Anda di halaman 1dari 21

BAB I

KARAKTERISTIK DASAR PROFESI HAKIM

1.1 Profesi Hukum


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, profesi diartikan sebagai bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan dan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan
sebagainya) tertentu.1 Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa profesi memiliki
karakteristik

yang

membedakannya

dengan

pekerjaan

lain.

Menurut

Liliana

Tedjosaputro, agar suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi diperlukan


pengetahuan, penerapan keahlian, tanggung jawab sosial, self control, serta
pengakuan oleh masyarakat.2 Suatu profesi juga biasanya memiliki asosiasi, kode etik,
dan proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut.
Sedangkan professional adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, sesuatu
yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalaninya.3
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh
aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu Negara.4 Profesi hukum merupakan
salah satu dari sekian profesi yang ada. Frans Magnis Suseno membedakan profesi
menjadi dua, yaitu profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi hukum termasuk
dalam profesi luhur dimana motivasi utama profesi ini bukan untuk mencari nafkah dari
pekerjaan yang dilakukannya, tetapi mendahulukan kepentingan orang yang dibantu
dan mengabdi pada tuntutan luhur profesi. Profesi hukum memiliki ciri tersendiri,
karena profesi ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia. Adanya
suatu paradigma baru dalam dunia hukum dewasa ini yang mengarah kepada
penegakan hukum, terutama penegakan hak asasi manusia, membuat profesi hukum
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
hal 789.
2 Liliana Tedjo saputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum
Pidana (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995), hal 32
3 CST Kansil, dkk, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1995), hal.4.
4 Ibid., hal.8
1

memiliki daya tarik tersendiri. Namun, masih terdapat beberapa masalah yang
merupakan kelemahan dalam mengembangkan profesi tersebut. Menurut Sumaryono,
terdapat lima masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius bagi profesi
hukum, yaitu kualitas pengetahuan professional hukum, penyalahgunaan profesi,
profesi hukum menjadi kegiatan bisnis, kurang kesadaran dan kepedulian sosial, serta
kontinuitas sistem yang telah usang.5
1.2 Karakteristik Dasar Profesi Hakim
Hakim merupakan suatu profesi luhur/mulia (officium noble), yaitu profesi yang
pada hakikatnya merupakan pelayanan kepada manusia atau masyarakat. Motivasi
utama profesi ini bukan untuk mencari nafkah dari pekerjaan yang dilakukannya, tetapi
mendahulukan kepentingan orang yang dibantu dan mengabdi pada tuntutan luhur
profesi. Peran hakim dalam menegakkan keadilan salah satunya direalisasikan dengan
kewajibannya untuk bertindak adil, tidak memihak, tidak membeda-bedakan para pihak
yang berperkara, dan menjunjung asas praduga tak bersalah
Menurut pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Mengadili, menurut undang-undang yang sama
adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam
hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim merupakan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya mengadili. Hakim di
Indonesia berada di Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung yang terdiri dari badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
tata usaha negara, dan peradilan militer dengan kekuasaan mengadili yang bersifat
absolut.
Diantara para penegak hukum yang lainnya posisi hakim adalah istimewa.
Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak, generalis bahkan ada
yang menggambarkan hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum

5 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,


1991), hal 67-73.
2

dan keadilan.6 Hakim merupakan aktor utama lembaga peradilan dan pengemban
hukum praktis yang menjadi tulang punggung dalam kegiatan penalaran hukum.
Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak
dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan. Dengan demikian, melalui segala tugas dan kewenangannya,
hakim memiliki kedudukan dan peran yang sangat vital dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan.
Tugas utama seorang hakim adalah mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan
memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan. Dalam memutus perkara hakim tetap harus memutus menurut hukum, baik
dalam arti harfiah maupun hukum yang sudah ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan
atau kepastian yang lahir dari hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun
atas dasar dan menurut hukum, bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan
atau sekedar memenuhi tuntutan masyarakat.7 Indonesia sebagai Negara civil law yang
mengutamakan hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan sebagai sendi
utama sistem hukum, hakimnya lebih banyak berperan dalam kegiatan menerapkan
hukum dalam kasus konkrit sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh
legislatif dan eksekutif.
Seorang hakim pun memiliki wewenang untuk melakukan penemuan hukum
atau

yurisprudensi.

Hukum

yang

berfungsi

untuk

mengatur

manusia

dalam

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik individu dan kelompok apabila


diterapkan dalam peristiwa konkrit tidak permah tepat. Hal ini karena permasalahan
manusia bergerak dinamis atau terus berkembang di masyarakat sedangkan hukum
yang dibuat oleh manusia tidak mungkin bisa mencakup seluruh problema manusia.
Oleh karena itu, diperlukan suatu penemuan hukum atau yurisprudensi. Dalam pasal
16 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara yang diajukkan dengan dalih bahwa tidak ada
6 Catur Iriantoro, Peranan Hakim dalam Menerapkan Hukum dan
Mentransformasikan Ide Keadilan, <http://www.pnmedankota.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=121%>.

7 Sambutan dari Bagir Manan Pada Peresmian Pengadilan Tinggi Agama Ternate,
Tugas Hakim: Antara Melaksanakan Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum,
<www.badilag.net/data/PIDATO/TUGAS%20HAKIM.pdf>, 18 April 2006.

aturannya atau hukum tidak jelas. Selanjutnya, pasal 28 ayat 1 menyatakan bahwa
hakim wajib memeriksa dan mengadili dengan menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila tidak
ada hukum yang mengatur atau hukum yang ada tidak jelas, hakim tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, tetapi wajib melakukan penemuan hukum
(yurisprudensi) dengan menggunakan hukum-hukum yang tidak tertulis. Dalam tradisi
hukum common law, hakim menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam
pembentukan hukum. Karena Pada hakekatnya common law adalah sebuah judge
made law, artinya hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan
dipertahankan berkat kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan)
hakim-hakim.8 Sistem Hukum common law terikat oleh Asas stare decisis yakni asas
yang menyatakan bahwa keputusan hakim yang terdahulu harus diikuti oleh hakim
yang memutuskan kemudian.9
Dari pengertian hakim yang dijelaskan sebelumnya, dijelaskan bahwa hakim
adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka. Maksud dari merdeka adalah
adanya independensi seorang hakim dimana tidak ada suatu kekuatan atau kekuasaan
Negara ekstra yudisial apapun yang dapat mencampuri urusan keputusan seorang
hakim, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan dalam UUD 1945. Dengan kata lain, dalam
memutus suatu perkara, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan, paksaan, direktif,
dan rekomendasi dari pihak lain. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial
bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan pancasila.
1.2.1

Persyaratan Calon Hakim


Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,


seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia.
8 Sirajjudin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, <http://www.stkipjb.ac.id/files/ProfesiHakimdalamKrisis.pdf >, Desember 2007.
9 John Gillisen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar ( Bandung: Refika
Aditama, 1995), hal 105.

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk
organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak
langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang
lainnya.
e. Pegawai Negeri.
f.

Sarjana hukum.

g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.


h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.
1.2.2

Prosedur Pengangkatan Hakim


Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H.,10

Sistem perekrutan hakim adalah melalui lowongan hakim untuk menjalani ujian calon
hakim. Mengenai lowongan hakim tersebut tidak diadakan secara periodik, hanya
sesuai kebutuhan saja. Syarat utama untuk dapat melamar tentunya adalah seorang
sarjana hukum. Tahapan pertama penyaringan adalah mengikuti ujian tertulis yang
berisi materi-materi tentang hukum. Apabila mereka lulus ujian tersebut, maka mereka
dapat mengikuti tahap selanjutnya, yaitu mengikuti ujian lisan. Setelah lulus ujian lisan,
mereka harus mengikuti tahapan ujian psikotes. Setelah dinyatakan lulus ujian tersebut,
mereka akan mengikuti program pendidikan dan latihan (diklat).
Setelah mendapatkan surat pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil,
mereka akan mengikuti magang di Pengadilan Negeri yang sudah ditetapkan dengan
status sebagai calon hakim. Pada masa magang ini, mereka dikaryakan sebagai staf
administrasi pengadilan dengan sistem rolling setiap triwulan di semua bagian
administrasi. Selanjutnya, dalam jangka waktu maksimal 3-4 tahun, Ketua Pengadilan
Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta
yang dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri
akan dilakukan oleh Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.

10Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., seorang hakim di Seorang hakim di


Pengadilan Negeri Depok. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 15
Oktober 2009 pukul 15.00 di Pengadilan Negeri Depok.
5

1.3

Kode Etik Profesi


Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethikos yang artinya moral dan dari kata

ethos yang artinya karakter. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).11 Dengan mengikuti penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, K.
Bartens menyatakan bahwa etika dapat dibedakan dalam tiga arti. Pertama, etika
dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilakunya. Kedua etika dalam
arti kumpulan asas atau nilai moral, contohnya kode etik suatu profesi. Ketiga, etika
sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk.12 Dalam bahasa Kant, etika berusaha
menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom, bukan secara
heteronom dan membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat
dipertanggungjawabkan.
Kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu
sebagai landasan tingkah laku.13 Kelompok profesi memerlukan suatu built-in
mechanism yang berfungsi efektif secara otonom guna menegakkan dan melestarikan
eksistensi profesi yang bisa diakui dan dipercaya oleh masyarakat. 14 Untuk itu, setiap
profesi membentuk kode etik profesinya sendiri yang berisi nilai-nilai moral, kaedah,
atau aturan tentang perilaku yang seyogianya dipegang teguh dan dijunjung tinggi
dalam kehidupan profesi yang bersangkutan dan khusus diciptakan untuk tegaknya dan
kebaikan jalannya profesi tersebut. Kode etik profesi dibutuhkan oleh suatu kelompok
profesi sebagai pedoman dalam menjalankan profesi sekaligus menjaga keluhuran
martabat dan kehormatan profesi agar profesi yang bersengkutan tetap terjaga
kehormatannya. Kode etik pun berperan sebagai sarana kontrol sosial dan melindungi
masyarakat dari segala bentuk penyimpangan atau penyalahgunaan keahlian.
Seperti yang dikatakan Bartens bahwa kode etik ibarat kompas yang
memberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu
11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hal. 271.
12K. Bartens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 4.
13E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius
(Jakarta: Storia Grafika, 2001), hal.4.
14Sirajjudin, op.cit.
6

moral profesi itu di dalkam masyarakat. 15 Dengan demikian kode etik adalah refleksi
dari sebuah self control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan
untuk kepentingan kelompok profesi itu sendiri sebagai pedoman agar mereka dapat
menjalankan tugasnya secara profesional.
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai
moral dalam menjalankan profesinya. Hal ini tak lain karena profesi ini sangat erat
kaitannya dengan penegakan hukum dan keadilan di suatu negara. Redupnya
penegakan hukum di suatu negara sangat dipengaruhi oleh adanya penyalahgunaan
tujuan profesi hukum yang sangat mullia itu sendiri dan berjalan tidaknya penegakan
hukum dalam suatu masyarakat tergantung pada baik buruknya profesional hukum
yang menjalani profesinya tersebut. Dengan demikian, adanya kode etik profesi hukum
sangat berperan untuk menghindari penyalahgunaan tujuan profesi hukum sehingga
anggota

suatu

profesi

hukum

dapat

menjalankan

tugas,

kewajiban,

dan

kewenangannya secara profesional untuk menegakan hukum dan keadilan di


masyarakat.
1.3 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)
Setiap profesi memiliki suatu wadah organisasi. Dalam profesi hakim, terdapat
suatu organisasi yaitu Ikatan Hakim Indonesia yang biasa disebut IKAHI. Berdasarkan
wawancara dengan Bapak Syahri Adamy, S.H.,M.H16 IKAHI berfungsi untuk
menjalankan fungsi advokasi atau memberikan perlindungan bagi hakim bila sedang
dihadapkan pada suatu masalah. IKAHI berjuang untuk membela hak-hak yang
seharusnya didapatkan atau diterima oleh hakim. Dalam hal terdapat seorang hakim
yang terlibat suatu permasalahan, seperti pelanggaran kode etik, maka IKAHI akan
memperjuangkan hak-hak hakim tersebut dalam proses persidangan seperti hak
seorang hakim untuk membela diri dan mengemukakan pendapatnya.
Disamping itu, dalam rangka penegakkan kode etik,

IKAHI

pernah

mengeluarkan kode etik hakim dalam Musyawarah Nasional (Munas) XIII di Bandung. 17
Melalui kode etik ini terbentuk Majelis Kehormatan Profesi Hakim, yaitu suatu komisi
15K. Bartens, op.cit., hal. 280-281
16 Syahri Adamy, S.H.,M.H., seorang hakim di Pengadilan Negeri Depok.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 15 Oktober pukul 10.00 di
Pengadilan Negeri Depok.
17 Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.
7

yang dibentuk oleh Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk
memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang
melanggar atau diduga melanggar Kode Etik profesi. Majelis ini bertujuan untuk
menegakkan kode etik hakim agar ketentuan di dalamnya dapat terlaksana sekaligus
mengawasi pelaksanaannya tersebut. Selain itu, Komisi Kehormatan Hakim juga
berwenang memberikan pertimbangan dan sanksi bagi hakim yang melakukan
pelanggaran kode etik sebagai tindak lanjut fungsi pengawasan.

BAB II
TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM
2.1Kode Etik Hakim
Semua profesi hukum, termasuk profesi hakim terikat dalam suatu aturan baik
itu aturan normatif yang bersumber dari hukum positif yang berlaku maupun kaidahkaidah etika yang tertuang dalam kode etik profesi masing-masing. Sebagai profesi
hukum yang sangat berperan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan di
masyarakat, adanya kode etik profesi sebagai pedoman dalam menjalankan profesi
sekaligus menjaga keluhuran martabat profesinya merupakan suatu hal yang sangatlah
penting. Menurut Ibu Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H.,18 kode etik sangatlah penting untuk
mengharumkan nama profesi hakim dan keadilan. Dengan adanya moral yang baik
maka akan menghasilkan putusan yang baik sehingga keadilan dapat ditegakkan.
Kode etik profesi dibuat secara internal oleh organisasi profesi dan ditegakkan
oleh suatu badan kehormatan profesi yang dibentuk dari dan oleh anggota profesi itu
masing-masing. Dalam kode etik profesi hakim, lembaga yang berwenang untuk
membuat kode etik hakim adalah Mahkamah Agung sebagai lembaga pengawasan
tertinggi

atas

perbuatan

pengadilan

dalam

lingkungan

peradilan

yang

ada

dibawahnya.19 Dengan dibentuknya Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan


eksternal peradilan di Indonesia yang berfungsi untuk menegakkan harkat dan
martabat profesi hakim, maka Komisi Yudisial pun diberikan kewenangan untuk
18 Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., Seorang hakim di Pengadilan Negeri Bogor.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 10 November pukul 16.00 di
Pengadilan Negeri Bogor.
19 Ibid,.
8

membentuk kode etik hakim.20 Adanya kewenangan Komisi Yudisial untuk membentuk
kode etik hakim banyak dipertentangkan oleh banyak pihak. 21 Hal ini dikarenakan
peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur secara tegas apakah sebagai
salah satu lembaga pengawas peradilan yang berfungsi menegakkan harkat dan
martabat serta menjaga perilaku hakim berwenang juga untuk membentuk kode etik
hakim. Banyak pihak berpendapat bahwa Komisi Yudisial seharusnya tidak berwenang
menyusun kode etik karena kode etik mengatur mengenai profesi mereka sendiri agar
suatu profesi tetap terjaga martabat dan kehormatannya dan profesi tersebutlah yang
lebih mengenal profesi tersebut serta berkepentingan untuk menjaga citra profesi
tersebut.22 Dengan demikian, sebaiknya kode etik hakim disusun dan dirumuskan oleh
profesi hakim itu sendiri.
Kode etik hakim terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari
waktu ke waktu. Kode etik pertama yang berlaku bagi profesi hakim adalah Kode
Kehormatan Hakim sebagaimana ditetapkan dalam Rapat Kerja para Ketua Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri di bawah pimpinan Mahkamah Agung yang diadakan
pada tahun 1986, dan dikukuhkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada tanggal
23 Maret 1988. Kode kehormatan hakim tersebut dirumuskan sebagai Tri Prasetya
Hakim Indonesia. Berdasarkan hasil Munas IKAHI ke-XIII pada tanggal 30 Maret 2001
di Bandung, dibentuklah peraturan tentang kode etik hakim. Selanjutnya, pada bulan 30
Mei 2006, Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman perilaku hakim. Pedoman
perilaku hakim ini mendapatkan banyak kritikan karena memberikan kelonggaran bagi
hakim dalam menerima hadiah sehingga Mahkamah Agung melakukan revisi dan
mengeluarkan kembali pedoman perilaku hakim pada tanggal 22 Desember 2006.
Baru-baru ini, telah dibentuk pedoman perilaku hakim yang baru yang disusun atas
kerjasama antara MA dengan KY. Pedoman perilaku hakim ini ditetapkan dan sudah
mulai berlaku pada tanggal 8 April 2009.
2.1.1Aturan Benturan Kepentingan dalam Kode Etik Hakim
Seorang hakim wajib menjunjung tinggi nilai objektivitas dan integritas. Dalam
pedoman perilaku hakim, asas tersebut diterapkan dengan adanya pengaturan
20 Ibid.,
21 Ibid.,
22 Ibid,.
9

mengenai masalah benturan kepentingan dimana Hakim tidak boleh mengadili suatu
perkara apabila memiliki konflik kepentingan

baik karena hubungan pribadi dan

kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga


mengandung konflik kepentingan. Yang dimaksud dengan hubungan pribadi dan
kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang berasal yang patut diduga
mengandung konflik kepentingan diatur lebih lanjut dalam pedoman perilaku hakim,
yaitu:23
1. Hubungan Pribadi dan Kekeluargaan.
a. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri
meskipun telah bercerai, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut,
Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut.
b. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan
pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat,
yang menangani perkara tersebut.
2. Hubungan Pekerjaan
a. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau
menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada
persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah.
b. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani

hal-hal

yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili,
saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim.
c. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar
kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga.
d. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa
orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat
mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-tugas
peradilan.
e. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah
organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut
masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai
politik tersebut.
3. Hubungan Finansial.
23 Pedoman Perilaku Hakim yang dibuat oleh Mahkamah Agung, disahkan
tanggal 22 Desember 2006.
10

a. Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban


keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan
keuangan para anggota keluarganya.
b. Hakim tidak boleh menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk
mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam
hubungan finansial.
c. Hakim tidak boleh mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa
seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh
keuntungan finansial.
4. Prasangka dan Pengetahuan atas Fakta.
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki
prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau
bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.
Dengan adanya larangan bagi seorang hakim untuk mengadili suatu perkara
apabila terdapat unsur benturan kepentingan, maka Hakim yang memiliki konflik
kepentingan wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang
bersangkutan.24 Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin
untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan
atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.
Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri
memeriksa dan mengadili suatu perkara lebih baik memilih mengundurkan diri. Adanya
aturan benturan kepentingan sangat penting untuk menghindari adanya ketidakadilan
dalam memutus.25
Pelanggaran terhadap aturan benturan kepentingan ini merupakan pelanggaran
ringan, kecuali aturan mengenai larangan hakim mengadili suatu perkara apabila
memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda yang merupakan suatu
pelanggaran berat. Dalam hal ini, peran lembaga pengawasan adalah mengawasi
hakim agar dalam menjalankan tugasnya, yaitu mengadili dan memutus suatu perkara,
tidak mengandung suatu konflik kepentingan di dalamnya.26 Disamping itu, lembaga
pengawas pun melakukan suatu penyelidikan apabila terdapat laporan bahwa terdapat
24Syahri Adamy, S.H.,M.H., op.cit.
25 Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.
26 Ibid.
11

hakim yang melakukan pelanggaran aturan benturan kepentingan, serta melakukan


penindakan apabila seorang hakim terbukti melanggar aturan ini dengan memberikan
sanksi yang sesuai dengan tingkat pelanggarannya.27

1.1.2

Pengaturan Pola Hubungan Hakim Dengan Pihak Ketiga dalam Kode Etik
Dalam pedoman perilaku hakim, terdapat berbagai pengaturan mengenai pola

hubungan hakim dengan pihak ketiga. Dalam berhubungan dengan pihak ketiga, hakim
dibatasi oleh kewajiban dan larangan yang diatur dalam kode etik hakim tersebut,
diantaranya adalah:28
1. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan
advokat, Penuntut, dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang tengah diperiksa
oleh Hakim yang bersangkutan.
2. Hakim harus membatasi hubungan akrab, baik langsung maupun tidak langsung
dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat
hakim tersebut menjabat.
3. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar
persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi
kepentingan kelancaran persidanagn yang dilakukan secara terbuka, diketahui
pihak-pihak

yang

berperkara,

tidak

melanggar

prinsip

perlakuan

dan

ketidakberpihakan.
4. Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri
Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta,
menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman
atau fasilitas dari Advokat; Penuntut; Orang yang sedang diadili; Pihak lain yang
kemungkinkan kuat akan diadili; atau Pihak yang memiliki kepentingan langsung
atu tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang atau kemungkinan kuat
akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut dianggap untuk
mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

27 Ibid.
28 Pedoman Perilaku Hakim, Op.cit.
12

5. Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan


lembaga eksekutif dan legislatif serta dapat memberikan keterangan, pertimbangan
dan nasihat hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu perkara
yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan.

2.2 Pelanggaran Kode Etik Hakim


Selain peraturan perundang-undangan yang berlaku, setiap hakim wajib
mematuhi kode etik yang berlaku bagi profesinya. Seseorang dapat dikatakan
melanggar suatu kode etik hakim apabila dalam menjalankan tugasnya tidak
memperhatikan atau tidak sesuai dengan kode etik profesi hakim tersebut.29
Pelanggaran terhadap kode etik dapat dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu
pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan pelanggaran berat. Pelanggaran ringan
diantaranya adalah apabila hakim tidak menjalankan kewajibannya seperti berikut:
a. Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak
lainnya tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk menerapkan standar
perilaku yang sama dengan hakim.
b. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan
Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang tengah diperiksa oleh
Hakim yang bersangkutan.
c. Hakim harus membatasi hubungan akrab, baik langsung maupun tidak langsung
dengan advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim
tersebut menjabat, dan sebagainya.
Pelanggaran sedang diantaranya adalah apabila hakim melakukan apa yang dilarang
seperti hal-hal berikut ini:
a. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan,
kecuali

dilakukan

dalam

lingkungan

gedung

pengadilan

demi

kelancaran

persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara,


tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidakberpihakan.

29 Syahri Adamy, S.H.,M.H., op.cit.


13

b. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik
karena hubungan pribadi dan

kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang

patut diduga memiliki konflik kepentingan.


c. Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transksi usaha yang
berpotensi memanfaatkan posisi sebagai hakim, dan sebagainya.
Sedangkan pelanggaran berat diantaranya adalah apabila hakim melakukan larangan
sebagai berikut:
a. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu
perkara di luar proses persidangan peradilan, baik terhadap perkara yang diperiksa
atau diputusnya maupun perkara lain.
b. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai hakim untuk mengejar
kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga.
c. Hakim tidak boleh menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak
lain, dan sebagainya.
2.3 Sanksi Pelanggaran Kode Etik Hakim
Pelanggaran terhadap kode etik ini dapat diberikan sanksi. Dalam menentukan
sanksi yang layak dijatuhkan, harus dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan
dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari
pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan maupun pihak lain. Terhadap
pelanggaran kode etik, sanksi yang dikenakan merujuk kepada Hukuman Disiplin
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), diantaranya adalah hukuman ringan
seperti teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis.30 Untuk
hukuman sedang diantaranya adalah penundaan kenaikan gaji paling lama 1 tahun,
penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun, dan
penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun. Sedangkan hukuman disiplin
berat antara lain penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling
lama 1 tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas
permohonan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
PNS.

30 Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., op.cit.


14

Dalam hal pelanggaran sedang dan berat, disamping hukuman disiplin tersebut
juga dapat dikenakan tindakan antara lain:
a. Tidak diperkenankan menangani perkara selama 6 bulan untuk pelanggaran
sedang dan minimal 1 tahun dan maksimal 2 tahun untuk pelanggaran berat.
b. Mutasi ke pengadilan lain tanpa promosi
c. Pembatalan atau penangguhan promosi
d. Didemosi/diturunkan dari jabatan struktural
2.4 Pengawasan
2.4.1

Pengawasan Internal
Sesuai pasal 11 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung

melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan pengadilan dan dalam


lingkungan peradilan yang ada dibawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pengawasan di Mahkamah Agung dilakukan oleh Ketua Muda di bidang pengawasan.
Bentuk pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung berdasarkan pasal
32 Undang-Undang Mahkamah Agung meliputi:
1. Mengawasi penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
2. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan tugasnya.
3. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
dari semua lingkungan peradilan.
4. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada
pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Obyek pengawasan Mahkamah Agung meliputi tiga hal, yaitu:31
1. Pengawasan Internal Bidang Teknis Peradilan, yaitu pengawasan terhadap segala
sesuatu yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili,
dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, termasuk pula bagaimana
pelaksanaan putusan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan dalam konteks ini
adalah peningkatan putusan hakim.

31 Wildan Suyuti, Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah
Berkaitan (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), hal 80.

15

2. Pengawasan Internal Bidang Administrasi Peradilan, yaitu pengawasan segala


sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan pada lembaga pengadilan.
Administrasi peradilan perlu mendapat pengawasan dari Mahkamah Agung untuk
menghindari ketidaksempurnaan suatu putusan pengadilan.
3. Pengawasan Internal Bidang Perilaku Pejabat Peradilan. Bidang pengawasan ini
menjadikan tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan sebagai
obyek pengawasannya. Pelaksanaan pengawasan tersebut dilakukan berdasarkan
temuan-temuan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan
pejabat kepaniteraan, baik yang berdasarkan laporan hasil pengawasan internal
maupun yang berasal dari laporan masyarakat, media massa, dan pengawasan
eksternal lainnya.32.
2.4.2Pengawasan Eksternal
Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat

bahwa masih

banyaknya hakim yang bertindak tidak sesuai dengan kode etik dan peraturan
perundang-undangan

dalam

menjalankan

tugas

dan

kewenangannya,

maka

pemerintah membentuk sebuah lembaga yang memantau dan melakukan evaluasi


terhadap perilaku hakim. Lembaga tersebut yaitu Komisi Yudisial yang dibentuk sesuai
dengan Undang-Undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UUKY).
Dengan dibentuknya lembaga tersebut maka pengawasan terhadap perilaku hakim
tidak hanya dilakukan oleh pihak internal dari Mahkamah Agung saja, tetapi juga
lembaga lain di luar MA. Dalam diktum pertimbangan poin b UUKY dinyatakan bahwa
komisi yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan
terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.
Kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam pasal 24 B UUD 1945
dan juga pasal 13 UUKY adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada
DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim. Dalam pasal 20 UUKY diatur lebih lanjut bahwa dalam melaksanakan
wewenang yang kedua diatas, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim. Tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan
32 Ibid, hal. 81.
16

tanggung jawab ini, yaitu dengan menerima laporan masyarakat tentang perilaku
hakim, dan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim, serta
membuat laporan pemeriksaan dan rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi, dengan tembusan pada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam menjalankan tugasnya melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim,
KY tetap berpegang pada norma dan hukum yang berlaku dan wajib menjaga
kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia KY yang diperoleh
berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Komisi Yudisial pun dalam melakukan
pengawasan terhadap hakim yang diduga melanggar kode etik dan/atau peraturan
perundang-undangan, wajib menghormati kebebasan hakim dalam menjalankan
tugasnya untuk memeriksa dan memutus perkara. 33 Dengan demikian, fungsi
pengawasan yang dilakukan KY hanya terbatas pada perilaku hakim. KY tidak
berwenang masuk kedalam wilayah teknis, seperti mengomentari atau melaporkan
berkaitan dengan putusan hakim.34 Yang berwenang untuk menilai putusan hakim
adalah lembaga peradilan yang lebih tinggi melalui banding dan kasasi.
2.5

Penegakan Kode Etik


Kode etik sudah seharusnya selalu ditegakkan mengingat adanya kewenangan

hakim untuk memutus atau mengadili suatu perkara secara mandiri dalam rangka
menegakan keadilan. Penegakan kode etik hakim tidak hanya harus dilakukan oleh
lembaga pengawas peradilan saja, seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Penegakkan kode etik pun harus dilakukan oleh pimpinan pengadilan dan anggota
profesi hakim yang bersangkutan.35
1. Penegakan oleh Lembaga Pengawas
Sebagai lembaga pengawas, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berwenang
untuk menegakan kode etik hakim dengan secara aktif mengawasi dilaksanakannya
kode etik dengan baik oleh para hakim, menerima laporan adanya dugaan pelanggaran
kode etik oleh seorang hakim, melakukan penyelidikan, dan memberikan penindakan
33 Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia ( Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), Hal 126.
34Tirolan Nainggolan, S.H.,M., op.cit.
35 Syahri Adamy, S.H.,M.H., op.cit.
17

atau sanksi yang tegas apabila seorang hakim terbukti telah melakukan pelanggaran
kode etik.36
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Syahri Adamy, S.H.,M.H.,37 dalam
hal terjadi pelanggaran kode etik oleh hakim, dibentuk suatu badan pengawas untuk
mengumpulkan data dan melakukan pemeriksaan untuk membuktikan kebenaran
dugaan pelanggaran tersebut, serta selanjutnya membuat laporan hasil pemeriksaan
yang disertai kesimpulan, pendapat, dan rekomendasi yang disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama, Ketua Pengadilan Tingkat Banding, atau Ketua
Mahkamah Agung tergantung hakim di pengadilan mana yang melakukan pelanggaran.
Apabila perilaku hakim tersebut masuk kriteria sebagai pelanggaran kode etik yang
mendapatkan sanksi pemberhentian, maka Ketua Mahkamah Agung memerintahkan
untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri dari MA dan KY untuk
memberikan kesempatan kepada hakim melakukan pembelaan diri dan kemudian
merekomendasikan sanksi yang sesuai dengan pelanggaran kepada ketua MA. Dalam
hal dugaan tersebut terbukti, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, Ketua
Pengadilan Tingkat Banding, atau Ketua Mahkamah Agung yang akan menjatuhkan
sanksi kepada hakim tersebut.
2. Penegakan oleh Pemimpin Pengadilan
Kewenangan pemimpin pengadilan dalam menegakkan kode etik dapat dilihat
dari adanya kewajiban pimpinan hakim berupaya secara sungguh-sungguh untuk
memastikan agar hakim di lingkungannya mematuhi pedoman perilaku hakim.
Pimpinan Pengadilan wajib melakukan pembinaan terhadap para Hakim, baik
pembinaan teknis, profesi, moral, maupun perilaku. Dalam rangka penegakan kode
etik, Pimpinan Pengadilan pun harus mampu melakukan pencegahan-pencegahan
agar hakim tidak melakukan penyimpangan dan pelanggaran.38
3. Penegakan melalui Pengawasan Horizontal Sesama Hakim
Seorang hakim sebagai anggota suatu profesi pun berwenang untuk melakukan
penegakan kode etik. Hal ini terkait dengan adanya suatu mekanisme pengawasan
horizontal yang dilakukan oleh sesama professional. Setiap hakim berkepentingan
36 Ibid.
37 Ibid.
38 Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., op.cit.
18

serta berkewajiban untuk menjunjung tiunggi dan menjaga citra, martabat, kewibawaan,
dan kehormatan lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Untuk itu, pengawasan secara horizontal tersebut sangat penting dalam
rangka menegakkan kode etik hakim. Salah satu mekanisme pengawasan horizontal
adalah adanya kewajiban seorang hakim untuk melakukan upaya yang layak, seperti
melaporkan atau memberi informasi kepada pihak yang berwenang dalam pengawasan
hakim atas setiap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim lainnya apabila
hakim tersebut mengetahui atau menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa
seorang hakim lain telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan. Usaha yang
layak ini wajib dilakukan untuk menghindari hal tersebut berulang dan menimbulkan
perlakukan yang tidak adil bagi para pihak. Dengan demikian, seorang hakim
dimungkinkan untuk melaporkan hakim yang lain dalam hal terjadi pelanggaran kode
etik.39 Membiarkan pelanggaran yang terjadi bertentangan dengan semangat membela
korps Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya karena pelanggaran yang
dilakukan

oleh

individu-individu

hakim

pada

akhirnya

akan

melahirkan

ketidakpercayaan masyarakat pada seluruh Hakim dan lembaga peradilan serta


buruknya citra dan kehormatan profesi hakim dan lembaga peradilan.
Menurut Ibu Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H,40 penegakkan kode etik saat ini
sudah maksimal. Hal itu dilihat dari adanya kinerja yang baik dari pimpinan hakim,
Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial yang selalu menanggapi dan menyelidiki
sekecil apapun pengaduan dari semua pihak. Disamping itu, hal ini juga dapat dilihat
dari adanya pembinaan secara rutin setiap enam bulan sekali dari Mahkamah Agung.
2.5 Tanggung Jawab Hukum Seorang Hakim dalam Pelaksanaan Tugas
Setiap profesi hukum mempunyai peran dan fungsi tersendiri dalam rangka
mewujudkan pengayoman hukum berdasarkan pancasila dalam masyarakat, yang
harus diterapkan sesuai dengan mekanisme hukum berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku (memenuhi asas legalitas dalam Negara hukum).41 Oleh karena itu, dalam
39 Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.
40 Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., op.cit.
41 Amir Syamsuddin, Modul Kuliah Tanggung Jawab Profesi dan Etika
Advokat.
19

menjalankan tugasnya, selain harus senantiasa mematuhi kode etik yang berlaku bagi
profesinya atau yang disebut pedoman perilaku hakim, seorang hakim pun harus
tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seorang hakim bertugas
untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan bersikap sesuai dengan
peraturan hukum.42 Seorang hakim harus menguasai hukum, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis, memutus berdasarkan aturan-aturan hukum yang berlaku, dan harus
menjalankan segala tugasnya sesuai dengan hukum yang berlaku. 43 Dalam kode etik
hakim dinyatakan bahwa hakim wajib mengetahui dan mendalami serta melaksanakan
tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya
hukum acara agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa
keadilan bagi setiap pencari keadilan.44 Dengan demikian, seorang hakim memiliki
suatu tanggung jawab hukum, yaitu tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk
dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melangar rambu-rambu hukum. Wujud
pertanggungjawaban hukum adalah berupa sanksi.
Pemenuhan ketentuan hukum sejalan dengan pemenuhan kode etik. Beberapa
peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan
mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi
hakim, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang ini mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus
ditaati oleh hakim, yaitu:
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b. bahwa

dalam

mempertimbangkan

berat

ringannya

pidana,

hakim

wajib

memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2));
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri
meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa,
Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).

42 Ibid.
43 Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.
44 Pedoman Perilaku Hakim, op.cit.
20

Apabila dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim telah melanggar suatu


peraturan perundang-undangan, seperti penyuapan, pemerasan, dan sebagainya,
maka selain hakim tersebut mendapatkan sanksi akibat melakukan suatu pelanggaran
terhadap kode etik hakim, ia pun memiliki tanggung jawab hukum berupa sanksi pidana
atas tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, sanksi pelanggaran kode etik
yang telah diberikan tidak menghalangi pemeriksaan tindak pidana yang dilakukannya.

21

Anda mungkin juga menyukai