Anda di halaman 1dari 9

Prolog

Pluralisme semula merupakan terminologi filsafat yang berkembang di dunia Barat. Istilah ini
muncul dari pertanyaan ontologis tentang ”yang ada” (what is being?). Dalam menjawab
pertanyaan tersebut kemudian muncul empat aliran yaitu: monisme, dualisme, pluralisme dan
agnotisisme. Monisme beranggapan, bahwa ”yang ada” itu hanya satu, yang serba spirit, serba
roh dan serba ideal. Aliran ini kemudian dikenal dengan monisme-idealisme yang dipelopori
oleh Plato. Dualisme beranggapan, bahwa ”yang ada” itu terdiri dari dua hekikat, yaitu materi
dan roh. Aliran ini dipelopori oleh Descartes. Pluralisme beranggapan ”yang ada” itu tidak hanya
terdiri dari materi dan roh atau ide, melainkan terdiri dari banyak unsur. Lalu agnotisisme
mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi maupun rohani termasuk
juga yang mutlak dan transenden.1

Dalam pandangan selanjutnya, pluralisme beranggapan, bahwa kebenaran tidak hanya datang
dari sumber yang satu, yang serba ideal, melainkan juga berasal dari sumber lainnya, yang
bersifat plural. Pandangan ini dipelopori oleh Leibniz dan Russel. Di Inggris pluralisme semakin
populer pada awal abad 20 melalui para tokoh seperti F. Maitland, S.G. Hobson, Harold Laski,
R.H. Tawney dan GDH Cole. 2

Wacana pluralisme yang digulirkan oleh baik John Locke (1634-1704), Leibniz (1664-1716)
maupun Rousseau (1712-1778) dilakukan untuk menetralisir kontroversi antara Gereja Anglikan
dan Gereja Katolik serta kemunculan denominasi (sekte-sekte) yang ada dalam Protestan. Dari
sinilah kemudian para filsuf itu menggagas perlunya kebebasan beragama, tanpa ada dominasi
kelompok mayoritas Katolik terhadap minoritas Protestan di Perancis abad 17. 3

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Haryatmoko,4 bahwa ajaran toleransi dan kebebasan
beragama yang digagas oleh Locke, terdapat tiga poin: pertama, hanya ada satu jalan atau agama
yang benar; kedua, tidak seorangpun yang akan diselamatkan bila tidak percaya pada agama
yang benar; ketiga, kepercayaan tersebut diperoleh manusia melalui akal budi dan argumen,
bukan melalui kekuatan untuk mempropagandakan kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu
1
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), 25-26.
2
Muhyar Fanani, “Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme Agama dan Nasionalisme di Barat’
dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam (Salatiga: P3M STAIN Salatiga, 2003), 19.
3
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2 (Jakarta: Kanisius, 1980), 36.
4
Haryatmoko, Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat, Diktat Kuliah Filsafat Ilmu (Yogyakarta: PPS IAIN Sunan
Kalijaga, 1999).
tidak seorangpun, baik secara pribadi maupun kelompok dan bahkan lewat institusi berhak
menggunakan kekuatan  untuk tujuan tersebut. Sejalan dengan Locke, keprihatinan Leibniz
terhadap konflik Katolik-Kristen yang berujung perang selama 30 tahun (1618-1645)
mendorongnya untuk berpikir secara plural. Dalam pandangan Leibniz, dunia ini terdiri dari
bagian-bagian kecil atau substansi-substansi sederhana yang disebut monade, setiap monade
mencerminkan dunia secara keseluruhan (universal). Oleh sebab itu, konflik atau perang berarti
berlawanan dengan harmoni universal dunia.5

Sementara itu menurut Muhammad Legenhausen, terdapat lima macam wajah pluralisme agama:
pertama, pluralisme agama moral (moral-religious pluralism). Pluralisme agama ini menyeru
kepada semua pihak, khususnya umat Kristiani untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan
agama lain, menjauhkan arogansi dan menyebarkan toleransi. Tokoh pencetus pluralisme agama
ini adalah Fridrich Schleiermacher, Rudolf Otto dan secara par-exellence adalah John Hick.
Legenhausen menyebutnya sebagai pluralisme religius-normatif (religious-normative pluralism);
kedua, pluralisme agama soteriologis (soteriological-relgious pluralism). Pluralisme agama ini
berpandangan, bahwa selain umat Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani.
Pluralisme agama ini merupakan lanjutan dari pluralisme religius-normatif; ketiga, pluralisme
agama epistemologis (epistemological-religious pluralism). Pluralisme agama ini menegaskan,
bahwa umat Kristiani tidak memiliki pembenaran (justification) yang lebih mantap atas
keimanan mereka dibandingkan para penganut agama lain. Oleh kerena itu para penganut
agama-agama besar di dunia ini memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi
keyakinan agama yang menurut Hick-- paling tepat ditemukan dalam pengalaman keagamaan
(religious experience); keempat, pluralisme agama aletis (alethic-religious pluralism).

Pluralisme agama ini menegaskan, bahwa kebenaran agama harus ditemukan dalam agama-
agama selain Kristen dengan derajat yang sama sebagaimana yang dapat ditemukan dalam
agama Kristen; kelima, pluralisme deontis (deontic-religious pluralism). Menurut pluralisme
agama ini, bahwa pada  beberapa daur sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wahyu
untuk umat manusia melalui seorang nabi atau rasul. Perintah dan kehendak Ilahi ini terus
menyempurna dan melahirkan keragaman tradisi agama. Ditetapkannnya Muhammad sebagai
pembawa risalah Islam terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama,
5
Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sari Sejarah Filsafat,  terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Yayasan
Benteng Budaya, 2002), 370.
sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu terakhir ini sebagai
konsekuensi  dari pengamalan dan pelaksanaan perintah Ilahi.6

Dalam konteks ini, terdapat dua kelompok pemikiran besar dalam merespon pluralisme agama
tersebut. Kelompok pertama menganggap bahwa pluralisme agama sebagai sesuatu yang niscaya
(conditio sin quanon), sedangkan kelompok kedua menganggap bahwa pluralisme agama sebagai
paham dan bukan hal yang niscaya.

Menurut kelompok yang menolak pluralisme agama berpendapat, bahwa ”pluralitas agama” dan
”pluralisme agama” merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas agama adalah kondisi di mana
berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara.
Sedangkan ”pluralisme agama” adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin
sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan merupakan agenda penting
globalisasi. Oleh karena itu menganggap ”pluralisme agama” sebagai sunnatullah adalah claim
yang keliru dan berlebihan.7 Di Barat sendiri terdapat dua aliran besar terkait dengan hal di atas,
yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan
agama-agama (trancendent unity of religions), atau dengan istilah lain, paham ”modern” dan
paham ”tradisional”. Munculnya kedua aliran di atas dilatarbelakangi oleh motif yang berbeda.
Bagi aliran pertama (modern) yang pada umumnya diwarnai oleh perspektif sosiologis, motif
utamanya adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi. Atas dasar ini, maka agama harus
dikaitkan dengan dua tuntutan dimaksud. Gagasan yang ditawarkan oleh kelompok ini adalah
konsep dunia tanpa batas geografis, kultural, ideologis, teologis dan seterusnya. Artinya, semua
identitas tersebut harus dilebur dengan zaman modern. Mereka yakin bahwa agama-agama itu
berevolusi dan pada gilirannya akan saling mendekat, tidak ada perbedaan,  alias ”semua agama
sama”.8

Sementara aliran kedua (tradisional) yang pada umumnya menggunakan pendekatan filosofis dan
teologis, justru menolak dua tuntutan modernisasi dan globalisasi tersebut yang cenderung
mengetepikan agama. Kelompok ini berusaha mempertahankan eksistensi agama dan tradisi-
tradisinya melalui pendekatan religius-filosofis. Agama tidak bisa begitu saja diubah sesuai

6
Muhammad Legenhausen, Islam and Religious pluralism, terjemah Arif Mulyadi dan Ana Farida (Jakarta: Lentera
Basritama, 2002), 8-10.
7
Majalah Islamiya dalam Pengantar, Tahun I No. 3 (September-Nopember 2004), 5-6.
8
Ibid
tuntutan zaman, modernisasi atau globalisasi. Namun kelompok ini kemudian juga menawarkan
konsep yang diambil secara paralel dari tradisi-tradisi agama. Salah satu konsep utamanya adalah
”Sophia-Perrenis” (al-hikmah al-khalidah), atau dalam Hindu disebut Sanata Dharma.9

Senada dengan penjelasan tentang latar belakang munculnya pluralisme agama ini, Anis Malik
Thoha10 mengungkapkan, bahwa pluralisme agama muncul dilatarbelakangi oleh maraknya
pemikiran liberalisme di bidang sosial politik yang menandai tatanan dunia abad modern. Agama
harus mampu menyesuaikan diri dengan wacana-wacana modern-global, seperti: HAM,
demokrasi, egalitarianisme, dan pluralisme. Jika proses liberalisasi politik di Barat telah
melahirkan ”pluralisme politik”, maka liberalisasi agama juga melahirkan ”pluralisme agama”,
yaitu memposisikan semua agama sebagai sama benarnya. Dengan demikian menurut Anis,
pluralisme agama lahir dari rahim liberalisme politik. Di antara tokoh pengusung mazhab
pluralisme agama ini adalah Ernst Troeltsch (1865-1923), seorang teolog Kristen liberal yang
menganggap bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam semua agama, alias bersifat relatif. Lalu
diikuti oleh tokoh lain seperti William E. Hocking dan Arnold Toynbee (1889-1975).

Menurut Anis, pluralisme agama di dunia Islam masih merupakan wacana baru dan tidak
memiliki akar ideologis atau teologis yang kuat. Ide pluralisme agama di dunia Islam adalah
akibat dari pengaruh penetrasi Barat modern yang muncul pada masa perang dunia kedua, yaitu
ketika para generasi muda Islam telah mengenyam pendidikan Barat. 11
Ide pluralisme ini
kemudian menyusup ke pemikiran Islam melalui karya-karya mistikus Barat Muslim seperti
Fritjhof Schuon,12 Rene Guenon13 dan seterusnya. Di Barat dikenal nama-nama seperti: John
Hick, W.C. Smith,  T.S. Eliot, Titus Burckardt, Hans Kung, Huston Smith, J.B. Cobb, Raimundo
Panikkar, dan seterusnya.

Pengertian Pluralisme

9
Bid, 7
10
]Anis Malik Thoha, “Wacana Kebenaran Agama dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralisme
Agama)”, Makalah (Malang: UMM, 2005), 60-61.
11
Ibid
12
Setelah masuk Islam berganti nama Isa Nuruddin Ahmad.
13
Setelah masuk Islam berganti nama Abdul Wahid Yahya
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham)
yang berarti paham atas keberagaman. Secara luas, pluralisme merupakan paham yang
menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang
berbeda tersebut untuk tetap menjaga keunikan budayanya masing-masing.

Berdasarkan Webster's Revised Unabridged Dictionary arti pluralisme adalah:

• hasil atau keadaan menjadi plural.

• keadaan seorang pluralis; memiliki lebih dari satu tentang keyakinan.

Pluralisme juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya, untuk
hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, gologan, agama,adat, hingga
pandangan hidup. Pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan
kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi, sehingga untuk
mencapai pluralisme diperlukan adanya kematangan dari kepribadian seseorang dan/atau
sekelompok orang.

pluralisme adalah sebagai suatu sistem nilai yang memandang positif dan optimis terhadap
kemajemukan agama dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat baik berdasarkan
konteks kenyataan tanpa mengalami distorsi paham teologis secara pribadi supaya spiritualisme
tetap kuat.

1.Pluralisme Sosial

Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-
kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka
hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang
paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan,
masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarki, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan
dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan
penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.

Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan
partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang
lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting
ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

2. Pluralisme Ilmu Pengetahuan

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam
pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat
dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar
kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga
menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

3. Pluralisme Agama

Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama.
Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan
dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya.

Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada,
istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam
studi agama agama (religious studies).

Istilah pluralisme agama mengandung pengertian yang kabur dan membingungkan. Hal ini dapat
dilihat dari semakin menjamurnya kajian terbuka, khususnya setelah Konsili Vatikan II. Sungguh
sangat mengejutkan, ternyata sedikit bahkan sangat langka orang yang memahami secara
mendalam makna pluralisme agama. Sehingga tanpa sadar atau karena kurang iman, banyak
kalangan yang mengagungkan pemahaman ini dengan menyisihkan keyakinan terhadap
agamanya sendiri. Bahkan sebagian kaum muslimin yang meragukan kebenaran Islam tak palang
lelah mengampanyekan pemahaman Pluralisme Agama ini dengan mengacak-acak dalil wahyu
(Al-Qur’an dan Hadits) dan pemikiran para ulama yang shohih (benar). Atas dasar itu, di sini
perlu pendefinisian yang jelas dan tegas, agar umat Islam tidak menjadi korban lanjutan.

Secara bahasa plural berarti ganda atau beragam. Secara etimologis, pluralisme agama berasal
dari dua kata, yaitu ‘pluralisme’ dan ‘agama’. Dalam bahasa Arab diterjemahkan ‘al-
ta’adudiyyah al-diniyyah’ dan dalam bahasa Inggris ‘religious pluralism’.

Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i)
sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii)
memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-
kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya
landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-
politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang
bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan
yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut
sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok
atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik
masing-masing.14

Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensi
berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-
perbedaan dan karaketeristik masing-masing.15 Ketika disandingan dengan agama, maka
pengertian “pluralisme agama” adalah koeksistensi (kondisi hidup bersama) antar-agama yang
berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran
masing-masing agama, seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Dari segi konteks dimana pluralisme agama sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-
wacana sosio-ilmiyah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang
sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. John Hick, misalnya, menegaskan bahwa:
“Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi
dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam
terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang

14
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjaun Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005, hlm. 11-12
15
Ibid. hal. 14
bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan
hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut dan
terjadi, sejauh yang dapat diamati, disamai pada batas yang sama”.

Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan
‘manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu’. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak
ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick ini berangkat dari pendekatan
substantif yang mengekang agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang
agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan
bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.

Dengan demikian, telah terjadi proses pengebirian dan ‘reduksi’ pengertian ‘agama’ (baca:
Islam) yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksinistik inilah yang
merupakan ‘pangkal permasalahan’ sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang
tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan ‘agama’
(Islam) itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada
pengertiannya yang benar dan komprehenshif, tidak reduksionistik.16

16
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjaun Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005, hlm. 16.

Anda mungkin juga menyukai