Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Alquran dan hadis diyakini adalah sumber ajaran Islam yang
transenden mampu bersifat fleksibel dengan ruang dan waktu yang
memerlukan proses aktualisasi dalam realitas sosial penganutnya. Corak
keberagamaan umatnya senantiasa dipengaruhi oleh faktor internal yang
meliputi penafsiran dan faktor eksternal yang meliputi pengaruh orang-
orang di sekitarnya dan keterlibatannya dalam sejarah, budaya, ekonomi
dan politik.1
Sejalan dengan proses aktualisasi di tersebut, Ilmu pengetahuan,
termasuk teologi, fikih, tasawuf dan filsafat dalam Islam berkembang
dengan pesat ketika budaya inklusif semarak dalam peradaban Islam. Hal
ini disebabkan oleh keberadaan doktrin-doktrin Alquran yang sangat
banyak mengakomodir perkembangan budaya inklusif tersebut.2
Kenyataan ini membuat Islam tidak bisa berlepas diri dari keadaan yang
mengitarinya.
Dalam sejarah, telah muncul berbagai corak keberagamaan yang
tidak terbatas jumlahnya. Kelompok-kelompok yang menekankan pada
aspek legal formal yaitu para fuqaha’, kelompok yang menekankan pada
aspek spiritualitas hingga kecenderungan kepada tradisionalisme dan
modernisme yang masing-masing mengklaim sebagai alternatif bahkan
counter bagi corak lain.3 Ini terjadi secara alamiah di mana satu corak

1
Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas (Jakarta: PrenadaMedia, 2015), hlm. 191
2
Miswari, Teologi Terakhir (Yogyakarta: Zahr Publishing: 2021), hlm. 1
3
Syahrin Harahap, Op.Cit.
1
dianggap berlebihan maka muncul corak lain sebagai antitesa dan
pembandingnya.
Kemunculan istilah corak keberagamaan baru yang di kalangan
umat beragama yang tersebutlah fundamentalisme yang merupakan
terminologi yang berasal dari luar Islam tak ubahnya pada istilah
tradisionalisme dan modernisme. Terminologi ini berasal dari sejarah
keagamaan di dunia Kristen.4 Hal ini yang menyebabkan penggunaan
istilah tersebut mengalami distorsi dan membuka peluang untuk
dimanfaatkan sebagai alat menyudutkan corak keagamaan lain.
Sama halnya dalam dunia Islam, Teologi Kristen juga berkembang
dan berusaha beradaptasi dengan pemikiran zamannya melalui para
pemikir dan ahli agamanya, baik dengan berubah mengikuti atau
sebaliknya yaitu me-refresh kembali ajaran-ajaran lama yang mulai
dianggap memudar dan terlupakan – khususnya setelah munculnya
modernisme.
Fundamentalisme merupakan fakta global yang muncul pada
setiap kepercayaan sebagai respon atas masalah-masalah modernisasi.
Gerakan fundamentalisme tidak muncul begitu saja, gerakan ini lahir
ketika cara-cara moderat tidak bisa lagi dijadikan solusi dalam
menangani permasalahan global sehingga harus diselesaikan dengan cara
yang lebih ekstrem. Dalam kondisi semacam inilah muncul gerakan
fundamentalisme agama,5 antara lain: Fundamentalisme Protestan di
Amerika Serikat dan Fundamentalisme Yahudi di Israel.
Fundamentalisme Kristen Protestan menganggap injil bersifat absolut
yang menolak gerakan modernisme karena menafsirkan kitab suci secara
bebas dan elastis yang disesuaikan dengan kemajuan sains dan teknologi.
4
Syahrin Harahap, Op.Cit, hlm. 192
5
Karen Armstrong, Islam A Short History: Sepintas Sejarah Islam, (Yogayakarta:
Teralitera, 2002), hlm. 193
2
Begitu juga dengan fundamentalisme Yahudi yang dikenal
dengan zionisme, di mana dalam perkembangannya gerakan ini
menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengusir bangsa Palestina dari
tanah airnya. Dalam perkembangannya, zionisme sebagai cikal bakal
fundamentalisme Yahudi merupakan ancaman bagi tegaknya demokrasi
di seluruh dunia bahkan di Israel itu sendiri. Di Amerika Serikat,
fundamentalisme Kristen muncul di akhir abad ke-19 dan di awal abad
ke-20 dan berasal dari Protestantisme Amerika. Kaum fundamentalis
memandang diri mereka sebagai "keepers of both the Christian heritage
of the first century and the American heritage of the Puritans and the
Founding Fathers."6
Modernisme yang menafsirkan dogmatika agama secara elastis dan
fleksibel justru pada akhirnya, membawa agama dalam posisi yang
semakin terdesak ke pinggiran. Kaum fundamentalis menuduh kaum
modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya
proses sekularisasi secara besar-besaran, di mana peranan agama
akhirnya cenderung semakin terkesampingkan dan digantikan oleh
peranan sains dan teknologi modern.7
Ringkasnya bahwa fundamentalisme berupaya untuk melestarikan
apa yang dianggap pokok-pokok dari kepercayaan, menentang
reinterpretasi dengan mengikuti pengetahuan modern sehingga agama
Kristen merupakan kumpulan kepercayaan-kepercayaan yang termaktub
dalam kitab suci harus difahami secara harfiah.8
Dari perkembangan dan sejarah peradaban Islam yang telah
mengakomodir berbagai corak keagamaan dan mampu mengukir
6
www.adianhusaini.id/detailpost/beginilah-sejarah-fundamentalisme-kristen-di-as
diakses tanggal 03 November 2022
7
Irwin M. Barrent, Fundamentalist: Hazard and Heartbreak (Illinois : Open Court,
1990), hlm. 1-2.
8
Titus dkk.,Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 472.
3
sejarahnya peradabannya yang gemilang dan perkembangan sejarah
Kristen dengan protestanismenya berakibat pada munculnya gerakan
fundamentalisme yang ingin mengembalikan penafsiran Bible secara
harfiahnya sehingga tersebutlah corak fundamentalisme Islam. Apa
sebenarnya arti harfiah dan istilah dari fundamentalisme, bagaimana
pandangan Islam terhadap gerakan fundamentalisme agama ini dan
bagaimana pula proses teradopsikannya istilah ini ke corak
keberagamaan muslim dan bagaimana pula respon tokoh-tokoh muslim
merespon fenomena ini. Berikut adalah pembahasannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di
atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana istilah fundamentalisme Kristen berefek kepada
fundamentalisme Islam
2. Bagaimana respon para pemikir muslim dalam menyikapi terma
fundamentalisme yang direlasikan dengan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fundamentalisme dan Sejarahnya

4
Secara harfiah, fundamentalisme merupakan usaha orang-orang
yang taat untuk setia pada dasar-dasar ajarannya. Fundamentalisme
muncul sebagai gerakan militan yang menghendaki adanya pembaharuan
dalam arti kembali pada pemahaman masa lalu yang lebih sesuai dan
dipandang sebagai paradise lost (Firdaus yang hilang).9
Secara terminologi bahwa istilah fundamentalisme hingga saat ini
masih merupakan terma yang debatable; apakah terma tersebut layak
atau tidak digunakan dalam tradisi Islam. Hal itu dimungkinkan karena:
pertama, selain bukan merupakan terma yang lahir dari tradisi Islam,
istilah fundamentalisme juga sering digunakan untuk menyebut citra
minor (baca: miring) terhadap suatu gerakan yang berbau ekstremisme,
fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau memperoleh
keyakinan keagamaan.10 Fundamentalisme dalam konteks ini disebut
sebagai sikap ekstrime religious (al-tatharuf al-dini) yang berarti
melawan moderat (al-tawassuth wa al-i’tidal), yakni terma untuk
menyebut suatu kelompok keagamaan yang cenderung kaku dalam
menafsirkan doktrin agama dan lebih memilih jalan kekerasan dalam
mencapai tujuan. Dalam perkembangannya pengertian ini sering
diposisikan sebagai kelompok oposisi dalam suatu pemerintahan yang
dianggap sekuler. Maka, orang-orang yang biasa disebut kaum
fundamentalis sering dianggap sebagai tidak rasional, anarkis, bahkan
arogan dan cenderung untuk melakukan tindakan kekerasan, jika perlu.11

9
Victor I. Tanja, “Kebangkitan Agama-agama dan Gerakan Fundamentalistik
Kristen: Suatu Permasalahan dalam Pembentukan Kepemimpinan”, dalam Peninjau, vol.
XVII, 1992, hlm. 28.
10
Dr. Shalah al-Shawi, Al-Tatharruf al-Dini: al-Ra’ y al-Akhar, ( Cairo: Al-Afaq al-
Dawliyyah li al-I’lam, 1993 ), hlm. 9-10
11
M. Dawam Raharjo, “fundamentalisme” dalam Muhammad Wahyuni Nafis
(editor), Rekontruksi Dan Renungan Religius Islam ( Jakarta : Paramadina, 1996 ), hlm. 86
5
Kedua, istilah fundamentalisme dewasa ini, juga telah mengalami
kesimpang siuran makna dan cenderung menjadi istilah yang bias (berat
sebelah) dan pejorative (bersifat merendahkan) dan sering kali juga
digunakan dengan konotasi yang negatif.12 Ketiga, fundamentalisme
secara harfiah mempunyai pengertian berpegang pada ajaran yang
fundamental dalam agama. Padahal kebanyakan umat Islam senantiasa
berusaha memegangi secara intens doktrin-doktrin fundamental dalam
Islam, baik dalam akidah maupun syariat. Maka, jika fundamentalisme
dalam pengertian harfiah tersebut yang dipakai, akan membawa ke
pemahaman, bahwa semua umat Islam adalah fundamentalis. Oleh
karena itu, tulisan ini bermaksud menyoroti lebih lanjut tentang terma
fundamentalisme dalam Islam.
Fundamentalisme memiliki arti dan defenisi yang beragam di
kalangan pemerhati perkembangan peradaban. Menurut Garaudy
sebagaimana yang dikutip Syahrin dalam bukunya Islam dan Modernitas
bahwa fundamentalisme sama seperti isme lainnya rawan dipahami
secara bias. Fundamentalisme berasal dari bahasa latin fundamen yang
berarti dasar atau landasan. Kata fundamentalisme lahir di kalangan
keagamaan Kristen Barat untuk mendefenisikan aliran-aliran yang ingin
mengembalikan pemahaman Kristiani kembali ke interpretasi literal injil
sebagai fundamen agama Kristen dari interpretasi kaum modernis yang
menyesuaikan pengertian-pengertian injil dengan konsep liberalisme
progresif modern. Dari kondisilah melebar istilah-istilah
fundamentalisme lain seperti fundamentalisme katolik Roma,

12
Dr. Shalah al-Shawi. Op.Cit. hlm. 10
6
Fundamentalisme Iran, fundamentalisme Ikhwanul Muslimin,
fundamentalisme Arab dan lainnya.13
Catatan sejarah lain menyebut bahwa istilah fundamentalisme
bermula dari rangkaian karangan yang terbit pada tahun 1919 sampai
tahun 1923 dengan judul buku “ The Fundamentals: A testimony to the
truth” yang di dalamnya membicarakan lima hal penting yang cukup
menonjol. Pertama, ketidakmungkinan Al-Kitab itu salah. Kedua,
kelahiran Kristus dari Ibu yang perawan. Ketiga, jatuhnya manusia ke
dalam dosa dan keharusan setiap manusia yang dilahirkan kembali
berdasarkan korban perdamaian Kristus. Keempat, kebangkitan Kristus
dan kebangkitannya ke surga. Kelima, kedatangan kembali Kristus.14
Menurut Jalaluddin Rahmat, fundamentalisme itu dapat dilihat dari
empat sudut pandang: Pertama, fundamentalisme dipandang sebagai
gerakan taqlid. Kedua, fundamentalisme dipandang sebagai reaksi
terhadap kaum modernis. Ketiga, fundamentalisme dipandang sebagai
reaksi terhadap modernisasi. Keempat, fundamentalisme dipandang
sebagai keyakinan kepada suatu agama sebagai ideologi alternatif.
Sedangkan menurut Amin Rais fundamentalime adalah, pertama, sebagai
suatu gerakan di dalam masyarakat keagamaan yang ingin kembali
kepada dasar pokok atau fundamen agama yang asli. Kedua, merupakan
suatu gerakan yang di dasarkan oleh rasa kefanatikan keagamaan yang
bersifat asal-asalan dan anti modernisasi.15

13
Syahrin Harahap, Op.Cit. hlm. 193
14
Lien Khien Yang, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pusaka,
1991), hlm. 415.
15
M. Amin Rais, Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hlm. 85
7
Berbicara mengenai istilah fundamentalisme, banyak sarjana yang
mengakui bahwa penggunaan istilah fundamentalisme itu problematik
dan tidak tepat. Istilah ini seperti dikatakan William Montgomery Watt,
pada dasarnya merupakan suatu istilah Inggris–kuno kalangan Protestan
yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan
bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Istilah
sepadan yang paling dekat dalam bahasa Prancis adalah integrism yang
merujuk kepada kecenderungan senada, tetapi tidak dalam pengertian
kencenderungan yang sama di kalangan kaum Katolik Romawi. Kaum
fundamentalis Sunni menerima Alquran secara harfiah, sekalipun di
dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat tertentu, tetapi mereka juga
memiliki sisi lain yang berbeda. Kaum Syi’ah Iran, dalam statu
pengertian umum bahwa para fundamentalis tidak terikat pada penafsiran
harfiah Alquran. William Montgomery Watt menjelaskan bahwa
kelompok fundamentalis Islam merupakan kelompok muslim yang
sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak
mempertahankannya secara utuh.16

James Barr mengkritik pendapat yang mengatakan kaum


fundamentalis merupakan kelompok yang menafsirkan kitab suci secara
harfiah. Menurutnya pendapat semacam itu tidak tepat. Dalam hal ini
beliau menjelaskan beberapa ciri-ciri fundamamentalisme sebagai
berikut:
1. Penekanan yang teramat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) al-
Kitab. Artinya bahwa al-Kitab tidak mengandung kesalahan dalam
bentuk apapun.
2. Kebencian yang amat sangat terhadap theologi modern serta terhadap
metode, hasil, dan akibat-akibat studi kritik modern terhadap al-Kitab.

16
William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modenitas, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 3-4.
8
3. Jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak menganut pandangan
keagamaan, mereka sama sekali bukanlah Kristen sejati.17

Belakangan orang mulai banyak membicarakan masalah


fundamentalisme, modernisme dan liberalisme, hal itu terus berkembang.
Untuk menghilangkan kesan buruk nama fundamentalis, kemudian
mereka menyebut dirinya dengan Evangelicals. Sekte-sekte gereja seperti
Conservatif Babtist Asociation of America dan Independent
Fundamentals Church biasanya disebut paham fundamentalis. The
National Asociation of Evangenlicals suatu badan kerjasama yang
didirikan oleh pihak fundamentalis, dikabarkan mempunyai anggota
sebanyak tiga juta jiwa pada tahun 1971.18
Dari uraian di atas diketahui bahwa penggunaan istilah
fundamentalisme dalam Islam hingga saat ini masih dipersoalkan.
Namun demikian, fenomena statisme, konservatisme dan fanatisme –
sebagaimana yang dipaparkan oleh Geraudy – bisa jadi memang ada
dalam wacana fundamentalisme dalam Islam, terutama jika kita berbicara
dalam konteks kontemporer. Hanya saja hal-hal tersebut, menurut
sebagian pihak, bukanlah sifat yang tetap yang dimiliki oleh
fundamentalisme Islam. Dengan kata lain bahwa pembentuk
fundamentalisme di atas benar-benar ada dalam wacana kebangkitan
Islam kontemporer.

B. Tertautnya Istilah Fundamentalisme ke Dunia Islam


Masuknya istilah fundamentalisme ke dunia Islam karena
kecenderungan pada penafsiran teks-teks keagamaan secara rigid dan
17
James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 1.
18
Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, , (Jakarta: Pustaka Panjimas,1984),
hlm. 4
9
literalis oleh beberapa kelompok keagamaan yang menurut para
orientalis tidak hanya terdapat pada kegamaan Kristen Protestan namun
merambah ke kalangan penganut agama lain dan terdampak imbasnya
kepada Islam. Selain penganutnya yang cukup banyak di dunia juga kitab
sucinya yang secara transparan menjelaskan hal-hal yang sensitif terkait
agama. Imbasnya adalah media massa Barat pun semakin massif
menggunakan istilah fundamentalisme untuk semua gerakan yang
cenderung menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan seperti
kelompok-kelompok Palestina, Aljazair, Mesir dan lainnya.19 Kemasifan
ini menyebabkan membangun framing seolah-olah dunia
mengkonfirmasi penggunaan istilah tersebut bagi keagamaan lain.

C. Respon Islam Sarjana Muslim terhadap Fundamentalisme


Islam sebagai agama yang mendunia dan bersifat global, tidak
memungkinkan untuk menutup diri dan selalu opensif terhadap realitas
dan peristilahan yang ada sekalipun kajian-kajian seperti ini tentu
merepotkan dan memerlukan energi untuk membicarakannya karena
menurut Bernald Lewis telah dianggap sebagai istilah yang sudah mapan
dan dapat diterima.20 Fakta menunjukkan bahwa diskusi-diskusi dan
kajian tentang hal tersebut semakin marak berjalan seiring pihak-pihak
tertentu juga berusaha menggiring opini dan men-frame kepada
konfirmasi adanya kaum fundamentalis Islam tersebut. Adapun menurut
M. Abid al-Jabiri, istilah Islam Fundamentalis pada awalnya dicetuskan
sebagai signifier bagi gerakan Salafìyah Jamaludin al-Afghani karena
bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menerjemahkan

19
Syahrin Harahap, Op.Cit. hlm. 194
20
Ibid. hlm.195
10
istilah Salafiyah.21 Menyikapi realitas tersebut muncullah beberapa
persepsi di kalangan umat Islam. Di antaranya:
1. Mendefenisikan Ulang Terminologi Fundamentalisme Islam
Hasan Hanafi yang merupakan intelektual muslim kontemporer
yang berpengaruh besar dalam diskursus teologi Islam cenderung
menerima Istilah fundamentalisme dengan memodifikasi pengertian
yang lebih dapat diterima. Ia mengatakan bahwa:
a) Fundamentalisme Islam tidak serta merta diidentikkan dengan
konservatif, terbelakang dan menentang peradaban modern.
Banyak dari tokoh reformis mengadopsi teknik-teknik kebangkitan
modern dan menyerukan pentingnya sain, industri, kebebasan dan
demokrasi.
b) Fundamentalisme Islam tidak dapat dimaknai sebagai fanatisme
dan wawasan sempit, eksklusif dan menolak dialog. Banyak dari
tokoh fundamentalis justru terbuka terhadap peradaban modern
dan menyerukan persaudaraan dan cinta kasih.
c) Fundamentalisme Islam tidak dapat pula dikatakan sebagai
kelompok sempalan dan menyeleweng karena mereka menyerukan
holistik dan menyeluruh.
d) Fundamentalisme Islam tidak dapat pula diidentifikasi secara
general sebagai bentuk ritual yang berbeda, jenggot, hijab dan
mendirikan negara Islam karena banyak dari mereka menjadi
pejuang kemerdekaan dari penjajah.22

21
M. ‘Abid al-Jabiri, “Darurah al-Bah ‘an Niqat al-Iltiqa li Muwajahah al-Mashir
al-Musytarak” dalam Hassan Hanafi & M ‘Abid Al-Jabiri, Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib
(Beirut: Muassasah aIArabiyyah, 1990), hlm. 32-34.
22
S Syahrin Harahap, Op.Cit. hlm. 196
11
Dari penjelasan Hassan Hanafi tersebut tampaklah perbedaan
yang mendasar pada fundamentalisme Islam. Fundamentalisme Islam
tidak memiliki konsep yang dapat digeneralisasikan dengan
fundamentalisme Kristen.
Selain Hassan Hanafi, hal senada juga disebutkan oleh
Muhammad Said al-Asymawi. Menurutnya fundamentalisme itu
sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif, sejauh gerakan itu bersifat
rasional dan spiritual. Artinya, memahami ajaran agama berdasarkan
semangat dan konteksnya sebagaimana ditunjukkan oleh
fundamentalisme spiritualis rasionalis (rationalist spiritualist
fundamentalism) yang dibedakan dengan fundamentalisme aktivis
politis (activist political fundamentalism) karena memperjuangkan
Islam sebagai entitas politik dan tidak menekankan pembaharuan
pemikiran keagamaan yang autentik.23
2. Mencari Persamaan dan Perbedaan Antara Fundamentalisme
dengan Modernisme Islam
Selain mendefenisikan ulang terhadap terma fundamentalisme
Islam, ada pula yang mejelaskan persamaan dan perbedaan antara
fundamentalisme dan modernism Islam. Dalam Fundamentalisme
Islam bahwa penafsiran rigid dan literalis disebabkan beberapa faktor,
di antaranya untuk menjaga kemurnian ajaran dan pelaksanaannya dan
penerapan doktrin untuk menjaganya dari kehancuran. Berbeda
dengan Kristen Protestan, fundamentalisme Islam ini terlihat kentara
dalam 3 (tiga) hal yaitu dalam memandang cakupan doktrin agama,
kedudukan sistem pemerintahan Rasul saw. di Madinah dan
kemajemukan masyarakat.24
23
M. Said al-Asymawi, Menentang Islam Politik (Bandung: Alifya, 2004), hlm.
120.
24
Syahrin Harahap, Op.Cit. hlm. 196
12
1) Sikap Memandang Cakupan Doktrin Keagamaan
Doktrin agama terdapat di dalam Alquran dan hadis bersifat
universal yang mencakup segala aspek kehidupan diyakini oleh
kaum modernis dan fundamentalis. Kaum modernis
mendefenisikan universal sebagai hasil intelektual (ijtihad) serta
kajian ilmiah terhadap kehidupan sosial dan dapat diserahkan
kepada pertimbangan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi
sehingga ditolak oleh fundamentalis yang menganggapnya
sebagai kelompok yang bertanggung jawab terhadap sekulerisasi
dunia muslim. Menurut Fazlur Rahman bahwa fundamentalisme
sekarang dasar pemikirannya adalah anti-Barat dan isu-isu yang
sering menjadi pembicaraan adalah larangan bunga bank,
keluarga berencana, kedudukan wanita dan pengumpulan zakat
yang tampak beda dengan konsep Barat. 25
Kelompok
fundamentalis dalam hal ini menganggap sikap militan dalam
menegakkan ajaran agama lebih penting dari pada membangun
semangat intelektualisme yang membuat orang tidak berbuat apa-
apa untuk agamanya serta cenderung mempermudah agama.
2) Sikap Memandang Sistem Pemerintahan yang Diselenggarakan
Rasul saw.
Kaum modernis dan fundamentalis mempunyai keinginan
yang sama untuk mengambil contoh kepada zaman awal Islam.
Sekalipun sama, namun cara yang ditempuh berbeda. Bagi
modernis, prinsip-prinsip universallah seperti tanggung jawab,
keadilan dan musyawarah yang perlu diambil sementara struktur

25
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformational of an Intellectual
Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), hlm. 15
13
pemerintahan tidak perlu ditiru dan aplikasinya dapat
menyesuaikan dengan zaman. Dalam hal ini kaum fundamentalis
ingin menegakkan persis seperti zaman Rasul saw. dan Khulafaur
Rasyidin yang dianggap sesuatu yang harus dicontoh dan
dianggap sesuai dengan tempat dan waktu. Selain hal tersebut
kaum modernis menganggap tidak penting simbol distingtif dan
lebih memikirkan agar prinsip Islam dapat menjiwai masyarakat
dan negara, sementara fundamentalis ingin menegakkan simbol-
simbol tersebut lengkap dengan sistem ekonomi, politik dan
sebagainya.26
3) Sikap Memandang Kemajemukan Masyarakat.
Kecenderungan bersikap negatif terhadap masyarakat yang
pluralis dan majemuk bagi kaum fundamentalis tampak dari
adanya istilah masyarakat Islam dan masyarakat jahiliah dengan
perbedaan yang jelas yaitu haq dan bathil sehingga tidak boleh
tercampur aduk sebagaimana penjelasan Alquran. Inilah yang
menyebabkan mereka cenderung menutup diri walaupun tidak
dijalankan secara konsisten. Istilah menjalankan Islam dengan
kaffah juga selalu menjadi slogan.27

D. Karakteristik Fundamentalisme dalam Islam


Salah satu unsur penting dalam pendangan dunia kaum
fundamentalis muslim ialah bahwa dunia Islam sedang berada dalam
keadaan mundur. Persepsi semacam ini paling tidak dapat ditelusuri
sampai ke generasi Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan

26
Syahrin Harahap, Op.Cit. hlm. 198
27
Ibid. hlm. 198
14
populer di kalangan para penerus mereka. Secara internal, kemunduran
Islam tersebut lebih disebabkan kegagalan ulama dan lembaga-
lembaganya dalam melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya
oleh agama. Sedangkan secara eksternal kemunduran Islam banyak
disebabkan oleh invasi dan serangan kultural, politik, dan ekonomi dari
Barat.
Dalam pandangan kaum fundamentalis, solusi atas masalah
kemunduran umat Islam tersebut ialah dengan kembali ke Islam.
Mengimplementasikan syariat agama dalam kehidupan pribadi dan sosial
merupakan satu-satunya cara untuk mengembalikan kejayaan dan
kemurnian Islam. Ini selaras dengan cita-cita kembali kepada Alquran
dan sunah yang diakui kebenarannya oleh semua umat Islam. Dari sinilah
kemudian kaum fundamentalis mengambil bahan untuk membangun
suatu sistem Islam yang menyeluruh, ideal, dan modern.
Pandangan semacam itu, pada gilirannya membawa
fundamentalisme baik sebagai faham dan gerakan keagamaan, untuk
tampil dengan lebih mengutamakan kemapanan suatu doktrin agama
(doctrinal establishment). Asumsi utamanya adalah bahwa agama berasal
dari realitas yang absolut (absolute reality), yaitu Tuhan. Atas dasar
asumsi ini, pemahaman terhadap ajaran Tuhan dilakukan dengan tekanan
secara tekstualis dengan tidak begitu memperdulikan kritik teks dan
interpretasi kontekstual, karena dianggap akan menurunkan kemapanan
absolutisme agama. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa kaum
fundamentalis lebih mengedepankan sikap militansi di dalam
mengaktualisasikan doktrin agama, sehingga mereka terkesan sangat

15
doktriner, yang menurut Nasr Hamid Abu Zaid telah dibelenggu oleh
sultat al-nash (otoritas teks).28
Pandangan yang menyimpulkan bahwa fundamentalisme adalah
muncul dari reaksi kepada modernisme, mungkin ada benarnya. Fazlur
Rahman misalnya, berpendapat bahwa fundamentalisme Islam mendapat
inspirasi dari paham pembaharuan pra-modern, terutama yang
dikembangkan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab di abad ke-18.
Gerakan Wahhabiyyah pada umumnya memang cenderung bersikap anti
intelektual dan mengembangkan corak pemahaman keagamaan yang
cenderung tekstual.29
Hal senada juga dilontarkan Harun Nasution, yang berpendapat
bahwa fundamentalisme dalam Islam adalah identik dengan paham dan
gerakan yang timbul di dunia Islam pada abad ke-19 dan berkembang
hingga sekarang, yang pada dasarnya berprinsip kembali kepada Alquran
dan sunnah Nabi, namun sebaliknya, Harun tidak sependapat juga
fundamentalisme difahami sebagai paham dan gerakan mempertahankan
ajaran-ajaran lama dan anti pembaharuan, seperti dalam gerakan
Protestan di Amerika Serikat, karena baginya tidak sesuai dengan
gerakan yang terdapat dalam Islam.30
Berangkat dari pemahaman kembali kepada Alquran dan sunah
Nabi, serta adanya motivasi yang kuat untuk mengaktualisasikan doktrin
Islam secara murni dan kaffah, kelompok yang dianggap fundamentalis

28
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, (Beirut, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi,
1996).
29
Tentang gerakan Wahhabiyyah yang dimotori oleh Muhammad ibnu Abd al-
Wahhab di Saudi Arabia, lebih lanjut lihat Abd al-Aziz ibn Abduallah ibn Baz, Al-imam
Muhammad ibn Abd al-Wahhab Da’wandin wa Siraruhu, (Riyad : Idarah al-Buhuts al-
Ilmiah, 1411)
30
Harun Nasution. Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution ( Bandung: Mizan, 1994). hlm. 122-123.
16
itu kemudian memandang tegaknya pemerintahan Islam merupakan suatu
keharusan. Mereka mengumandangkan sistem khilafah seperti pada
zaman para sahabat. Pendapat yang demikian misalnya dipegangi oleh
para tokoh organisasi al-Ikhwan al-Muslimun, seperti Sayyid Qutub. Hal
yang senada juga dinyatakan oleh Abu al-A’la al-Maududi, pendiri
Jamaat Islamiyyah dari Pakistan.
Lebih lanjut, Mahmud Ismail memberikan beberapa ciri
fundamentalisme dalam wacana kontemporer adalah sebagai berikut:
1. Berafiliasi kepada masa lalu. Revitalisasi yang diusung oleh kaum
fundamentalis yang menghendaki dihidupkannya kembali masa lalu
itu sendiri dengan segala muatannya, bukan hanya dalam tingkat
epistemologis tapi juga dalam tingkat ilmu-ilmu terapan seperti
hukum, ekonomi, kedokteran, pendidikan dan lain-lain.
2. Terjebak dalam ideologi dengan mengecam ideologi lain, tapi tanpa
mereka sadari mereka sendiri terjebak dalam kungkungan ideologi.
3. Radikalisme. Hal ini dapat dilihat dari terma-terma yang mereka
kembangkan, seperti jahiliyah, takfir, dan lain-lain, yang
membuktikan bahwa ekstrimisme dan radikalisme adalah muatan
tetap fundamentalisme dengan segala arusnya.
4. Eklektisisme. Ideologi yang memilah-milah dan mencampuraduk
pengetahuan sesuai ideologi mereka. Keterbukaan teks Alquran yang
hammalatul wujuh berperan besar bagi terciptanya faham ini.
Ditambah teks hadis yang rentan terjadi pemalsuan.
5. Kemiskinan epistemologi. Sangat sedikit di antara mereka yang
memiliki dasar pengetahuan yang memadai untuk melakukan
pembaharuan pemikiran Islam.
6. Totalisme. Yang dimaksud di sini adalah sikap kaum fundamentalis
yang menghendaki diterapkannya dasar-dasar agama secara total.
Agama yang dipahami secara tekstual dianggap sebagai satu-satunya
17
sumber kebenaran, sehingga tidak ada lagi peran bagi manusia kecuali
tunduk kepada teks.
7. Irrasionalisme. Pandangan tentang Islam yang satu, yang tetap, yang
tidak dapat dicapai kecuali oleh fuqaha tertentu, berakibat pada
pengebirian fungsi akal.
8. Oportunisme. Di antara bentuknya adalah promosi yang dilakukan
oleh fuqaha fundamentalis bagi perusahaan-perusahaan investasi di
bawah syiar murabahah dan mudharabah yang halal. Padahal dalam
prakteknya perusahaan-perusahaan tersebut bekerjasama dengan
bank-bank konvensional. Ini dilakukan tak lain adalah untuk
mendapatkan keuntungan materi, baik untuk kepentingan pribadi
maupun untuk membiayai gerakan fundamentalisme.
9. Utopia. Paham ini muncul dalam wacana fundamentalisme terutama
disebabkan oleh kesalahan dalam memandang fenomena kekinian,
masa lalu dan masa depan. Bertolak dari pandangan inilah kaum
fundamentalis membangun proyek politik mereka yangbertujuan
untuk menciptakan negara universal yang mencakup seluruh dunia,
yang tidak menyisakan tempat bagi orang-orang kafir setelah
dihancurkannya semua negara-negara setan. Tentu saja impian ini
sangat bertentangan dengan realita, karena negara utopis seperti yang
mereka inginkan hanya ada dalam impian para filosof.31
Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa ciri-ciri umum
(common divisor) fundamentalisme yang dirumuskan oleh Mahmud
Ismail ini menuntut adanya generalisasi. Dan dalam setiap generalisasi
tentu ada pengecualian. Perlu juga dicatat bahwa poin-poin yang
dirumuskan Mahmud Ismail di atas bukan merupakan harga mati yang

31
Mahmud Ismail, Al-Khitabal-Ushuli al-Mu’ashir: al-Aliyat wa al-Qasamat,
(Kairo: Sina, 1996), hlm. 26-40.
18
tidak dapat ditolak, terutama oleh mereka yang dituduh sebagai
fundamentalis.
E. Analisis Hubungan Islam dengan Fundamentalisme
Fundamentalisme merupakan terma yang historis spesifik, yakni
lahir dari gerakan keagamaan Kristen Protestan di Amerika Serikat pasca
perang dunia pertama. Oleh karena itu istilah fundamentalisme secara
harfiah jika dipakai dalam terminologi Islam, jelas akan membawa
kesalahpahaman. Namun demikian sebagai gejala sosial yang cenderung
merupakan gerakan keagamaan yang bersifat konservatif agresif,
mungkin lebih dapat diterima, karena dalam realitasnya memang terjadi
pada setiap agama.
Terlepas dari tepat atau tidaknya penggunaan istilah
fundamentalisme dalam Islam, namun yang pasti bahwa dalam
keberagamaan umat Islam kita menemukan corak yang cenderung rigid
dan literalis dalam memahami teks-teks keagamaan yang berdampak
pada sikap dan tingkah laku dalam kehidupan sosial keagamaan.
Dalam perkembangan selanjutnya adalah kajian-kajian
cendikiawan-cendikiawan muslim dari berbagai negeri muslim banyak
membahas gerakan fundamentalisme ini. Di antara kajian-kajian tersebut
ada juga yang berlebihan bahkan cenderung menyudutkan sesama
muslim yang seyogyanya tidak terjadi. Perinsip-prinsip dakwah lebih
baik digunakan dalam meluruskan pemahaman yang salah. Terkait
dengan kajian-kajian tersebut juga ada yang fatal menurut penulis dan
seharusnya tidak terjadi yaitu tuduhan radikalisme seperti yang tersebut
dalam pembahasan.

19
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan,


di antaranya:
Pertama, Istilah fundamentalisme awalnya berupaya untuk
melestarikan apa yang dianggap pokok-pokok dari kepercayaan Bible dengan

20
pemahaman sebagaimana termaktub dalam kitab suci dan harus difahami
secara harfiah sebagai antitesa dari gerakan modernisme.
Kedua, fundamentalisme Islam atau Islam Fundamentalis telah
mengalami pemutlakan, pelebaran dan penyempitan makna. Istilah ini pada
awalnya digunakan untuk merujuk pada fenomena Salafiyah Jamaluddin al-
Afghani. Istilah ini kemudian mengalami pelebaran makna, yaitu digunakan
untuk semua gerakan revivalisme (kebangkitan) Islam. Lalu disempitkan
untuk gerakan muslim radikal, ekstrim, literal dan garis keras. Dari
penyempitan makna inilah, yang kini sering dijadikan sebagai relational
meaning bagi kata Islam Fundamentalis. Ini semua tidak lepas dari peran
orientalis dan media massa yang membuatnya menjadi populer dan
terkonfirmasi secara global.
Ketiga, sejumlah pemikir muslim modern (Al Jabiri, Hassan
Hanafi,Nashr Hamid Abu Zaid, Harun Nasution, Fazlur Rahman dan lainnya)
berusaha untuk beradaptasi dengan istilah pinjaman tersebut dan
mereformulasi istilah fundamentalisme Islam dengan berbagai istilah,
defenisi dan batasan-batasan yang sesuai dengan realitas umat Islam sehingga
tidak bermakna bias dan peyoratif.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asymawi,M. Said (2004) Menentang Islam Politik, Bandung, Alifya


Al-Jabiri, M. ‘Abid (1990) “Darurah al-Bah ‘an Niqat al-Iltiqa li
Muwajahah al-Mashir al-Musytarak” dalam Hassan Hanafi & M ‘Abid
Al-Jabiri, Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: Muassasah al
Arabiyyah,
21
Al-Shawi, Shalah (1993), Al-Tatharruf al-Dini: al-Ra’ y al-Akhar, ( Cairo:
Al-Afaq al-Dawliyyah li al-I’lam,
Armstrong,Karen (2002) Islam A Short History: Sepintas Sejarah Islam,
Yogayakarta: Teralitera
Barr, James (1996), Fundamentalisme, Jakarta, BPK Gunung Mulia
Barrent, Irwin M. (1990) Fundamentalist: Hazard and Heartbreak, Illinois,
Open Court
Harahap, Syahrin (2015), Islam dan Modernitas, Jakarta, PrenadaMedia
Ibn Baz, Abd al-Aziz ibn Abdullah (1411) Al-imam Muhammad ibn Abd al-
Wahhab Da’wandin wa Siraruhu, Riyad, Idarah al-Buhuts al-Ilmiah
Ismail, Mahmud (1996) Al-Khitabal-Ushuli al-Mu’ashir: al-Aliyat wa al-
Qasamat, Kairo, Sina
Ka’bah,Rifyal (1984) Islam dan Fundamentalisme, Jakarta, Pustaka
Panjimas
Miswari (2021) Teologi Terakhir, Yogyakarta, Zahr Publishing
Nasution, Harun (1994) Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.
Harun Nasution, Bandung, Mizan
Raharjo, M. Dawam, (1996 ) “fundamentalisme” dalam Muhammad
Wahyuni Nafis (editor), Rekontruksi Dan Renungan Religius Islam
( Jakarta : Paramadina
Rahman, Fazlur (1984) Islam and Modernity: Transformational of an
Intellectual Tradition, Chicago, The University of Chicago Press
Rais, M. Amin (1986) Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press
Tanja, Victor I (1992) “Kebangkitan Agama-agama dan Gerakan
Fundamentalistik Kristen: Suatu ……”, dalam Peninjau, vol. XVII,
Titus dkk.(1984)Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta, Bulan Bintang
Watt,William Montgomery (1997) Fundamentalisme Islam dan Modenitas,
Jakarta, Raja Grafindo Persada
Yang, Lien Khien (1991) Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta, Cipta Adi
Pusaka
22
Zaid, Nasr Hamid Abu (1996) Mafhum al-Nash, Beirut, al-Markaz ats-
Tsaqafi al-Arabi,

www.adianhusaini.id/detailpost/beginilah-sejarah-fundamentalisme-kristen-
di-as diakses tanggal 03 November 2022

23

Anda mungkin juga menyukai