Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini, banyak berbagai permasalahan kehidupan yang terjadi.
Segala kejadian yang terus menerus terjadi baik dari segi permasalahan sosial yang
berkaitan dengan agama, suku, dan kebudayaan. Isu-isu kontemporer tersebut sebenarnya
dalam islam tidaklah dikenal, namun seringkali dijadikan sebagai problematika
permasalahan dalam sosial, dikaitkan dengan islam karena arti sebenarnya dari istilah yang
termasuk dalam isu-isu kontemporer tersebut merupakan hal yang terkadang bertolak
belakang dari ajaran agama islam.Berbagai isu-isu kontemporer yang awal mulanya timbul
dari bangsa barat yang hingga saat ini masih sering kita dengar, lihat dan saksikan
diberbagai media yang tidak jarang berupa buku, majalah, koran, televisi, radio dan media
yang sekarang sudah bebas untuk kita akses yaitu internet.
Jika dikaitkan Islam dan isu-isu kontemporer tidak jarang menimbulkan banyak
spekulasi yang bermunculan dari berbagai pihak baik dari ormas-ormas islam yang
menolak keras terhadap isu-isu kontemporer tersebut, maupun ulama-ulama besar islam.
Pemikiran yang bertolak belakang dengan islam malah menimbulkan ke-antian terhadap
negeri barat itu karena dianggap bahwa istilah-istilah tersebut berasal dari tradisi-tradisi
barat. Perkembangan islam di Indonesia memiliki mata rantai yang cukup berliku.
Sementara islam di nusantara ini memiliki kompleksitas persoalan, dan dari sini islam
hadir dengan membawa wajah tatanan baru dalam masyarakat yang tidak terbentur dengan
realitas sosial, budaya, tatanan politik dan tradisi keagamaan. Dalam perkembangannya
upaya reaktualisasi diharapkan dapat menjawab problematika kemasyarakatan dan sebagai
manifestasi agama yang rahmatan lil ‘alamin. Islam dinamis yanng diharapkan mampu
mengatasi masalah-masalah kontemporer yang terjadi diberbagai wilayah
Indonesiamisalnya Fundamentalisme Islam, Modernisme versus Konservatisme, Islam dan
HAM, Ahmadiyah, dll.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Fundamentalisme

A. Pengertian Dan Ciri-Ciri Islam Fundamentalisme


Secara harfiah kata islam berasal dari bahasa arab, diambil dari kata “salima” yang
bearti selamat sentosa. Dari kata asal yaitu “aslama, yuslimu, islaman” yang bearti
memeliharakan dan keadaan selamat sentosa, dan bearti juga menyerahkan diri, tunduk,
patuh dan taat. Kata salama itu menjadi pokok kata islam, dan mengandung arti yang
terkandung pada pokoknya, sebab orang yang melakukan aslama atau masuk islam
dikatakan muslim.
Islam secara istilah menjadi nama bagi agama yang ajaran-ajaranyadiwahyukan Tuhaan
kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rosul. Islam pada hakikatnya
membawakan ajaran-ajaran yang bukan hanya membawa satu segi, tetapi mengenai
berbagai segi dari kehidupan manusia. Seluruh ajaran islam tersebut diarahklan untuk
mewujutkan rahmat bagi seluruh alam.
Adapun kata fundamentalis berasal dari bahasa inggris yang artinya pokok, asas,
fundamental. Sedangkan pokok, asas bersal dari bahasa Indonesia yang artinya dasar, alas,
pedoman, atau sesuatu yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berfikir (berpendapat) dan
sebagainnya serta cita-cita yng menjadi dasar.
Jika pengertian dsari dua kata tersebut disatikan, yakni islam fundamentalisme, maka
pengertianya dalah islam yang dalam pemahaman dan prakteknya bertumpu pada hal-hal
yang asasi. Dengan demikian, secara harfiah semua semua orang islam yang percaya pada
enam rukun islam dan menjalankan rukun islam yang lima, dapat disebut islam
fundamentalisme. Karena yang disebut ajarab fundmental dalam islam tercakup pada
rukun islam dan rukun inam.
Selanjutnya pengertian kaum fundamentalis dari segi i9stilah sudah memiliki satu
psikologis, dan berbeda dengan pengertian fundamentalis dalam arti kebahasaan
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Dalam pengertian yang demikian itu
kelahiran kaum fundamentalis ada hubungan dengan sejarah perkembangan ajaran Kristen
dan dalam islam, kaum fundamentalis ada hubungan dengan masalah poertentangan
politik, social, kebudayaan dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini Darwan Raharjo
mengatakan sebagai berikut, “suatu langkah yang barang kali perlu ditempuh adalah
memahami gejala lahirnya istilah itu ndalam sejarah perkembangan agama Kristen.
Dengan pemahaman itu kita bias menengok kepada gejala perkembangan islam, baik
didunia islam umumnya dan di Indonesia sendiri.[1]
Darwan Roharjo lebih lanjut mengatakan bahwa definisi fundamentalisme agak lebih
cocok memahami perkembangan dilingkungan Kristen protestan katolik. Tetapi
kegunaanya yaitu untuk mengidentifikasi suatu kelompok agama dilingkungan itu
baranngkali tidak selalu dapat diterima. Sebagai contoh demikian, demikian Raharjo
mengatakan Encyclopaedia of the social sciences (1968) memberikan keterangan
pertamanya sebagi berikut: “fundamentalis adalah sebuah nama tentang gerakan agresif
dan konserfatif dilingkungn Kristen protestan di Amerika serikat yng berkembang dalam
Dasawarsa sesudah perang dunia 1. gerakan ini tercetus terutama dilingkungan gereja-
gereja Baptist, Desciple dan Presbyterian dan memperoleh dukungan dari kalangan lain
pada kelompok kependetaan”.[2]
Eterangan itu pertama-tama menonjolkan gerakan yang agresif dan coraknya yang
konservatif. Oleh sebab itu masuk akal penggunaan istilah tersebut untuk gerakan islam
juga menonjolkan sifat-sifat dan coraknya yang serupa dengan yang terdapat pada gerakan
Kristen. Barang kali karena itulah Benard lewis, seorang ahli sejarah islam, berpendapat
dalam istilah itu mapan dan dapat diterima, terutama dalam nilai-nilai social.

B. Latar Belakang Timbulnya Fundamentalisme Islam


Istilah funfamentalisme pertama digunakan olek kelompok-kelompok penganut agama
krisrren di Amerika Serikat untuk menamai aliran pemikiran keagamaan yyang cenderung
menafsirkan tek-tek keagamaan secara kaku dan literalis ( harfiah ). Dalam kontes iuni
fundamentalisme pada umumnya dianggap sebagai reaksi terjhadap modernisme. Reaksi
ini bermula dari annggapan bahwa modernisme cenderung menafsirkan tek-tek keagamaan
secara elastis dan fleksibel untuk menyesuaikannya dengan berbagai kemajuan zaman
modern, ahirnya justru membawa agama keposisi yang semakin terdesak kepinggiran.
Kecenderungan menafsairka tek-tek keagamaan secara kaku dan harfiah seperti yang
dilakukan oleh kaum fundamentalis protestan, ternyata diterima juga oleh penganut-
penganut agama lain diabad kedua puluh ini.oleh karena itu, tidak heran jika para sarjana
orientalis dan islamisis barat menyebut kecenderungan yang serupa dikalangan muslim,
sebagai fundamentalisme islam. Disamping dihubungkan dengan islam, istilah
fundamentalisme dihubungkan dengan agama-agama selain Kristen, sehingga muncullah
kaum fundamentalisme Sikhs dan sebagainya. Tetapi berbeda dengan kaum fundalis
protestan yang menyebut dirinya fundalis, kelompok-kelompok dengan kecenderungan
yang nserupa didalam agama lain sebagian malah menolak disebut dengan demikian.
Kelompok seperti itu ditimur tengah umumnya lebih suka disebut dirinya dengan istilah
Usuliyah Islamiah (asas-asas islam), Bat’s islam (kebangkitan islam), atau Harakah islam
(Gerakan Islam). Sementara kelompok-kelompok yang kurang menyukai mereka
menyebut dengan istilah Muta’ashshibin (Kelompok fanatic) atau mutatharrifin (kelompok
radikalekstrimis).

C. Memahami Fundamentalisme Dalam Islam


Munculnya istilah fundamentalisme untuk pertama kali adalah penyebutan yang
ditujukan kepada gerakan konservatif-militan dalam agama Kristen yang mengemuka di
Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Mereka menekankan kebenaran Bible dan menolak
setiap temuan sains modern karena dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Padahal,
sains modern justru telah membawa masyarakat Barat pada kemajuan. Karena itu,
kehadiran mereka adalah oposan dari gereja ortodoks terhadap kemajuan sains modern
yang dituduh merusak sendi-sendi fundamental dalam agama Kristen. Mengingat karakter
konservatifnya yang berpegang teguh pada ortodoksi agama Kristen, fundamentalisme
seringkali dikonfrontasikan dengan modernisme yakni aliran yang mengutamakan setiap
yang baru sebagai konsekuensi perkembangan sains modern (Asep Syamsul, 2000 : 29-30)
Setelah revolusi Islam Iran (1979), istilah fundamentalisme Islam mulai diterapkan para
orientalis dan pakar ilmu sosial untuk mengkaji gerakan-gerakan sosial dan politik yang
muncul dalam Islam dengan asumsi bahwa berbagai penomena gerakan sosial dan politik
itu memiliki kesemaan karakteristik dengan gejala fundamentalisme di dunia Barat.
Mereka menggunakan istilah tersebut untuk menggeneralisasi berbagai gerakan sosial,
politik dan keagamaan sejalan dengan munculnya gelombang yang disebut kebangkitan
(revivalisme) Islam (Azyumardi Azra, 1996 : 107). Dalam hubungannya dengan Islam,
istilah fundamentalisme seringkali digunakan secara tidak seimbangan dan tidak netral,
bahkan cendrung memiliki makna labelisasi dan penyebutan yang bersifat mapan terhadap
fenomena gerakan dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Dari beberapa kajian
yang dilakukan oleh para ahli, istilah tersebut cendrung memiliki makna negatif untuk
memberikan gambaran buruk dan menyudutkan kelompok yang diasumsikan sebagai
gerakan fundamentalisme. Fazlur Rahman (1979 : 164), misalnya, menyebutkan
fundamentalisme Islam sebagai orang yang dangkal, superfisial, dan anti intelektual yang
pemikiran-pemikirannya tidak bersumber kepada al-Qur’an dan tradisi Islam klasik.
Nurcholish Madjid (1992 : 586) juga memberikan penilaian yang pejoratif dan kurang
netral dan menyebut fundamentalisme Islam sebagai sumber kekacauan dan penyakit
mental yang menimbulkan akibat yang lebih buruk dibandingkan dengan masalah-masalah
sosial yang sudah ada, seperti minuman keras dan obat terlarang. Untuk beberapa kasus
tertentu, stigmasi fundamentalisme Islam terhadap gerakan yang muncul dalam
masyarakat Islam mungkin ada benarnya karena berangkat dari fakta-fakta empirik yang
menunjukkan warna gerakan yang cendrung puritan, radikal dan ekstrim. Tetapi, labelisasi
fundamentalisme Islam yang bersifat sinisme itu digunakan secara mapan dan tidak
berubah-rubah untuk menggeneralisasi semua fenomena gerakan sosial, politik dan
keagamaan dalam Islam jelas merupakan simplikasi yang keliru.
Istilah fundamentalisme Islam kadangkala juga dipakai secara overlapping dengan
istilah radikalisme dan revivalisme. John L. Esposito (1994 : 17) lebih suka menggunakan
istilah revivalisme untuk menyebut gerakan sosial, politik dan keagamaan dalam Islam.
Sebutan fundamentalisme Islam, kata John L. Esposito, terlalu dibebani oleh praduga
Kristen dan stereotip Barat yang menyiratkan ancaman monolitik yang tidak pernah ada
dalam realitas empirik masyarakat Islam. Meskipun demikian, istilah fundamentalisme
Islam tetap dipergunakan dalam makalah ini. Fundamentalisme Islam dimaknai sesuai
dengan penjelasan dan batasan yang diberikan oleh Jamhari dan Jajang Jahroni (2004 : 3-
4) yaitu suatu gerakan sosial, politik dan keagamaan yang memiliki keyakinan ideologis
kuat dan fanatik yang selalu mereka perjuangkan untuk mengganti tatanan nilai dan sistem
yang sedang berlangsung. Upaya memperjuangkan ideologi itu seringkali meraka lakukan
melalui aksi-aksi radikal, militan dan ekstrim, bahkan tidak menutup kemungkinan
berperilaku kasar terhadap kelompok lain yang bertentangan dengan paham mereka.
Kemudian, kerangka yang dibuat sosiolog, marty, yang sudah dimodifikasi Azyumardi
Azra ( 1996 : 109-110) agaknya juga sangat compatible diterapkan dalam tulisan ini.
Pertama, kaum fundamentalis mengambil sikap perlawanan secara radikal terhadap
ancaman yang dipandang mengancam eksistensi agama. Kedua, mereka menolak
hermeneutika atau sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya
Teks kitab suci mesti dipahami secara literal sebagaimana adanya karena nalar
dipandang tidak mampu memberikan penafsiran yang tepat. Ketiga, penolakan terhadap
perkembangan historis dan sosiologis.Kaum fundamentalisme berpandangan bahwa
perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin
literal kitab suci. Dalam hubungan ini, masyarakat dan perkembangannya harus
disesuaikan dengan kitab suci, kalau perlu dengan kekerasan dan bukan sebaliknya.
2. Post Modernisme dan Neomodernisme

A. Post Modernisme dan Neomodernisme


1. Post modernism
Setelah modernism tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang menjanjikan
pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irrasionalitas. Akan tetapi
dalam beberapa decade terakhir ini, “proyek” modernism yang demikian hebat itu
diggugat oleh sebuah gerakan yang kemudian diikenal dengan “post modernisme” dan
dinilai gagal mencapai sasarannya.
Sebagai gerakan cultural-intelektual, postmodernisme sendiri sudah muncul pada tahun
1960 an, yang bermula dari bidang seni arsitektur dan kemudian merambah ke dalam
bidang-bidang lain, baik itu sastra, ilmu social, gaya hidup, filsafat, bahkan juga
agama. Gerakan Postmodernisme ini lahir di Eropa dan menjalar ke Amerika, serta
keseluruh dunia bagai luapan air yang tak terbendung.
Post modernisme demikian cepat merambah pada semua bidang kehidupan, termasuk
bidang keagamaan. Sesuai watak epistemologis postmodernisme yang ingin merangkul
berbagai macam narasi yang ada, maka agama dalam perspektik
postmodernisme dicoba diangkat, baik sebagai bagian dari kecenderungan sejarah
kontemporer, maupun sebagai bagian dari legitimasi epistemologis dalam mencari
kebenaran setelah sekian lama menjadi kebenaran yang terlupakan dalam paradigm
pemikiran modern sebagai kecenderungan sejarah, postmodernisme telah melupakan
dimensi yang teramat penting dalam kehidupan manusia, yakni dimensi spiritual. Oleh
karena itu untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut, manusia mencoba kembali
kepada hikmah spiritual yang terdapat dalam semua agama yang otentik.

2. Neomodernisme
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin “modo”, yang berarti yang kini “just
now”. Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang digunakan untuk
membedakan keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah
lewat. Namun istilah ini kemudian lebih digunakan untuk menunjuk periode sejarah
setelah abad pertengahan, yakni dari tahun 1450 sampai sekarang ini.
Dari istilah – istilah “modern”, sebagaimana yang telah disebutkan diatas itulah,
lahir istilah-istilah lain, seperti : “modernisme”, modernitas dan modernisasi.
Meskipun istilah itu mempunyai arti yang berbeda-beda , karena berasal dari akar kata
yang sama, maka pengertian yang dikandungnya tidak bisa lepas dari kakar kata yang
dimaksud yaitu “modern”.
Istilah “modernism” misalnya, oleh Ahmed, dengan merujuk pada Oxford English
Dictionary, didefinisikan sebagai “pandangan atau metode modern, khususnya
kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah agama,agar harmonis
dengan pemikiran modern. Modernism diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia
yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme, dan kemajuan.
Keinginan untuk simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan dan otoritas, juga
menjadi karakternya. Periode ini ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan,
sebuah keyakinan bahwa utopia bisa dicapai, bahwa ada sebuah tata dunia yang
mungkin. Mesin, proyek industry besar, besi, baja dan listrik, semuanya dianggap
dapat digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini. Gerakan menuju industrialisasi,
dan kepercayaan pada yang fisik, membentuk ideology yang menekankan materialism
sebagai pola hidup. Sementara modernitas dipahami sebagai efek dari modernisasi.
Di Indonesia, modernisasi direspon positif oleh Norcholis Majid, menurut dia
modernisasi indetik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi melibatkan
proses pemeriksaan secara seksama pemikiran serta pola aksi lama yang tidak rasional,
dan menggantikannya dengann pemikiran dan pola aksi baru yang rasional.

B. Islam liberal
Pengertia mengena islam liberal sebagai arus baru gerakan islam diindonesia mengacu
pada penelitian yang dirumusa oleh nurkhalik ridwan mengenai islam libera rogresif.
Menurut ridwa, islam lbera bisa dirumukan dengan dua hal.
1. Klompok pembaru muslim yang memsahkan masalah publiks sebagai hal yang
perlu dimusawarahkan denga komutas bangsa sementara masalah praktik ritual
diserahkan pada masing-masing pihak
2. Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syari’ah masih perlu
ditafsir ulang, yang perlu dibedakan islam sebagai din yang univesal dalam cita-cita
etik dan moralnya.
3. Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme, dan fundamentalisme dalam
kontestansi pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat
marginalisme dan melibatkan diri kedalam pusaran pergulatan politik demokrasi.
4. Konteks kultural yaitu derasnya arus pemikiran lewat berbagai media.

Islam secara lughawi bermakna pasrah, tunduk, kepada Tuhan (Allah) dan terikat
dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini Islam tidak
bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah AWT, Islam sebenarnya
membebaskan manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan
“tidak bebas”.
Kemunculan istilah Islam liberal ini, menurut Luthfi, mulai dipopulerkan tahun
1950 an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980 an yaitu oleh
tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau jaringan Islam liberal, Nur
Cholis Majid. Meski Nur Cholis sendiri menyatakan tidak pernah menggunakan istilah
Islam liberal untuk menegmbangkan gagasan pemikiran Islamnya.
Karena itu Islam liberal sebenarnya tidak beda dengan gagasan-gagasan Islam yang
dikembangkan oleh Nur Cholis Majid an kelompoknya yaitu kelompok islam yang tidak
setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara). Kelompok yang
getol perjuangan sekularisasi, emansipasi wanita, menyamarkan agama Islam dengan
agama lain (pluralism theologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
Selanjuttnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal “ saya melihat
paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi paying bagi persoalan-persoalan
yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual islam selama ini. Yakni agenda
politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita dan agenda kebebasan
berekspresi. Kaum muslimin dituntut melihat keemat agenda ini dari perspektif mereka
sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan
kontradiksi ketimbang penyelesaian yang lebih baik.
Islam liberal juga “mendewakan modernitas” jika terjadi konflik antara ajaran Islam
dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan menurut mereka bukanlah
menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Disinilah inti dari sikap
dan doktrin “ Islam Liberal” kata Luthfi.

C. Islam Kultural dan Islam Struktural


1. Islam Kultural
Kata kultural yang berada dibelakang kata islam berasal dari bahasa ingris,
culture yang berarti kesopanan, kebudayaan dan pemeliharaan. Teori lain mengtakan
bahwa kata culture ini berasal dari bahasa latin cultura yang artinya memelihara atau
megerjakan, mengolah.
Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
kebudayaan adalah sega bentuk hasil kreativitas manusia dengan menggunakan
segala daya dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan
kehidupannya yang sejahtera.
Dengan diketahui bersama, bahwa dalam agama islam antara agama dan
kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tapi saling mempengaruhi. Al-Qur’an
adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi dengan perantara malaikat jibril
untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan duniawi dan
kebahagiaan ukhuwawi. Sedangkan kebudayaan ialah semua produk aktivitas
intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup
duniawi.
Munculnya Islam cultural agak mudah dimengerti apabila kita memperhatikan
ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah keagamaan seperti
teologi, ibadah dan akhlak, melainkan jugga mencakup masalah keduniaan seperti
masalah perekonomian, pertahanan keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek
keagamaan peran Allah dan Rasul lah yang dominan. Pada aspek keduniaan peran
manusialah yang paling dominan.
Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami pengembangan
pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural selanjutnya muncul
dalam bentuk sikap yang lebih menunjukkan inklusissivitas. Yaitu sikap yang tidak
mempermasalahkan bentuk atau symbol dari suatu pengamalan agama, tetapi yang
lebih penting tujuan dan missi dari pengamalan teersebut. Dalam hubungannya ini
kita menjumpai ajaran tentang dzikir ini terkadang mewujud dalam menyebut nama
Allah sekian ratus kali dengan menggunakan alat semacam tasbih, ada yang
menggunakan batu, ada yang dengan memasang tulisan kaligarafi pada dinding
rumah dan sebagainya.
2. Islam Struktural
Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak berwujud,
yang mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas dari pola-pola dan
hubungan antar banyak satuan terkecil di dalamnya. Dari istilah – istilah “struktural”,
sebagaimana yang telah disebutkan diatas itulah, lahir istilah lain, seperti
: strukturalisme.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua
masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap
strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang
sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek
melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh
waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui
pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu
obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat)
(Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam
memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam
mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi
metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang
sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996:
1040).
D. Post Tradisionalisme Islam
Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan seluruh
kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan post tradisionalisme
adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain adalah upaya pembaharuan tradisi
yang tidak lain adalah upaya pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam rangka
berdialog dengan modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new tradition) yang
sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post tradisionalisme
merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang dan berakar pada pemikir-
pemikir pencerahan tempo dulu. Dari geneologi intelektual inilah, post tradisionalisme
islam melewati fase-fase awal pembentukan hingga perumusan metodologi dan praksis
sosisl politik. Fase pertama merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide baik
dalam pemikiran maupun aksi politik. Pada fase ini muncul beberapa perdebatan
gagasan seperti nasionalisme, pribumisasi, sekularisas, feminisme dan hak asasi
manusia (al-huquq al-insaniyah al-asasiyah), dan sebagainya.
Sedangkan perumusan metodologi post tradisionalisme Islam menghasilkan
paradigm baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik nalar (naqd al-aql)
maupun telaah kontemporer (qira’ah muashirah) terhadap tradisi.Muhammad Abid Al-
Jabiri, Muhammad Arkoun, dan Nashir Hamid Abu Zaid merupakan sederet nama yang
berusaha melakukan rekontruksi metodologis bagi post tradisionalisme.
Sebagai gerakan, post tradisionalisme Islam di Indonesia kemudian menjadi
kontruksi intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya likal Indonesia dan bukan
tekanan dari luar yang berinteraksi secara terbuka dengan berbagai jenis kelompok
masyarakat seperti buruh, petani, LSM, dan gerakan feminism yang kemudian membawa
gerakan ini tidak hanya bersinggungan dengan tradisi Islam, tetapi juga pemikiran-
pemikiran kontemporer baik dari tradisi liberal, radikal, sosialis Marxia, Post
Strukturalis, dan Post Modernis juga gerakan feminism dan civil society (Ahmad Baso
2001).
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin
melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong,
artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui Zaman yang sering disebut
sebagai kemunduran umat Islam, kita mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan
kebudayaan yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan
sebagai entry point merumuskan tradisi baru.
Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi berbeda
dengan pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca tradisi melalui optic
Al-qur’an dan Hadits yang diadakan transenden, turun dari langit, lengkap dan
mencakup segala hal. Singkatnya bukan sebagai bagian dari dinamika sejarah yang
berubah-ubah. Dalam pengertian inilah kita diperkenalkan dengan kenyataan tradisi
Islam yang historis yang sifatnya membumi.
Berkaitan dengan upaya merekontruksi tradisi sebagai mana ditunjukkan Zuhairi
Miswari (2001) post tradisionalisme Islam terbagi kedalam tiga sayap (aliran). Pertama,
sayap eklektis (al-qiraah al-intiqaiyah). Sayap ini menghendaki adanya kolaborasi antara
orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas (al-mu’asharah) dalam rangka membangun
“teori analisis tradisi” juga menyingkap rasionalitas dan irrasionalitas dalam tradisi.
Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah at-tatswiriyah), sayap ini berkehendak untuk
mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi
pemikiran keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana diwakili Hasan Hanafi
mengusulkan tiga cara dalam tradisi dan pembaharuan yaitu menganalisi pembentukan
dan latar belakang tradisi dan mencermati bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan
kemaslahatan umum.
Adapun sayap ketiga adalah sayap dekontruktif (al-qiraah al-tafkiyah). Sayap ini
berusaha membongkar tradisi secara komperehensif sehingga menyentuh ranah
metodologis. Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan epistemology modern seperti post
struktualisme dan post modernism.

E. Jihad dan Terorisme


Jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam, istilah itu sendiri secara harfiah
berarti berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, mempertahankan. Dalam banyak hal,
jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam.
Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah
dimungkinkan tanpa jihad, yaitu tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh
karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu,
menyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran
dan keadilan, bahkan dengan resiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk Jihad.
Al-qur’an menunjukkan istiah jihad untuk merujuk pada tindakan keras untuk
mewujudkan tujuan Tuhan di muka bumi ini, yang mencakup semua aktivitas diatas.
Nabi Muhammad berulang-ulang mengajarkan bahwa bentuk jihad terbesar adalah
memerangi hasrat rendah manusia atau menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan
yang menindas dan menderita sebagai konsekuensi berbicara seperti itu. Dengan logika
yang sama, berusaha sekuat tenaga dan bekerja keras dalam perang, asalkan perang
tersebut adil dan baik, juga termasuk jihad.
Namun, tak bisa ditolak juga bahwa khususnya di era modern, pernyataan-
pernyataan dan perilaku muslim telah menjadi konsep kian membeingungkan dan
bahkan kacau balau. Jihad, khususnya seperti terpotret di media barat dan sebagaimana
dimanfaatkan oleh para teroris, acap kali dikait-kaitkan dengan ide perang suci terhadap
kaum kafir yang disebar luaskan atas nama Tuhan, dan sering kali disamakan dengan
citra paling vulgar mengenai intoleransi agama. Yang terburuk, isu terorisme telah
merusak reputasi agama terbesar kedua di dunia ini.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Islam dan isu-isu kontemporer merupakan dua hal yang berbeda, namun jika dilihat
dari cara pandang yang berbeda dari masing-masing pihak, maka akan menimbulkan
perspektif atau spekulasi yang berupa interpretasi berbeda pula. Meskipun secara arti dan
asal-usul bersumber memang bukan dari islam, tapi tidak salah jika kita lebih teliti dan jeli
dalam menaggapi isu-isu kontemporer yang ada jika ingin mengaitkannya dengan islam.
Isu-isu global kontemporer merupakan isu yang lahir sebagai bentuk baru ancaman
keamanan yang mengalami transformasi sejak berakhirnya Perang Dingin menjadi suatu
“Agenda Global Baru” (New Global Agenda). Ancaman dalam bentuk baru ini bukan
berupa “serangan militer” yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain tetapi
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor dan ditujukan kepada state actor
maupun individu atau warga negara yang mengancam keamanan umat manusia (Human
Security).
B. Saran
Kenyataan bahwa kajian Islam tidak hanya dilakukan oleh muslim saja tetapi juga
nonmuslim meniscayakan adanya fungsi evaluasi kritis pihak pertama terhadap pihak
kedua.MeminjampendapatnyaRaufbahwa Barat sebagai pengkaji Islam harus melepaskan
“pra-anggapan” dan menghiraukan pendapat dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan,
menurutnya, untuk mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana
Barat harus menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam atau dibiarkan begitu
saja sebagaimana yang dikatakan oleh umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

https://yasinaron1545.blogspot.com/2016/12/post-modernisme-dan-neomodernisme.html

http://kumbangilmiah.blogspot.com/2015/04/makalah-fundamentalise-islam.html

Anda mungkin juga menyukai