Fundamentalisme Islam
Perspektif Historis dan Doktrinal
Prof Azyumardi Azra, CBE
9
Tentang akar-akar intelektualisme dan radikalisme Ibn ‘Abd al-Wahhâb, lihat Azyumardi Azra, ‘The Transmission of Islamic
Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesia ‘Ulamâ in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries’, PhD diss., Columbia University: 1992, 283-7; Tentang perkembangan Wahabiyah, lihat L.A. Corence, Historie de
Wahhabis, Paris: 1810.
10
Lihat, Azra ‘The Transmission’, 313-9; M. Hiskett, The Sword of Truth: The Life and Times of and Times of the Shehu
Usuman dan Fodio, New York: 1973; Ibrahim Sulaiman, A Revolution in History: The Jihad of Ushman dan Fodio, London:
1986, B.G. Martin, Muslim Brotherhoods in Nineteenth Century Africa, Cambridge: 1976. Lansine Kaba, The Wahhabiya:
Islamic Reform and Politics in French West Africa, Evanston, Illionis:1974.
Bergeser ke ujung Dunia Muslim, gerakan fundamentalisme yang
mirip Wahhâbî muncul dalam gerakan Padri di Minangkabau. Sama
dengan perkembangan awal gerakan Wahhabi dan lingkungan ‘ulamâ’
reformis dan kosmopolitan di Haramayn, Gerakan Padri bermula dari
pembaharuan moderat yang dilancarkan Tuanku Nan Tuo dari murid-
muridnya dari Surau Koto Tuo, Agam, sejak perempatan terakhir abad
ke-18. Oposisi keras dari para pembaharu moderat dan kaum adat
merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya radikalisasi
gerakan ini oleh sebagian murid lain Tuanku Nan Tuo, khususnya
Tuanku Nan Renceh. Kembalinya pada 1803 tiga haji–Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang—setelah melaksanakan ibadah haji di
Mekkah pada waktu kaum Wahhâbî berjaya di Tanah Suci menjadi
trigger (pemicu) Gerakan jihad Kaum Padri melawan kaum Muslim lain
yang menolak mengikuti ajaran keras mereka. Di antara pokok-pokok
pandangan Kaum Padri yang kelihatan mirip dengan ajaran Wahhâbî
adalah oposisi terhadap bid’ah dan khurafat, dan pelarangan penggunaan
tembakau dan pakaian sutra.11
Selanjutnya, gerakan fundamentalis ala Wahhabi juga menemukan
lahan cukup subur di Anak Benua India. Sementara Kesultanan Mughal
semakin merosot, Sayyid Ahmad al-Brelvi (atau Ahmad Syahîd, 1786-
1831), memaklumkan jihad untuk memurnikan Islam dari budaya lokal,
Hindu dan Sikh di kalangan kaum Muslim. Gerakan jihad Ahmad al-
Brelvi bersumber atau mengambil inspirasi dari ajaran Syâh Walî
Allâh(1703-62) dan puteranya Syâh ‘Abd al-‘Azîz (w.1842). Syâh Wali
Allâh, yang juga termasuk ke dalam kelompok jaringan ‘ulamâ’ reformis
yang berpusat di Haramayn, dalam berbagai karyanya menghimbau
pembangkitan kembali Islam murni dengan melenyapkan pengaruh
ajaran dan tradisi Hindu dan Sikh di kalangan kaum Muslim. Ahmad
Brelvi membangun kekuasaan Dâr al-Islâm di wilayah barat-daya Anak
Benua India, walaupun hanya untuk waktu singkat.12
Dalam gerakan fundamentalis selanjutnya, warna anti Barat
muncul secara signifikan, walau tema ‘kembali kepada Islam murni’ juga
11
Lihat Azyumardi Azra, ‘The Surau and the Early Reform Movements in Minangkabau’, Mizan, 3,II: (1990); W. Kraus,
Zwischen Reform und Rebellion: Uber die Enwicklung des Islams in Minangkabau (Westsumatra) Zwischen den Beiden
Reformbewegungen der Padri (1837) und der Modernisten (1908), Weisbaden: 1984; Adrianus Khatib, ‘Kaum Padri dan
Pembaharuan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau’, disertasi Doktor, IAIN Jakarta, 1992.
12
Pembahasan yang simpatik tentang Ahmad al-Brelvi, lihat, Mohiuddin Ahmad, Sayyid Ahmad Shahid: His Life and Mission,
Lucknow: 1975.
tidak ditinggalkan. Salah satu contoh adalah Gerakan Farâ’idhi di Bengal
(kini Bangladesh). Gerakan ini dikembangkan Haji Syari’at Allâh (1781-
1840), yang pada intinya menekankan penerapan syari’ah dan ajaran al-
Qur’ân secara ketat. Dimotivasi pula oleh kenyataan terjadinya disrupsi
kehidupan masyarakat Muslim akibat intrusi kekuatan politik dan sistem
ekonomi Inggris, Syarî’at Allâh menggalang massa petani Muslim untuk
melakukan jihad melawan kaum Hindu dan Inggris.13
Gerakan fundamentalis Islam di akhir masa transisi ini yang perlu
disinggung adalah gerakan jihad yang diorganisasi Sayyid
Muhammad‘Abd Allâh Hasan (1864-1920) di Sudan dan Somalia. Hasan
dengan keras mengecam Muslimin yang mempraktikkan ‘bid’ah-bid’ah
pagan’, semacam meminta wasilah di kuburan ‘awliyâ’. Antara 1899
sampai 1920 ia memimpin jihad melawan musuh internal (Muslim lain)
dan musuh eksternal (Inggris, Italia dan Prancis). Gerakan ini dalam
perkembangan lebih lanjut mengklaim kemunculan Imâm Mahdî dalam
diri Muhammad Ahmad ibn ‘Abd Allâh (1844-85). Nama terakhir ini
memaklumkan kemahdiannya pada 1881. Ia menuntut kesetiaan dari para
pengikutnya melalui bay’ah; hijrah dari wilayah Muslim lain; dan jihad
untuk menyucikan Islam dari pengaruh keberhalaan bid’ah. 14
21
Kajian paling akhir tentang al-Mawdûdi dan Jama’at-i Islamî adalah Sayyed Vali Reza Nasr, The Vanguard of the Islamic
Revolution: The Jama’at-i Islami of Pakistan, London: 1994.
22
Tentang transmisi konsep al-Mawdûdi ke Dunia Arab, lihat Choueiri, Islamic Fundamentalism, 94-6.
23
Lihat Abu al-Hasan ‘Ali al-Nadvi, Madzâ Khasira al-‘Âlam bi Inhithâth al-Muslimîn, edisi 10 Kairo:1977, 279-85; terjemahan
bahasa Indonesia, Islam Membangun Peradaban Dunia, terj. M.Ruslan Shiddieq, Jakarta: 1988.
Tetapi Quthb mengelaborasi jauh konsep ini, dan menjadi tokoh
fundamentalis pertama yang sampai pada pengutukan menyeluruh
terhadap modernitas, ketidakcocokannya dengan Islam, dan bahaya
dimunculkannya terhadap Islam.
Apakah ‘jahiliyyah moderen’ itu? Didalam pengantar untuk
Mâdza Khasira, Quthb menyatakan, jahiliyyah modern adalah situasi di
mana nilai fundamental yang diturunkan Tuhan kepada manusia diganti
dengan nilai palsu (artificial) yang berdasarkan hawa nafsu duniawi.
Jahiliyyah moderen merajalela di muka bumi ketika Islam kehilangan
kepemimpinan atas dunia, sementara pada pihak lain, Eropa mencapai
kejayaannya.24
27
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, IV, 1974, 2101-2, 2438.
mentransformasi masyarakat jahiliyyah menjadi umat beriman dan
tunduk pada kedaulatan Tuhan.
28
Adeed Dawisha, The Arab Radicals, Washington D.C.: 1986, 89-90.
29
Lihat kajian relatif akhir tentang ini dalam J.Piscatori (ed.), Islamic Fundamentalism and the Gulf Crisis, Chicago:1991.