kelompok atau
gerakan mereka. Yang terpenting di antaranya adalah; islâmiyyûn (kaum
Islamis), ashliyyun (kaum otentik, asli), dan salâfiyyûn (pengikut para
sahabat Nabi). Sedangkan istilah muta’assib digunakan kalangan non-
fundamentalis untuk menunjuk kelompok militan yang tidak enggan
menggunakan kekerasan. Selain itu pula digunakan istilah mutatarif
untuk menyebut ekstrimis. Dari semua istilah ini, yang paling lazim
digunakan tentu saja adalah istilah ushûliyyûn (kaum fundamentalis) dan
al-ushûliyyah al-Islâmiyyah (fundamentalis Islam).
Untuk lebih memperjelas fenomena fundamentalisme Islam,
kerangka yang diberikan sosiolog agama, Marty,7 dengan beberapa
modifikasi, agaknya cukup relevan ditereapkan untuk melihat gejala
fundamentalisme Islam. Prinsip pertama fundamentalisme adalah
‘oppositionalism’ (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama
manapun mengambil bentuk perlawanan–yang bukan tak sering bersifat
radikal–terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi
agama, apakah dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi,
dan tata nilai Barat umumnya. Acuan dan tolok ukur untuk menilai
tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus
6
Lihat Elsayed Elshahed, ‘What is the Challenge of Contemporary Islamic Fundamentalism?’ dalam Hans Kung & Jurgen
Moltmann (eds.), Fundamentalism as a Ecumenical Challenge, London: 1992, 62-3; R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution:
Fundamentalism in the Arab World, Second Edition, Syracuse: 1995, 4.
7
Lihat Martin E. Marty, ‘Whats is Fundamentalism? Theological Perspective’. dalam Kung & Moltmann (eds.),
Fundamentalism, 3-13.
fundamentalisme Islam adalah al-Qur’ân, dan pada batas tertentu al-
Hadîts.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap heurmeneutika. Dengan
kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan
interpretasinya. Teks al-Qur’ân harus dipahmi secara literal–sebagaimana
adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi
tepat terhadap teks. Meski bagian tertentu teks kitab suci boleh jadi
kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan
semacam kompromi dan menginterpretasikan ayat-ayat suci.
Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan
relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil
dari pemahaman keliru atas teks kitab suci. Pemahaman dan sikap
keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis
merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul
tidak hanya dari interpretasi nalar terhadap kitab suci, tetapi juga karena
perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali
agama.
Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis
dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, perkembangan
historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari
doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah
dianggap sebagai ‘as it should be’ (sebagaimana seharusnya) bukan ‘as it
is’ (sebagaimana adanya). Dalam kerangka ini, masyarakat yang harus
menyesuaikan perkembangannya–kalau perlu secara kekerasan–dengan
teks kitab suci, bukan sebaliknya teks atau penafsirannya yang mengikuti
perkembangan masyarakat. Karena itu, kaum fundamentalis bersifat a-
historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada
bentuk masyarakat ‘ideal’–bagi kaum fundamentalis Islam seperti pada
zaman kaum Salaf–yang dipandang mengejewantahkan kitab suci secara
sempurna.

Fundamentalisme Islam pra-Modern


Orang seperti Garaudy keliru dengan menisbahkan kemunculan
fundamentalisme Islam semata-mata pada dunia Barat moderen. Seperti
dia kemukakan, fundamentalisme Barat adalah sebab pertama, sedangkan
fundamentalisme lain [termasuk fundamentalisme Islam] adalah reaksi
terhadap fundamentalisme Barat tersebut.8 Tetapi, menuding Barat
sebagai penyebab pertumbuhan gerakann Islam–termasuk
fundamentalisme–bukan hanya pencerminan sikap apologetik tetapi juga
mensimplifikasikan gejala dan perkembangan sosio-historis kaum
Muslimin. Seperti terlihat nanti dalam pembahasan, prinsip dan
karakteristik yang membuat suatu gerakan tertentu dapat disebut
fundamentalis, juga terdapat di kalangan kaum Muslim sepanjang
sejarah.
Fundamentalisme Islam dengan demikan, tidak sepenuhnya baru.
Sebelum munculnya fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan
yang dapat disebut sebagai prototype (pola dasar) gerakan
fundamentalisme yang muncul dalam masa lebih belakangan. Maka,
untuk menghindari kekeliruan ini, ada baiknya kita membagi gerakan
fundamentalisme menjadi dua tipologi: pra-modern, dan kontemporer
yang dapat pula disebut neo-fundamentalisme. Fundamentalisme pra-
modern muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu di kalangan umat
Muslimin sendiri. Karena itu, ia lebih genuine dan inward oriented–
berorientasi ke dalam kaum Muslim sendiri. Pada pihak lain,
fundamentalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi
sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat, baik sebagai
akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim–
tegasnya kelompok modernis, sekularis, dan westernis–atau rejim
pemerintahan kaum Muslim yang menurut kaum fundamentalis
merupakan perpanjangan mulut dan tangan Barat.
Sebelum membahas panjang lebar tentang fundamentalisme Islam
pra-modern, ada baiknya disinggung sedikit tentang gerakan Khawârij
(Khârijî) yang dapat disebut sebagai gerakan fundamentalisme Islam
klasik, yang pada gilirannya mempengaruhi banyak gerakan
fundamentalisme Islam sepanjang sejarah. Gerakan Khawârij yang
muncul dari pertikaian Khalifah ‘Ali bin Abî Thalib dengan Mu’âwiyah
ibn Abî Sufyân, terkenal dengan prinsip radikal dan ekstrim; bagi mereka
tidak ada hukum, kecuali hukum Allah (lâ hukm illa Allâh)
Gerakan fundamentalisme Islam pra-modern pertama, yang
selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalis Islam
muncul di Semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhammad ibn
8
Garaudy, Islam Fundamentalis, 3.
‘Abd al-Wahhâb (1703-92). Banyak dipengaruhi gagasan pembaharuan
Ibn Taymiyah dan memperoleh pendidikan di kalangan ‘ulamâ’ reformis
di Haramayn, Ibn ‘Abd al-Wahhâb menggoyang pendulum reformasme
Islam ke titik ekstrem: fundamentalisme Islam radikal. Bekerjasama
dengan kepala kabilah lokal di Nejd, Ibn Sa’ud (w.1765), Ibn ‘Abd al-
Wahhâb melancarkan jihad terhadap kaum Muslim yang ia pandang telah
menyimpang dari ajaran ‘Islam murni’. Menurut Ibn ‘Abd al-Wahhab,
banyak kaum Muslim mempraktikkan bid’ah, khurafat, takhayul dan
semacamnya. Fundamentalisme Wahhabi tidak hanya berupa purifikasi
tawhid, tetapi juga penumpahan darah dan penjarahan Mekkah dan
Madinah yang diikuti pemusnahan monumen-monumen historis yang
mereka pandang sebagai lokus praktik menyimpang.9
Fundamentalisme Islam, baik yang secara langsung atau tidak
langsung dipengaruhi gerakan Wahhâbî, segera muncul di berbagai
penjuru dunia Islam. Sedikit mencengangkan, fundamentalisme Islam ala
Wâhhabî kemudian justru muncul di kawasan yang disebut orang sebagai
wilayah periferal dalam peta Dunia Muslim. Perlu dicatat, kekuatan
kolonialisme Eropa pada masa ini memang sudah berada di ambang
pintu Dâr al-Islâm, tetapi belum lagi menjadi faktor signifikan dalam
pertumbuhan gerakan fundamentalisme Islam.
Di Nigeria Utara, Syaikh ‘Utsmân dan Fodio (1754-1817) yang
secara intelektual mempunyai kaitan erat dengan jaringan ‘ulamâ’
reformis yang berpusat di Haramayn melancarkan aksi jihad memerangi
penguasa Muslim dan para pendukungnya yang ia pandang korup dan
menjalankan praktik Islam yang bercampurbaur dengan tradisi budaya
lokal. ‘Utsmân dan Fodio berhasil mendirikan Kekhalifahan Sokoto,
meskipun cuma berumur singkat. Gerakan jihad juga muncul di Afrika
Barat, di bawah pimpinan al-Hâjj ‘Umar Tâl (1794-1865). Gerakan
fundamentalisme ‘Umar Tâl menyebar di berbagai wilayah yang
sekarang termasuk Guinea, Senegal, dan Mali.10

9
Tentang akar-akar intelektualisme dan radikalisme Ibn ‘Abd al-Wahhâb, lihat Azyumardi Azra, ‘The Transmission of Islamic
Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesia ‘Ulamâ in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries’, PhD diss., Columbia University: 1992, 283-7; Tentang perkembangan Wahabiyah, lihat L.A. Corence, Historie de
Wahhabis, Paris: 1810.
10
Lihat, Azra ‘The Transmission’, 313-9; M. Hiskett, The Sword of Truth: The Life and Times of and Times of the Shehu
Usuman dan Fodio, New York: 1973; Ibrahim Sulaiman, A Revolution in History: The Jihad of Ushman dan Fodio, London:
1986, B.G. Martin, Muslim Brotherhoods in Nineteenth Century Africa, Cambridge: 1976. Lansine Kaba, The Wahhabiya:
Islamic Reform and Politics in French West Africa, Evanston, Illionis:1974.
Bergeser ke ujung Dunia Muslim, gerakan fundamentalisme yang
mirip Wahhâbî muncul dalam gerakan Padri di Minangkabau. Sama
dengan perkembangan awal gerakan Wahhabi dan lingkungan ‘ulamâ’
reformis dan kosmopolitan di Haramayn, Gerakan Padri bermula dari
pembaharuan moderat yang dilancarkan Tuanku Nan Tuo dari murid-
muridnya dari Surau Koto Tuo, Agam, sejak perempatan terakhir abad
ke-18. Oposisi keras dari para pembaharu moderat dan kaum adat
merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya radikalisasi
gerakan ini oleh sebagian murid lain Tuanku Nan Tuo, khususnya
Tuanku Nan Renceh. Kembalinya pada 1803 tiga haji–Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang—setelah melaksanakan ibadah haji di
Mekkah pada waktu kaum Wahhâbî berjaya di Tanah Suci menjadi
trigger (pemicu) Gerakan jihad Kaum Padri melawan kaum Muslim lain
yang menolak mengikuti ajaran keras mereka. Di antara pokok-pokok
pandangan Kaum Padri yang kelihatan mirip dengan ajaran Wahhâbî
adalah oposisi terhadap bid’ah dan khurafat, dan pelarangan penggunaan
tembakau dan pakaian sutra.11
Selanjutnya, gerakan fundamentalis ala Wahhabi juga menemukan
lahan cukup subur di Anak Benua India. Sementara Kesultanan Mughal
semakin merosot, Sayyid Ahmad al-Brelvi (atau Ahmad Syahîd, 1786-
1831), memaklumkan jihad untuk memurnikan Islam dari budaya lokal,
Hindu dan Sikh di kalangan kaum Muslim. Gerakan jihad Ahmad al-
Brelvi bersumber atau mengambil inspirasi dari ajaran Syâh Walî
Allâh(1703-62) dan puteranya Syâh ‘Abd al-‘Azîz (w.1842). Syâh Wali
Allâh, yang juga termasuk ke dalam kelompok jaringan ‘ulamâ’ reformis
yang berpusat di Haramayn, dalam berbagai karyanya menghimbau
pembangkitan kembali Islam murni dengan melenyapkan pengaruh
ajaran dan tradisi Hindu dan Sikh di kalangan kaum Muslim. Ahmad
Brelvi membangun kekuasaan Dâr al-Islâm di wilayah barat-daya Anak
Benua India, walaupun hanya untuk waktu singkat.12
Dalam gerakan fundamentalis selanjutnya, warna anti Barat
muncul secara signifikan, walau tema ‘kembali kepada Islam murni’ juga
11
Lihat Azyumardi Azra, ‘The Surau and the Early Reform Movements in Minangkabau’, Mizan, 3,II: (1990); W. Kraus,
Zwischen Reform und Rebellion: Uber die Enwicklung des Islams in Minangkabau (Westsumatra) Zwischen den Beiden
Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908), Weisbaden: 1984; Adrianus Khatib, ‘Kaum Padri dan
Pembaharuan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau’, disertasi Doktor, IAIN Jakarta, 1992.
12
Pembahasan yang simpatik tentang Ahmad al-Brelvi, lihat, Mohiuddin Ahmad, Sayyid Ahmad Shahid: His Life and Mission,
Lucknow: 1975.
tidak ditinggalkan. Salah satu contoh adalah Gerakan Farâ’idhi di Bengal
(kini Bangladesh). Gerakan ini dikembangkan Haji Syari’at Allâh (1781-
1840), yang pada intinya menekankan penerapan syari’ah dan ajaran al-
Qur’ân secara ketat. Dimotivasi pula oleh kenyataan terjadinya disrupsi
kehidupan masyarakat Muslim akibat intrusi kekuatan politik dan sistem
ekonomi Inggris, Syarî’at Allâh menggalang massa petani Muslim untuk
melakukan jihad melawan kaum Hindu dan Inggris.13
Gerakan fundamentalis Islam di akhir masa transisi ini yang perlu
disinggung adalah gerakan jihad yang diorganisasi Sayyid
Muhammad‘Abd Allâh Hasan (1864-1920) di Sudan dan Somalia. Hasan
dengan keras mengecam Muslimin yang mempraktikkan ‘bid’ah-bid’ah
pagan’, semacam meminta wasilah di kuburan ‘awliyâ’. Antara 1899
sampai 1920 ia memimpin jihad melawan musuh internal (Muslim lain)
dan musuh eksternal (Inggris, Italia dan Prancis). Gerakan ini dalam
perkembangan lebih lanjut mengklaim kemunculan Imâm Mahdî dalam
diri Muhammad Ahmad ibn ‘Abd Allâh (1844-85). Nama terakhir ini
memaklumkan kemahdiannya pada 1881. Ia menuntut kesetiaan dari para
pengikutnya melalui bay’ah; hijrah dari wilayah Muslim lain; dan jihad
untuk menyucikan Islam dari pengaruh keberhalaan bid’ah. 14

Akar Fundamentalisme Islam Kontemporer al-Banna, Quthb dan


Mawdûdî
Interaksi, penetrasi dan akhirnya penjajahan Barat atas hampir
seluruh wilayah Muslim dalam masa modern tidak hanya mengakibatkan
disintegrasi politik Muslim, tetapi juga menimbulkan pergumulan sangat
intens di kalangan kaum Muslim sendiri. Superioritas Barat dalam
berbagai lapangan kehidupan merangsang munculnya usaha
pembaharuan (modernisme) di kalangan pemikir kaum Muslim.
Sementara wilayah tertentu di Dunia Muslim dilanda gelombang
fundamentalisme Islam, seperti dilukiskan terdahulu, Turki Utsmâni
sejak 1730-an melancarkan pembaharuan militer dan birokrsasi secara
13
Tentang Syari’at Allâh dan Farâ’idi, lihat, Muin ud-Din Ahmad Khan, History of the Farâ’idi Movement in Bengal 1818-
1906, Karachi: 1965.
14
Tentang gerakan Mahdi Sudan, lihat misalnya, J.S. Trimingham, Islam in the Sudan, New York: 1965. Tentang bagaimana
gerakan Mahdi Sudan mempunyai latar belakang sufisme, lihat, Martin, Muslim Brotherhoods, 177-201; J.O. Voll, ‘The
Sudanese Mahdi: Frontier Fundamentalist’, IJMES, 10. (1979), 145-66.
kontinyu yang akhirnya berpuncak pada westernisasi dan sekularisasi.
Gelombang pembaharuan (Tanzimat) ini tidak hanya terjadi di Turki
‘Utsmâni, tetapi juga di wilayah Muslimin lain, khususnya di Timur
Tengah.
Pemikiran pembaharuan Islam yang muncul sebagai respon
terhadap dunia modern sejak Jamâl al-Dîn al-Afghânî, Muhammad
‘Abduh, Rasyîd Ridhâ, Rifâ’ah al-Tahtâwî, ‘Alî ‘Abd al-Razîq sampai
Thahâ Husayn memang cukup beragam, sehingga sulit ditipologisasikan
secara sederhana. Tetapi suatu hal jelas: terjadi evolusi pemikiran
pembaharuan sejak dari salafisme, modernisme, westernisme dan
akhirnya sekularisme. Sejauh menyangkut konsep politik, terjadi evolusi
pemikiran pembaharuan sejak dari pan-Islamisme (khilafatisme
universal), pan-Arabisme, regionalisme sampai pada nasionalisme lokal.
Dalam evolusi pembaharuan ini, jelas terlihat Islam mengalami proses
periferalisasi atau marjinalisasi–kalau tak dapat dikatakan terlalu
kompromistis terhadap Barat–sehingga nyaris tidak mempunyai
kedudukan signifikan dalam berbagai bentuk pembaharuan. Semua ini
mengundang reaksi balik: kembali kepada Islam secara ketat dan
eksklusif.
Kompleksitas perkembangan internal Muslim kian rumit dengan
perubahan peta politik, khususnya di Timur Tengah. Untuk menyebut
satu contoh, diterbitkannya ‘Balfour Declaration’ oleh Inggris pada 2
November 1917 yang memberikan ‘mandat’ kepada bangsa Yahudi
membangun ‘tanahair’ mereka di Palestina, mendorong arus lain dalam
gerakan Islam di kawasan ini. Sejak saat itu mulai terjadi imigrasi besar-
besaran bangsa Yahudi ke wilayah Palestina yang menimbulkan
kemarahan bangsa Arab dan kaum Muslim pada umumnya. Puncaknya
adalah ‘Palestine Revolt 1936’.15
Semua perkembangan ini memberikan momentum bagi
kebangkitan gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn (disingkat IM) yang
didirikan di Mesir pada 1928, yang dalam perkembangan lebih lanjut
sering menjadi prototype (pola dasar) gerakan fundamentalis
kontemporer di banyak bagian Dunia Islam. Sampai terjadinya Revolusi
Palestina, IM tidak lebih dari organisasi ‘gurem’, dan pendirinya Hasan
al-Bannâ tidak lebih daripada seorang mubaligh yang sibuk dengan
15
Tentang faktor Yahudi ini lihat, misalnya, C. Skyes, Crossroads to Israel, 1917-1948, Bloomington: 1973; W. Lacquer, A
History of Zionism, New York:1972.
masalah moral ketimbang politik. Revolusi Palestina memberikan
kesempatan emas bagi IM untuk tampil ke pentas politik Arab. IM
mengorganisasi demontrasi besar-besaran memprotes Inggris dan
perwakilannya di Timur Tengah. Pemogokan umum bangsa Arab pada
1936-1939 mentransformasikan IM dari sekadar organisasi pemuda
menjadi organisasi politik (1939).16
Hasan al-Bannâ adalah kulminasi dari (neo) salafisme. Dalam
batas tertentu asumsi teoretisnya tidak begitu berbeda dengan gagasan
‘Abduh atau Ridhâ. Karena itu, al-Bannâ, pada dasarnya tidak anti-
modernis. Ceramah, pamflet dan sikap politiknya secara konsisten
menunjukkan upayanya merekonsiliasikan Islam dengan dunia moderen.
Tidak aneh kalau konsep semacam nasionalisme, patriotisme negara-
bangsa (nation-state), konstitusionalisme atau sosialisme menjadi bagian
integral diskursus IM di masa al-Bannâ. Lebih jauh, al-Bannâ agaknya
merupakan tokoh pertama yang menekankan perlunya perumusan
program aksi komprehensif. Gagasan al-Bannâ segera menemukan lahan
subur di Timur Tengah, yang pada gilirannya membawa kepada
pembentukan organisasi yang berafiliasi dengan atau dimodelkan pada
IM di Syria, Lebanon, Palestina, Jordania, Sudan dan Iraq.17
Pada intinya al-Bannâ merumuskan ideologi IM yang menekankan
kemampuan Islam sebagai ideologi yang total dan komprehensif.
Program IM kemudian didasarkan pada tiga pandangan dasar: pertama,
Islam adalah sistem komprehensif yang mampu berkembang sendiri
(mutakamil bi dzâtihi); ia merupakan jalan mutlak kehidupan dalam
seluruh aspeknya; kedua, Islam memancar dari sumber fundamental,
yakni al-Qur’ân dan Hadits; ketiga, Islam berlaku untuk segala waktu
dan tempat. Ada dua program IM pertama: pertama, internasionalisasi
organisasi, guna membebaskan seluruh wilayah Muslimin dari kekuasaan
dan pengaruh asing. Kedua, membangun di wilayah Muslimin yang telah
dibebaskan itu pemerintahan Islam yang mempraktikkan prinsip Islam–
menerapkan sistem sosialnya secara menyeluruh. Al-Bannâ kemudian
memaklumkan, IM merupakan pewaris dan katalis dari unsur paling
aktivis di kalangan tradisionalis Sunnî. Ia melukiskan IM sebagai
16
Karya klasik tentang Ikhwân hingga saat ini tetap R.P Mitchell, The Society of Muslim Brothers, Oxford: 1969 (cetak ulang
dengan pengantar J.O.Voll. 1993).
17
Mitchell, The Society; Youssef M. Choueiri, Islamic Fundamentalism, Boston: 1990, 48; Hamid Enayat, Modern Islamic
Political Thought, Austin:1982, 82-93.
gerakan komprehensif: sebuah organisasi pembawa ajaran Salafiyyah;
suatu jalan Sunni; suatu kebenaran Sufi; sebuah organisasi politik; suatu
kelompok olahraga; keilmuan dan kebudayaan; sebuah usaha ekonomi
dan sebuah gagasan sosial. 18
Tujuan politik IM adalah pembentukan kekhalifahan yang terdiri
dari negara-negara Muslim merdeka dan berdaulat. Kekhalifahan ini
harus didasarkan sepenuhnya pada ajaran al-Qur’ân. Tujuan kekhalifahan
adalah untuk mencapai keadilan sosial dan menjamin kesempatan
memadai bagi semua individu Muslim. Meski menekankan kesamaan
dan keadilan, al-Bannâ menentang keras perjuangan kelas dan Marxisme.
Untuk mencapai tujuannya IM membentuk organisasi rahasia
khusus yang menganut disiplin ketat dan militan. Kelompok garis keras
IM di bawah pimpinan ‘Abd al-Rahmân al-Sindî, yang sering melanggar
garis moderat yang ditetapkan al-Bannâ dengan segera memimpin aksi
pembunuhan politik. Pembunuhan Perdana Menteri Mesir, Mahmûd al-
Nuqrâsyî pada 1948 oleh seorang anggota IM tidak hanya menimbulkan
krisis kepemimpinan IM, tetapi juga pembunuhan atas al-Bannâ sendiri
oleh agen pemerintah Mesir pada 12 Februari 1949.19
Tewasnya al-Bannâ memperpanjang krisis kepemimpinan yang
cukup akut dalam IM. Tetapi justru mulai pada periode inilah IM
menemukan bentuk sempurna sebagai organisasi fundamentalis, terutama
berkat kebangkitan Sayyid Quthb ke garis terdepan IM. Tokoh ini
berpendidikan moderen dalam literatur di Universitas Kairo. Antara
1930-an sampai 1940-an ia terkenal sebagai kritikus sastra, dan ia jelas
terekspos kepada kebudayaan moderen, terutama ketika bermukim di
Amerika Serikat selama 2 tahun (1948-50). Tetapi periode ini justru
merupakan titikbalik yang mengantarkannya pada sikap anti-modernisme
untuk kemudian memeluk erat fundamentalisme dengan bergabung ke
dalam IM. Sebelum penahanannya pada 1965, Quthb cukup produktif
menghasilkan berbagai tulisan yang mengkristalisasikan
fundamentalisme. 20

Salah satu doktrin sentral fundamentalisme Quthb yang


selanjutnya dianut IM adalah konsepnya tentang ‘jahiliyyah modern’,
yakni modernitas sebagai ‘barbaritas baru’. Konsep jahiliyyah moderen
18
Lihat Zakariyya Sulaiman Bayyumi, al-Ikhwân al-Muslimûn, Kairo: 1978, 90; Mitchell, The Society, 14.
19
Choueiri, Islamic Fundamentalism, 49; Enayat, Modern Islamic, 84-5; Dekmejian, Islam in Revolution, 77.
20
Lihat Emmanuel Sivan, Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics, New Haven:1985, 21-3.
itu sendiri dikembangkan pertama kali pada 1939 oleh Abû al-A’lâ al-
Mawdûdî, tokoh terkemuka fundamentalis lain dan pendiri organisasi
Jamâ’at-ial-Islâmî, di Anak Benua India. Al-Mawdûdî merupakan
pemikir Muslim pertama yang dengan tegas mengutuk modernitas dan
ketidaksesuaiannya dengan dan bahayanya terhadap Islam. Karya utama
al-Mawdûdî, seperti Jihad in Islam, Islam and Jahiliyyah, dan The
Principles of Government diterjemahkan dari bahasa Urdu dan Inggris ke
dalam bahasa Arab pada 1950-an. 21
Transmisi konsep ‘jahilyyah modern’ al-Mawdûdî ke Dunia Arab
kian mendapatkan momentum ketika Abû al-Hasan ‘Ali al-Nadvi, murid
al-Mawdûdî sendiri menulis pada 1950-an buku berbahasa Arab Mâdzâ
Khasirâ al-‘âlam bi Inhithâth al-Muslimîn (Kerugian Apa yang Diderita
Manusia Akibat Kemunduran Islam). Buku yang merinci konsep
‘jahiliyyah Moderen’ ini segera memperoleh sukses besar dari Timur
Tengah, dan pengarangnya mendapat sambutan hangat dari berbagai
kalangan ketika ia berkunjung ke kawasan ini pada 1951. Di Kairo, al-
Nadvi bertemu dengan Sayyid Quthb yang sudah membaca bukunya itu,
dan keduanya menyadari afinitas gagasan mereka. Sulit dibantah, Quthb–
yang memberi kata pengantar edisi kedua Mâdzâ Khasira–sangat
dipengaruhi pemikiran al-Nadvi dalam karyanya The Struggle between
Islam and Capitalism (1952)22
Karya al-Nadvi sendiri seperti diisyaratkan judulnya terutama
berusaha menjelaskan perjalanan Islam secara historis sejak kebangkitan,
kejayaan dan kemundurannya. Menurut al-Nadvi, kaum Muslim mulai
mengalami dekadensi sosial dan moral sejak masa ‘Utsmânî, khususnya
ketika dinasti ini mulai mengambilalih gagasan dan institusi Eropa
(Barat) dalam upaya modernisasinya. Padahal, kebudayaan Barat secara
keseluruhan bersifat pagan dan materialistik (jâhiliyyah-madiyyah).
Kaum Muslim dipaksa mengikuti budaya materialistik; dan mereka
berubah menjadi sekadar penumpang dalam keretaapi yang dikemudikan
bangsa Eropa. 23

21
Kajian paling akhir tentang al-Mawdûdi dan Jama’at-i Islamî adalah Sayyed Vali Reza Nasr, The Vanguard of the Islamic
Revolution: The Jama’at-i Islami of Pakistan, London: 1994.
22
Tentang transmisi konsep al-Mawdûdi ke Dunia Arab, lihat Choueiri, Islamic Fundamentalism, 94-6.
23
Lihat Abu al-Hasan ‘Ali al-Nadvi, Madzâ Khasira al-‘Âlam bi Inhithâth al-Muslimîn, edisi 10 Kairo:1977, 279-85; terjemahan
bahasa Indonesia, Islam Membangun Peradaban Dunia, terj. M.Ruslan Shiddieq, Jakarta: 1988.
Tetapi Quthb mengelaborasi jauh konsep ini, dan menjadi tokoh
fundamentalis pertama yang sampai pada pengutukan menyeluruh
terhadap modernitas, ketidakcocokannya dengan Islam, dan bahaya
dimunculkannya terhadap Islam.
Apakah ‘jahiliyyah moderen’ itu? Didalam pengantar untuk
Mâdza Khasira, Quthb menyatakan, jahiliyyah modern adalah situasi di
mana nilai fundamental yang diturunkan Tuhan kepada manusia diganti
dengan nilai palsu (artificial) yang berdasarkan hawa nafsu duniawi.
Jahiliyyah moderen merajalela di muka bumi ketika Islam kehilangan
kepemimpinan atas dunia, sementara pada pihak lain, Eropa mencapai
kejayaannya.24

Lebih jauh dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, Quthb menulis:

Jahiliyyah (barbaritas) menunjukan dominasi kedaulatan (hâkimiyyah)


manusia atas manusia, atau tepatnya ketundukan manusia ketimbang kepada
Allah. Ia menunjukkan penolakan terhadap kesucian Tuhan… Dalam
pengertian ini jahiliyyah tidak hanya berlaku pada masa historis tertentu
(mengacu pada zaman sebelum datangnya Islam), tetapi adalah state of
affairs. Keadaan manusia seperti itu ada pada masa silam, sekarang, dan
agaknya juga di masa depan; mengambil bentuk jahiliyyah… yang merupakan
musuh bebuyutan Islam. Dalam waktu dan tempat manapun manusia
mengambil pilihan tegas: apakah menjalankan hukum Allah secara
keseluruhan atau hukum yang dibuat manusia. Hal terakhir ini adalah
jahiliyyah. Manusia berada di persimpangan jalan, dan pilihan adalah: Islam
atau jahiliyyah. Jahiliyyah model moderen di negara-negara industri Eropa
dan Amerika pada esensinya sama dengan jahiliyyah masa lampau dalam
masyarakat Arab pagan dan nomadik. Karena dalam kedua sistem ini,
manusia berada di bawah penguasaan manusia ketimbang di bawah kekuasaan
Allah.25

Apakah jahiliyyah moderen menyangkut sekadar soal hukum?


Bagi Quthb kelihatannya sama sekali tidak. Jahiliyyah moderen
mencakup masyarakat politik (polity) yang diabsahkan kriteria-kriteria
buatan manusia semacam kedaulatan rakyat–ketimbang kedaulatan
Tuhan–sampai kepada tata nilai dan norma sosial yang berpusat pada
manusia, seperti materialisme dan hedonisme. Berbagai bentuk
24
al-Nadvi, Ibid, 20.
25
Lihat tafsir Sayyid Quthb tentang surah 5:44-48 dalam Fî Zhilâl al-Qur’ân, edisi revisi , 6 jilid, Beirut & Kairo: 1981.
penjelasan filosofis yang dibangun atas nalar dan ilmu belaka tanpa
memberikan tempat kepada Tuhan merupakan puncak dari jahiliyyah
moderen paling berbahaya yang pernah mengancam Islam. Sekarang ini
segala sesuatu di sekitar kaum Muslim merupakan hasil jahiliyyah
moderen.26
Dengan demikian, gagasan sentral Quthb–mengikuti al-Mawdûdî
dan al-Nadvi–adalah penolakan total terhadap modernitas, karena ia
merupakan penolakan terhadap kedaulatan (hâkimiyyah) Tuhan dalam
seluruh aspek kehidupan. Juga karena modernitas, menurut Quthb, telah
melemparkan agama ke balik panggung sejarah. Mempertimbangkan
pandangan ini, terlihat pesimisme dan bahkan keputusasaan terhadap
masa depan Islam sangat menonjol dalam pikiran Quthb; Islam masa kini
dalam proses kehilangan kekuasaan dan pengaruh atas masyarakat; dunia
semakin mengabaikannya. Zaman jahiliyyah moderen–yang sama
sifatnya seperti jahiliyyah sebelum kedatangan Islam–kian merajalela.
Sekarang waktunya bagi Islam menumpas jahiliyyah moderen, sebelum
semuanya terlambat.
Untuk menumpas jahiliyyah moderen, menurut Quthb, masyarakat
Muslim harus melakukan taghyir al-‘aqliyyah, yakni perubahan
fundamental dan radikal, bermula dari dasar kepercayaan, moral dan
etika. Dominasi (hâkimiyyah) atas manusia harus dikendalikan semata-
mata kepada Allah, tegasnya kepada Islam yang merupakan sistem
holistik. Serangan menyeluruh dan sistematis, tepatnya jihad, harus
dilancarakan terhadap modernitas. Tujuan akhir jihad adalah membangun
kembali kekuasaan Tuhan di muka bumi, di mana syari’ah memegang
supremasi; syari’ah bukan dalam pengertian sempit sebagai sistem
hukum, tetapi dalam pengertian lebih luas, yakni cara hidup menyeluruh
yang telah digariskan Allah bagi kaum Muslim, sejak dari nilai-nilai
keagamaan, sampai kepada adat dan kebiasaan dan norma sosial yang
membentuk kehidupan manusia.
Dengan konsep jihad (perang suci), gerakan fundamentalis
menggariskan batas perang. Pembenturan keras yang tidak jarang
melibatkan pertumpahan darah, antara kekuatan Islam–seperti dipahami
kaum fundamentalis ekstrem dan militan–dengan kekuatan jahiliyyah
moderen, apakah Barat maupun sekutu-sekutu Muslim lainnya, tidak
26
Gagasan tentang jahiliyah moderen ini dielaborasi lebih lanjut oleh Muhammad Quthb, Jahiliyyat al-Qarn al-‘Isyrin,
Kairo:1964, edisi Indonesia karya ini adalah Jahiliyyah Abad Dua Puluh, terj. M. Tohir & Abu Laila, Bandung: 1985.
terelakkan lagi; dan perang bahkan dianggap keharusan dan satu-satunya
alternatif. Pemilihan dan pemakluman jihad melibatkan pemisahan diri
(hijrah) dari masyarakat mainstream–Muslim sekalipun–yang dipandang
sebagai bagian dari jahiliyah moderen; Muslim lain, dengan kata lain
telah dikafirkan (takfîr), karena itu perlu membentuk komunitas baru.
Tetapi, hijrah internal jumhûr (mayoritas) masyarakat secara praktis
sering juga dilakukan dalam bentuk siap non-kooperatif pada lapangan
politik, pendidikan dan administratif. Dalam konteks terakhir ini,
gagasan dasar tentang hijrah dari negeri jahiliyah ke negeri sepenuhnya
Islami, secara ‘cukup kreatif’ dimodifikasi dan ditafsirkan kembali. 27
Demikianlah dalam pemikiran interpretasi ‘baru’ atas konsep
jihad, gerakan fundamentalis militan kontemporer melakukan berbagai
ekspresi pemisahan dari masyarakat umum: membangun masjid, klinik
dan sekolah sendiri, atau menciptakan ekonomi dan lembaga keuangan
terpisah. Dalam kasus tertentu, sejumlah tindakan sengaja dilakukan
sebagai bentuk pengingkaran atas hukum yang berlaku; seperti
pembakaran KTP atau pernikahan tanpa melaui Kantor Urusan Agama,
misalnya. Dengan begitu, seluruh bentuk manuver yang hanya membawa
perubahan gradual atas sistem sosial, politik dan ekonomi yang mapan
harus ditinggalkan; kolaborasi dan asosiasi dengan lembaga mapan
betapapun terbatasnya hanya membawa pada subordinasi, yang diikuti
dengan hilangnya identitas. Kaum fundamentalis ekstrem percaya, sukses
hanya mungkin dicapai dengan pemisahan dan pengingkaran total
terhadap kemapanan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten.
Konsekuensinya, bagi kaum fundamentalis radikal,
menyembunyikan keyakinan (taqiyah) untuk keselamatan diri dan
keimanan merupakan anathema—sesuatu yang tercela. Kebenaran harus
dinyatakan secara tegas dan menyeluruh, sehingga masyarakat sadar akan
kejahiliyyahan mereka. Deduksi ini terlihat dari sejarah seluruh
kenabian: cara hidup baru yang diajarkan nabi-nabi selalu dinyatakan
secara tegas—yang bertentangan secara diametral dengan cara lama.
Apapun juga konsekuensi yang mereka hadapi, para nabi terbukti secara
tegas dan konsisten menyampaikan misi profetisnya untuk

27
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, IV, 1974, 2101-2, 2438.
mentransformasi masyarakat jahiliyyah menjadi umat beriman dan
tunduk pada kedaulatan Tuhan.

Evolusi Fundamentalisme Islam


Dengan melihat beberapa prinsip dasar ideologi fundamentalisme
radikal tadi, tidak aneh kalau kemudian pemerintah Mesir menemukan
pada 1965 rencana Quthb (atau IM) untuk membunuh Presiden Nasser
dan menumbangkan pemerintahan syah. Pemerintah Mesir tidak hanya
terkesima dengan kepemimpinan Quthb yang nyaris messianik, tetapi
juga dengan keluasan dukungan masyarakat akar rumput pada
perjuangannya. Mereka ini kebanyakannya bukan petani atau masyarakat
rural yang rawan terhadap manipulasi simbolisme keagamaan. Dari
ribuan anggota IM yang ditahan, banyak di antara mereka adalah ahli
hukum, ilmuwan dan gurubesar universitas, guru sekolah, dan
mahasiswa. Quthb dipandang begitu berbahaya bagi tatanan politik
Nasseris, sehingga meski menghadapi banjir himbauan untuk
pengampunannya, hukuman mati tetap dilaksanakan juga oleh
pemerintah Mesir.
Hukuman mati atas Quthb diikuti supresi terhadap IM khususnya
dalam masa pemerintahan Anwar Sadat. Lenyapnya kepemimpinan
kharismatis Quthb hanya mempercepat proses kooptasi dan penyertaan
IM ke dalam proses politik yang absah sejak 1970-an sampai jatuhnya
Presiden Husni Mubarak berikutan ‘Arab Spring’ pada 2011. Banyak di
antara pemimpin IM kemudian berkompromi dan bekerjasama dengan
pemerintah Mesir; yang pada gilirannya membuat presiden Mubarak
membiarkan sejumlah tokoh IM (moderat dan kompromistis) ikut dalam
Pemilu 1984 dan seterusnya meski di bawah payung Partai Wafd.
Pada pihak lain, sayap radikal IM tidak lenyap begitu saja.
Berbagai kelompok fundamentalis radikal yang menyebut diri sebagai
Quthbiyyûn memutuskan meninggalkan IM dan membentuk organisasi
terpisah. Tiga kelompok fundamentalis radikal eks IM yang muncul pada
masa kepresidenan Sadat adalah al-Tahrir al-Islâm, yang
bertanggungjawab atas penyerbuan pada 1974 terhadap Akademi Militer;
al-Takfîr wa al-Hijrah yang menculik dan membunuh mantan Menteri
Wakaf pada 1977; dan Tanzhîm al-Jihâd yang membunuh Presiden Sadat
pada 1981. 28
Pengalaman IM menunjukan terjadinya evolusi radikalisme
gerakan fundamentalisme Islam. Radikalisasi dan sebaliknya penjinakan
gerakan fundamentalisme semacam IM banyak dipengaruhi tidak hanya
oleh kepemimpinan gerakan organisasi itu sendiri, tetapi juga oleh watak
rejim penguasa, dan tidak kurang pula, oleh perkembangan pada tingkat
Dunia Muslim, khususnya yang melibatkan kekuatan Barat. Karena itu,
tidak aneh kalau seusai Revolusi Islam Iran, gerakan fundamentalisme
Islam berkecambah di banyak wilayah Dunia Muslim. Hal yang sama
juga terjadi menjelang dan sepanjang Krisis (Perang) Teluk 1991 yang
bermula atas invasi Iraq terhadap Kuwait yang selanjutnya dicampuri
kekuatan Barat yang dipimpin Amerika; gerakan fundamentalisme Islam
radikal di berbagai negara Mulsim kembali menemukan momentum. 29
Bagaimanakah masa depan fundamentalisme Islam? Pertanyaan ini
sangat tidak mudah dijawab. Seperti terlihat, fundamentalisme,
khususnya yang ekstrem dan militan, sepanjang sejarah tidak pernah
berhasil dengan aksi radikal dan jihadis mereka. Jika sejarah adalah
cermin, cukup sah bagi orang untuk bersikap skeptis terhadap masa
depan fundamentalisme radikal dan jihadis.

28
Adeed Dawisha, The Arab Radicals, Washington D.C.: 1986, 89-90.
29
Lihat kajian relatif akhir tentang ini dalam J.Piscatori (ed.), Islamic Fundamentalism and the Gulf Crisis, Chicago:1991.

Anda mungkin juga menyukai