Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

JAKSA YANG BERINTEGRITAS DALAM MENEGAKKAN


KEADILAN

Oleh:

Kelompok 3
Eva Florence Dorothy Limbong 01051220151
Elisheva Jocelyne Tiasono 01051220143
Devito Imanda Wagiyanto 01051220155
Bintang Raja Dirgantara 01051220192
Bintang Fardiansyah Hambran 01051220203

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
2023
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UUD 1945, Negara Republik Indonesia
adalah negara hukum. Hukum adalah panglima tertinggi dalam penyelenggaraan
negara. Hal ini dimaksudkan agar hukum dapat menjamin kepastian hukum bagi
masyarakat yang berlandaskan keadilan bukan sekedar kekuasaan (maachsstaat)
dan yang pemerintahannya berlandaskan sistem konstitusional (hukum dasar)
bukan absolut.1 Pasal tersebut menekankan bahwa penegakan hukum dan keadilan
yang memberikan manfaat, kepastian hukum, dan perlindungan hukum bagi
masyarakat dalam upaya mencapai tujuan nasional merupakan salah satu asas
negara hukum. Menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
merdeka dari campur tangan pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lain merupakan salah satu asas negara hukum.
Satjipto Raharjo berpendapat bahwa semua anggota masyarakat harus
tunduk pada hukum yang mengatur bagaimana mereka harus bertindak dan
menjaga ketertiban. Suatu komponen kegiatan yaitu norma hukum,
pelaksanaannya, dan penyelesaian sengketa yang menyangkut fenomena hukum
yang timbul dalam masyarakat untuk menciptakan suasana tertib hukum,
diperlukan bagi suatu tertib hukum dalam masyarakat.2 Upaya penegakan hukum,
penegakan norma hukum tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari penegakan
hukum. Sudah sewajarnya hukuman yang berat harus dijatuhkan terhadap
pelanggaran-pelanggaran untuk mencapai penegakan hukum yang berkeadilan dan
meningkatkan ketertiban sosial dan kepastian hukum.
Sistem hukum terdiri dari tiga komponen, menurut Lawrence M. Friedman:
struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Sederhananya, struktur
hukum terkait dengan aparat penegak hukum atau lembaga penegak hukum.3 Proses
upaya penegakan atau pelaksanaan norma hukum secara efektif sebagai pedoman

1
Maruarar Siahaan. 2017. Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri dan Akuntabel Menurut UUD
NKRI Tahun 1945. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 004.
2
Satjipto Rahardjo. 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta
: CV. Rajawali.
3
Lawrence M. Friedman. 1975. The Legal System, Asocial Secience Perspective. New York : Russel
Sage Foundation.

1
perilaku dalam arus hubungan hukum antara masyarakat dan negara dikenal dengan
istilah penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana yang melibatkan
memainkan peran pejabat dari kepolisian.
Secara teori, penegakan hukum harus dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat; namun demikian, masyarakat juga mengharapkan penegakan hukum
dapat membantu mewujudkan keadilan. Kejaksaan Agung merupakan lembaga
penegak hukum independen di Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
di negara hukum. Kejaksaan berwenang berdasarkan peraturan perundang-
undangan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dalam proses peradilan. sehingga Jaksa Agung Republik Indonesia tidak boleh
dipengaruhi oleh kekuasaan pihak manapun karena merupakan lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Jaksa wajib menaati kode etik kejaksaan dan berperan sebagai penuntut
umum dalam menegakkan keadilan dan melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjaga citra profesional dan kinerja
kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang kejaksaan untuk
menegakkan hukum, diharapkan dengan adanya kode etik ini dapat mewujudkan
kejaksaan sebagai penegak hukum yang profesional, bertanggung jawab dan
memiliki integritas. Kejaksaan berkewajiban menjaga dan menegakkan
kewibawaan pemerintah dan negara, serta melindungi kepentingan rakyat melalui
penegakan hukum. Mereka juga harus mampu terlibat penuh dalam proses
pembangunan, termasuk membantu menciptakan kondisi dan infrastruktur yang
mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Perilaku mengikat seorang jaksa harus profesional dalam berpikir, bersikap,
dan berperilaku. Harus dilandasi dengan norma-norma yang hidup dan
berkembang, memperhatikan rasa keadilan, dan memperhatikan nilainilai
kemanusiaan dalam masyarakat. Kejaksaan merupakan pejabat publik yang selalu
berdedikasi untuk mendukung doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam menjalankan

2
tugas dan wewenangnya serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat publik
lainnya, maka diperlukan seorang advokat profesional yang memiliki integritas,
kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi, penuh tanggung jawab, dan selalu
mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan global. Jaksa
berkewajiban untuk menjunjung tinggi standar etika atau perilaku tersebut di atas.
Bagi pencari keadilan, kewenangan dan tanggung jawab kejaksaan agung
dalam penegakan hukum tidak bercela. Namun, kejaksaan mengabaikan kode etik
profesi karena penegak hukum dalam hal ini jaksa tidak lepas dari pengaruh pihak-
pihak yang berkepentingan. Karena penegak hukum yang seharusnya menjunjung
tinggi nilai-nilai hukum secara utuh dan mewujudkan keadilan, hukum telah dirusak
sehingga menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap penegak keadilan.
Integritas Jaksa itu sendiri sangat mempengauhi pelaksanaan fungsinya
sebagai pengacara negara. Jaksa sebagai pengacara negara harus dapat memainkan
perannya sebagai pihak yang mewakili negara untuk membela kepentingan negara,
utamanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan atau keuangan negara dan
melindungi hak keperdataan masyarakat. Artinya di samping melindungi
kepentingan negara, Jaksa juga harus tetap memperhatikan hak-hak keperdataan
masyarakat. Untuk itu, Jaksa tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dapat
menvcederai wibawa institusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengacara
negara.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang timbul
dalam penulisan makalah ini adalah:

1. Bagaimana jaksa melaksanakan tugasnya dengan berintegritas dan


menjujung tinggi hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945?

3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Jaksa


Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-
undang. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam
organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran
pelaksanaan tugas kejaksaan.
Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung yang merupakan
pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang dipimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan. Selanjutnya, Jaksa
Agung merupakan pejabat negera yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persyaratan tertentu berdasarkan undang-undang. Oleh karena Jaksa Agung
diangkat oleh Presiden, maka dalam menjalankan tugasnya Jaksa Agung
menjalankan tugas negara. Karena, Presiden mengangkat Jaksa Agung
kedudukannya sebagai kepala negara (kekuasaan federatif) dan bukan sebagai
kepala pemerintahan (kekuasaan eksekutif). Demikian juga jaksa yang diangkat
oleh Jaksa Agung dalam menjalankan tugasnya adalah menjalankan tugas negara
dan bukan tugas pemerintahan.

2.2. Pengertian Integritas


Lemahnya integritas penegak hukum, menjadi problematika tersendiri
dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia.4 Buruknya etika tersebut
menyebabkan terjadinya keruntuhan penegakan hukum yang berimplikasi pada
multidimensional. Nilai dasar yang terkandung dalam hukum untuk mencapai
tujuannya menjadi hak setiap individu untuk dapat merasakannya. Hak ini
direnggut dengan integritas rendah penegak hukum yang dapat membuka ruang
besar terjadinya praktik korupsi sebagaimana tersaji dalam data sebelumnya. Selain
penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, masifnya rasuah

4
Achmad Budi Waskito. 2018. Implementasi Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Integrasi.
Jurnal Daulat Hukum. 1(1).

4
memberikan dampak negatif bagi rakyat dan negara dalam bidang ekonomi,
pembangunan, pendidikan, sosial, kesehatan, dan pemerintahan.5
Secara definisi kata integritas berasal dari bahasa Inggris yakni integrity,
yang berasal dari akar kata integer yang mana artinya menyeluruh, lengkap atau
segalanya6. Ini adalah bentuk ketaatan secara keagamaan terhadap kode moral,
nilai dan kelakuan. Kalau diperagakan, maka integritas ini melebihi karakter
seseorang, aksi yang dapat dipercaya (trustworthy action) dan komitmen yang
bertanggung jawab (responsible commitment). Kalau boleh ditentukan, maka
integritas itu adalah standard terhadap anti suap (incrorruptibility) menolak
melakukan kesalahan terhadap kebenaran, bertanggung-jawab atau janji (pledge).
Dengan demikian, integritas ini mencakup moral, perilaku, tanggung jawab seorang
hakim dalam melaksanakan kewenangannya. Unsur-unsur inilah (moral dan
tanggung jawab) yang dijadikan patokan dalam menilai integritas hakim dalam
melaksanakan tugasnya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia arti integritas adalah mutu, sifat,
atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan
kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran; (nomina). Integritas
adalah quality of exellence yang termanifestasikan dalam sikap yang terintegrasi
dan holistic secara individual maupun organisasi. Dari definisi ini didapatkan
bahwa integritas menunjukkan adanya kewibawaan dan kejujuran dalam pribadi
yang utuh.
Dengan mengutip sejumlah ahli, Anggara7 menyatakan bahwa dalam etika
objektivisme, integritas diartikan sebagai loyalitas terhadap prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang rasional. Meski objektivisme sendiri sebenarnya mendapat banyak
kritik ketika digunakan sebagai pondasi dasar pengembangan etika karena sifat
etikanya yang egoistik, aksioma objektivisme dapat membantu mengembangkan
konsep integritas.

5
Nanci Yosepin Simbolon. 2020. Politik Hukum Penanganan Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. Jurnal Mercatoria. 13(2).
6
Talli, A. H., 2014, Integritas dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan Perkara, Al
Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 3(1), 1-15.
7
Anggara Wisesa, 2011, Integritas Moral dalam Konteks Pengambilan Keputusan Etis, Jurnal
Manajemen Teknologi, Volume 10 Nomor 1, hal. 83

5
Pada intinya, objektivisme menekankan bahwa realitas berada terpisah dari
kesadaran manusia dan manusia yang berkesadaran itu berhubungan dengan realitas
melalui akal budinya melalui proses pembentukan konsep dan logika. Dan karena
memiliki kesadaran dan akal budi, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir
atau tidak berpikir, dan karenanya dapat memilih alternatif-alternatif tindakan yang
ada8.
Lebih lanjut Anggara9 menegaskan bahwa hal pertama yang dapat ditarik
dari konsepsi objektivisme terhadap integritas adalah bahwa integritas adalah
sebuah bentuk loyalitas, yaitu keteguhan hati seseorang untuk memegang prinsip
dan nilai moral universal. Prinsip moral adalah norma, yaitu aturan moral yang
menganjurkan atau melarang seseorang untuk berbuat sesuatu. Dasar dari prinsip
moral itu adalah nilai moral.
Hal kedua adalah bahwa integritas bukan tentang perkataan semata, tetapi
juga mencerminkan tindakan yang sejalan dengan prinsip dan nilai moral universal
dan rasional. Di sini loyalitas terhadap prinsip atau nilai itu diwujudkan clalam
bentuk tindakan, di mana loyalitas itu ditunjukkan sebagai keteguhan hati seseorang
untuk bertindak sejalan dengan prinsip atau nilai yang dipegangnya itu. Meski
demikian, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada kernungkinan bagi seseorang untuk
berubah, bahkan seseorang memiliki kewajiban untuk mengubah pandangannya
bila apa yang selama ini dipegang olehnya salah.
Hal ketiga, integritas bukan sekadar bertindak sejalan dengan suatu prinsip
atau nilai, tetapi prinsip atau nilai objektif yang dapat dibenarkan secara moral.
Pembenaran ini pun harus menggambarkan kesimpulan yang diperoleh melalui
prinsipprinsip logika, bukan emosi belaka. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral
adalah hal yang objektif yang konseptualisasinya dibangun melalui pengalaman
nyata dan persepsi inderawi terhadap obyek dan kondisi aktual. Itu sebabnya
integritas membutuhkan lebih dari sekadar loyalitas kepada prinsip dan nilai moral
yang dipercaya benar oleh individu ataupun disetujui oleh kelompok masyarakat
atau organisasi tertentu. Integritas bukan sekadar tentang bertindak sesuai dengan
nilai yang diterima oleh individu, masyarakat, ataupun organisasi, tetapi merujuk

8
Ibid.
9
Ibid.

6
pada prinsip moral universa yang dapat dibenarkan secara rasional, di mana
kriteria-kriteria pembenaran itu objektif. Opini subjektif, baik itu di taraf individu,
masyarakat, ataupun organisasi, tidak dapat menjadi dasar bagi integritas moral.
Lebih lanjut Anggara10 menguraikan, ketika diterapkan pada konsep
pengambilan keputusan etis, integritas dapat diartikan sebagai bentuk konsistensi
antara hasil keputusan yang diambil dan tindakan aktual yang dilakukan.
Pengambilan keputusan etis, yaitu keputusan yang berkaitan dengan nilai etis
(moral), dilakukan melalui empat tahapan: sensitivitas etis, penalaran etis, motivasi
etis, dan implementasi etis.
Sensitivitas moral, mengandaikan kebutuhan akan kesadaran moral atau
kemampuan mengidentifikasi isu-isu moral. Di dalamnya terjadi prosles
interpretasi di mana seorang individu mengenali bahwa suat'u masalah moral ada
di dalam situasi yang dihadapi atau bahwa suatu prinsip moral menjadi relevan di
dalamnya. Tahap ini dinilai kritis karena kemampuan mengidentifikasi signifikansi
moral dari suatu isu berperan besar dalam mengawali sebuah proses pengambilan
keputusan etis dan juga perilaku etis.
Agar dapat membentuk suatu integritas moral, tindakan jujur haruslah
didasari oleh prinsip moral kejujuran. Prinsip moral untuk bertindak jujur ini sendiri
haruslah merupakan turunan dari nilai kejujuran, yang merupakan nilai moral
universal, dan bukan dari nilai lainnya seperti pada tahap perkembangan moral pre-
conaentional ataupun conuentional. Dengan begitu tindakan jujur yang dilakukan
benar-benar dilakukan demi nilai kejujuran itu sendiri dan bukan karena alasan lain
yang digunakan untuk membenarkan tindakan jujur itu sendiri11.

2.3. Jaksa yang Berintegritas


Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya secara
merdeka dengan menjujung tinggi hak asasi manusia dalam negara hukum
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta tugas-tugas lain
berdasarkan peraturan perundangundangan, Kejaksaan memerlukan adanya satu
tata pikir, tata laku dan tata kerja Jaksa dengan mengingat norma-norma agama,

10
Ibid.
11
Ibid.

7
susila, kesopanan serta memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan
dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa
sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos
kerja yang tinggi dan penuh tanggung jawab, senantiasa mengaktualisasikan diri
dengan memahami perkembangan global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri
dalam rangka memelihara citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental
korup. Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya
melayani public dengan mengutamakan kepentingan umum, mentaati sumpah
jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan
kerjasama dengan pejabat publik lainnya. Jaksa sebagai anggota masyarakat selalu
menunjukkan keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-
nilai yang hidup dan berkembang serta peraturan perundang- undangan dan
terhindar dari perilaku menyimpang seperti tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat


merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian pada
perekonomian rakyat. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak pidana
korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh
sebagian besar masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia
tetapi oleh masyarakat bangsa-bangsa didunia.12

12
Khaidir, Khaidir. 2020. Analisis Yuridis Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana
Korupsi. Rio Law Jurnal. 1(1)

8
BAB III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah


metode penelitian pendekatan yuridis normatif dengan sumber data sekunder.
Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan masalah yang dibicarakan, sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku-
buku dan literatur yang berkaitan dengan masalah tersebut. Data sekunder terdiri
dari bahan hukum primer. yang kemudian dievaluasi berdasarkan peraturan dan
undang-undang yang berlaku dan terkait dengan masalah yang dibahas. Karya ini
merupakan penelitian kepustakaan yang menggunakan bahan-bahan hukum primer,
seperti Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia (No. 16 Tahun 2004), Kitab
Undang-Undang Perilaku Kejaksaan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
(No. PER–014 /A/JA/11/2012), dan Peraturan Komisi Kejaksaan Presiden
Republik Indonesia (No. 18 Tahun 2011). Artikel hukum ilmiah, jurnal hukum, dan
buku merupakan bahan hukum sekunder.

9
BAB IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

4.1. Tugas dan Kewajiban Jaksa


Profesi kejaksaan mengalami kesulitan dalam penegakan hukum. Pekerjaan
kejaksaan membutuhkan tanggung jawab pribadi dan sosial yang besar, terutama
mematuhi kode etik profesi dan norma hukum positif. Melalui Kode Etik
Kejaksaan, Kejaksaan memiliki nilai-nilai luhur dan ideal yang menjadi pedoman
dalam penyelenggaraan profesi kejaksaan dalam mewujudkan jaksa yang
profesional dan jujur.
Jaksa dalam menjalankan tugas keprofesiannya, menjaga kehormatan dan
martabat profesinya, serta melaksanakan hubungan sosial di luar tugas
kedinasannya, Kode Etik Kejaksaan merupakan rangkaian norma yang memperluas
Kode Etik Kejaksaan. mewujudkan birokrasi yang bersih, efisien, transparan, dan
akuntabel berdasarkan doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta kejaksaan yang
berintegritas, bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan masyarakat
yang prima.
Kode etik kejaksaan dapat ditegakkan dengan menjatuhkan hukuman yang
berat dan menetapkan standar operasional yang jelas. Tujuan dari menjatuhkan
hukuman berat adalah untuk mencegah mereka yang melanggar hukum sebanyak
mungkin. Selain itu, bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia peradilan
yang profesional.
Chaeruddin Ismail mengatakan, secara keseluruhan, setiap lembaga
penegak hukum perlu memiliki nilai-nilai kejujuran, keberanian, keadilan,
penghormatan terhadap konstitusi dan kewibawaan pemerintah, serta integritas. dan
welas asih (compassion), agar setiap aparat penegak hukum dapat menyikapi
berbagai keadaan secara arif dan bijaksana.13
Ketentuan umum kejaksaan berdasarkan PERJA Nomor:
PER067/A/JA/07/2007 Ttg Kode Perilaku Jaksa Dalam Pasal 1, kode Perilaku
Jaksa ini yang dimaksud dengan:
1) Jaksa adalah Pejabat Fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan

13
Chaeruddin Ismail. 2001, Polisi : Demokrasi vs Anarkhi. Jakarta : Citra.

10
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang;
2) Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman untuk
mengatur perilaku Jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga
kehormatan dan martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama
dengan penegak hukum lainnya;
3) Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif adalah Pejabat
yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk memeriksa dan
menjatuhkan tindakan administratif kepada Jaksa yang melakukan
pelanggaran Kode Perilaku Jaksa;
4) Sidang pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang memberikan tindakan administratif
terhadap Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
5) Tindakan administratif adalah tindakan yang dijatuhkan terhadap Jaksa
yang melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
6) Yang dimaksud dengan perkara meliputi perkara pidana, perkara perdata
dan tata usaha negara maupun kasus-kasus lainnya.
Pasal 2, Kode Perilaku Jaksa berlaku bagi jaksa yang bertugas di lingkungan
Kejaksaan maupun diluar lingkungan Kejaksaan.
Pasal 3, Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa wajib:
1) mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan
kedinasan yang berlaku;menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan;
2) mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai
keadilan dan kebenaran bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan
/ancaman opini publik secara langsung atau tidak langsung
3) bertindak secara obyektif dan tidak memihak;
4) memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh
tersangka /terdakwa maupun korban;
5) membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak
hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu;

11
6) mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan
pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial
atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
7) menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan;
8) menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
9) menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia dan hak-hak kebebasan
sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undangan dan
instrumen Hak Asasi Manusia yang diterima secara universal;
10) Yang kritik dengan arif dan bijaksana;
11) bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur
yangditetapkan;
12) bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan
pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.

Pasal 4, Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:


1) menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi
dan/atau pihak lain;
2) merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
3) menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara
fisik dan/atau psikis;
4) meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang
keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan
sehubungan dengan jabatannya;
5) menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,
mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
6) bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
7) membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan
hukum;
8) memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis
perkara yang ditangani.

12
4.2. Integritas Jaksa dalam Menegakkan Keadilan
Kedudukan Pegawai Negeri Sipil dalam setiap organisasi pemerintahan
mempunyai peranan yang sangat penting, sebab pegawai negeri merupakan tulang
punggung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional.14 Profesi Jaksa
sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka. Asal mula kata Jaksa berasal dari kata
dyaksa. Pada masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa,
adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat Negara yang
bertugas untuk menangani masalah- masalah peradilan di bawah kekuasaan
kerajaan majapahit.
Patih Gajah Mada selaku pejabat Adhyaksa. Sebagai lembaga penegak
hukum di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan diharapkan muncul
paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan perasaan. Sehingga Jaksa memiliki
jati diri dalam memenuhi profesionalitas sebagai wakil Negara dan wakil Negara
dalam penegakan hukum. Profesionalisme jaksa terhambat oleh masalah-masalah
seperti independensi, pelanggaran kode etik, penurunan kualitas sumber daya
manusia. Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi
sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara demi
penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu
meningkatkan mengasah kemampuan melalui berbagai pembelajaran. Baik
pendidikan formal maupun non formal. Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum
seharusnya bersifat rasional. Maka dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah
yang mempergunakan metodologi modern. Sehingga dapat mengurangi sifat
subjektif jaksa terhadap perkara-perkara yang akan dihadapinya. Dilihat dari
keahlian Jaksa, kemampuan menganalisa sebuah kasus. meskipun perkara tampak
sepintas sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus memiliki
keunikan tersendiri. Kemampuan menganalisis bukan hanya didasarkan pendekatan
yang legalitas, positivis dan mekanistis. Seorang jaksa, dituntut dapat memahami
peristiwa pidana secara menyeluruh agar kebenaran dapat ditemukan sehingga
kebenaran dapat ditemukan dan menghasilkan putusan yang adil.

14
Sari, Nirmala. 2020. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Rio Law
Jurnal. 1(1).

13
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Seseorang yang sifatnya baik tanpa memiliki integritas dan etika


kemungkinan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, sehingga belum bisa
mendatangkan manfaat positif buat sesamanya. Nilai-nilai kejujuran,
kepercayaan, pengabdian, kontribusi, dan tanggung jawab merupakan nilai-
nilai dasar untuk menciptakan integritas dan etika.
2. Kepribadian yang berintegritas dan beretika pasti akan memahami dan
mampu membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik, serta selalu
menjadi pribadi yang jujur kepada diri sendiri untuk melayani tugas dan
tanggung jawab sesuai aturan dan nilai-nilai positif.
3. Sosok jaksa di seluruh Indonesia tentunya harus dapat membangun
kesamaan pikiran, pandangan, pemahaman, dan tindakan dalam
pelaksanaan tupoksinya khususnya dalam penanganan perkara baik perkara
tindak pidana umum, tindak pidana korupsi dan termasuk perkara pidana
khusus lainnya. Jajaran Korps Adhyaksa pun wajib meningkatkan
profesionalisme dan integritas guna mewujudkan penegakan hukum yang
adil, objektif, dan bermartabat serta lebih humanis.

5.2. Saran
Saran dalam penulisan makalah ini untuk institusi kejaksaan adalah Perlu
adanya formula komprehensif guna membangun integritas Jaksa. Formula tersebut
menggunakan pendekatan Legal Culture melalui aspek manajemen, ilmu
ketuhanan dan pengetahuan dan struktural. Aspek manajemen terdiri atas
manajemen berbasis nilai, manajemen sumber daya manusia dan manajemen
dokumen. Kolektivitas ilmu ketuhanan dan pengetahuan juga diperlukan dalam hal
ini. Adapun aspek struktural berupa pengawasan dan struktur pengaduan
pelanggaran. Semua aspek ini jika dimiliki Jaksa akan membentuk dan memperkuat
integritas sehingga tercapai efektivitas penegakan hukum, kejaksaan berwibawa,
dan kesejahteraan rakyat dan negara.

14
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Budi Waskito. 2018. Implementasi Sistem Peradilan Pidana dalam


Perspektif Integrasi. Jurnal Daulat Hukum. 1(1).

Anggara Wisesa. 2011. Integritas Moral dalam Konteks Pengambilan Keputusan


Etis. Jurnal Manajemen Teknologi. 10(1).

Chaeruddin Ismail. 2001. Polisi : Demokrasi vs Anarkhi. Jakarta : Citra.

Khaidir. 2020. Analisis Yuridis Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak


Pidana Korupsi. Rio Law Jurnal. 1(1).

Lawrence M. Friedman. 1975. The Legal System, Asocial Secience Perspective.


New York : Russel Sage Foundation.

Maruarar Siahaan. 2017. Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri dan Akuntabel


Menurut UUD NKRI Tahun 1945. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 004.

Nanci Yosepin Simbolon. 2020. Politik Hukum Penanganan Korupsi Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun
2019. Jurnal Mercatoria. 13(2).

Sari, Nirmala. 2020. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.
Rio Law Jurnal. 1(1).

Satjipto Rahardjo. 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum


Nasional. Jakarta : CV. Rajawali.

Talli, A. H., 2014, Integritas dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam


Pemeriksaan Perkara. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan. 3(1) : 1-15.

UU yang diakses melalui www.peraturan.go.id

15

Anda mungkin juga menyukai