Oleh: Maraimbang
A. Pendahuluan
Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir yang cukup besar
perhatian dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan umat
Islam. Karena perhatiannya tersebut, salah seorang muridnya di tanah air,
Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa barangkali Fazlur Rahman-lah
yang dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan
persoalan Islam di antara pemikir kontemporer yang ada jika diperhatikan
kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya
demi membangkitkan dan mengembang-kan intelektualitas umat Islam.
Memang,
diakui
maupun
tidak,
gagasan-gagasannya
telah
sebagaimana
diakuinya
sendiri
bahwa
ia
telah
terbiasa
ad-Din sendiri adalah seorang ulama modern, meskipun terdidik dalam pola
pemikiran Islam tradisional,[3]
Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam melihat modernitas
sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus
dihadapi. Keyakinan seperti ini pulalah yang kemudian dimiliki dan mewarnai
kehidupan dan pemikiran Fazlur Rahman.[4]
Bekal dasar tersebut di atas memiliki pengaruh signifikansi yang cukup
berarti dalam pembentukan kepribadian dan intelektualitas Fazlur Rahman
pada masa-masa selanjutnya. Melalui didikan ayahnya, Fazlur Rahman
menjadi sosok yang cukup tekun untuk menimba pengetahuan dari berbagai
sumber dan media, termasuk karya-karya Barat.Pengajaran dan pendidikan
tradisional ilmu-ilmu keislaman pada waktu kecil beliau terima dari
ayahnya Maulana Shihab ad-Din di rumah. Pada usia 10 tahun, Rahman pun
dapat menghafal Alquran. Selanjutnya pada usia 14 tahun, ia sudah mulai
belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis dan tafsir. Apalagi setelah beliau
menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Persia, Urdu, Inggris,
Perancis, Jerman, Latin dan Yunani, semakin memperteguh kualitas intelektualitasnya.[5] Pengaruh ayah dan ibunya tersebut sangat kuat dalam
membentuk
kerangka
pemikiran
dan
pengamalan
keagamaan
Fazlur
Rahman. Sang ayah yang dididik dalam pola pemikiran Islam tradisional
namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas sebagai kenyataan sehari-hari.
Dari ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, ketabahan dan
cinta. Kedua orangtuanya ini ikut memberikan bekal yang cukup signifikan
dan mendasar terhadap pembentukan kepribadian dan keintelektualan
Fazlur Rahman pada masa selanjutnya. [6]
Hal lain yang mempengaruhi Fazlur Rahman adalah tradisi mazhab
Hanafi yang dianut oleh keluarganya dan ini yang membentuk pola
pemikirannya dalam hal keagamaan. Tradisi mazhab Hanafi dikenal sebagai
salah satu mazhab Sunni yang mengedepankan akal-logika. Ini menjadi
modal landasan berpikir Fazlur Rahman untuk selalu berada di lajur
lebih
bersifat
formalitas-akademia
dibandingkan
dengan
seperti
bahasa
Inggris,
Yunani,
Latin,
Jerman,
dan
Perancis.
Sina, yakni
mengangkat
merampungkan
karyanya
Prophecy
in
Islam:
Philosophy
and
masalah legal dan sosial praktis. Itulah sebabnya, karya Rahman ini
memfokuskan perhatian pada area pemikiran religio-filosofis Islam tersebut.
[18]
Selanjutnya Fazlur Rahman pindah dan mengajar di Institute of Islamic
Studies, McGill University, Kanada dan menjabat Associate Professor of
Philopsophy sampai awal tahun 1960, di sini ia berkenalan dengan Wilfred C.
Smith, salah seorang orientalis kenamaan yang ketika itu menjabat sebagai
Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University.[19]
2.
hal
itu,
bulan
September
1968 Fazlur
Karya-Karya Utama
Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Fazlur Rahman dianggap
perlu dalam rangka mencari benang merah gagasan dan pemikirannya yang
dibahas dalam tulisan ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang
dihasilkannya yang lebih dari seratus buah, tidak akan diungkap dan
dijelaskan semua.Pembahasan hanya ditekankan kepada beberapa karyanya
yang dianggap mewakili gagasan sentralnya.
Karya orisinal pertama Fazlur Rahman yang berbentuk buku adalah
Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan oleh George
Allen and Unwire Ltd., London pada tahun 1958. Dalam buku ini, ia
membandingkan antara pandangan kaum filosof dan ahli kalam atau teolog
Wujud Tuhan
Fazlur Rahman dalam menerangkan gagasan tentang Tuhan dan alam
semesta senantiasa mengacu pada Alquran sebagai sumber otoritas primer
dan senantiasa aktual dan kontekstual dalam setiap masa dan keadaan
dimana
manusia
berada.[34] Menurut
Rahman, semua
mengutip
beberapa
bahwa, Tuhan Maha Kuasa sebagai Pencipta alam semesta, dan manusia
diberi pilihan dan diserahi tanggung jawab. Salah satu fungsi gagasan
tentang Tuhan adalah menjelaskan keteraturan alam semesta sekaligus
bahwa konsep Tuhan merupakan bagian dari logika yang inheren yang harus
ada, dengan memberi pernyataan bahwa Tuhan bukan saja transenden
tetapi
juga
imanen.
Hal
ini
dibuktikan
oleh
ayat-
tak
terhingga
dan
hanya
Dia
sajalah
yang
tak
terhingga.
[36] Mengutip pendapat Ibn Sina, perbedaan antara Allah sebagai Penvipta
dengan makhluk sebagai ciptaanNya menurut Rahman adalah jika Allah tak
terhingga dan mutlak maka segala ciptaanNya adalah terhingga. Setiap
sesuatu
memang
memiliki
potensi-potensi
tertentu,
tetapi
potensi-
pandangan kaum filosof dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai
konsep kenabian dan wahyu. Pembahasannya dimulai tentang konsep akal
manusia menurut Ibn Sina (w. 1037 M).[38] Dalam pandangan Ibn Sina, akal
aktual manusia lebih merupakan cermin yang di dalamnya tiap-tiap bentuk
sesuatu dan sebagai emanasi dari Akal Aktif (Active Intelligence) ditanamkan
atau direfleksikan, dan kemudian diambil ketika manusia mengalihkan
perhatian kepada sesuatu yang lain.[39] Pada manusia biasa, cermin itu
tertutup akibat berhubungan dengan badan, atau penglihatannya
berpenyakit. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan proses-proses yang
bersifat perenungan dan sensitif yang akan menjadikan cermin itu bersih,
atau diperlukan pengobatan terhadap penglihatan tersebut.[40]
Dalam perspektif Ibn Sina, manusia dapat berhubungan dengan Akal
Aktif ketika manusia telah mencapai akal aktual (actual intellect), dan
selanjutnya melalui latihan-latihan akan dapat mencapai akal mustafad
(acquirred intellect). Dalam taraf ini, manusia sudah tidak dapat diatur lagi
oleh orang lain dalam hal apapun. Bahkan, ia benar-benar telah memperoleh
semua pengetahu an dan makrifat, serta tidak memerlukan orang lain untuk
mengatur dirinya dalam segala hal.[41]
Wahyu datang pada orang yang telah mencapai tingkat ini. Namun
dalam masalah kenabian, proses-proses itu tidak diperlukan lagi karena
seorang Nabi dari sifatnya adalah murni; dan karena itu ia secara langsung
dapat berhubungan dengan Akal Aktif.[42] Pembahasan doktrin intelek dalam
kenabian menurut pandangan kaum filosof, dengan mengangkat al-
Farabi[43] (w. 956 M) dan Ibn Sina, merupakan pembahasan bagian pertama
dan kedua buku Propechy in Islam Philosophy and Ortodoxy.
Pada bagian ketiga, Fazlur Rahman mengangkat masalah kenabian dari
perspektif ortodoksi yang dikemukakan oleh ahli ilmu kalam. Ada tiga aliran
utama dalam teologi skolastik mengenai kenabian. Pertama, adalah
mutakallimun dogmatik yang memperbolehkan penggunaan akal secara
terbatas untuk menjelaskan dan mendukung dogma. Aliran ini diwakili oleh
al-Syahrastani[44] (w. 1153 M) dan merupakan aliran ortodoksi terbesar.
Kedua, aliran yang berbentuk dogmatisme akat yang mengabaikan akal dan
hanya menggunakannya untuk menyerang posisi-posisi kaum rasionalis,
yang diwakili oleh Ibn Hazm[45] (w. 1064 M). Ketiga, adalah pandangan yang
berdiri di antara dua aliran yang menerima penggunaan akal, namun
menolak kaum filosof dan pemikirannya secara total, Serta menolak sufisme
tetapi menekankan nilai-nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran terakhir
ini direpresentasikan oleh lbn Taimiyah [46](w. 1328 M). Tipologi ketiga aliran
pemikiran itu sepakat menolak pendekatan intelektualitas murni para filosof
terhadap fenomena kenabian, dan tidak keberatan untuk menerima
kesempurnaan intelektual Nabi. Meskipun demikian, mereka lebih
menekankan nilai-nilai syari'ah daripada nilai-nilai intelektual.[47]
Fazlur Rahman kemudian menjelaskan beberapa tokoh Muslim terkenal
dan dianggap kelompok ortodoks yang menerima esensi doktrin filosofis
tentang kenabian dan memasukkannnya ke dalam Islam secara integral. Di
antaranya adalah al-Ghazali[48] (w. 1111 M) yang dikenal sebagai tokoh sufi,
dan Ibn Khaldun[49] (w. 1406 M), yang dikenal sebagai seorang ahli sosiologi
Islam dalam sejarah. Manurut Fazlur Rahman, Wahyu adalah kalam Allah,
dengan demikian Alquran merupakan kalam Allah. Kalam Allah pengertiannya sangat abstrak, untuk itu perlu dijelaskan terlebih dahulu
pemikiran Fazlur Rahman tentang hubungan kalam Allah dengan Alquran
atau wahyu itu sendiri.
Rahman membedakan pengertian antara bacaan (qiraah), yang
dibaca (maqru), dan Alquran. Bacaan adalah perbuatan yang bersifat
mempunyai
kebudayaan
yang
tinggi,
mewujudkan
ilmu
Alquran
menggambarkan
ketaatan
dan
untuk
menciptakan
suatu
tata
dunia
yang
baik.[60] Dari
serius;
manusia
harus
mempelajari
hukum-hukumnya
yang
Menurut
Alquran,
ketika
Tuhan
menciptakan
sesuatu,
yakni
menghidupkan dan memberinya bentuk lahiriah, pada saat yang sama Tuhan
juga melengkapinya dengan hukum-hukum kehidupannya dan menatanya
dengan
potensialitas-potensialitas
serta
dinamika
perkembangannya.
pada
suatu
ruang
dan
waktu
tertentu
tidaklah
pernah
dideterminasi sebelumnya.[63]
Berdasarkan pengertian takdir yang dikemukakan Rahman, dapat
dipahami bahwa takdir bukanlah sebuah kekuatan buta yang mengukur atau
menetapkan hal-hal yang tidak dapat dielakkan atau dikendalikan oleh
manusia, terutama sekali sehubungan dengan kelahiran, rezeki, dan
maut. Konsep takdir yang dikemukakan Rahman menekankan bahwa Allah
memberikan ukuran dan sifat tertentu kepada setiap sesuatu untuk
tertentu,
tetapi
betapapun
banyaknya
potensi-potensi
Bila
Allah
menciptakan
sesuatu,
maka
kepadanya
Dia
masyarakat
muslim
berkembang
pengaruhnya. Predeterminisme
ini
sebuah
tidak
predeterminisme
bersumber
dari
yang
kuat
ajaran-ajaran
Yang
yang
paling
menonjol
sangat
di
antara
mengagumkan
dari
faktor-faktor
teologi
ini
Asyari
adalah
(yang
Hari Akhir
Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran Alquran tentang akhirat adalah
bahwa akan tiba saat ketika manusia menemukan kesadaran unik yang tidak
pernah dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal perbuatannya.
[67] Alam semesta ada batasnya, pada saatnya nanti ia akan hancur
bersama seluruh kandungannya, itulah yang dinamakan kiamat. Alquran
menerangkan tentang hari kiamt dengan penggambaran kehancuran kosmos
secara menyeluruh dengan maksud menggambrkan kekuasaan Tuhan.
Dalam kaitan ini, Rahman menyatakan, banyak yang mengira bahwa tatanan
kosmos ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan
bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari kosmos ini. Mereka harus memahami
Allah-lah yang Mahakuasa: Dia yang menyusun kembali alam semesta
(setelah kehancurannya) guna menciptakan bentuk-bentuk kehidupan baru
dan level-level kehidupan yang baru pula. Rahman berpendapat bahwa hari
kiamat bukan berarti terjadinya kehancuran dunia secara total, tetapi hanya
transformasi dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan yang lain.[68]
Hari kiamat merupakan hari pengadilan. Pada hari itu setiap manusia
tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan apapun juga.
Satu-satunya kesempatan adalah di atas dunia ini yang hanya terjadi sekali.
Oleh karena itu, manusia harus menghadapi hidup ini dengan serius dan
benar-benar menyadari bahwa apapun yang dilakukannya tidak terlepas dari
pengawasan Allah. Kehidupan manusia di atas dunia yang hanya terjadi
sekali ini merupakan kesempatan emas bagi manusia untuk berjuang dan
mendapatkan hasil yang baik. Rahman mengemukakan bahwa kebahagiaan
dan penderitaan manusia di akhirat nanti tidak hanya bersifat spiritual
karena raga dengan pusat kehidupan dan intelegensi itulah yang merupakan
identitas
atau
kepribadian
manusia
yang
sesungguhnya.[69] Dengan
refleksi
pemikiran
sebagai
hasil
dari
proses
dialektika
umum,
ke-
prinsip
musyawarah
tetapi
menolak
musyawarah
sistem
negara
dengan
demikian
mendirikan
negara
bukan
sebuah
persamaan,
musyawarah
dan
keadilan. Para
pembaharu
adalah
menegakkan
sebuah
tatanan
masyarakat
ethis
dan
bersama
ini,
Fazlur
Rahman
me-nyebutnya
sebagai
urusan
ketahuilah
bahwasanya
Allah
Maha
Pengampun
lagi
Maha
Penyayang].[80]
Ayat
tersebut
menjelaskan
ganjaran
terhadap
orang-orang
yang
moral
masyarakat,
tidak
hanya
Konsep Etika
Salah satu karakter pemikir Islam adalah komitmennya terhadap proyek
reconstruction (membangun kembali) atau rethinking (memikirkan kembali)
segala sesuatu yang berkaitan dengan masya rakat dan peradaban,
terutama
apabila
kondisinya
sudah
kurang
menguntungkan
bagi
aktual
dan
potensial
jawaban-jawaban
atas
semua
masalah
kehidupan sehari-hari.[88]
Oleh karena itu, suatu sistem etika yang tumbuh dari Alquran menjadi
kebutuhan yang perlu dikembangkan sehingga misi Alquran sebagai
petunjuk bagi manusia benar-benar aktual dan aplikatif. Sebagaimana
disebutkan Nurcholish Madjid, bahwa salah satu obsesi Fazlur Rahman
adalah merekonstruksi etika Alquran melalui sistematisasi nilai-nilai etika
yang terkandung di dalamnya.[89]
Etika
Alquran
dalam
konstruksi
pemikiran
Fazlur
Rahman
dapat
ditelusuri dari gagasannya mengenai beberapa istilah yang menjadi konsepkonsep kunci etika Alquran, yaitu istilah iman, islam, dan taqwa.[90] Ketiga
istilah tersebut membentuk pondasi etika Alquran sebagai hakikat dari Islam
secara menyeluruh dalam berbagai aspek ajarannya.
C. Penutup
Menarik untuk dikemukakan bahwa Ismail Raji al-Faruqi memuji
karya filosofis Fazlur Rahman sebagai sebuah catatan deskriptif dan
gagasan umum di dunia muslim. Salah satu karya Rahman berjudul
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hasan Ali Nadwi, 1978, Western Civilization: islam and Muslim, India: Academy
of Islam Reseach and Publications.
Abdurrahman, Muslim., 1995, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abd. Ala, 2003, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Ahmad Syafii Marif, 1994, Peta Bumi Intelektual Islam, Bandung: Mizan.
Ali,
A.
Mukti.,
1998,
Alam
Pikiran
Islam
Modern
di
India
dan
Pakistan,
Bandung:Mizan.
Amal, Taufik Adnan (peny.), 1987, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam
Fazlur Rahman, Bandung:Mizan.
--------------., 1992, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman, Bandung:Mizan.
Azyumardi.,
1999,
Pergolakan
Politik
Islam
dari
Fundamentalisme,
1992,
Membangkitkan
Kembali
Visi
Al-Quran:
Sebuah
Catatan
1982,
Islam
dan
Modernity,
Transformation
of
an
Intellectual
--------------, 1976, The Philosophy of Mulla Shadra, Albany, New York: State
University of New York Press.
--------------, 1990, An Autobiograpchal Note, dalam Journal of Islamic Reseach, Vol.
4, 1990.
-------------, 1983, Some Key Ethical Concept of the Quran, yang dimuat dalam
Journal of Religious Ethics, jilid XI, No. 2.
Wilfred. C. Smith, 1979, Modern Islam in India: Social Analiysis, New Delhi: USA
Publications.
Yusuf, Yunan, 1990, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka
Panjimas.
http://firkom.blogspot.com/2009/06/pemikiran-teologi-islam-modern-by.htm
tradisional
disini
adalah
kepenganutan
seseorang
terhadap salah satu mazhab fiqh yang empat: Maliki, Hanafi, Syafii, dan
Hambali. Dalam hal ini corak keberagamaan ayah Fazlur Rahman mengikut
faham Hanafi.
[4]Abd. Ala, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: jejak Fazlur Rahman
dalam wacana islam indonesia (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003),
h. 33.
[5]Nurcholish Madjid, Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika AlQuran dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993, h. 23-24.
[6]Fazlur Rahman. An Autobiograpchal Note, dalam Journal of Islamic
Reseach, Vol. 4, 1990, h. 27.
[7]Fazlur Rahman, Islam ..., h. 36.
[8]Syah Waliyullah lahir di Delhi dan mendapat pendidikan dari orang
tuanya Syah Abd al-Rahim, Seorang sufi yang memiliki madrasah. Setelah
dewasa, ia ikut menekuni pekerjaan orang tuanya sebagai guru di madrasah
tersebut. Selain mengajar di madrasah, Syah Waliyullah gemar mengarang
dan
banyak
meninggalkan
karangannya,
di
antaranya
adalah
buku
Ahmad
Khan
lahir
di
Delhi
pada
tahun
1817
M.
Ia
[12]Fazlur
Rahman,
Islam
dan
Modernity,
Transformation
of
an
[25]Wan Mohd. Nor Wan Daud, Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid
dan Teman, dalam Ulumul Quran, Vol. II, (No. 8,1991), h. 108.
[26]Denry, The Legacy, h. 97. Dalam catatan kaki, No. 4, h. 106
disebutkan bahwa tokoh-tokoh sebelum Fazlur Rahman yang menerima
penghargaan serupa adalah Robert Brunsching, joseph Schacht, Francesco
Gabriel, S.D. Goiten, Gustave E. Von Grunebaum, Franz Rosenthal, Albert
Hourani, W. Montgomery Watt, dan Annamarrie Schimmel.
[27]Abd Ala, Neo-Modernisme, h. 44. Juga Wan Mohd. Nor Wan Daud,
Fazlur Rahman, h. 108.
[28]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam
Publisher & Distributor, 1994), h. V. Lihat juga Abd Ala, Neo-Modernisme, h.
47.
[29]Lihat Ahmad Syafii Marif, dalam Kata Pengantar untuk buku Fazlur
Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bumi Aksara. 1987), h. viii.
[30]Namanya adalah Shadr al-Din as-Syirazi, lebih dikenal dengan Mulla
Shadra. Mengenai pemikirannya lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla
Shadra (Albany, New York: State University of New York Press, 1976), h. 67.
[31]Abd Ala, Neo-Modernisme, h. 53.
[32]Abd Ala, Neo-Modernisme, h. 55.
[33]Donald L. Denry Fazlur Rahman (1919-1988): A Live and Riview,
dalam Earle H. Waugh & Fedrick M. Denry (ed) The Shaping of an Amarican
Islamic Discourse: Memorial to Fazlur Rahman (Georgia: Scholars Press,
1998), h. 40-43.
[34]Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Quran, Pustaka, Bandung,
1984. hal. 86
[35]Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1984, h. 87
[36]Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Quran... h. 88.
[37] Ibid., h. 97-98.
[38]Ibn Sina lahir di Afsyfan, daerah Bukhara pada tahun 340 H (980
M), pada masa pemerintahan Khalifah Nuh bin Mansur, dari daulah
Samaniyah. Dia wafat di Hamdzan dalam usia 58 tahun pada 428 H (1037
M). Lihat, Poerwantara Dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), h. 145.
[39]Fazlur Rahman, Prophecy in Islam Phylosophy and Orthodoxy
(London: George Allen and Unwi Ltd, 1958), h. 145.
[40]Ibid., h. 32.
[41]Ibid., h. 30. Ibn Sina, memasukkan kemampuan akal sebagai salah
satu daya dalam jiwa teoritis manusia yang memilki empat tingkat: 1)
material intellect, yaitu potensi akal untuk berpikir dan belum dilatih, 2)
intelctual in habitat, yaitu akal yang mulai dilatih untuk berpkir abstrak, 3)
actual intelect, yaitu kemampuan berpikir abstrak, dan 4) acquired intelect,
yaitu kesanggupan akal berpikir manusia untuk berpikir abstrakdan sarana
yang mamapu menerima limpahan dari akal aktif. Lihat Fazlur Rahman,
Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin
Muhammad (Bandung: Mizan, 2003), h. 40.
[42]Ibid., h. 30-32. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 31-32.
[43]Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Tharkhan al-Farabi. Ia dilahirkan di kota Farab tahun 257 H (870 M). Lihat,
Poerwantana Dkk, Seluk Beluk, h. 133.
[44]Nama lengkapnya adalah Iman Abi Fatih Muhammad bin Abd alKarim Asy-Syarastani, atau lebih dikenal dengan Asy-Syahrastani, seorang
teolog Muslim.
[45]Ibn Hazm ialah Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm (384-456), seorang ulama
fuqaha dan ahli hadis yang berasal dari Andalusia, M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.
61.
[46]Nama lengkapnya Taqi ad-Din Ibn Abu al-Abbas Ahmad bin Abd alHalim bin Muhammad bin Taimiyah al-Haramy al-Hambaly. Lahir di Haran
pada tanggal 10 Rabiul Awal 661 H (22 Januari 1263 M). Lihat Muhammad
Al-Bahy, Al-Fikr al-Islamy fi Tathawwurihi, alih bahasa Al-Yasa Abu Bakar,
Alam Pikiran Islam dan Perkembangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 27.
manusia
wajib
menghormati
huruf-huruf
itu
karena
ia
berpendapat bahwa
Jibril
membacakan
[57]al-Zarqani, Manahil al-Urfan fi Ulum Alquran, Jilid I (Beirut: Dar alFikr, 1988), hlm. 43-37
[58]Ibid., h. 76-79.
[59]Rahman, Prophecy in Islam, h. 99-109.
[60] Amal, Taufik Adnan (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme
Islam Fazlur Rahman, Bandung:Mizan, 1987, h. 80.
[61] Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif....., h. 75.
[62]Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern,
Surabaya: Gitamedia Press, 1999, h. 145-146.
[63] Rahman, Fazlur., 1967, The Quranic Concept of God, the Universe
and Man, in Jurnal Islamic Studies, No. 1, h. 6-7.
[64] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Quran , terj. Anas Mahyudin,
Bandung: Pustaka, 1996, h. 97-98.
[65] Ibid., h. 35.
[66] Rahman, Fazlur., 1967, The Quranic Concept of God, the Universe
and Man, in Jurnal Islamic Studies, No. 1, h. 14.
[67] Fazlur Rahman, Tema Pokok ..., h.154.
[68] Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam ..., h. 148.
[69] Fazlur Rahman, Tema Pokok...., h. 163.
[70]Abul Ala al-Maududi, Political Theory of Islam, dalam Khursid Ahmad
(ed.), Islamic Law and Constitution (Lahore: 1967), h. 243. Lihat juga Abu alHasan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah (Beirut: t.tt), h. 5.
[71]Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Austin: 1982), hlm.
6, dan lihat juga, Imam Khomeini, Islam and Revolution (Berkeley: 1981), h.
35.
[72]Ali Abd al-Rziq, al-Islam wa Usul al-Hukm (Beirut: 1966), h. 92.
[73]Ibid., h. 95.
[74]Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985),
h. 16.
[75]Ibid.
[76]Ibid.
laissez
faire,
konsep
yang
berprinsip
membiarkan
Edward
Shill,
Representation
of
the
Intelectual,
edisi
Madjid,
Fazlur
Rahman
dan
Rekonstruksi
Etika