Anda di halaman 1dari 10

Materi 5

Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Budaya di


Banten

Secara Historis Banten dikenal karena di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan Islam. Namun sebetulnya
jauh sebelum berdiri kerajaan Islam, Banten sudah memiliki kebudayaan yang cukup melimpah.
Investarisasi dan penelitian peninggalan purbakala yang dimulai sejak abad ke-19 di daerah banten ini
membuktikan akan hal tersebut. J.W.G.J Prive, seorang kontrolir Belanda pada tahun 1896 melaporkan adanya
temuan bangunan kuno di dekat desa Citorek, Bayah, yang kemudian dikenal sebagai bangunan punden
berundak "Lebak Sibedug".(Van Der Hoop, 1932 : 63 - 64).
Kemudian dalam bukunya "Rapporten van der Oudheikundingen Dienst in Nederlansch Indie" tahun 1914
menyatakan bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang,
beberapa kapak batu dari hasil penggalian arkeolog di pamarayan (Kolelet) dan patung tipe Polinesia di Tenjo
"Sanghyang Dengdek". (Djanenuderadjat, 2001 : 2).
Pendirian monumen-monumen Megalitikum dengan beragam bentuk seperti Punden Berundak, arca, menhir,
dolmen, dan batu bergores turut memperkaya budaya dan tradisi masyarakat Banten pada masa lalu. Tradisi
megalitik mulai ada sekitar 4500 Tahun ketika manusia mulai hidup menetap dengan mata pencaharian
bercocok tanam dan beternak. Sampai hari ini tradisi megalitik tersebut oleh sebagian masyarakat adat masih
ditaati dan dipatuhi secara konsisten dan berkesinambungan.
Kebudayaan Banten kemudian semakin berkembang setelah bersentuhan dengan kebudayaan luar. Pengaruh
budaya luar tersebut datang dari India yang membawa agama Hindu dan Budha.
Di samping membawa pengaruh agama Hindu dan Budha masuknya pengaruh India juga berdampak pada
sistem sosial dan pemerintahan di Nusantara, ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan. Dan salah satu
kerajaan Hindu yang pertama berdiri di Banten ialah kerajaan Banten Girang yang diperkirakan berdiri sejak
abad ke-10 sampai dengan abad ke-16.
Masuknya pengaruh Islam kemudian berdampak pada mundurnya pengaruh Hindu-Budha di Banten. Kerajaan
Banten Girang berada dibawah penguasa Islam yang kemudian mendirikan kerajaan di sekitar Teluk Banten.
Pusat kotanya dikenal dengan nama Surosowan, yang kini disebut Banten Lama. Kerajaan Islam Banten ada
sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.
Kemudian secara Historis, kota Banten Lama yang terletak 10 Kilo Meter dari Kota Serang, dahulu ramai
dikunjungi oleh kapal dan pedagang asing seperti dari Arab, Portugis, Cina, Persia, Suriah, India, Turki,
Jepang, Filipina, Inggris, Belanda, Perancis serta Demark. Selain pedagang asing, pedagang - pedagang
Nusantara seperti dari Maluku, Solor, Makassar, Sumbawa, Gresik, Juwana, dan Sumatera ikut berdagang di
Banten Lama.
Kini masa lalu Kesultanan Banten tersebut hanya menyisakan bukti-buktinya. Bukti peninggalan tersebut
antara lain berupa bekas kompleks Keraton Surosowan yang dibangun pada masa pemerintahan Maulana
Hassanudin, Mesjid Agung Banten, Kompleks Makam Raja-raja Banten dan keluarganya, Mesjid Pecinan
Tinggi, Kompleks Keraton Kaibon, Mesjid Koja, Benteng Speelwijk, Kelenteng Cina, Watu Gilang, Danau
Tasikardi, dan Makam Sultan Kenari, Jembatan Rante serta banyak lagi yang lainnya.

Selain peninggalan berbentuk bangunan, peninggalan dari Banten Lama juga berupa keramik dari Cina,
Jepang, Thailand, dan Eropa, serta mata uang dan Tembikar.
Kemudian Kerajaan Islam Banten yang berbentuk Kesultanan mengalami kemunduran seyelah masuknya
pengaruh VOC (Vereniging Oost-Indie Compagnie) yaitu perkumpulan dagang Belanda di Indonesia tahun
1602-1799) dan penjajahan kolonial Belanda. Belanda kemudian menghancurkan pusat kota kesultanan dan
memindahkan pusat pemerintahan ke Serang.
Kekuasaan Belanda pun di Banten berakhir setelah mengalami kekalahan oleh Jepang pada tahun 1942.
Banten telah mengalami proses perjalanan sejarah dan budaya paling panjang, kini merupakan salah satu
wilayah Provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama dalam perjalanannya tersebut, Banten
mewariskan peninggalan-peninggalan yang tak ternilai.

Kekayaan dari beragam pusaka budaya Banten yang tinggi nilainya itu perlu dijunjung tinggi sebagai bukti
perjalanan sejarah dan budaya yang dapat memberi sumbangan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan, sejarah dan kebudayaan melalui penggalian nilai luhur yang tercermin di dalamnya. Disamping
itu pula pusaka budaya tersebut dapat menjadi dasar dalam memupuk kepribadian dan jati diri bangsa.

Sejarah Banten, Sejak Zaman Purba Hingga Islam

Banten tidak hanya terkenal sebagai salah satu kerajaan bercorak Islam pertama di
Jawa Barat, atau sebagai pusat niaga setelah Malaka dikuasai Portugis pada 1511.
Sejarah Banten jauh lebih kaya dari itu. Dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten, para
arkeolog dan sejarawan mencatat, Banten sudah ditinggali sejak zaman purba.

Salah satu buktinya adalah ditemukannya artefak berupa alat batu di situs Cigeulis,
Pandeglang. Diperkirakan, alat-alat berupa kapak sederhana dari batu itu digunakan
untuk berburu dan mengumpulkan makanan. Selain kapak, di masa selanjutnya juga
ditemukan beliung persegi. Bentuk yang sama, masih digunakan suku asli Papua hingga
kini.

Selain itu, juga ditemukan peninggalan semasa masyarakat Banten masih menyembah
roh nenek moyang, seperti menhir. Salah satu kompleks menhir di Banten ada di sekitar
lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang. Situs bernama Sanghyang Heuleut itu
berdekatan dengan arca yang dijuluki Sanghyang Dengdek.
Banten juga terpengaruh kebudayaan yang mengambil latar agama Hindu dan Buddha.
Diduga, pengaruh ini sudah masuk ke Banten sebelum abad ke-5 dengan ditemukannya
prasasti Munjul yang berhuruf India kuno (Palawa) dengan bahasa Sansekerta. Isinya
ternyata mengatakan, daerah Munjul menjadi salah satu daerah kekuasaan Raja
Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara, Bogor.

Sejumlah arca juga turut ditemukan di sekitar Banten, seperti Ganesha, Siva, dan Durga
yang sudah tidak utuh lagi. Ada pula arca sapi atau nandi, yang dikenal sebagai wahana
atau kendaraan Wisnu, salah satu dewa dalam agama Hindu. Yang cukup unik adalah
penemuan genta pendeta asal situs Salangsari di lereng Gunung Pulosari.

Genta ini terbuat dari perunggu dengan ornamen hiasan yang kaya. Tak luput juga
disebutkan adanya situs Gua Pertapaan Banten Girang.

Barulah kemudian budaya bercorak Islam masuk di pesisir Banten dan meninggalkan
sejumlah situs megahnya. Selain Surosowan, Kaibon, dan Masjid Raya Banten, sejumlah
situs menarik lainnya yang tak jauh dari kompleks Banten Lama adalah Masjid
Kasunyatan, Masjid Pecinan, Masjid Kenari, Jembatan Rante (ini seperti Jembatan Kota
Intan di daerah Kota Tua, Jakarta), situs Danau Tasikardi, wihara Avalokitecvara, dan
benteng Speelwijk yang terkenal itu.

Banten Sebelum Islam; Ibukota Kerajaan Kuno


Sebelum Pajajaran
 

Naskah Sajarah Banten, dalam buku "Banten Sebelum Zaman islam" (Claude Guillot dkk.
1996/1997) memberi banyak petunjuk tentang sebuah ibukota kerajaan kuno yang telah
ada sebelum zaman kerajaan Pajajaran.  Petunjuk itu terlihat pada cerita tentang hal-hal
yang dilakukan oleh Hasanudin ketika datang ke Banten. Dia melakukan sejumlah
upacara di tiga gunung yakni Gunung Karang, Gunung Pulasari, dan Gunung Lancar.
Untuk nama yang terakhir peneliti sejarah menyimpulkan bahwa itu adalah nama kuno
dari Gunung Aseupan yang ada sekarang.
Hasanudin sangat memperhatikan satu gunung yakni Gunung Pulasari. Di Gunung
Pulasari itu tinggal keturunan penguasa lama yakni Brahmana Kandali.  Sajarah
Banten menceritakan bahwa Hasanudin tinggal bersama delapan ratus ajar  atau cantrik
kalau di Jawa, yang dipimpin oleh Pucuk Umun. Hasanudin tinggal dengan mereka
selama lebih dari sepuluh tahun. Para ahli menyimpulkan bahwa selama itu pula proses
konversi ke Islam terjadi di  Banten.

Ciri khas proses konversi ke Islam pada kurun transisi terlihat pada riwayat Hasanudin
yang mengharuskan para Ajar untuk tetap menempati Gunung Pulasari walaupun mereka
sudah Islam. Sebab menurut Hasanudin jika tempat itu kosong tanpa pendeta maka
tanah Jawa akan berakhir.  Kisah ini menemukan data kesejarahannya dalam penelitian
yang dilakukan oleh Rouffaer dan Ijzermann di tahun 1915. Penelitian itu menunjukkan
bahwa pada akhir abad 16 masih terdapat sebuah desa bernama Sura yang ada di kaki
Gunung Karang. Di sana tinggal sekelompok pendeta beragama Hindu yang atas izin raja
Banten, tinggal di sana. Konon mereka adalah para pendeta yang mengungsi ke barat
akibat konflik yang terjadi di Pasuruan.

Arca Bongkok

Di Desa Sanghyang Dengdek, Kecamatan Pulasari, sekarang bernama Saketi, Kabupaten


Pandeglang, terdapat satu arca  purba yang dinamakan "Sanghyang Dengdek".
Bentuknya menyerupai sosok laki-dengan bentuk kepala yang dipahat kasar menyerupai
patung zaman megalitik dalam bentuk pendek dan gemuk. Balai Arkeologi Nasional
menyebutnya sebagai batu menhir yang berbentuk manusia. Tinggi arca ini 95 cm
dengan keliling badan 120 cm dan diameter kepala 20 cm.

Nama "dengdek" menurut balai arkeologi menunjukkan bentuk bahu yang tidak datar
alias satu sisi lebih rendah.

Banyak dugaan bahwa bentuk bulat, agak pendek, tubuh tidak simetris, sangat sesuai
dengan kepercayaan orang Jawa kuno yang mengenal sosok mistik dengan ciri-ciri badan
yang mengalami deformasi. Orang Jawa mengenalnya sebagai Semar, Punta, atau
Sabdapalon. Di Gunung Pulasari ini terdapat arca "bongkok yang terpuja" dalam bentuk
batu yang agak membungkuk.

Raja Bahujaya
Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917) atau disingkat CM Pleyte adalah peneliti sejarah
sekaligus kurator Museum Royal Batavian Society of Arts and Science, yang sekarang
menjadi Museum Nasional Jakarta. Semasa hidup dia mengajar sejarah dan etnologi di
Administration School in Batavia yang letaknya juga berada di sekitar Gambir.

Pleyte mempunyai sebuah naskah tentang sejarah Banten sebelum Islam, naskah itu
bernama Wawacan Banten Girang. Para ahli memperkirakan naskah ini dibuat pada
sekitar abad 18 atau 19. Walaupun dibuat di masa yang cukup baru, naskah koleksi
Pleyste ini menunjukkan beberapa ciri kalau sumbernya berasal pada kisaran abad 16
atau 17. Naskah ini mempunyai dua bagian. Yang pertama adalah kisah tentang perang
antara Banten dengan Lampung. Sedangkan bagian kedua menceritakan dukungan
militer Banten Girang kepada kerajaan Majapahit saat menghadapi kesulitan besar.
Kedua kisah ini mempunyai keterkaitan karena tokoh yang ada di dalamnya sama yakni
Hariang Banga dan Ciung Wanara.

Raja Banten Girang bernama Bahujaya dia berperang dengan raja Lampung yang
bernama Sukarma. Dalam naskah dikisahkan raja Lampung mendapat dukungan dari
Palembang, Bangkahulu, Padang dan Batak. Sedangkan raja Bahujaya mempunyai dua
panglima yang hebat yakni Hariang Banga dan Ciung Wanara. Penelusuran De Graff dan
Pigeaud beberapa kali menyebutkan Arya Bangah yang mungkin sama dengan Hariang
Banga sebagai anak dari perempuan ratu dari Cirebon. Sedangkan Ciung Wanara
merupakan simbol kebangsawanan Sunda yang mungkin berumur lebih lama dari periode
kerajaan Banten Girang.

Banten Kuno dalam Catatan Keramik

Penggalian yang dilakukan Guillot pada paruh awal 90-an ternyata mampu
menggambarkan kronologi kerajaan kuno di hulu teluk Banten yang diperkirakan sudah
ada sejak zaman kebesaran Sriwijaya. Temuan terbanyak tembikar kuno memuncak
dalam kurun abad 12 hingga abad 14. Periode ini merupakan transisi ketika Sriwijaya
perlahan-lahan memudar kejayaan lautnya dan digantikan oleh Majapahit dari timur.

Setelah melalui berbagai metode perbandingan yang cukup rumit, para ahli
memperkirakan Banten Girang telah dihuni setidaknya sejak abad 10. Kuantitas temuan
keramik perlahan semakin banyak dan mencapai puncaknya di abad 13 dan 14.
Setidaknya ini menjelaskan tentang kemajuan ekonomi Banten Girang. Banyaknya
keramik dari Cina juga memperlihatkan kedekatan khusus Banten Girang dengan Cina
yang oleh para ahli diperkirakan tidak hanya berupa hubungan dagang tetapi juga sudah
menjadi hubungan kekerabatan. Asal-usul keramik yang ditemukan di Banten Girang
bahkan menunjukkan sumber pembuatan sejak jaman dinasti Tang, Song, dan Yuan.

Uniknya pada perkiraan umur abad 15 terjadi pengurangan jumlah keramik yang sangat
drastis. Guillot dan kawan kawan menduga bahwa itu terjadi karena penaklukan Banten
Girang oleh Pakuan. Pada masa itu lah mulai terjadi perpindahan bandar-bandar
perdagangan ke kawasan lain seperti muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum.

Ibukota Kerajaan

Sumber-sumber portugis menguatkan dugaan bahwa Banten Girang sebenarnya adalah


ibukota kerajaan tua. Gambaran Diogo Couto yang ditulis di abad 18 menjelaskan
tentang kota di tengah-tengah teluk yang amat besar, panjangnya empat ratu depa di sisi
laut dan lebih panjang lagi di sisi daratan. Di salah satu bagian kota ada benteng dengan
tembok bata setebal tujuh jengkal. Bagian atasnya terbuat dari dinding kayu dan
bertingkat dua.

Catatan Couto ternyata mampu menjelaskan mengapa sejak abad 15, telah menjadi
poros pelayaran yang sangat penting. Sumber Cina Shunfeng Xiangsong, tempat ini
dinamakan "Wan-tan" dan "shun-t'a" yang menjadi tempat pelayaran dari Aru-Banten,
Aceh-Banten, Banten-Banjar, Banten-Demak, dan Banten-Timor. Sumber arab di akhir
abad 15 yang ditulis Sulaiman al Mahri menjelaskan tentang pelabuhan di dekat "Djebel
Sunda" atau Gunung Gende.

Satu hal lagi yang menguatkan kondisi Banten Girang sebagai ibukota kerajaan adalah
adanya jejak Sungai Cibanten sebagai sungai besar yang dulunya bisa dilayari kapal-kapal
dagang. Sebuah peta Banten bertahun 1635 menjelaskan tentang sungai Cibanten
lengkap dengan dua jalan penghubung ke ibukota kerajaan di kiri dan kanannya. Catatan
orang Denmark tahun 1637 memperlihatkan kalau dia masih bisa menggunakan perahu
dari Banten menuju Serang. Jalan di sebelah kiri kanan sungai Cibanten menurut
penduduk sekitar dinamakan "jalan sultan" yang menyusuri sungai menuju tiga gunung
api. 
Sejarah Singkat Terbentuknya Kerajaan Banten Bercorak Islam di
Indonesia

 
Sebelum Banten berdiri sebagai kerajaan, wiiayah ini termasuk bagian
Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang
berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat
pemerintahan kadipaten di Banten Girang. Adapun daerah Surasowan
hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan.

Menurut berita dari Joao de Barros (1616), musafir Portugis, di antara


pelabuhan yang tersebar di wiiayah Pajajaran, Sunda Kelapa dan
Banten merupakan dua pelabuhan terbesar yang sering dikunjungi para
saudagar dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dana
hasil negeri lainnya diekspor.
Pada tahun 1526, gabungan pasukan Demak dan Cirebon tidak banyak
mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Bahkan, ada yang
menyebutkan, Prabu Pucuk Umum menyerahkan Banten dengan
sukarela. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten
pun dipindahkan ke Surasowan. Pemindahan pusat pemerintahan ini
dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir melalui Selat
Sunda dan Selat Malaka. Hal ini berkaitan pula dengan situasi Asia
Tenggara kala itu. Perlu diingat, Malaka telah dikuasai Portugis
sehingga pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis
mengalihkan rute niaga ke Selat Sunda. Sejak itu, Pelabuhan Banten
makin ramai
Setelah Banten berhasil dikuasai, Fatahillah untuk sementara waktu
berkuasa di wilayah tersebut. Fatahillah memiliki dua orang putra, yaitu
Pangeran Pasarean dan Pangeran Sabakinkin (Hasanuddin). Pangeran
Paseran oleh Fatahillah diberi daerah kekuasaan di Cirebon, Pada tahun
1552 M Pangeran Pasarean wafat sehingga Fatahillah menyerahkan
Banten kepada putranya Hasanuddin. Fatahillah sendiri lebih memilih
hidup di Cirebon. la pun tidak berkuasa lama dan lebih senang
menyebarkan agama Islam, dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati.
Di bawah pemerintahan Hasanuddin (1552-1570 M), Banten cepat
berkembang menjadi besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung,
Bengkulu, dan Palembang. Hasanudin berputra dua orang. Putra
sulungnya bernama Maulana Yusuf dan putra bungsunya Pangeran
Jepara (karena menikah dengan putri Ratu Kalinyamat penguasa 1
Jepara).
Pada tahun 1570 Hasanuddin meninggal dan takhtanya digantikan oleh
Maulana Yusuf. Ketika Maulana Yusuf meninggal takhtanya seharusnya
diserahkan kepada putra mahkota yang masih kecil, yaitu Maulana
Muhammad. Namun, hal ini tidak disetujui Pangeran Jepara. Ia merasa
lebih berkuasa atas Kerajaan Banten daripada keponakannya.
Akhirnya, Kerajaan Jepara menyerang Kasultanan Banten, namun dapat
dikalahkan. Maulana Muhammad naik takhta dengan gelar Kanjeng
Ratu Banten Sorosowan atau Pangeran Ratu ing Banten (1580-1596).
Pada tahun 1596 takhta Banten dipegang oleh Abdul Mufakir Mahmud
Abdul Kadir yang masih balita. Seteiah dewasa ia menjalin hubungan
diplomatik dengan Mekkah yang memberinya gelar “sultan” dengan
nama Arab “Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir”.
Raja terbesar di Banten ialah Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng
Tirtayasa (1651- I 1682). Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Banten
mencapai kejayaan. Ia merupakan raja terbesar Banten. Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan, sehingga 1 Bandar Banten
berkembang menjadi bandar internasional yang dikunjungi oleh kapal-
kapal Persia, Arab, Cina, Inggris, Perancis dan Denmark. Akan tetapi,
Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti-VOC yang telah merebut Jayakarta
dari Banten. Belanda pun selalu berupaya menjatuhkan Banten. Ketika
terjadi perselisihan Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Abdul
Kahar yang dikenal sebagai Sultan Haji, Belanda mengambil
kesempatan untuk melancarkan politik adu domba (devide et impera).
Kesempatan itu datang ketika Sultan Haji dalam keadaan terdesak, la
meminta bantuan VOC. Akhirnya pada tahun 1682 Sultan Ageng
Tirtayasa menyerah, lalu ditawan di Batavia sampai wafatnya tahun
1692. Setelah itu, Kerajaan Banten terus mengalami kemunduran dan
akhirnya dikuasai sepenuhnya oleh Belanda pada tahun 1775.

BAGAIMANA PROSES MASUKNYA ISLAM DI KERAJAAN BANTEN?


DAN PADA SAAT KEPEMIMPINAN SIAPA ISLAM MULAI MASUK DI
KERAJAAN BANTEN?

Berdirinya kesultanan Banten diawali ketika kesultanan Demak memperluas


pengaruhnya ke jawa barat.

Pada tahun 1524, Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatullah bersama
pasukan Demak menaklukkan penguasa Banten, dan mendirikan kesultanan
Banten yang berada di bawah pengaruh Demak.

Kota Banten terletak di pesisir Selat Sunda, dan merupakan pintu gerbang
yang menghubungkan Sumatra dan Jawa. Posisi Banten yang sangat
strategis ini menarik perhatian Demak untuk menguasainya. Di tahun 1525 –
1526 pasukan Demak bersama Sunan Gunung Jati berhasil menguasai
Banten.
Sebelum Banten berdiri sebagai kesultanan, wilayah ini termasuk bagian
kerajaan Pajajaran yang beragama hindu. Pada awal abad ke – 16, yang
berkuasa di banten adala prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahan
kadipaten di Banten Girang.
Adapun daerah Surasowan hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan. Menurut
berita Joao De Barros (1616), wartawan Portugis, di antara pelabuhan yang
tersebar di wilayah pajajaran, pelabuhan sunda Kelapa dan Banten
merupakan dua pelabuhan terbesar yang dikunjungi para saudagar dalam
dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dana hasil negeri lainnya
diekspor.

Pada masa lalu, Banten adalah semacam kota metropolitan. Ia menjadi pusat
perkembangan pemerintahan kesultanan Banten, yang sempat mengalami
masa keemasan selama kurang lebih tiga abad.

Menurut Babad Pajajaran, masuknya islam di Banten dimulai ketika Prabu


Siliwangi sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk mencari
tahu tentang arti itu, ia mengutus Kian Santang, penasehat kerajaan
Pajajaran yang mengatakan bahwa cahaya di atas Banten adalah cahaya
Islam.

Kian Santang pun memeluk islam dan kembali ke Pajajaran untuk


mengislamkan masyarakat. Upaya Kian Santang hanya berhasil untuk
beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya,
Pajajaran menjadi berantakan

Anda mungkin juga menyukai