Anda di halaman 1dari 9

A.

PERALIHAN MASA PRASEJARAH KE MASA BANTEN MEMASUKI


PERADABAN HINDU-BUDHA
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum
Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam
masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi
prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang
mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh
peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi
lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan
masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga
awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-
patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak
batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya.
(Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang
terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk
Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di
daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Indikasi masuknya peradaban Hindu-Budha ke Daerah Banten terjadi pada abad
kelima, yang mengakhiri zaman prasejarah ke zaman sejarah Hindu-Budha. Hal ini
dibuktikan dengan temuan sebuah prasasti tertulis di daerah Munjul, Kabupaten
Pandeglang yang terindikasi berasal dari kerajaan Taruma, Jawa Barat. Prasasti lainnya
yang berkaitan ialah ditemukannya dua potong prasasti kecil di situs Banten Girang.
Menurut para ahli arkeologi menyatakan bahwa berdasarkan gaya huruf prasasti yang
ditemukan di situs Banten Girang diperkirakan berasal dari abad kesepuluh Masehi. Bukti
lainnya peradaban Hindu-Budha telah masuk ke daerah Banten dari daerah Kabupaten
Serang, yaitu situs Papatan di Cikande, situs ini merupakan situs kelanjutan dari zaman
prasejarah ke zaman masuknya Hindu-Budha. Di Karangantu, pernah ditemukan batu
Nandi. Arca Nandi dari Karangantu kini disimpan di Museum Banten Lama dan dianggap
dari abad ke-13 Masehi. Melihat bukti arkeologis yang telah ditemukan, dapat dipastikan
penduduk Banten telah menjalin hubungan dengan bangsa asing, khususnya India dan
China. Ada keterkaitan hubungan ekonomi dengan terjalinnya Banten dengan bangsa lain,
hal ini ditunjukan ditemukannya di Banten Girang keramik-keramik yang berasal dari
Dinasti Tang dan Sung awal. Bukan hanya itu saja, ternyata masuknya bangsa lain ke
wilayah Banten adanya unsur pengadopsian religi asing yang dibawa ke penduduk lokal.
Secara tidak disadari religi yang dibawa ternyata memiliki kesamaan “nafas” dengan
religi masyarakat lokal sebelumnya, sehingga praktik penyebarannya tidak menimbulkan
konflik sosial yang besar. Pada tahun 1514, Tome Pires menyebutkan dalam catatannya
yang dikenal, Suma Oriental, ia menyebutkan bahwa adanya kerajaan Sunda di Jawa
Barat, yang memiliki enam kota pelabuhan, yaitu : Bautan (Banten), Pomdang (Pontang),
Chegujde (nama itu menurut Shigegero merujuk pada satu tempat pada muara sungai di
Cisadane), Tamgara (Tangerang), Calapa (Kelapa atau Sunda Kelapa, yang sekarang
adalah Jakarta), dan Chemano (Cimanuk). Menurut Pires, salah satu kota pelabuhan
adalah Bautan (Banten). Di kota dagang ini, kapal berlabuh. Di kota ini, dapat disaksikan
para pedangan asing, seperti dari Maladewa. Di Banten juga banyak diperdagangkan lada.
Dimana lada merupakan mata dagang yang paling dicari oleh para pedagang dari Cina.
Padahal lada merupakan tumbuhan yang bukan berasal dari Banten. Menurut G.P.
Rouffaer, tanaman lada merupakan tanaman asli dari pantai bagian barat Dekan Tengah,
India. Hal tersebut menunjukan selain hubungan dagang dengan Cina, Banten pun
menjalin hubungan dengan India. Ini terbukti dengan fakta bahwa pada abad keenam
Masehi sudah berdiri satu kerajaan penting di Jawa Barat, Taruma, yang beragama Hindu
dan dapat dipastikan salah satu pelabuhannya di Banten, yang merupakan pintu masuk
pendatang asing.
Gunung Pulosari merupakan gunung dimana para arkeolog menemukan bukti-
bukti artefak yang menunjukan pembenaran bahwa Gunung Pulosari dipahami sebagai
konsep peninggalan kepercayaan Hindu. Di situs ini, banyak ditemukan keramik dan
potongan arca dari abad ke-10 Masehi. Informasi ini menambah keyakinan bahwa pada
abad ke-10 sampai dengan abad ke-15 Masehi, masyarakat Banten, mulai dari Banten
Girang (Serang), Pandeglang (Gunung Karang, Gunung Pulosari, Gunung Haseupan),
sampai ke Labuan saat itu telah terpengaruh kuat oleh religi Hindu-Budha. Berdirinya
kerajaan Hindu-Budha di Banten Girang menunjukan kekuatan Hindu di masyarakat
Banten makin diterima dan institusi kenegaraan yang mengatur tatanan masyarakat ini
menjadi keniscayaan. Hal ini menjadi babak baru bagi sejarah Banten mulai mengatur
dirinya sendiri.
B. PENINGGALAN HINDU BUDHA DI BANTEN

1. Prasasti Munjul
Hingga saat ini, belum ditemukan data yang pasti tentang masuknya pengaruh
Hindu-Buddha di daerah Banten. Namun, diduga sebelum abad ke-5 pengaruh tersebut
sudah ada di Banten. Dugaan ini berdasarkan pada sebuah prasasti yang ditemukan pada
tahun 1947, di aliran Sungai
Cidanghyang, Desa Lebak,
Kecamatan Munjul, Kabupaten
Pandeglang. Karena ditemukan di
daerah Munjul, maka prasasti ini
dinamakan Prasasti Munjul. Prasasti
Munjul berhuruf Palawa dan
berbahasa Sanskerta, dipahat pada
sebuah batu andesit yang berukuran
panjang 3,2 m dan lebar 2,25m. Prasasti Munjul ditulis menggunakan teknik tatah
dengan kedalaman gores kurang dari 0,5 cm, sehingga antara permukaan batu asli
dengan tulisan hampir sama. Prasasti Munjul disebut juga Prasasti Cidanghiang. Prasasti
ini berisi pujian kepada Raja Purnawarman yang berkuasa pada saat itu. Pujian ini
diberikan karena Raja Purnawarman berhasil menumpas kelompok perompak yang telah
mengganggu keamanan.
G. J. de Casparis bersama Boechari, dua tokoh yang terkenal di bidang epigrafi,
berhasil membaca prasasti Munjul pada tahun 1950. Kemudian pada tahun 1954, Dinas
Purbakala RI melakukan transkripsi prasasti tersebut, yang berbunyi sebagai berikut:
“vikranto ‘yam vanipateh prabhuh satyapara (k) ra (mah) narendraddvajabhutena
srimatah purnnavarmmanah“ yang berarti:
“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguh-
sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja”.
Dari hasil pembacaan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa daerah Banten pernah
termasuk dalam wilayah kekuasaan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara
yang berlatar belakang agama Wisnu. Wilayah Kerajaan Tarumanegara mencakup
seluruh dataran rendah dari muara Sungai Citarum sampai ke Selat Sunda. Sekitar abad
ke-7, Kerajaan Tarumanegara berakhir dan sesudah itu tidak ada bukti atau berita yang
menyatakan kerajaan tersebut masih ada.
2. Archa Ganesha Dan Archa Shiwa di Pulau Panaitan
Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda
bersama pulau Peucang, luasnya termasuk kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
Penelitian Geologi di Pulau Panaitan menunjukan bahwa Pulau Panaitan telah ada sejak
kurang lebih 26 juta tahun yang lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua.
Pada berbagai singkapan, tampak bahwa Panaitan tersusun dari jenis-jenis batuan
andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial. Data arkeologi arkeologi dari
Pulau Panaitan berupa arca Siwa, Ganesha dan
lingga semu/lingga patok. Meskipun Arca
Shiwa ini pernah hilang dicuri, namun
kemudain arca tersebut dapat kemabali
diamankan dan sekarang disimpan di Museum
Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor
invertaris 306.2981. Arca ini berukuran tinggi
76,5 cm, lebar dan tebal maksimum 32,5 cm
dan 24 cm, dibuat dari batuan andezitik.
Banten sebagai sebuah provinsi yang menuju
arah pembangunan dengan usia hampir lima
belas tahun mungkin sudah bisa membuat sebuah museum arkeologi yang
keberaddaanya tentu akan menjadi semangat tersendiri bagi para peneliti untuk menggali
masalalu Banten yang pasti memiliki keunikan tersendiri. Keberadaan museum akan
menjadi ciri kebesaran Banten masalalu dan untuk membangun Banten pada masadepan.
Arca Shiwa yang ditemukan di Panaitan sering dikatakan berbentuk statik dan
sederhana, tidak sama dengan penggambaran Dewa Shiwa pada umumnya. Hal lain dari
arca ini adalah tangan belakang yang memegang trisula dipahat langsung pada sandaran
arca di belakang kepala. Kedua tangan bagian depan bersikap varadamura dan
memegang padma memakai selempang pola pita lebar. Arca Dewa Shiwa Pulau Panaitan
ini bermahkota tanpa candrakapala, mata terpejam, besaran kepala tidak proporsional
apabila dibandingkan dengan postur tubuh, dalam posisi duduk di atas nandi yang juga
menghadap frontal. Sikap duduknya digambarkan kurang lazim, bukan yogamudra atau
semi yogamudra, karena kedua telapak kaki dipertautkan dalam posisi bersila dengan
ujung-ujung jari kaki “jinjit” di atas kepala nandi. Arca Shiwa tersebut diduga oleh para
arkolog berasal dari abad ke-7 Masehi, suatu abad memuncaknya kesenian Hindu di
pesisir utara Jawa Barat (Cibuaya) dan pedalaman (Cangkuang).
Sementara itu, Arca Ganesha Pulau Panaitan meskipun digambarkan tanpa mahkota,
namun penggambaran bagian-bagian utama/umum tubuhnya cukup lengkap. Ganesha ini
digambarkan dalam ukuran tidak proporsional, duduk di atas batur. Belalainya menjuntai
kemudian lengkung ke arah tangan kiri. Sedangkan pada lingga semu tidak didapati
atribut sebagai lambang emanasi Shiwa, sehingga lingga Pulau Panaitan ini dianggap
berfungsi sebagai patok batas tanah.

3. Arca Dwarapala di Cibanten


Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha,
berbentuk manusia atau monster. Biasanya dwarapala diletakkan di
luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci
atau tempat keramat didalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan
sebagai makhluk yang menyeramkan. Bergantung pada
kemakmuran suatu kuil, jumlah arca dwarapala dapat hanya
sendirian, sepasang, atau berkelompok. Pada pertengahan tahun
1990-an, ditemukan sebuah arca Dwarapala di Sungai Cibanten,
tidak jauh dari Situs Banten Girang. Sebagaimana dalam catatan
sejarah disebutkan bahwa Sungai Cibanten dahulu kala berfungsi sebagai jalur
transportasi yang menghubungkan wilayah pesisir dengan pedalaman.

4. Situs Papatan Cikande


Peninggalan prasejarah yang tampak lebih muda terdapat di kampung parapan pasir,
desa Nagara kecamatan Cikande, penduduk
menyebutnya patapan. Situs Patapan
merupakan bangunan terbuka yang di bangun
di atas bebuah bukir dan terdapat batu
pelinggih serta lapik atau altar. Diperkirakan
kepurbakalaan Patapan ini merupakan
peninggalan Megalitik karena dari bentuk
bangunannya mengingatkan kepada bentuk punden yang lazim dijumpai sebagai
tinggalan arsitektur bangunan pemuja tradisi megalitik. Secara tertulis tidak ada sumber
yang menyebut tentang Situs Patapan, namun daerah lokasi situs berada yaitu Cikande
(Kibin dulu masuk dalam wilayah kec. Cikande) pernah disebut dalam catatan Portugis.
Disebutkan oleh Tome Pires pada kunjungannya di daerah Banten tahun 1513 bahwa
Cheguede (Cikande) merupakan sebuah kota dagang pada masa Hindu di bawah
kekuasaan Pajajaran. Situs Patapan ini termasuk situs dinilai sudah ada sebelum adanya
bangunan candi karena susunan bantunya berupa punden berundak. Ini merupakan
peninggalan zaman megalitikum. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber,
batu yang dipilih kemudian diletakan atau didirikan di suatu tempat untuk mengenang
orang yang sudah meninggal. Namun, tidak jarang menhir itu pun berfungsi sebagai
simbol-simbol ekonomi si mati. Kelompok menhir, dimanapun selalu beragam
jenis.Artinya tidak ada yang berdiri tunggal, selalu ada kompleks atau secara bersama-
sama berdampingan dengan bangunan lain, seperti dekat dolmen, peti kubur batu, atau
batu altar. Situs Patapan di Kabupaten Serang Menhir dapat dijumpai Kecamatan Baros,
berdiri dalam satu kompleks. Peninggalan menhir megalitik di Cikande tampaknya lebih
muda dibandingkan dengan menhir yang ditemukan didaerah lainnya di Banten,
penduduk sekitar menyebutnya Patapan. Di situs ini, yang dijumpai semacam batu
pelinggih dan lapik atau altar. Dicurigai kepurbakalaan Situs Patapan sangat mungkin
merupakan peninggalan Hindu yang datang, patapan tetap dipakai sebagai tempat
persembahan agama Hindu.

5. Arca Nandi di Karangantu


Di Karangantu, pernah ditemukan batu Nandi. Nandi atau Nandiswara adalah lembu
yang menjadi Wahana dewa Siwa dalam mitologi Hindu.Dia juga merupakan juru kunci
Siwa dan Parvati .Candi yang mempunyai arca Nandi biasanya dikategorikan sebagai
candi untuk pemujaan agama Hindu
Siwa.Dia juga adalah guru dari 18 Master
(18 Siddha) , termasuk Patanjali dan
Thirumular. Penerapan nama Nandi ke
banteng (Sansekerta: vṛṣabha) sebenarnya
merupakan pengembangan dari abad
terakhir, karena Gouriswar Bhattacharya
telah mendokumentasikan dalam sebuah
artikel diilustrasikan berjudul "Nandin and Vṛṣabha" Nama Nandi ini sebelumnya
banyak digunakan sebagai gantinya. Untuk dewa antropomorfik yang merupakan salah
satu dari dua pintu penjaga Siwa, yang lainnya adalah Mahakala. Dalam pintu abad pra-
kesepuluh-kuil India Utara , Siwa sering diapit oleh gambar Mahakala dan Nandi, dan
dalam peran ini penjaga Shiva yang Nandi angka di Kalidasa puisi Kumārasambhava.
Arca nandi yang merupakan peninggalan kebudayaan Hindu-Budha. Arca ini
merupakan wahana atau kendaraan Dewa Siwa. Arca ini semula ditempatkan di
Pancaniti, Kabupaten Serang. Kemudian hilang dan ditemukan kembali di timur
Pelabuhan Karangantu setelah sebelumnya menjadi koleksi dari Museum Situs
Kepurbakalaan Banten lama. Arca Nandi dari Karangantu kini disimpan di Museum
Banten Lama dan dianggap dari abad ke-13 Masehi

6. Vihara Avalokitesvara

konon vihara ini sudah


dibangun sejak abad 16.
Pembangunan vihara ini juga
tidak bisa dilepaskan dari
Sunan Gunung Jati, salah satu
dari sembilan wali penyebar
agama Islam di Indonesia.
Inilah Vihara Avalokitesvara
yang terletak 15 km arah
utara dari Kota Serang,
Banten. Sejarah pembangunan vihara yang terletak di Kecamatan Kasemen, wilayah
Banten Lama ini berkaitan dengan Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama
Sunan Gunung Jati. Tokoh penyebar islam di tanah Jawa ini memiliki istri yang masih
keturunan kaisar Tiongkok bernama Putri Ong Tien. Melihat banyak pengikut putri yang
masih memegang teguh keyakinannya, Sunan Gunung Jati membangun vihara pada
tahun 1542 di wilayah Banten, tepatnya di Desa Dermayon dekat dengan Masjid Agung
Banten. Namun, pada tahun 1774 vihara dipindahkan ke Kawasan Pamarican hingga
sekarang.
Versi lain menyebutkan, vihara ini dibangun pada tahun 1652. Yaitu pada masa emas
kerajaan Banten saat dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Gerbang dengan atap
berhiaskan dua naga memperebutkan mustika sang penerang (matahari) menyambut
pengunjung di pintu masuk sebelum pengunjung masuk lebih ke dalam vihara yang
memiliki nama lain kelentang Tri Darma ini.
Sebutan Klenteng Tri Darma diberikan karena vihara ini melayani tiga kepercayaan
umat sekaligus. Yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha. Walaupun diperuntukan bagi
3 umat kepercayaan namun bagi wisatawan yang beragama lain sangat diperbolehkan
untuk berkunjung dan melihat bangunan yang saat ini termasuk dalam cagar budaya di
Provinsi Banten ini.
Vihara Avalokitesvara memiliki luas mencapai 10 hektar dengan altar Dewi kwan Im
sebagai Altar utamanya. Di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im yang berusia hampir
sama dengan bangunan vihara tersebut. Selain itu di sisi samping kanan dan kiri terdapat
patung dewa-dewa yang berjumlah 16 dan tiang batu yang berukir naga.
Kelenteng yang pernah terbakar pada tahun 2009 ini juga memiliki ukiran yang
menceritakan bagaimana kejayaan Banten Lama saat masih menjadi kota pelabuhan yang
ramai. Terletak di samping vihara, ukiran ini juga menceritakan bagaimana vihara ini
digunakan sebagai tempat berlindung saat terjadi tsunami beserta letusan Gunung
Krakatau pada tahun 1883. Walaupun pernah mengalami musibah, bentuk dan isi yang
ada di dalam vihara masih dijaga keasliannya oleh pihak pengelola. Bahkan bangunan
vihara ini masih terlihat kokoh layaknya bangunan baru dengan warna merahnya yang
khas.
menjadi ciri kebesaran Banten masalalu dan untuk membangun Banten pada
masadepan.
Arca Shiwa yang ditemukan di Panaitan sering dikatakan berbentuk statik dan
7. Gunung Pulosari
Gunung Pulosari telah lama dikenal, Gunung yang tidak terlalu tinggi tetapi
banyak menyimpan mitos dan keramatnya Kerajaan Sunda. Dalam sejarah Banten
dikatakan Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin yang diperkirakan 6-7 sebelum masehi
melakukan perjalanan dengan tujuan ke Gunung Pulosari yang menurut Sunan Gunung
Jati merupakan wilayah Brahmana Kandali. Keberadaan Gunung Pulosari yang
dipercaya sebagai salah satu gunung keramat diperkirakan telah muncul jauh sebelum
berdirinya Kerajaan Banten Girang yaitu kerajaan yang bercorak Hindu/Buddha
sebelum berdirinya Kesultanan Banten Islam. ditemukannya pulausari ini pada zaman
kerajaan Hindu-Budha di Banten. Oleh karena itu banyak terdapat Arca-arca di sekitar
Gunung Pulausari karena menurut kepercayaan warga setempat Gunungtersebut
digunakan sebagai tempat Pemujaan. Karena jauh sebelum kerajaan islam berdiri ada
kerjaan Hindu-Budha.
Menurut cerita dari warga setempat di Gunung Pulausari itu terdapat situs-situs.
Dari arah Menesh ada satu Arca yang bernama Gong-citaman dan terdapat satu lagi di
daerah Pandeglang sendiri ada salah satu Arca yang bernama Sanghyangdendek.
Sahyang Dendek ini juga digunakan sebagai tempat Pemujaan. Pada tahun 1995
ditemukan potongan kaki dari Arca-arca tersebut. Sampai sekarangpun masih banyak
bebrapa sisa-sisa peninggalan pada zaman dahulu yang masih bisa kita lihat, seperti
Arca-arca.
Situs Batu Goong Citaman berupa pundeng berundak. terdapat Menhir yang
berdiri di tengah – tengah dan dikelilingi oleh batu – batu yang berbentuk gamelan
seperti gong dan batu pelinggih membentuk formasi “temu gelang“. Situs Batu Gong
dilengkapi kolam megalitik berukuran cukup besar, yang dikenal dengan situs Gong-
Citaman. Gong-Citaman berada di sebelah barat Batu Gong jaraknya kira-kira 450 m,
dan posisinya berada lebih rendah. Di Citaman terdapat batu-batu berlubang, batu
datar, batu dakon dan batu bergore. Disamping itu di situs Batu Gong-Citaman
ditemukan pecahan keramik, diantaranya keramik Sung putih berasal dari akhir abad
ke-10 M yang paling tua, dan keramik Yuan dari abad ke-14 M yang lebih muda.
Satu hal yang menarik dan menjadi perhatian adalah bila ditarik garis lurus barat-
timur, antara Goong-Citaman dengan Sanghyangdengdek akan berakhir di puncak
Gunung Pulosari sebagai kiblat persembahan tempat roh nenek moyang sekaligus
menganggap Gunung Pulosari itu sendiri sebagai gunung keramat. Namun Gunung
Pulosari dinyatakan lebih penting ditinjau dari segi kekeramatannya. Hal ini mungkin
karena Gunung Pulosari sejak zaman prasejarah ditunjuk sebagai gunung suci tempat
para arwah leluhur. Pada tahun 1995 ditemukan potongan kaki dari Arca-arca tersebut
di sebelah barat situs Batu Goong-Citaman. Bahkan banyak yang menunjukkan di
Gunung Pulosari pada abad ke-7 atau ke-9 telah berdiri bangunan candi, khususnya
dari agama Hindu. Data atau buktinya kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta
berupa koleksi beberapa buah patung arca Hindu seperti arca Brahma, arca Siwa, arca
Agastya, arca Ganesha, arca Durga, dan lapik arca dari Gunung Pulosari.
Ketinggian Gunung Pulausari ini 1346m di atas permukaan laut. Dan di sekitar
gunung pulausari itu juga terdapat mitos-mitos tentang gunung pulausari. Dan hampir
setiap minggunya gunung pulausari ini ramai dikunjungi oleh para pendaki. Di Ginung
Pulausari juga terdapat salah satu tempat yang tidak kalah menariknya yaitu Curug
Putri dan Kawah Ratu.

Anda mungkin juga menyukai