Anda di halaman 1dari 4

KH Muhammad Syanwani, Berjuang di Jalur Pendidikan dan Dakwah (Mujaddid)

JAKARTA -- Tersebarnya ajaran agama Islam di Banten tidak terlepas dari peran para ulama. Salah
satu ulama yang berjasa menanamkan nilai-nilai Islam di Banten adalah KH Muhammad Syanwani. Ia
termasuk ulama yang istiqomah berjuang di jalur pendidikan dan dakwah.

KH Muhammad Syanwani lahir pada 13 Agustus 1926 atau pertepatan dengan tahun 1347 Hijriah di
Kampung Sampang, Desa Susukan, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten. Syanwani adalah putra
ketiga dari pasangan KH Abdul Aziz dan Nyai Salhah.

Dilihat dari silsilahnya, Syanwani memiliki darah keturunan ulama. Dari jalur ayah, nasab Syanwani
bersambung kepada Syekh Sulaiman, seorang ulama yang bermukim di Kasunyatan, Kasemen,
Banten. Dari jalur ibu, nasab Syanwani juga bersambung sampai kepada Syekh Mansur Cikaduen.

Saat masih kecil, Syanwani termasuk anak yang cukup bandel, keras kepala dan manja. Kendati
demikian, ia adalah anak yang cerdas, pemurah, dan suka memberi. Ia juga memiliki karakter yang
keras dan tegas, serta selalu jujur.

Sejak kecil, Syanwani mendapatkan pendidikan ilmu agama dari dari orang tuanya langsung. Karena
itu, tak heran jika pada usia yang masih belia, Syanwani sudah mampu membaca Alqur’an dengan
fasih.

Pada 1939, Syanwani mendapat kesempatan untuk belajar selama dua tahun di Sekolah Rakyat
(volkschool). Di sekolah ini, ia menjadi murid yang perhitungkan oleh gurunya karena ia memiliki
kemampuan menulis dan berhitung yang paling bagus dibandingkan dengan teman-temannya.

Setelah belajar di Sekolah Rakyat, barulah Syanwani dikirim untuk belajar ke beberapa pondok
pesantren. Ia mengawali belajar agama di Pesantren Biyongbong di Undar-Andir, Serang. Selama dua
tahun di pesantren ini, ia banyak mempelajari dasar-dasar ilmu keislaman kepada Kiai Jamin.

Setelah dari Biyongbong, Syanwani melanjutkan rihlah keilmuannya ke Pesantren Cengkudu, Baros,
Serang. Selama lima tahun di pesantren ini, Syanwani mendapat bimbingan dari Abuya Sidik, seorang
kiai karismatik dan alim di Banten. Banyak hikmah dan pelajaran yang diterima Syanwani dari
gurunya tersebut.

Di pesantren Cengkudu, Syanwani termasuk santri yang cerdas. Karena itu, Abuya Sidik
mempercayakan padanya untuk mengajar santri-santri senior. Bahkan, ada beberapa ustaz yang
mengaji mingguan kepada Syanwani. Abuya Sidik sangat membanggakan santri kinasihnya tersebut.

Syanwani bisa dibilang santri kelana. Ia terus belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk
mendalami ilmu agama. Pesantren lainnya yang juga pernah disinggahi Syanwani adalah Pondok
Pesantren Sondol Rangkas Bitung, Pesantren Kadu Peusing Pandeglang, Pesantren Cijahe
Pandeglang, dan Pesantren Citangkil Cilegon.

Tidak hanya itu, ia juga belajar di pesantren yang berada di luar wilayah Banten. Diantaranya, ia
pernah nyantri di sebuah pondok pesantren di Bandung, pesantren Sukaraja di Garut, Pesantren
Gentur di Cianjur, dan Pondok Pesantren Suralaya di Tasikmalaya yang diasuh oleh Syekh Mubarok
atau lebih dikenal dengan Abah Sepuh, seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wan Naqsabandiyah.

Syanwani belajar di Pesantren Suralaya selama dua tahun. Dia pun untuk pertama kalinya mendapat
ijazah tarekat dari Abah Sepuh. Setelah itu, ia pulang ke kampung halamannya di Sampang dan
kemudian sempat mengikuti kursus bahasa Arab di daerah Tangerang.
Pada Rabiul Awal 1371 Hijriah atau bertepatan dengan Juni 1950, Syanwani membangun sebuah
surau yang kelak akan menjadi pesantren. Dari surau inilah Syanwani menggelar pengajian dan
pengajaran ilmu-ilmu Islam untuk pertama kalinya. Namun, pengajian di surau tersebut tidak
dilanjutkan karena Syanwani masih mondok lagi ke sebuah pesantren tasawuf di Rancalang yang
diasuh oleh Kiai Umar.

Selama nyantri di Rancalang inilah Syanwani banyak mengenyam ajaran sufisme yang aktual dan
kontekstual, dan juga pengobatan secara spiritual. Selanjutnya, dalam perjalanan kesufiannya
Syanwani tetap memegang Syarah al-Hikam sebagai pedomannya dalam menuju spiritualitas
kewalian.

Dalam buku berjudul “KH. Syanwani Banten: Perjalanan Hidup Ulama Pejuang”, M. Hamdan Suhaemi
menjelaskan bahwa Kiai Syanwani nyantri di pesantren-pesantren tersebut selama 19 tahun. Setelah
itu, Syanwani kembali ke kampung halamannya.

Mendirikan Pesantren dan Berdakwah

Setelah belasan tahun berkelana menuntut ilmu di berbagai pesantren, akhirnya Syanwani pulang
kembali ke kampung Sampang pada 1962. Dia pun tampil menjadi kiai muda yang memulai
kiprahnya dengan mengasuh santri, dan kemudian mendirikan pesantren pada 1963.

Kiai Syanwani menamakan pesantrennya dengan nama Ashhabul Maimanah, dengan harapan
pesantren tersebut dapat mencetak orang-orang beriman dan golongan ahli surga. Pesantren ini
dibangun di atas tanah wakaf dari keluarga Syanwani dan masyarakat sekitarnya.

Awalnya, santri yang mondok di pesantren ini hanya 60 sampai 80 orang yang berasal dari berbagai
daerah. Seiring berjalannya waktu, santrinya pun terus bertambah hingga mencapai ratusan. Dalam
perkembangannya, Kiai Syanwani juga membangun gedung Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (Mts), dan Madrasah Aliyah (MA).

Selain mengembangkan pesantren dan sibuk mengurus santri, Kiai Syanwani juga aktif berjuang dan
berdakwah di tengah masyarakat. Ia adalah termasuk muballigh yang tegas, berani, karismatik, dan
pengajur agama yang paling gigih melalui forum-forum pengajian.

Pada 1966, Syanwani sempat menempuh ujian persamaan Mualimin di Kubang, Petir, Serang. Di sini
juga lah Kiai Syanwani berdakwah lewat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) atas dorongan alumni
Pesantren Tebuireng yang menggiatkan NU di Banten, yaitu KH Kabir.

Di organisasi ini, Syanwani menjadi Wakil Rais Syuriah Kabupaten Serang. Ia juga dipercaya untuk
memimpin lembaga Ittihadul Muballighin (Persatuan para Muballigh) Serang, yang merupakan
lembaga di bidang dakwah Islamiyah yang dibina oleh ulama-ulama NU. Melalui lembaga ini lah ia
menyampaikan dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).

Pada 1968, Kiai Syanwani sempat menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya dengan
menggunakan kapal laut dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia sampai di Tanah Suci
setelah satu bulan lamanya. Setelah sebulan berada di Makkah, ia pun kembali ke Tanah Air.

Sepulang dari Makkah, Kiai Syanwani meneruskan pengembangan pesantrennya ke arah yang lebih
maju. Selain itu, ia juga menggelar pengajian jam’iyahan setiap Jum’at pagi untuk kalangan kiai-kiai
muda dan ustaz-ustaz. Sedangkan pada Jum’at sorenya ia menyediakan waktunya untuk mengisi
pengajian yang diikuti oleh jamaah ibu-ibu. Pengajian tersebut berlangsung sejak awal 1980 sampai
Kiai Syanwani wafat 1993.
Seiring dengan meningkatnya keinginan masyarakat akan pendidikan agama bagi putra-putrinya,
jamaah pengajian jum’atan tersebut kemudian menghadap Kiai Syanwani. Mereka memohon untuk
mendirikan cabang-cabang Madrasah Ashhabul Maimanah. Akhirnya, didirikanlah cabang madrasah
tersebut beberapa daerah di wilayah Banten dan Jawa Barat.

Selain mendirikan madrasah, Kiai Syanwani juga mendirikan cabang Perguruan Tinggi Islam Banten
(PTIB) Serang. Di kampus ini, Kiai Syanwani menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, sedangkan
posisi rektor dijabat oleh sahabatnya yang mendirikan PTIB Serang, yaitu Prof KH Wahab Afif.

Kiai Syanwani menyelenggarakan perkuliahan di kampus tersebut pada 1987. Kontribusi Kiai
Syanwani dengan menyelenggarakan perkualian tersebut merupakan cerminan dari jiwa pengabdian
dan perjuangan seorang Kiai Syanwani untuk kemajuan Islam dan kemuliaan umat Islam.

Sejak mengajar di kampus tersebut, Kiai Syanwani mulai menderita penyakit darah tinggi. Bahkan, ia
sempat dirawat di beberapa rumah sakit. Setelah sakit-sakitan, aktivitas dakwahnya pun mulai
dikurangi. Hingga akhirnya Kiai Syanwani dipanggil oleh Allah pada 17 April 1993 dan dimakamkan di
tanah pemakaman keluarga besar kiai di Sampang.

n/Muhyiddin

Warisan Keilmuan Kiai Syanwani (Mujaddid 2)

JAKARTA -- KH Muhamamd Syanwani adalah ulama asal Banten yang memiliki sikap tegas, lebih-
lebih jika menyangkut hukum syariat Islam. Kealimannya dalam semua bidang ilmu agama Islam
telah melancarkan misi dakwahnya.

Selain itu, sang kiai pun ternyata juga mempunyai kecenderungan atau talenta menulis catatan-
catatan, risalah, dan mensyarahi teks-teks hukum, atau fatwa yang diambil dari kitab kuning. Hingga
sampai wafatnya, Kiai Syanwani telah banyak mewariskan keilmuannya lewat karya tulis.

Karena itu, Kiai Syanwani bisa dibilang ulama yang cukup produktif dalam menulis kitab, yang
diantaranya memuat tentang ilmu nahwu, sharraf, tauhid, fikih, dan bahkan ada juga yang berisi
syair. Dalam karya-karyanya tersebut, tertuang pemikiran keagamaan Kiai Syanwani.

Di dalam buku berjudul “KH. Syanwani Banten: Perjalanan Hidup Ulama Pejuang”, M. Hamdan
Suhaemi setidaknya menungkapkan delapan karya yang ditulis oleh Kiai Syanwani. Pertama, yaitu
kitab Al-Nahwu wa al-Shorfu

Menurut Hamdan, karya tulis Kiai Syanwani ini disusun pada tahun 1950-an ketika Kiai Syanwani
masih nyantri di pesantren-pesantren di daerah Banten dan Jawa Barat. Karya ini berisi uraian ilmu
nahwu dan sharraf. Karya ini cukup tebal, tapi mudah untuk dicerna.

Kitab karangan Kiai Syanwani yang kedua adalah Tarkib al-Awamil wa al-Murod. Di dalam kitab ini,
Kiai Syanwani menjelaskan setiap kedudukan lafaz pada posisi kalam (susunan kalimat) dengan
menggunakan bahasa Jawa Banten, dan disertai dengan kaidah-kaidah Nahwu yang bersumber dari
kitab Alfiyah Ibnu Malik dan beberapa kitab lainnya.

Selain itu, Kiai Syanwani juga menyusun tarkib terhadap kitab al-Jurumiyah karya Imam Shonhaji,
dan tarkib atas Murod al-Jurumiyah karya Syekh Nawawi Mandaya Carenang. Selanjutnya, Kiai
Syanwani juga menulis kitab dalam bentuk syair atau nadham, seperti kitab Imroni al-Shibyan fi al-
Bayani al-Arkani.
Menurut Hamdan, karya Kiai Syanwani tersebut tersusun dalam nadhan-nadham menggunakan
bahasa Jawa-Banten dengan tulisan Arab. Sedangkan jumlah bait nadhaman itu sebanyak 230 bait,
yang terdiri dari 18 pasal. Setiap pasal berisi tentang penjelasan dasar-dasar ilmu fikih dengan tutur
kalimat yang berorientasi nasihat agama.

Kemudian, ada juga kitab karangan Kiai Syanwani yang diberi judul Ta’sis al-Mawalid fil Bayan al-
Aqoid, yang berisi penjelasan tentang sifat wajib yang 20 bagi Allah Swt. Karya nadham ini ditulis
pada 9 Juli 1976.

Tiga kitab Kiai Syanwani lainnya yang diungkapkan Hamdan adalah Kitab al-Tauhid wa al-Fiqih,
Majmuat al-Taqrir, dan kitab Tasyrih al-Masail Inda al-Qouli al-Ulama. Kitab yang disebutkan
terakhir tersebut merupakan tulisan Kiai Syanwani berbentuk makalah yang mengangkat isu-isu
penting tentang persoalan bid’ah.

n/Muhyiddin

Anda mungkin juga menyukai