Anda di halaman 1dari 43

MATERI

STUDI KEBANTENAN
(Hasuri Waseh Ramil)

BAGIAN 1 : SEJARAH KEBUDAYAAN BANTEN (2 Pertemun)

BAGIAN 2 : MASA LALU BANTEN (BANTEN GIRANG) (2 Pert.)

BAGIAN 3 : RIWAYAT KESULTANAN BANTEN (3 Pertemuan)

BAGIAN 4 : SILSILAH KESULTANAN BANTEN (1 Pertemuan)

BAGIAN 5 : PEMERINTAHAN KESULTANAN BANTEN (4 Pert.)

BAGIAN 6 : PENINGGALAN KERAJAAN BANTEN (2 Pertemua)

Ketentuan Perkuliahan :
1. Diskusi Kelas : 40 %
2. UTS : 25 %
3. UAS : 35 %
4. ABSENSI : 90 %

Pustaka :

1. Catatan Masa Lalu Banten, Halwany Michrob, 1993


2. Sejarah Banten, Yoseph Iskandar,2001
3. Ragam Pusaka Budaya Banten, Balai Pelestarian Budaya, 2005
4. Mesjid Agung Banten, juhadi, 2007
5. Wisata Budaya Banten, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten,
2014
BAGIAN 1

SEJARAH KEBUDAYAAN BANTEN

Banten memiliki sejarah kebudayaan yang cukup tua dari


masa Pra-Sejarah, masa Hindu dan Budha, masa kesultanan
Islam, masa kejayaan, masa kebertuanan Belanda, masa
kehancuran kesultanan, masa kolonial belanda dan Jepang,
masa kemerdekaan dan masa terbentuknya menjadi Provinsi .

1. Masa Pra-Sejarah (abad 10 - 1SM)


Kebudayaan Banten tidak setua kebudayaan lembah Indus,
Mohenjodaro, dan Harappa di India, atau kebudaayaan
Mesir Kuno atau kebudayaan Inka dan Aztek di Amerika
Latin, namun kehidupan prasejarah dari umur geologi tertua
daapat diidentifikasi. Ditemukannya sejumlah peralatan
batu di situs Odel, Anyer Kidul oleh arkeolog Belanda di
awal abad ke-XX yang mengindikasi keberadaan orang
purba di Banten. Orang Banten tinggal dalam kelompok-
kelompok kecil disekitar lereng-lereng pegunungan subur
disekitar sungai-sungai kecil, sebagai bukti sejarah
pemujaannya pada Dewi Sri atau Sanghyang Pohaci yang
pusat upacaranya di Lebak Sibedug, Citaman dan
Cihunjuran, Sanghyang Dengdek dan lain-lain.

2. Masa Hindu Budha (abad 1 - 16 M)


Pada masa ini struktur kebuadayaan Banten berubah
perlahan, status sosial tampak sejak dikenalkannya konsep
kerajaan bercorak Hindu yang mengenal kasta. Era ini
sejak masa ekspansi kerajaan Tarumanagara sampai era
kerajaan Banten Girang (abad 10 – 16 M). Gunung pulosari
pada masa itu dianggap sebagai gunung keramat, sejumlah
arca Hindu, batu tapak kaki dan batu pipisan yang
ditemukan sejumlah tempat di sekitar lereng gunung ini
menunjukkan keberadaan masyarakat dengan sistem
kepercayaan Hindu.

3. Masa Kesultanan Islam (1529-1808)


Kesultanan Banten berawal dari kendali kerajaan Demak
atas perairan utara dan barat Jawa serta Sumatera Selatan,
kemudian dikuti dengan pengangkatan Sultan Maulana
Hasanuddin oleh Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Banten
pada tahun 1529 yang kemudian melakukan penaklukan
Kerajaan Banten Girang. Kekuasaan Sultan Maulana
Hasanuddin yang ahli strategi militer dan dagang ini mampu
melakukan penaklukan pusat keraajaan Sunda di Pajajaran
(Bogor).
Watu Gilang yang digunakan sebagai tempat pelantikan
Sultan Banten pertama, Istana Surosowan, jaringan jalan
darat antara Banten Lama dan Banten Girang sepanjang
tanggul Cibanten adalah tapak jejak sejarah Sultan
Maulana Hasanuddin dan juga disebut-sebut melakukan
perjalanan dari muara Cibanten ke Gunung Pulosari.

4. Masa Kejayaan (1618 - 1683)


Kesultanan Banten mengalami era keemasan, berlangsung
antara 1619-1682 akibat dari penerapan kebijakan ekonomi
politik lada yang tepat. Kesultanan Banten menjadi salah
satu eksportir komoditas paling berharga saat itu lada yang
menguasai pasar Eropa, Cina dan Timur Tengah. Dan pada
saat itu tumbuh menjadi satu dari tiga kekuatan seimbang
di laut Jawa, bersaing dengan Mataram dan VOC.
Kemampuan finansial yang kuat memungkinkan Sultan
Banten membangun armada laut sehingga mampu
menjebol blokade laut oleh Belanda, membiayai proyek-
proyek besar seperti proyek irigasi dengan membendung
sungai-sungai, membuka lahan persawahan baru dan
transmigrasi penduduk Banten ke DAS Cisadane,
Cipasilian, Cidurian dan Ciujung, kemudian pembangunan
keraton Tirtayasa.
Pada masa itu kemegahan istana Surosowan dikenal di
Nusantara dan membayangi imajinasi para penyair Eropa.
Tata kota yang rapih dengan jaringan kanal yang teratur
dan indah, terhubung dengan jalan-jalan di perkotaan.
Dengan demikian, para pedagang dari berbagai belahan
dunia tinggal dengan nyaman di loji-loji dagang mereka.
Dinamika kehidupan saat itu mendorong terciptanya
spesialisai pekerjaan, pemberlakuan sistem peradilan yang
mumpuni, penerapan bea cukai yang ketat di pabean.
Kesultanan Banten tetap menjadi salah satu pusat
pendidikan Islam terdepan di Asia Tenggara.

5. Masa Kebertuanan Belanda (1684 - 1808)


Diawali dengan berakhirnya kedaulatan ekonomi dan politik
Kesultanan Banten dengan ditandatanganinya ‘traktat lada’
sebagi kompensasi bantuan VOC kepada Sultan Haji, pada
peperangan melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Monopoli kesultanan atas harga lada yang memberi income
40% dari setiap penjualan lada doi pelabuhan Banten
berakhir setelah itu berdampak secara politik. Sultan tidak
lagi berdaulat penuh atas tata kelola pemerintahan dan
perdagangan di wilayah kekuasaannya. Suksesi
kepemimpinan selalu ditentukan oleh VOC. Monopoli
perdagangan lada berada dalam genggaman penuh VOC.
Masyarakat Banten berhadapan dengan benturan nilai
antara Islam lokal dan Barat, sebagai dampak perubahan
ekonomi politik yang dipromosikan kekuatan VOC. Dampak
dari semua itu muncullah perlawanan yang pimpin oleh
Tubagus Buang yang menentang rezin Syarifah Fatimah
yang ambisius, pemberontakan Ki Tapa yang ingin
mengembalikan harkat dan martabat jati diri Kesultanan.

6. Masa kehancuran Kesultanan (1808-1832)


Kedatangan H.M. Daendels yang diutus oleh Napoleon
Bonaparte untuk menguasai Pulau Jawa agar tidak jatuh ke
tangan kolonoial Inggris. Pada tanggal 1 Januari 1808 di
Anyer merupakan titik balik dalam sejarah kesultanan
Banten yang dianggap batu sandungan karena menolak
berkooperasi untuk membangun pelabuhan di Ujung Kulon.
Pada tanggal 21 November 1808 Deandels mengeluarkan
surat keputusan untuk menghancurkan kesultanan Banten.
Para sultan dan keluarganya yang tidak mengikuti
ditangkap, sebagian dibunuh, dan sebagian lainnya
diasingkan ke pulau yang sangat jauh di Nusantara.

7. Masa Pemerintahan Kolonial (1808-1945)


Penghapusan kesultanan oleh kolonial Belanda merupakan
fase penting dalam sejarah kebudayaan Banten. Kota
Surosowan, sebagai ibukota kesultanan Banten menjadi
kota mati, bangunan-bangunan bekas istana Sultan
dihancurkan. Penduduknya dipindahkan diberbagai tempat
di Nusantara. Kemudian pemerintahan kolonial menetpkan
Serang sebagai ibukota Residensi Banten. Serang yang
dulu areal persawahan paling subur yang dibangun oleh
Maulana Yusuf disulap menjadi ibukota Banten modern
yang ditandai dengan bangunan bergaya Eropa.
Akibat runtuhnya kesultanan Banten, orang Banten mencari
referensi nilainya langsung ke pusat suci Islam di Mekah,
disamping untuk ritual ibadah haji dan dilanjutkan untuk
pendalaman agama demi memperoleh semangat baru
untuk melawan kesewenangan. Dampaknya bermunculan
pesantren dipelosok desa, pusat pendidikan sekaligus
memupuk semangat mengusir penjajah. Krakatau meletus,
petani memberontak, perlawanan fisik diberbagai tempat.
Peristiwa Cikande Udik (1836), Ki Wakhia Cilegon (1850),
Geger Cilegon (1888) dan pemberontakan Labuan Menes
(1926) adalah bentuk pengejawantahan oposisi terhadap
rejim asing.

8. Masa Kemerdekaan (1945-1999)


Pergantian rejim berdampak pada pergantian seluruh
jajaran birokrasi pemerintahan. Kaum ulama yang
sebelumnya berperan sebagai pengajar santri di pesantren-
pesantren diangkat menjadi residen, bupati, wedana dan
camat. Semangat baru untuk kembali mengembalikan
Banten kepada jati dirinya seperti masa kesultanan
mendorong ulama untuk mengambil alih kepemimpinan
tidak hanya di birokrasi pemerintahan tetapi juga di
pertahanan dan keamanan.

9. Masa Banten menjadi Provinsi (2000 - Sekarang)


Mayarakat Banten bersemangat menyambut kemenangan
rakyat mengawali era reformasi dan memunculkan ide
membangun provinsi sendiri untuk wilayah Keresidenan
Banten. Bersatunya seluruh elemen masyarakat Banten
untuk memperjuangkan berdirinya Provinsi Banten melalui
berbagai cara :propaganda, jalur akademis, jalur politik dan
lain-lain.
BAGIAN 2

BANTEN GIRANG
Pada awalnya sejarah Banten Girang merupakan Kerajaan
Sunda, sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan di Jawa Barat.
Banten Girang merupakan awal kerajaan Banten yang
sebelumnya mendapat kebesaran nama pada saat itu
Kerajaan Sunda Wahanten. Pendiri kerajaan Wahanten
adalah Prabu Jaya Bupati yang disebut juga Prabu Saka
Domas, yang bermaksud untuk memulihkan kerajaan-
kerajaan yang telah hancur dimasa silam.

Kerajaan Sunda Wahanten


Prabu Jaya Bupati mendirikan kerajaan Wahanten di Banten
Girang pada tahun 932-1016. Pada saat itu kerajaan subur
makmur, sehingga dapat menjamin hubungan dengan
kerajaan di Jawa. Salah satu hubungan yang sangat erat
dengan Raja Prabu Darma Wangsa dan dilanjutkan hubungan
dengan Raja Erlangga pada tahun 990-1016.
Prabu Jaya Bupati sebagai penguasa di Kerajaan Sunda
(Wahanten) yang berkedudukan di Banten Girang sering
mendapat gangguan keamanan yang mengancam
keselamatan Raja Sunda (Wahanten) dan rakyatnya.
Ancaman itu datang dari Kerajaan Sriwijaya (Prabu Balaputra
Dewa) yang ingin menguasai Kerajaan Sunda (Wahanten)
yang merupakan sekutu dari kerajaan Jawa Prabu Darma
Wangsa, dengan maksud balas dendam, karena sebelumnya
Prabu Darmawangsa telah menyerang Sriwijaya.
Kerajaan Sunda (Wahanten) yang sudah dikuasai oleh
kerajaan Sriwijaya, Prabu Jaya Bupati yang sayang akan
keselamatan rakyatnya memutuskan untuk mengungsi
kepedalaman pegunungan selatan dengan mendirikan
kerajaan kecil di daerah Cicatih Sukabumi. Dengan
pengungsian tersebut, kekuasaan Prabu Bala Putra Dewa
Sriwijaya mengausai Wahanten 1016 sampai tahun 1030

Banten Girang Tahap II (Babad Banten)


Pada awalnya anak cucu dari keturunan kerajaan Pajajaran
dengan kerajaan Galuh Pakuan yang bernama Prabu Jaya
Dewata (Prabu Pucuk Umun) dan Masjong dan Agus Ju
mendirikan kerajaan Sunda (Banten) di Banten Girang, yang
dahulu bekas kerajaan Sunda yang bernama (Wahanten)
yang ditinggalkan Prabu Jaya Bupati pada tahun 1030.
Selanjutnya Prabu Jaya Dewata menjadi penguasa di
kerajaan Sunda Banten pada tahun 1480, perkembangannya
semakin rapai dikunjungi oleh para pedagang lokal maupun
saudagar dari Cina. Kemudian lama kelamaan kendala yang
dihadapi oleh pembawa barang para saudagar dari negeri
Cina adalah perahu layar di sungai Cibanten semakin kandas,
disebabkan oleh menurunnya debit air.
Prabu Jaya Dewata (oleh orang Jawa Banten disebut Prabu
Pucuk Umun) kepada para punggawa dan rakyatnya
didampingi oleh dua pemuda gagah dan berani yang bernama
Ajar Jong dan Ajar Ju untuk membangun pelabuhan perahu
layar di daerah Kelapa Dua terusan sungai Cibanten tepatnya
di sebelah utara Kota Serang. Pelabuhan pada masa itu
dinamakan pelabuhan Teluk Banten yang dilengkapi sarana
jalan darat melalui daerah Kelapa Dua, Lontar, Kaloran
Penah, Kaujon Kidul, Kalunjukan dan berakhir di Banten
Girang. Perkembangan semakin pesat, sehingga tahun
berikutnya kota Sunda Banten (Banten Girang) berhasil
diperluas, pada bagian sebelah timur berhasil membangun
GUHA untuk digunakan tempat penahanan bagi orang-orang
melanggar peraturan hukum di kerajaan Sunda Banten,
disebelah selatan berhasil memperluas bangunan keraton
Banten Girang, sebelah barat berhasil membangun kolam
penampungan air untuk keperluan orang-orang di Keraton
Situs ini yang dinamakan Kolam Sipadaringan, termasuk
parit-parit Benteng Keraton dengan dilengkapi menara
pengintai, sehingga kerajaan Sunda Banten mengalami
kemajuan.

Kondisi seterusnya, suatu saat Ajar Jong sebagai Patih


kerajaan Sunda Banten melihat saudaranya Ajar Ju yang
cukup lama mengabdi yang pada saat itu ditugasi sebagai
penjaga pintu gerbang kerajaan, mengusulkan untuk diangkat
setara kedudukannya sebagai Tumenggung, tetapi usulan itu
mendapat hambatan dari pihak keluarga Raja. Kemudian
anggapan Ajar Jong bahwa Prabu Jawa Dewata berbuat tidak
adil kepada Ajar Ju, sehingga merasa gelisah dan sakit hati
kemudian meninggalkan kerajaan tersebut menuju arah timur
dan sampailah di kerajaan Demak.

Ajar Jong mengabdi kepada Raja Demak (Sultan Trenggono),


pada saat itu telah mengadakan pesta pernikahan adik
perempuan Sultan Trenggono dengan Faletehan (Fatahilah)
yang memiliki keahlian dibidang Agama Islam dan Bela Diri.
Kemudian Ajar Jong dan Fatahilah hubungan makin akrab,
selanjutnya Ajar Jong mendalami ilmu Agama Islam.
Pada suatu saat Sultan Trenggono memerintahkan kepada
Fatahilah untuk menyerang dan meng Islamkan Sunda
Pajajaran Banten, ialah di Banten Girang, kemudia
berangkatlah berdua dilengkapi pasukan perang kerajaan
Demak. Dikerajaan Sunda Banten setelah ditinggalkan oleh
Ajar Jong rupanya ada tanda-tanda akan mengalami
kemunduran, disamping pihak kerabat tidak profesional dan
juga adanya air laut yang semakin menurun dan tidak bisa lagi
disandari perahu lagi, Prabu Jaya Dewata sebagai pemeluk
agama Huindu sering meninggalkan singgasana kerajaan dan
melakukan bertapa di Gunung Kaesala (Gunung Pulosari)
Pandegklang untuk mendapat petunjuk dari Tuhannya dengan
harapan kerajaan Sunda Banten pulih kembali. Ketika datang
pasukan Fatahilah bersama saudaranya Ajar Jong setelah
menerangkan kepada Ajar Ju mempersilahkan untuk
memasuki Istana kerajaan Sunda Banten. Setelah Fatahilah
memduduki kerajaan Sunda Banten Prabu Jaya Dewata
mendengar dan memerintahkan untuk mematai matai maka
dengan geramnya mengancam akan membunuhnya, segera
turun dari gunung menuju Banten Girang didalam perjalanan
berhenti di daerah Mandeg dan mempersiapkan penyerangan
dan didengan oleh Fatahillah, maka diserang dahuluan
kemudian Prabu Jaya Dewata meninggal Mandeg menuju ke
selatan didaeran Cikertawana (Baduy).
BAGIAN 3

RIWAYAT KESULTANAN BANTEN

A. Pendahuluan
Sultan Maulana Hasanuddin sebagai Raja/Sultan pertama
di kerajaan Banten sebagai cucu dari raja Syarif Abdullah
(Kerajaan Mesir) dari pihak bapak dan sebagai cucu dari
Prabu Siliwangi (Dewata Wisesa) sebagai Raja Galuh
Pakuan/Pajajaran dari pihak ibu.
Pada kenyataannya sebelum Sultan Maulana Hasanuddin
ditugaskan oleh Ayahandanya Syarif Hidayatullah untuk
mengembangkan Islam di Banten, pada saat itu Banten
dipimpin oleh Raja Saka Domas (Pucuk Umun) dibantu
oleh Mahapatihnya Ajar Jong dan Ajar Jo sebagai pemeluk
Animisme.
Strategi Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Banten
lainnya dalam mengembangkan agama Islam pada waktu
itu dengan cara adu kekuatan dan penampilan ketangkasan
serta kreatifitas yang dikemas dalam wujud kesenian
debus.
Kejayaan kerajaan Banten pada waktu itu adalah satu
satunya Kerajaan Islam di Indonesia yang mempunyai
hubungan diplomatik dengan Kerajaan luar negeri (Inggris).

B. Raja Sri Baduga/Prabu Siliwangi/Dewata Wisesa


Raja Sri Baduga bertahta antara tahun 1482 – 1521
memerintah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) dan pada
tahun 1422 menikah dengan Nyi Mas Subang Larang/Nyi
Mas Subang Keranjang (yang lahir tahun 1404 dan wafat
1441).
Nyi Mas Subang Larang adalah putri dari Mangkubumi
kerajaan kecil Singapura Martasina Cirebon. Dijumpai pada
waktu sedang dipesantren Quro di Karawang yang dipimpin
oleh Syekh Hasanuddin dari Cempa/Kamboja putra Syekh
Yusuf Siddiq Guru Besar Agama Islam Cempa, keturunan
dari Syekh Zainal Abiddin keterunan Nabi Muhammad
SAW. Setelah sepekan sang Prabu di Karawang Putri
Subang Larang dibawa oleh prabu untuk menjadi
permaisuri.
Sebelum itu, Nyi Subang Larang menerima lamaran sang
Prabu dengan satu syarat , agar beliau diberikan mas kawin
berupa kalung bintang kerti, tentu yang dimaksud tasbih
yang mana di dalamnya sudah mengandung Islam,
sehingga akhirnya sang Prabu menjadi Islam dengan tidak
merasa tersinggung perasaannya.
Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Mas Subang
Larang dikaruniai 3 (tiga) orang anak, yaitu :
1. Pangeran Walang Sungsang (lahir tahun 1423).
2. Ratu Rara Santang (lahir tahun 1427).
3. Kian Santang/Raja Sengara (lahir tahun 1429).
Sejak kecil ketiga anak itu oleh Nyi Mas Subang Larang di
didik ilmu agama Islam. Setelah pangeran Walang
Sungsang dan Ratu Rara Santang agak dewasa mereka
diperintahkan oleh ibunya agar berangkat ke pesantren
Karawang yang bernama pesantren Quro, dimana tempat
tersebut adalah pesantren ibunya pada waktu itu.
Diceritakan bahwa setelah anak-anaknya dewasa, Prabu
Siliwangi akhirnya keluar dari agama Islam kemudian ia
kembali kepada agamanya semula. Prabu Siliwangi
sebagai Raja Pajajaran menghilang tanpa bekas (sirna)
dengan Cendra Sengkala.

Pangeran Walang Sungsang, ketika usia dewasa


diperkirakan usia lebih dari 17 tahun, ibunya meninggal
dunia, kemudian meninggalkan istana dengan tujuan untuk
mencari agama islam yang hakiki, berjalan masuk hutan
keluar hutan naik gunung turun gunung dan yang pertama
disinggahi adalah gunung merapi. Setelah itu, Pangeran
Walang Sungsang bertemu dengan Sanghiang Danuarsi
(Pendeta Agama Sanghiang Buddha) serta beliau
dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyi Indang
Geulis/Nyi Indang Ayu pada tahun 1442. Dari perkawinan
tersebut dikaruniai anak yang bernama Putri Mas Pakung
Wati (lahir 1446). Ditempat itu pula bertemu dengan
adiknya Ratu Rara santang yang pergi sepengetahuan
ayahnya.
Setelah bercerita segala maksud dan tujuan kepada
pendeta, disarankan bertiga untuk menemui Shang Hiang
Naga yg berada digunung Ciangkup dan kemudian disuruh
datang ketempatnya di gunung kumbang. Sesampainya
disana diperintahkan bertemu Ratu Bangau wilayah
Cirebon, selanjutnya mendapat petunjuk untuk berangkat
ke gunung djati untuk menemui Syekh Nurjati.
Setelah belajar kurang lebih 3 tahun kepada syekh Nurjati,
akhirnya diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Selama di tanah Arab terjadi peristiwa penting bagi
Walang Sungsang, yaitu perkawinan adiknya Ratu Rara
santang dengan bangsawan Arab, yaitu Maulana
Muhammad bergelar Syarif Abdullah dari suku Bani Hasyim
putra Nurul Alim yang memerintah kota islamiyah di wilayah
Palestina/Bani Israil.

Syarif Abdullah adalah anak dari Ali Nurul Alim bin


Jamaluddin Al Husein keturunan ke 19 Nabi Muhammad
SAW.
Dari pernikahan antara sultan Syarif Abdullah dengan Ratu
Rara Santang dikarunia 2 orang putra, yaitu :
1. Syarif Hidayatullah (lahir pada tahun 1448)
2. Syarif Nurullah (lahir pada tahun 1450)
Kemudian Syarif Abdullah wafat pada tahun 1450,
sementara digantikan oleh mangkubuminya yang bernama
Unka Jatra sebagai pejabat Sultan Mesir.

C. Syaraif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah dilahirkan di Mesir pada tahun 1448 dan
wafat tahun 1568 di Gunung Djati Cirebon.Pada tahun 1470
(mencapai sekitar umur 20 tahun) pergi ibadah haji dan
bermukim di Mekah, belajar agama Islam pada syekh
Attaulahi Sajali ulama di Mekah, terus pergi ke Bagdad
belajar ilmu Tasauf. Setelah kembali ke Mesir oleh Unka
Jatra pejabat Sultan diserahi Mahkota Sultan tapi
menolaknya dan diserahkan ke adiknya yaitu Syarif
Nurullah yang akhirnya dinobatkan menjadi Sultan.
Syarif Hidayatullah adalah seorang yang berjiwa besar,
bercita cita tinggi dan berilmu pengetahuan yang luas,
kemudian berniat untuk pergi meninggalkan Mesir dengan
maksud untuk mengembangkan agama islam di tanah
jawa, kemudian ibunya merestui dan berdo’a :
1. Semoga Allah menjadikan kamu seperti matahari, tidak
ada pilihan semuanya harus disinari.
2. Semoga Allah menjadikan ketabahan hatimu seperti
gunung, walaupun yang datang itu adalah angin topan
dan halilintar tetapi tidak berubah.
3. Semoga Allah menjadikan kebesaran hatimu seperti
luasnya laut.
Syarif Hidayatullah cenderung untuk menjalankan syiar
islam beliau berangkat ke Jawa Barat, mampir di Gujarat,
Pasai, Aceh, mengunjungi guru besarnya di
Blambangan/Jawa Timur belajar agama Islam. Dari Aceh
terus ke Banten, selanjutnya ke Cirebon dalam perjalanan
mengislamkan 98 orang diantaranya Dipati Keling beserta
rombongannya. Di Cirebon diterima oleh Syekh Nurjati dan
dibuatkan sebuah rumah di Sembung dan diberi gelar
Maulana Jati.
Waktu berda’wah di Babadan Cirebon Syarif Hidayatullah
mengislamkan ki Gedheng Babadan dan menikah dengan
putrinya Nhay Babadan pada tahun 1471, tidak dikaruniai
anak dan wafat pada tahun 1477.
Pada tahun 1471 Syarif Hidayatullah muhibah ke Peking
Cina menghadap kepada Kaisar Cina bernama Hong Gie
putra Yung Lo waktu Dinasti Ming (tahun 1368 - 1642) yang
dibantu oleh Jendral Ceheng Ho dan sekretarisnya dari
kerajaan bernama Ma Huan beserta Fhei Hsin yang
menganut agama Islam. Di Istana bertemu putri Ong Tien
dan saling mencintai, tetapi hubungannya tidak disetujui
oleh Kaisar sehingga Syarif Hidayatullah harus pelang ke
Cirebon di Keraton Pakungwati.
Selanjutnya dengan Uwanya Pangeran Walang
Sungsang/Cakrabuana berda’wah ke Kawung Anten
Banten, Ki Gedheng Kawung Anten beserta rakyatnya pada
masuk Islam dan putrinya yang bernama Nhay Ratu
Kawung Anten dinikahi oleh Syarif Hidayatullah pada tahun
1475 kemudian pulang ke Cirebon. Dari pernikan ini
memperoleh 2 orang anak, yaitu :
1. Ratu Winahon lahir 1477 (nikah dengan Sunan Kali
Jaga).
2. Pangeran Seba Kinking/Hasanuddin lahir 1479, diangkat
menjadi Bupati Banteng di Banten pada tahun 1526 dan
menjadi Sultan Banten yang pertama berdaulat penuh
pada tahun 1569.
BAGIAN 4

SILSILAH SULTAN BANTEN

A. Nama-nama Raja yang duduk dalam tahta kerajaan


I. Syarif Hidayatullah/Susuhunan Gunung Djati, tahun
1527
II. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan, tahun
1552
III. Maulana Yusuf Panembahan Pekalangan, tahun 1570
IV. Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten, tahun
1580
V. Sultan Abulmafakhirn Muhammad Abdulqadir , tahun
1596-1605
VI. Sultan Abdul Ma’ali Ahmad, tahun 1640
VII. Sultan Ageng Tirtayasa/Abul Fath Abul Fattah, tahun
1651
VIII. Sultan Haji/Abunasr Abdulkahar/maulana
Mansuruddin, tahun 1672
IX. Sultan Abdulfadhal, tahun 1687
X. Sultan Abulmahasin Zainul Abidin, tahun 1690
XI. Sultan Muhammad Syifa’u Zainul Arifin, tahun 1733
XII. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil, tahun 1750
XIII. Sultan Muhammad Wasi Zainul Alimin, 1752
XIV. Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin, tahun 1753
XV. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin, tahun 1773
XVI. Sultan Muhammad Muhyiddin Zainussolihin, tahun
1779
XVII. Sultan Muhammad Ishak Zainul Muttaqin, tahun 1801
XVIII Sultan Wakil Pangeran Natawijaya, tahun 1803
XIX. Sultan Muhammad Agiluddin/Aliyyudin II, tahun 1803
XX. Sultan Wakil Pangeran Suramenggala, tahun 1808
XXI. Sultan Muhammad Shafiyuddin, tahun 1809
XXII. Sultan Muhammad Rafi’uddin, tahun 1813

B. Daftar silsilah kesultanan Banten


I. Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Djati
Tahun 1527, berputra :
1. Ratu Ayu Pambayun
2. Pangeran Pasarean
3. Pangeran Jayalalana
4. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan
5. Pangeran Berata Kelana
6. Ratu Winohon
7. Pangeran Turusmi

II. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan


(1552-1570), berputra :
1. Ratu Pembayun fathimah
2. Maulana Yusuf/Panembahan Pekalangan
3. Pangeran Arya Japara
4. Pangeran Sunyararas
5. Pangeran Pajajaran
6. Pangeran Pringgalaya
7. Pangeran Sabrang Lor
8. Ratu Keben
9. Ratu Terpenter
10.Ratu Biru
11.Ratu Ayu Arsanengah
12.Pangeran Pajajaran Wado
13.Ratu Temenggung Wilatikta
14.Ratu Ayu Kumudarage
15.Pangeran Sabrang Wetan

III. Sultan Maulana Yusuf Panembahan Pekalangan


(1570-1580), berputra :
1. Pangeran Arya Upapati
2. Pangeran Arya Adikara
3. Pangeran Arya Mandalika
4. Pangeran Arya Ranamenggala
5. Pangeran Arya Seminingrat
6. Ratu Demang
7. Ratu Pecatanda
8. Ratu Rangga
9. Ratu Ayu Wiyosa
10. Ratu Manis
11. Pangeran Mandura Raja
12. Pangeran Widara
13. Ratu Balimbing
14. Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten

IV. Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten (1580-


1596), berputra :
1. Sultan Abul Mufachir Mahmud Abdul Kadir (putra
tunggal).

V. Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir Kenari


(1596-1651), berputra :
1. Sultan ‘Abul Ma’ali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
2. Ratu Dewi
3. Ratu Ayu
4. Pangeran Arya Banten
5. Ratu Mirah
6. Pangeran Sudamanggala
7. Pangeran Ranamanggala
8. Ratu Balimbing
9. Ratu Gedong
10. Pangeran Arya Manduraraja
11. Pangeran Kidul
12. Ratu Dalam
13. Ratu Lor
14. Pangeran Seminingrat
15. Ratu Kidul
16. Pangeran Arya Wiratmaka
17. Pangeran Arya Danuwangsa
18. Pangeran Arya Prabangsa
19. Pangeran Arya Wirasuta
20. Ratu Gading
21. Ratu Pandan
22. Pangeran Arya Wirasmara
23. Ratu Sandi
24. Pg. Arya Jayaningrat
25. Ratu Citra
26. Pg. Arya Adiwangsa
27. Pg. Arya Sutakusuma
28. Pg. Arya Jayasentika
29. Ratu Hafsah
30. Ratu Pojok
31. Ratu Pacar
32. Ratu Bangsal
33. Ratu Salamah
34. Ratu Ratmala
35. Ratu Hasanah
36. Ratu Hasaerah
37. Ratu Kelumpuk
38. Ratu Jiput
39. Ratu Wuragil

VI. Sultan ‘Abul Ma’ali Ahmad, berputra :


1. ‘Abul Fath ‘Abdul Fattah
2. Ratu Panenggak
3. Ratu Nengah
4. Pangeran Arya Elor
5. Ratu Wijil
6. Ratu Puspita
7. Pg. Arya Ewaraja
8. Pg. Arya Kidul
9. Ratu Tinumpuk
10. Ratu Inten
11. Pg. Arya Dipanegara
12. Pg. Arya Adikusuma
13. Pg. Arya Kulon
14. Pg. Arya Wetan
15. Ratu Ayu Ingalengkadipura

VII. Sulltan Ageng Tirtayasa/’Abul Fath ‘Abdul Fattah


(1651-1672), berputra :
1. Sultan Haji
2. Pg. Arya ‘Abdul’ Alim
3. Pg. Arya Ingayudadipura
4. Pg. Arya Purbaya
5. Pangeran Sugiri
6. Tubagus Rajasuta
7. Tubagus Rajaputra
8. Tubagus Husen
9. Raden Mandaraka
10. Raden Saleh
11. Raden Rum
12. Raden Mesir
13. Raden Muhammad
14. Raden Muhsin
15. Tubagus Wetan
16. Tubagus Muhammad ‘Athif
17. Tubagus Abdul
18. Ratu Raja Mirah
19. Ratu Ayu
20. Ratu Kidul
21. Ratu Marta
22. Ratu Adi
23. Ratu Umu
24. Ratu Hadijah
25. Ratu Habibah
26. Ratu Fatimah
27. Ratu ‘Asyiqoh
28. Ratu Nasibah
29. Tubagus Kulon

VIII Sultan ‘Abun Nasr ‘Abdul Kahhar/Sultan Haji (1672-


1687), berputra :
1. Sultan Abdul Fadhal
2. Sultan ‘Abul Mahasin
3. Pangeran Muhammad Tahir
4. Pangeran Fadhluddin
5. Pangeran Ja’faruddin
6. Pg. Muhammad ‘Alim
7. Ratu Rohimah
8. Ratu Hamimah
9. Pangeran Ksatrian
10. Ratu Mumbay (Bombay)

IX. Sultan Abdul Fadhl (1687-1690)


Tidak berputra

X. Sultan Abul Mahasin Zainul ‘Abidin (1690-1733),


berputra :
1. Sultan Muhammad Syifa
2. Sultan Muhammad Wasi’
3. Pangeran Yusuf
4. Pangeran Muhammad Saleh
5. Ratu Samiyah
6. Ratu Komariah
7. Pangeran Tumenggung
8. Pangeran Ardi Kusuma
9. Pg. Anom Muhammad Noh
10. Ratu Fatimah Putra
11. Ratu Badariyah
12. Pg. Manduranegara
13. Pg. Jaya Sentika
14. Ratu Jabariyah
15. Pg. Abul Hasan
16. Pg. Dipati Banten
17. Pangeran Ariya
18. Raden Nasut
19. Raden Maksaruddin
20. Pangeran Dipakusuma
21. Ratu ‘Afifah
22. Ratu Siti Adirah/Abidah
23. Ratu Safiqoh
24. Tubagus Wirakusuma
25. Tubagus Abdulrahman
26. Tubagus Mahaim
27. Raden Rauf
28. Tubagus Abdul Jalal
29. Ratu Hayati
30. Ratu Muhibbah
31. Raden Putra
32. Ratu Halimah
33. Tubagus Sahib
34. Ratu Sa’idah
35. Ratu satijah
36. Ratu ‘Adawiyah
37. Tubagus Syarifuddin
38. Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat
39. Tubagus Ismail
40. Tubagus Sa’jan
41. Tubagus Haji
42. Ratu Thoyibah
43. Rt. Chairiyah Kumudaningrat
44. Pangeran Rajaningrat
45. Tubagus Jahidi
46. Tubagus Abdul Azis
47. Pangeran Rajasentika
48. Tubagus Kalamuddin
49. Rt. Siti Sa’ban Kusumaningrat
50. Tubagus Abunasir
51. Raden Darmakusuma
52. Raden Hamid
53. Ratu Sifah
54. Ratu Minah
55. Ratu ‘Azizah
56. Ratu Sehah
57. Ratu Suba/Ruba
58. Tubagus Muhammad Said ( Pangeran Natabaya)

XI.Sultan Muhammad Syifa’Zainul ‘Arifin (1733-1750),


berputra :
1. Sultan Muhammad ‘Arif
2. Ratu Ayu
3. Tubagus Hasanuddin
4. Rd. Raja Pangeran Rajasantika
5. Pg. Muhammad Rajasantika
6. Ratu ‘Afiyah
7. Ratu Sa’diyah
8. Ratu Halimah
9. Tubagus Abu Khaer
10. Ratu Hayati
11. Tubagus Muhammad Saleh

XII. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750-1752)


tidak berputra.

XIII. Sultan Muhammad Wasi ‘Zainul ‘Alimin (1752-1753)


tidak berputra.

XIV Sultan Muhammad ‘Arif Zainul Asyikin (1753-1773),


berputra :
1. Sultan ‘Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin
2. Sultan Muhyiddin Zainussholihin
3. Pangeran Manggala
4. Pangeran Suralaya
5. Pangeran Suramanggala

XV. Sultan ‘Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin (1773-


1799), berputra :
1. Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
2. Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
3. Pangeran Darma
4. Pangeran Muhammad Abbas
5. Pangeran Musa
6. Pangeran Yali
7. Pangeran Ahmad

XVI Sultan Muhyiddin Zainussholihin (1799-1801),


berputra :
1. Sultan Muhammad Shafiuddin

XVII Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)

XVIIISultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)

XIX Sultan Agilludin (Aliyuddin II) (1803-1808)

XXSultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)

XXISultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)


XXIISultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820).
BAGIAN 5

PEMERINTAHAN KESULTANAN BANTEN

A. Sultan Maulana Hasanuddin Tahun 1552-1570 (Raja


Banten I)
 Lahir dari Syarif Hidayatullah dengan Nyi Ratu Kawung
Nganten.
 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai penegak agama
Islam di Banten dan sekaligus wakil Sunan Cirebon.
 Pada tahun 1525 meng-Islamkan Banten Utara, yang
tidak masuk Islam mengungsi ke Parahiyangan
(Cibeo/Kanekes Baduy/Rangkas Bitung)
 Kemudian meng-Islamkan kedua patih di tepi sungai
dalung.
 Pada tahun 1548 memperluas daerahnya ke Lampung
(Tulang Bawang) diserahi oleh raja Indrapura daerah
diselebar daerah lada terkaya di Nusantara yang
dibutuhkan oleh separuh dunia serta ditikahkan dengan
putri raja tersebut.
 Pada tahun 1550 Sunda Kelapa (Jayakarta) dijadikan
Bandar Banten 2
 Pada tahun 1568 memerdekaan Banten dari kerajaan
Demak
 Pada tahun 1570 Maulana Hasanudin Wafat dan oleh
rakyatnya diberi gelar Sunan Banten Panembahan
Sabrang. Oleh cantrik-cantriknya disebut Pangeran
Surosowan panembahan sebakinking Maulana
Hasanuddin Sinuhun Banten.

B. Sultan Maulana Yusuf Tahun 1570-1580 (Raja Banten II)


 Lahir dari pernikanan Sultan Maulana Hasanudin dan Nyi
Ratu Anjani.
 Tahun 1578 mendirikan Masjid Banten
 Tahun 1578 membangun sawah percobaan “tandur” di
Serang, kemudian memperluas dari Serang ke daerah
Tirtayasa Pandeglang hingga ke Cikarang dan Karawang
 Hasil karyanya mendirikan pesantren di Banten dan
Pandeglang
 Membuat tembok keraton surosowan
 Pada tahun 1579 melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Ibukota Pajajaran yaitu Pakuan, dengan
dukungan pasukan Cirebon dan sukses, mengangkat
derajat dan martabat Banten dalam pandangan raja di
jawa dan luar jawa.
 Melakukan expansi ke Lampung, Palembang dan
Makasar.
 Pulau panjang sebagai markas prajurit yang berasal dari
Makasar
 Pada tahun 1580 Sultan Maulana Yusuf meninggal dunia
dimakamkan di pekalangan gede.

C. Maulana Muhammad Nasruddin/Pangeran Ratu Banten


Tahun 1580-1596 (Raja Banten III)
 Pada tahun 1590 seorang pangeran peranakan portugis
putra Arya Pangiri keturunan raja Trenggana gurunya
Maulana Muhammad membujuk supaya beliau
memerangi palembang.
 Pada tgl 20 Juni 1596nMaulana Muhammad terbunuh
waktu bperang dikota palembang dalam usia 25 tahun.
 Putra tunggalnya Abdul Mufachir Mahmud Abdul Kadir
belum berusia setahun, maka pd tgl 26 November 1596
Nyai Emban Rangkuti pendidik Abdul Mufachir mewakili
sebagi wali negara dan patih jaya negara.
 Pada tahun 1598 Emban Rangkuti wafat diganti oleh
Mangkubumi Jaya Negara, dan bulan Desember 1602
wafat diganti oleh ibu Nyai Gede Wana Giri sebagai
wakil.
 Pada tahun 1606 Abdul Mufachir pergi ke Mekah, ke
Parsi (Iran), Mesir, Istambul (Turki) dan mendapat Panji
Nabi Ibrahim AS. Panji tersebut disimpan di Mesjid
Kenari dan Meriam Ki Amuk, beliau kembali tahun 1607
dengan gelar Sultan. Sementara sebagai mangkubumi
Banten ialah Pangeran Arya Ranamenggala yang pandai
dan perkasa antara tahun 1608-1624.

D. Abdul Mafachir \mahmud Abdul Qadir Tahun 1642-1643


(Raja Banten IV)
 Pada masa pemerintahan hubungan diplomatik dapat
perhatian dari negara Islam
 Membangun waduk Tasikardi untuk irigasi, mengarang
kitab Insan kamil yang diambil oleh Dr. Snouck
Hurgronye.
 Pada tahun 1638 sebutan gelar Maulana diganti dengan
gelar Sultan Banten
 Beliau dimakamkan di Mesjid Agung Kenari.

E. Abdul Ma’li Ahmad Rahmatullah Tahun 1643-1651 (Raja


Banten V)
 Pada masa ini uang Banten 4 macam dibuat dari
besi/timah berhuruf Arab : wang sawe, wang bribil, wang
cepeng (bahasa cina) dan wang goweng (0,1 gobang)
tiga biji masih disimpan di Museum gajah jakarta.
 Pada tahun 1644 kompeni mencetak uang di Batavia
(Jakarta) untuk menyaingi perdagangan Banten

F. Abdul Fatchi Abdul Fatah Tahun 1651-1683 (Raja


Banten VI)
 Pada tahun 1658-1659 Banten berperang melawan
kompeni.
 Pada tahun 1659 Cisadane Cibentuk sebagai batas
sementara antara Banten dan Jakarta.
 Pada tahun 1662 disusun sejarah dan piagam Banten
yang pertama di Keraton.
 Pada tahun 1663 dibangun selokan irigasi dari Cikande
ke kali Pasilian.
 Pada tahun 1664 mendapat gelar Sultan Agung
didaratan dan lautan karena berjasa memajukan
perniagaan Banten dan Inggris, Demak, Parsi (Iran),
Hindu, Arab, Tiongkok, Jepang, Manilia, Hindia Belanda,
sehingga pusat perdagangan kompeni Belanda di
Batavia (Jakarta) menjadi mundur
 Pada tahun 1669 dibangun irigasi Tanahara ke Pontang
dan tahun 1670 dibangun irigasi dari Tirtayasa ke
Tanahara.

 Pada tahun 1671 putra sulung bernama Abunasr


Abdulkahar dijadikan calon Sultan dan Raja Pembantu
sampai tahun 1687 sebagai sultan ke VII
 Pada tahun 1674 Abdulkahar diberangkat ke Mekkah
kurang lebih 5 tahun, dalam perjalanan singgah di
pulaun Majeti disini berjumpa dengan 2 orang yatim piatu
bersaudara laki-laki dan perempuan keturunan belanda
peranakan Cina yang ditempatkan oleh kompeni untuk
menghibur pangeran Abdulkahar.
 Peristiwanya adalah : laki2 itu cakap, ganteng paras
mukanya hampir sama, sang pangeran tergila-gila
dengan adiknya maka dinikahinya, abangnya diberi
seperangkat pakaian kebantenan lengkap dengan
pusakanya, selanjutnya adiknya berangkat bersama
pangeran ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
 Pada tahun 1676, dua tahun kemudian abangnya
menyusuf ke Jakarta terus ke Banten dengan mengakui
Pangeran Abdulkahar tulen.
 Pada tahun itu pula Sultan Ageng Tirtayasa bertahta di
keraton Tirtayasa yang letaknya diantara Cipontang dan
Ciduriuan dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa,
sedang sultan haji mengambil tempat di Kute Inten
(Keraton Pakuwon di Banten Tua) dan sejak itu kompeni
mencampuri urusan pemerintahan Banten.

G. Abunasr Abdul Kahar Tahun 1671-1687 (Raja Banten


VII)
 Pangeran Abdulkahar adalah putra mahkota Sultan
Ageng Tirtayasa/Abul Fachi Abdulfataah. Pada tahun
1671 Pangeran Abunasr Abdulkahar oleh Sultan
Tirtayasa diangkat sebagai calon Sultan raja
Pembantu untuk pemerintahan dari tahun 1671-1687
sebagi Sultan Banten yang ke VII dengan menguasai
daerah bekas Pakuan hingga di Tulang Bawang, dari
Bangkahulu hingga Kutawaringin. Kompeni mengakui
pengangkatan itu dan mulai mencampuri urusan
pemerintahan Banten dengan membujuk-bujuk Abunasr
Abdulkahar yang oleh rakyatnya disebut Pangeran
Mansur/Maulana Mansur (karena Pangeran Abdulkahar
banyak menolong dan ditolong orang).
 Pada tahun 1674 Sultan Abdulkahar oleh ayahnya
direncanakan untuk dikirim ke Mekah untuk naik Haji
karena sering dikunjungi oleh kompeni dan dibujuk-
bujuk. Sebelum berangkat sang Pangeran dipesan oleh
ayahnya agar jangan mampir-mampir kelain tujuan
melainkan dari Banten terus langsung ke Banten. Tetapi
Pangeran Abdulkahar melupakan amanat ayahnya dan
beliau singgah di Pulai Majeti disekitar pulau Penang dan
disana beliau bertemu dengan dua bersaudara yatim
piatu laki-laki dan perempuan kelahiran Belanda
peranakan Cina.
 Setelah bermukim 6 tahun Pangeran Abunasr
Abdulkahar kembali ke tanah air. Lupa akan nasehat dan
amanat Sultan Agung beliau singgah ke Cina, kemudian
ke Demak berziarah kekaruhun-karuhunnya, dimana istri
dititipkan dan beliau terus ke Cirebon. Dari sana melalui
hutan jampang melangsungkan perjalanan melalui
Mantiung di Banten Selatan untuk menemui Shang
Hiang Sirah. Dari sini dengan menyamar sebagai
penziarah datang ke Makam Sultan Maulana
Hasanuddin. Sultan Haji insyah akan dosanya ketika
mendengar bahwa di Banten sedang diperangi oleh
kompeni disertai dengan Sultan Haji Palsu, maka beliau
tidak kembali ke keraton tetapi menetap di Cikaromoy
ditepi sungai Cibulakan di Cimanuk Banten. Dari sini
terus ke Cikaduen menyebarkan agama Islam sampai
wafat dan dikenal sebagai Wali Maulana Mansur
Cikaduen/Sultan Haji Sejati (jadi Sultan Abunasr
Abdulkahar tidak memerintah negara Islam Banten).

H. Fadlaudin Abdulfadl Muhammad Yahya Tahun 1999


(Raja Banten VIII)
 Putra dari Pangeran Haji Abunasr Abdulkahar Sejati,
memerintah mulai tanggal 14 November 1690.
 Pada tanggal 15 Juni 1690 beliau menemukan Batu Tulis
Bogor, bahasanya diperkirakan bahasa Sunda yang
tertua dalam sejarah bahasa Sunda.

I. Abdul Mahasin Muhammad Syifa’u Zainul Abidin Tahun


1690-1773 (Raja Banten IX)
 Saudara Sultan Fadlaudin, yang memerintah paling lama
di Banten. Pada pemerintahannya, Sultan Ageng
Tirtayasa wafat dalam tahanan kompeni tahun 1692.
 Tahun 1701 sejarah Banten yang kedua selesai, sedang
yang pertama selesai tahun 1662 oleh Keraton
Surosowan. Selain itu dibuat Pengindelan saluran air
dari Tasikardi untuk keraton.
 Pada tahun 1705-1710 mulai mendirikan perumahan
batu, hasil yang terindah adalah rumahnya Pangeran
Purbanegara dan kepala imam. Disamping itu musim
karang-karangan dalam bahasa kuno sunda, antara lain :
Carita Purnawijaya, Jakasuno, Babad Galuh dan
karangan Kai Raga.
 Pada tahun 1709 silsilah keturunan Kesultanan Banten
diperbanyak oleh salah seorang pangeran keraton untuk
disiarkan.
 Pada tahun 1732 keraton Surosowan menyelesaikan
sejarah yang ketiga kalinya.

J. Abulfatchi Muhammad Syifa’u Zaenul Arifin Tahun


1733-1749 (Raja Banten X)
 Adalah putra ketujuh dari Sultan Jaenul Abidin
 Pada tahun 1739 membangunjalan sepanjang 508
tombak dari keraton ke Kerapyak
 Pada tahun 1743 keraton menyelesaikan sejarah yang
keempat
 Pada tahun 1747 Sultan Zaenul Arifin oleh kompeni
dibuang ke Ambon akibat hasutan permaisuri asing Ratu
Syarifah Fatimah, hingga meninggal disana tahun1670.
Putra sulungnya Pangeran Gusti calon Sultan dibuang
ke Selong

K. Arif Abunasr Muhammad Syifa’u Zainul Asyikin Tahun


1777 (Raja Banten XI)
 Pada tanggal 5 September 1752 Pangeran Gusti Zainul
Arifin dipersilahkan kembali dari Selong dengan
perjanjian menjadi Sultan bawahan sebagai Sultahan
Baanten ke 11
 Pada tahun 1755 Ratu Bagus Burhan (Tubagus Buang)
pahlawan keluarga keraton meninggal dunia

L. Abul Mafachir Muhammad Aliyuddin I Tahun 1777-1802


(Raja Banten XII)
 Putra Zainul Asyikin dan tidak berputra.
 Tanggal 26 Maret 1778, Banten terpaksa menyerahkan
daerah Landak Kalimantan Barat kepada Kompeni.
 Tanggal 24 April 1778 didirikan Musium Gedung Gajah
Jakarta, guna mengumpulan barang-barang peninggalan
kuno dari seluruh Indonesia, perpustakaan sejarah dan
lain-lain.
 Pada tahun 1802 Sultan Aliyuddin I wafat dan
dimakamkan samping selatan Mesjid Agung Banten.

M. Abdul Fatchi Muhammad Muhyidin Zainussolihin Tahun


1802-1805 (Raja Banten XIII)
 Beliau menggantikan kakaknya sebagai Sultan Banten
yang ke-13 pada tanggal 13 September 1802.
 Pada tahun 1804 Sultan dibunuh oleh Ratu Bagus Ali
putra Sultan Aliuddin I (dari selir) dan dimakamkan di
Sikupluk diseberang kenari.

N. Abunasr Muhammad Ishak Zainul Muttaqien Tahun


1805-1808 (Raja Banten XIV)
 Putra dari Sultan Aliyudin I, berkediaman di Keraton
Benteng Kota Inten.
 Beliau sangat menentang Daendels dan Napoleon
(Prancis)
 Pada tahun1808 didirikan pangkalan Laut Jungkulom
oleh Maarschalk (Mas Galak) Daendels banyak korban
jiwa dan melarikan diri.
 Pada 21 Nopember 1808 Istana Banten diserbu,
Mangkubumi dibunuh, sultan diasingkan oleh daendels
dengan 100 balatentara sehubungan dengan peristiwa
pembubuhan komisaris Du Puy untusan daendels,
Banten ditindas habis, tetapi rakyat Banten melawan
keras-keras dan timbul ejekan Banten Bantahan.
O. Abul Mafachir Nuhammad Aqiluddin (Aliyuddin II)
Tahun 1808-1810 (Raja Banten XV)
 Putra Sultan Zainul Muttaqien dari Padmi diangkat
sebagai Sultan yang ke 15 tetapi hanya dengan
kekuasaan Bupati
 Pada tahun 1809 dibangun jalan sepanjang 1000 Km
dari Anyer sampai Panarukan Banyuwangi, sehingga
perjalanan 40 hari dapat dipersingkat menjadi 6 hari
 Pada tahun 1810 terjadi huru-haara di Leuweung Lancar
Pandeglang, dari sini lahir ejekan Becokok (Buaya) dan
Jawara (Juara Penyambung Ayam).

P. Sultan Muhammad Syafiuddin Tahun 1810-1812 (Raja


Banten XVI)
 Putra dari Sultan Zainussolihin menggantikan Sultan
Bupati yang terganggu pikirannya karena itu dibawa ke
Jakarta diistirahatkan di surabaya dan wafat disana lalu
dimakamkan dihalaman Mesjid Ampel.

Q. Sultan Muhammad Rafi`uddin Tahun 1813 (Raja Banten


XVII).
BAGIAN 6

SITUS PENINGGALAN KERAJAAN BANTEN

1. Masjid Agung Banten


Masjid Agung Banten ini didirikan
pada masa pemerintahan Sultan
Maulana Yusuf, bangunan masjid ini
berdenah segi empat, atapnya
merupakan atap bersusun lima, dikiri
dan kanan bangunan terdapat serambi yang dibangun
kemudian.

2. Komplek Keraton Surosowan


Komplek keraton ini berada dekat
dengan Masjid Agung Banten dan
saat ini sudah hancur, yang masih
nampak adalah tembok benteng
yang mengelilingi dengan sisa-sisa
bangunannya. Sisa-sisa bangunan ini berupa pondasi dan
tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa-sisa
bangunan balekambang. Tembok benteng masih tampak
setinggi 0,5 – 2 M dengan lebar sekitar 5 M. Pada beberapa
bagian, terutama dibagian sebelah selatan dan timur,
tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama
sekali. Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi
empat dengan luas kurang lebih 3 Ha, pintu masuk yang
merupakan pintu gerbang terletak disisi utara, menghadap
ke alun-alun.
Berdasarkan sejarah Banten, Keraton Surosowan yang
disebut juga Gedung Kedaton Pakuwan, dibangun masa
pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sedang
tembok benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata
dan batu karang dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf
(1570-1580).

3. Menara Mesjid Agung


Menara ini terletak dihalaman depan
Masjid. Menurut tradisi Menara ini
pula dibangun oleh Hendrik Lucasz
Cardael. Kapan bangunan ini
didirikan tidak diketahui dengan
pasti.. Didalam “Journal van de Reyse” (DE Eerste
Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie Onder
Cornelis de Houtman, (1595-1597), terdapat sebuah peta
Banten yang memperlihatkan adanya menara tersebut,
sedangkan didalam sejarah Banten antara lain disebutkan
bahwa “Kanjeng Maulana Hasanuddin adarbe putra
satunggal lanang jeneng putra mangke nuli den wastane
Maulana Yusuf ingkang puniko jeneng Yusuf sampung
gung ikeng putra pan sampan adarbe rayi naliki iku waktu
ning wangun munare”.
Berdasarkan atas pemberian tersebut C. Crucq
berpendapat bahwa Menara Masjid Agung Banten sudah
ada sebelum tahun 1596/1570. Berdasarkan tinjauan seni
bangunan dan hiasannya ia berkesimpulan bahwa Menara
tersebut pada pertengahan kedua abad ke XVI, yaitu antara
tahun 1560-1570.
4. Bangunan Tiyamah
Bangunan ini merupakan bangunan
tambahan yang terletak disebelah
selatan Masjid Agung Banten,
disebelah kanan serambi
pemakaman. Bentuknya segi empat
panjang dan bertingkat. Bangunan ini mempunyai langgam
arsitektur Belanda Kuno dan menurut tradisi dibangun oleh
Lucas Cardael, seorang arsitek Belanda. Dahulu bangunan
ini dipergunakan sebagai tempat bermusyawarah dan
berdiskusi mengenai soal-soal keagamaan

5. Meriam Ki Amuk
Meriam ini pernah diletakan di
pelabuhan karangantu, kemudian
dipindahkan dipojok alun-alun,
didepan Komplek Keraton
Surosowan, sekarang ditempatkan di
depan Museum Banten di sebelah Barat. Pada meriam itu
terdapat tiga buah prasasti dengan huruf dan bahasa Arab.
Salah satu prasasti bertuliskan “Aqaibatu’l khoirisalamatul
imani”.

6. Komplek Keraton Kaibon


Komplek ini terletak di kampung
kroya, merupakan Keraton tempat
kediaman Ibu Asyiah, Ibunda Sultan
Rafiuddin. Pada tahun 1832 Komplek
Keraton tersebut dibongkar oleh
pemerintah Hindia Belanda, yang masih terlihat sekarang
hanya sebagian pondasi, tembok, serta gapura/pintu
gerbang.

7. Masjid Pacinan Tinggi

Masjid ini terletak di kampung pacinan/dermayon, masjid ini


hanya tinggal reruntuhannya saja, yang terlihat hanya
michrab dan sisa bangunan menara bata dan dengan
pondasi dan bagian bawahnya terbuat dari batu karang,
bagian atas menara ini sudah hancur. Menurut tradisi
bangunan masjid dan menara ini sudah ada sebelum
Masjid Agung didirikan.

8. Benteng Speelwijck
Benteng ini terletak di kampung
pamarican dekat pabean, sekarang
sudah hancur, tetapi sebagian
temboknya masih agak utuh,
terutama yang terletak disisi utara.
Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda, diatas
reruntuhan sisi utara tembok keliling kota Banten. Dibagian
luar benteng terdapat parit buatan yang mengelilinginya.
9. Watu Gilang

Watu gilang terletak disebelah Utara di depan Keraton


Surosowan, bentuknya segi empat dan permukaannya
datar, terbuat dari batu andesit. Dahulu Batu Gilang ini
dipergunakan sebagai tempat melakukan pentasbihan
Sultan-sultan Banten.

10. Masjid Agung Kasunyatan


Masjid ini terletak di kampung
Kasunyatan, kurang lebih 2 kilometer
sebelah selatan dari Masjid Agung
Banten ke arah barat +/- 400 meter
dari Makam Maulana Yusuf dan
sampai sekarang Masjid ini masih terawat dengan baik.
Masjid ini dibangun lebih dahulu dari Masjid Agung Banten,
didirikan semasa pemerintahan Sultan Maulana
Hasanuddin bersama Syekh Fakih Nazmuddin, Syekh
Abdussalam dan Syekh Anjani. Disebelah barat Masjid
berdiri menara serta kolam pemandian yang diberi nama
kolam pekulahan yang dalamnya kurang lebih 10 meter,
kolam ini masih terawat dengan baik.
11. Majid Agung Kenari
Masjid ini terletak di Kampung Kenari
kurang lebih 3 kilometer kerah
selatan dari Masjid Agung Banten,
atau 1 kilometer dari Masjid Agung
Kassunyatan. Masjid ini merupakan
Masjid tua peninggalan Sultan Abul Mufachir Abdul Kadir
Kenari 1596-1651). Beliau adalah putra Sultan Muhammad
Pangeran Ratu Ing Banten. Selain itu terdapat pula
putranya Sultan Ma’ali Ahmad.

Selesai

Anda mungkin juga menyukai