Oleh:
Kelompok 3
Eva Florence Dorothy Limbong 01051220151
Elisheva Jocelyne Tiasono 01051220143
Devito Imanda Wagiyanto 01051220155
Bintang Raja Dirgantara 01051220192
Bintang Fardiansyah Hambran 01051220203
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
2023
BAB I. PENDAHULUAN
1
Maruarar Siahaan. 2017. Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri dan Akuntabel Menurut UUD
NKRI Tahun 1945. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 004.
2
Satjipto Rahardjo. 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta
: CV. Rajawali.
3
Lawrence M. Friedman. 1975. The Legal System, Asocial Secience Perspective. New York : Russel
Sage Foundation.
1
perilaku dalam arus hubungan hukum antara masyarakat dan negara dikenal dengan
istilah penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana yang melibatkan
memainkan peran pejabat dari kepolisian.
Secara teori, penegakan hukum harus dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat; namun demikian, masyarakat juga mengharapkan penegakan hukum
dapat membantu mewujudkan keadilan. Kejaksaan Agung merupakan lembaga
penegak hukum independen di Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
di negara hukum. Kejaksaan berwenang berdasarkan peraturan perundang-
undangan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dalam proses peradilan. sehingga Jaksa Agung Republik Indonesia tidak boleh
dipengaruhi oleh kekuasaan pihak manapun karena merupakan lembaga negara
yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Jaksa wajib menaati kode etik kejaksaan dan berperan sebagai penuntut
umum dalam menegakkan keadilan dan melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjaga citra profesional dan kinerja
kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang kejaksaan untuk
menegakkan hukum, diharapkan dengan adanya kode etik ini dapat mewujudkan
kejaksaan sebagai penegak hukum yang profesional, bertanggung jawab dan
memiliki integritas. Kejaksaan berkewajiban menjaga dan menegakkan
kewibawaan pemerintah dan negara, serta melindungi kepentingan rakyat melalui
penegakan hukum. Mereka juga harus mampu terlibat penuh dalam proses
pembangunan, termasuk membantu menciptakan kondisi dan infrastruktur yang
mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Perilaku mengikat seorang jaksa harus profesional dalam berpikir, bersikap,
dan berperilaku. Harus dilandasi dengan norma-norma yang hidup dan
berkembang, memperhatikan rasa keadilan, dan memperhatikan nilainilai
kemanusiaan dalam masyarakat. Kejaksaan merupakan pejabat publik yang selalu
berdedikasi untuk mendukung doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam menjalankan
2
tugas dan wewenangnya serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat publik
lainnya, maka diperlukan seorang advokat profesional yang memiliki integritas,
kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi, penuh tanggung jawab, dan selalu
mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan global. Jaksa
berkewajiban untuk menjunjung tinggi standar etika atau perilaku tersebut di atas.
Bagi pencari keadilan, kewenangan dan tanggung jawab kejaksaan agung
dalam penegakan hukum tidak bercela. Namun, kejaksaan mengabaikan kode etik
profesi karena penegak hukum dalam hal ini jaksa tidak lepas dari pengaruh pihak-
pihak yang berkepentingan. Karena penegak hukum yang seharusnya menjunjung
tinggi nilai-nilai hukum secara utuh dan mewujudkan keadilan, hukum telah dirusak
sehingga menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap penegak keadilan.
Integritas Jaksa itu sendiri sangat mempengauhi pelaksanaan fungsinya
sebagai pengacara negara. Jaksa sebagai pengacara negara harus dapat memainkan
perannya sebagai pihak yang mewakili negara untuk membela kepentingan negara,
utamanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan atau keuangan negara dan
melindungi hak keperdataan masyarakat. Artinya di samping melindungi
kepentingan negara, Jaksa juga harus tetap memperhatikan hak-hak keperdataan
masyarakat. Untuk itu, Jaksa tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dapat
menvcederai wibawa institusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengacara
negara.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
4
Achmad Budi Waskito. 2018. Implementasi Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Integrasi.
Jurnal Daulat Hukum. 1(1).
4
memberikan dampak negatif bagi rakyat dan negara dalam bidang ekonomi,
pembangunan, pendidikan, sosial, kesehatan, dan pemerintahan.5
Secara definisi kata integritas berasal dari bahasa Inggris yakni integrity,
yang berasal dari akar kata integer yang mana artinya menyeluruh, lengkap atau
segalanya6. Ini adalah bentuk ketaatan secara keagamaan terhadap kode moral,
nilai dan kelakuan. Kalau diperagakan, maka integritas ini melebihi karakter
seseorang, aksi yang dapat dipercaya (trustworthy action) dan komitmen yang
bertanggung jawab (responsible commitment). Kalau boleh ditentukan, maka
integritas itu adalah standard terhadap anti suap (incrorruptibility) menolak
melakukan kesalahan terhadap kebenaran, bertanggung-jawab atau janji (pledge).
Dengan demikian, integritas ini mencakup moral, perilaku, tanggung jawab seorang
hakim dalam melaksanakan kewenangannya. Unsur-unsur inilah (moral dan
tanggung jawab) yang dijadikan patokan dalam menilai integritas hakim dalam
melaksanakan tugasnya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia arti integritas adalah mutu, sifat,
atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan
kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran; (nomina). Integritas
adalah quality of exellence yang termanifestasikan dalam sikap yang terintegrasi
dan holistic secara individual maupun organisasi. Dari definisi ini didapatkan
bahwa integritas menunjukkan adanya kewibawaan dan kejujuran dalam pribadi
yang utuh.
Dengan mengutip sejumlah ahli, Anggara7 menyatakan bahwa dalam etika
objektivisme, integritas diartikan sebagai loyalitas terhadap prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang rasional. Meski objektivisme sendiri sebenarnya mendapat banyak
kritik ketika digunakan sebagai pondasi dasar pengembangan etika karena sifat
etikanya yang egoistik, aksioma objektivisme dapat membantu mengembangkan
konsep integritas.
5
Nanci Yosepin Simbolon. 2020. Politik Hukum Penanganan Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. Jurnal Mercatoria. 13(2).
6
Talli, A. H., 2014, Integritas dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan Perkara, Al
Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 3(1), 1-15.
7
Anggara Wisesa, 2011, Integritas Moral dalam Konteks Pengambilan Keputusan Etis, Jurnal
Manajemen Teknologi, Volume 10 Nomor 1, hal. 83
5
Pada intinya, objektivisme menekankan bahwa realitas berada terpisah dari
kesadaran manusia dan manusia yang berkesadaran itu berhubungan dengan realitas
melalui akal budinya melalui proses pembentukan konsep dan logika. Dan karena
memiliki kesadaran dan akal budi, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir
atau tidak berpikir, dan karenanya dapat memilih alternatif-alternatif tindakan yang
ada8.
Lebih lanjut Anggara9 menegaskan bahwa hal pertama yang dapat ditarik
dari konsepsi objektivisme terhadap integritas adalah bahwa integritas adalah
sebuah bentuk loyalitas, yaitu keteguhan hati seseorang untuk memegang prinsip
dan nilai moral universal. Prinsip moral adalah norma, yaitu aturan moral yang
menganjurkan atau melarang seseorang untuk berbuat sesuatu. Dasar dari prinsip
moral itu adalah nilai moral.
Hal kedua adalah bahwa integritas bukan tentang perkataan semata, tetapi
juga mencerminkan tindakan yang sejalan dengan prinsip dan nilai moral universal
dan rasional. Di sini loyalitas terhadap prinsip atau nilai itu diwujudkan clalam
bentuk tindakan, di mana loyalitas itu ditunjukkan sebagai keteguhan hati seseorang
untuk bertindak sejalan dengan prinsip atau nilai yang dipegangnya itu. Meski
demikian, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada kernungkinan bagi seseorang untuk
berubah, bahkan seseorang memiliki kewajiban untuk mengubah pandangannya
bila apa yang selama ini dipegang olehnya salah.
Hal ketiga, integritas bukan sekadar bertindak sejalan dengan suatu prinsip
atau nilai, tetapi prinsip atau nilai objektif yang dapat dibenarkan secara moral.
Pembenaran ini pun harus menggambarkan kesimpulan yang diperoleh melalui
prinsipprinsip logika, bukan emosi belaka. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral
adalah hal yang objektif yang konseptualisasinya dibangun melalui pengalaman
nyata dan persepsi inderawi terhadap obyek dan kondisi aktual. Itu sebabnya
integritas membutuhkan lebih dari sekadar loyalitas kepada prinsip dan nilai moral
yang dipercaya benar oleh individu ataupun disetujui oleh kelompok masyarakat
atau organisasi tertentu. Integritas bukan sekadar tentang bertindak sesuai dengan
nilai yang diterima oleh individu, masyarakat, ataupun organisasi, tetapi merujuk
8
Ibid.
9
Ibid.
6
pada prinsip moral universa yang dapat dibenarkan secara rasional, di mana
kriteria-kriteria pembenaran itu objektif. Opini subjektif, baik itu di taraf individu,
masyarakat, ataupun organisasi, tidak dapat menjadi dasar bagi integritas moral.
Lebih lanjut Anggara10 menguraikan, ketika diterapkan pada konsep
pengambilan keputusan etis, integritas dapat diartikan sebagai bentuk konsistensi
antara hasil keputusan yang diambil dan tindakan aktual yang dilakukan.
Pengambilan keputusan etis, yaitu keputusan yang berkaitan dengan nilai etis
(moral), dilakukan melalui empat tahapan: sensitivitas etis, penalaran etis, motivasi
etis, dan implementasi etis.
Sensitivitas moral, mengandaikan kebutuhan akan kesadaran moral atau
kemampuan mengidentifikasi isu-isu moral. Di dalamnya terjadi prosles
interpretasi di mana seorang individu mengenali bahwa suat'u masalah moral ada
di dalam situasi yang dihadapi atau bahwa suatu prinsip moral menjadi relevan di
dalamnya. Tahap ini dinilai kritis karena kemampuan mengidentifikasi signifikansi
moral dari suatu isu berperan besar dalam mengawali sebuah proses pengambilan
keputusan etis dan juga perilaku etis.
Agar dapat membentuk suatu integritas moral, tindakan jujur haruslah
didasari oleh prinsip moral kejujuran. Prinsip moral untuk bertindak jujur ini sendiri
haruslah merupakan turunan dari nilai kejujuran, yang merupakan nilai moral
universal, dan bukan dari nilai lainnya seperti pada tahap perkembangan moral pre-
conaentional ataupun conuentional. Dengan begitu tindakan jujur yang dilakukan
benar-benar dilakukan demi nilai kejujuran itu sendiri dan bukan karena alasan lain
yang digunakan untuk membenarkan tindakan jujur itu sendiri11.
10
Ibid.
11
Ibid.
7
susila, kesopanan serta memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan
dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa
sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos
kerja yang tinggi dan penuh tanggung jawab, senantiasa mengaktualisasikan diri
dengan memahami perkembangan global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri
dalam rangka memelihara citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental
korup. Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya
melayani public dengan mengutamakan kepentingan umum, mentaati sumpah
jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan
kerjasama dengan pejabat publik lainnya. Jaksa sebagai anggota masyarakat selalu
menunjukkan keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-
nilai yang hidup dan berkembang serta peraturan perundang- undangan dan
terhindar dari perilaku menyimpang seperti tindak pidana korupsi.
12
Khaidir, Khaidir. 2020. Analisis Yuridis Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana
Korupsi. Rio Law Jurnal. 1(1)
8
BAB III. METODE PENELITIAN
9
BAB IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
13
Chaeruddin Ismail. 2001, Polisi : Demokrasi vs Anarkhi. Jakarta : Citra.
10
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang;
2) Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman untuk
mengatur perilaku Jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga
kehormatan dan martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama
dengan penegak hukum lainnya;
3) Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif adalah Pejabat
yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk memeriksa dan
menjatuhkan tindakan administratif kepada Jaksa yang melakukan
pelanggaran Kode Perilaku Jaksa;
4) Sidang pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang memberikan tindakan administratif
terhadap Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
5) Tindakan administratif adalah tindakan yang dijatuhkan terhadap Jaksa
yang melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.
6) Yang dimaksud dengan perkara meliputi perkara pidana, perkara perdata
dan tata usaha negara maupun kasus-kasus lainnya.
Pasal 2, Kode Perilaku Jaksa berlaku bagi jaksa yang bertugas di lingkungan
Kejaksaan maupun diluar lingkungan Kejaksaan.
Pasal 3, Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa wajib:
1) mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan
kedinasan yang berlaku;menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan;
2) mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai
keadilan dan kebenaran bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan
/ancaman opini publik secara langsung atau tidak langsung
3) bertindak secara obyektif dan tidak memihak;
4) memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh
tersangka /terdakwa maupun korban;
5) membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak
hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu;
11
6) mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan
pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial
atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
7) menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan;
8) menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
9) menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia dan hak-hak kebebasan
sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undangan dan
instrumen Hak Asasi Manusia yang diterima secara universal;
10) Yang kritik dengan arif dan bijaksana;
11) bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur
yangditetapkan;
12) bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan
pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.
12
4.2. Integritas Jaksa dalam Menegakkan Keadilan
Kedudukan Pegawai Negeri Sipil dalam setiap organisasi pemerintahan
mempunyai peranan yang sangat penting, sebab pegawai negeri merupakan tulang
punggung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional.14 Profesi Jaksa
sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka. Asal mula kata Jaksa berasal dari kata
dyaksa. Pada masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa,
adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat Negara yang
bertugas untuk menangani masalah- masalah peradilan di bawah kekuasaan
kerajaan majapahit.
Patih Gajah Mada selaku pejabat Adhyaksa. Sebagai lembaga penegak
hukum di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan diharapkan muncul
paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan perasaan. Sehingga Jaksa memiliki
jati diri dalam memenuhi profesionalitas sebagai wakil Negara dan wakil Negara
dalam penegakan hukum. Profesionalisme jaksa terhambat oleh masalah-masalah
seperti independensi, pelanggaran kode etik, penurunan kualitas sumber daya
manusia. Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi
sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara demi
penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu
meningkatkan mengasah kemampuan melalui berbagai pembelajaran. Baik
pendidikan formal maupun non formal. Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum
seharusnya bersifat rasional. Maka dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah
yang mempergunakan metodologi modern. Sehingga dapat mengurangi sifat
subjektif jaksa terhadap perkara-perkara yang akan dihadapinya. Dilihat dari
keahlian Jaksa, kemampuan menganalisa sebuah kasus. meskipun perkara tampak
sepintas sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus memiliki
keunikan tersendiri. Kemampuan menganalisis bukan hanya didasarkan pendekatan
yang legalitas, positivis dan mekanistis. Seorang jaksa, dituntut dapat memahami
peristiwa pidana secara menyeluruh agar kebenaran dapat ditemukan sehingga
kebenaran dapat ditemukan dan menghasilkan putusan yang adil.
14
Sari, Nirmala. 2020. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Rio Law
Jurnal. 1(1).
13
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
5.2. Saran
Saran dalam penulisan makalah ini untuk institusi kejaksaan adalah Perlu
adanya formula komprehensif guna membangun integritas Jaksa. Formula tersebut
menggunakan pendekatan Legal Culture melalui aspek manajemen, ilmu
ketuhanan dan pengetahuan dan struktural. Aspek manajemen terdiri atas
manajemen berbasis nilai, manajemen sumber daya manusia dan manajemen
dokumen. Kolektivitas ilmu ketuhanan dan pengetahuan juga diperlukan dalam hal
ini. Adapun aspek struktural berupa pengawasan dan struktur pengaduan
pelanggaran. Semua aspek ini jika dimiliki Jaksa akan membentuk dan memperkuat
integritas sehingga tercapai efektivitas penegakan hukum, kejaksaan berwibawa,
dan kesejahteraan rakyat dan negara.
14
DAFTAR PUSTAKA
Nanci Yosepin Simbolon. 2020. Politik Hukum Penanganan Korupsi Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi Pasca Disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun
2019. Jurnal Mercatoria. 13(2).
Sari, Nirmala. 2020. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.
Rio Law Jurnal. 1(1).
15