Anda di halaman 1dari 8

1.

1 Pra Islam di Banten

Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata
cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama
Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam
bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber
naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut
Hindu.

Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum
Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam
masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi
prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka
anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan
Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-
naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.

Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga
awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-
patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak
batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya.
Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan
Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan
ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang,
Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.

Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah
yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas,
adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul
Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan
bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah
kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada
masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan
pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan, Banten Lama berfungsi sebagai
pelabuhan saja. Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten,
dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. Tapi disamping itu
pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua.

1.2 Kerajaan Islam Di Banten

Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M
dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif
Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran
agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M,
beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun
kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun
berikutnya lahir pula Pangeran Hasanuddin.

Setelah Pangeran Hasanuddin dewasa, Syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon


mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam
di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam
Ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari Gunung Pulosari,
Gunung Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Sehingga berangsur-
angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam. Karena semakin besar dan maju
daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian
Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya.

Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari
Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang
menjadi Keraton Surosowan. Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh dan
digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai
negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Panjang. Disamping itu Banten juga
menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja
datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang
ada di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari
masjid Agung Banten. Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kyai Dukuh yang bergelar
Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf.

Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan
sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah mencapai masa
kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah sebagian besar masyarakat
Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta
mubaligh Islam di Banten seperti tidak dapat disanksikan lagi dan penyebarannya melalui
jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.

Setelah kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan sejarah


berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti; Keraton Surosowan,
Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid
Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak
lagi yang lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme
dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.

1.3 Kolonialisasi Belanda

Sejak awal abad kesembilan belas, pemerintah kolonial Belanda mulai berkuasa di
Hindia Belanda (Indonesia) menggantikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang
bubar pada tanggal 31 Desember 1799 dan seluruh aset miliknya dikuasai oleh Negara
Belanda. Bubarnya VOC disebabkan kesalahan urus dan persoalan korupsi para pejabatnya.
Selanjutnya, sebuah komisi Negara yang diketuai Sebastian Cornelis Nederburg bergelar
komisaris jenderal dibebani tugas bidang administrasi, hukum, dan pertahanan. Barulah
kemudian pada tahun 1808, si tangan besi, Herman Willem Deandels mengawali
kekuasaannya sebagai gubernur jenderal di Hindia Belanda.

Di antara kebijakannya adalah memangkas kekuasaan penguasa-penguasa lokal. Ia


hanya tiga tahun berkuasa (1808-1811) yang kemudian digantikan oleh Thomas Stamford
Raffles (1811-1816) yang mewakili penguasa Inggris di tanah bekas jajahan Belanda. Pada
masanya terjadi sedikit pembaharuan. Kebijakan-kebijakan gebernur jenderal berikutnya
bukan memperingan beban rakyat Hindia Belanda, bahkan semakin mempersulit keadaan,
misalnya dengan penerapan cultuurstelsel. Sistem ini hanya menguntungkan pemerintah
kolonial dan sedikit menguntungkan Penguasa local tetapi memperberat kehidupan rakyat
jajahan. Berikutnya, pada era liberal hingga era politik etis, rakyat tetap saja menderita dan
tidak banyak mengalami perubahan.

Kondisi-kondisi inilah yang membuat rakyat semakin meningkatkan banyak


perlawanan bersenjatanyapenguasa lokal akan tetapi sangat menyerang penjajah Belanda.
Sebenarnya, perlawanan abad XIX rakyat Banten merupakan kelanjutan dari abad-abad
sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) gigih
mempertahankan Kesultanan Banten dari kejahatan adu domba yang dilakukan oleh kaum
kompeni antara dia dan putra mahkota, Sultan Haji, yang berujung tergerusnya kekusaan
kesultanan oleh kompeni. Disamping itu, perlawanan terhadap Belanda di abad XIX muncul
juga di berbagai daerah seperti Perang Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro,
Perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol yang bergejolak di Sumatera Barat, Perang
Batak dan Perang Aceh di Sumatera Bagian Utara. Bahkan, perang yang tak kalah penting
adalah perlawanan rakyat Banten yang tak henti-hentinya sejak awal abad ini sampai
peristiwa Geger Cilegon 1888 yang dipimpin oleh K.H. Wasyid.

K.H. Wasyid memiliki semangat perjuangan menegakkan kebenaran Amar Ma’ruf


Nahi Munkar sejak usianya masih muda. Darah pejuang yang dimiliki K.H. Wasyid
diwariskan dari ayahnya, Abbas, yang pada tahun 1850 bersama H. Wakhia melakukan
perlawanan bersenjata. Dalam perjuangannya, ia memiliki keahlian dan kemampuan
strategis, misalnya bagaimana ia melakukan komunikasi-komunikasi politik dengan para
ulama, jawara, dan pejuang-pejuang lainnya di Banten dan luar Banten untuk terlibat dalam
perang melawan penjajah Belanda. K.H. Wasyid juga dikenal sebagai seorang ulama yang
berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya terutama mengajak umat menjauhi perbuatan
syirik. Akibat dari sikap tegas menegakkan ajaran Islam di tengah masyarakat ini, K.H.
Wasyid menghadapi meja pengadilan sebelum peristiwa Geger Cilegon 1888.

1.5 Kemerdekaan Banten


Berita kekalahan Jepang yang dilanjutkan dengan Proklamasi kemerdekaan sampai
ke Banten pada 20 Agustus 1945. Berita itu dibawa oleh para pemuda yaitu Pandu
Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Azis, yang diutus oleh Chaerul Saleh, wakil
ketua dan sekretaris Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31
Jakarta. Para anggota API diutus ke berbagai daerah termasuk Banten untuk menyebarkan
berita proklamasi.

Berita gembira itu terutama disampaikan kepada tokoh Banten yaitu K.H. Ahmad
Chatib, K.H. Sjamun, dan Zulkarnain Surya, serta tokoh pemuda seperti Ali Amangku dan
Ajip Dzuhri. Chaerul Saleh juga mengamanatkan agar para tokoh dan pemuda di Serang
segera merebut kekuasaan dari Jepang. Maka, Ali Amangku mendirikan Angkatan Pemuda
Indonesia (API). Sedangkan API Puteri dipimpin oleh Sri Sahuli.

1.6 Reformasi Provinsi Banten

1.6.1 Kondisi Politik Banten

Wilayah Banten yang dikenal dengan para Jawaranya dan tokoh-tokoh agama, serta
etnis Baduy, berdekatan dengan Ibukota Jakarta, sehingga secara politis cukup strategis bagi
pusat pemerintahan Republik Indonesia. Pada awal pemerintahan Orde Baru, wilayah Banten
dijadikan prioritas untuk “distabilkan” mengingat peran ulama dan jawara sangat kuat dan
dapat menggangu kebijaksanaan politik pemerintah pusat Republik Indonesia. Keberadaan
kantor sosial politik di setiap daerah merupakan salah satu kebijakan yang sangat efektif
dalam membantu setiap gerakan sekecil apapun yang dinilai dapat membahayakan negara
Pemerintah Republik Indonesia.
Lembaga tersebut mirip organisasi di negara-negara totaliter , melakukan
pengendalian (control) untuk mencegah terjadinya berbagai aspirasi yang bertentangan
dengan kebijaksanaan/politik pemerintah. Langkah tersebut sangat berhasil menjinakan
Banten yang ditunjukan dengan dukungan yang semakin besar bagi kemenangan Golkar
(Golongan Karya) dalam setiap Pemilihan Umum selama Orde Baru, terutama sejak tahun
1987 sampai dengan tahun 1997. Dalam masa tersebut suara Golkar terus meningkat,
sedangkan PPP dan PDI mengalami fluktuasi dengan perolehan jauh dibawah Golkar.
Banten terletak di Ujung Barat Pulau Jawa. Kondisi Banten dalam perpolitikan
mengalami banyak perubahan, wilayah Banten awalnya sebuah pusat ibukota kerajaan. Pada
masa kolonial Belanda ketika daerah Banten dikuasai oleh Belanda Banten berstatus
Afdeling, kemudian sejak tahun 1938 berubah nama menjadi Residentie. Sedangkan pada
masa pendudukan Jepang wilayah Banten bernama Shu. Di era Pemerintahan Republik
Indonesia, wilayah Banten menjadi Karesidenan, yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa
Barat.
Pada awal pemerintahan Orde Baru tahun 1967-1970 gerakan tuntutan provinsi
Banten gencar kembali, DPRD-GR tingkat satu pimpinan Kastura mengadakan dengar
pendapat dengan tokoh politik dan organisasi masyarakat di Serang tentang provinsi
Banten.Selama kekuasaan Orde Baru berlangsung, isu pembentukan Provinsi Banten
meredup karena dianggap membangkang terhadap pemerintah pusat, para tokoh Banten yang
ikut serta dalam kepanitiaan dijaga ketat oleh para militan Orde Baru sehingga para tokoh
Banten menemui kesulitan dalam membangun kembali keinginan membentuk Provinsi
Banten.
Pada awal gerakan reformasi, masyarakat Banten menjadi sangat mudah di
mobilisasi untuk menentang kelompok lain yang dianggap non-Islam dan menentang
pemerintah pusat. Hal tersebut dapat dilihat dari pergerakan Pasukan Pam Swakarsa dari
wilayah Banten yang memenuhi Jakarta pada saat Sidang Istimewa MPR tahun 1998.
Pasukan tersebut sebagian besar dari pesantren atau kelompok masyarakat yang masih
menghormati kepemimpinan ulama.
1.6.2 Kondisi Sosial Banten
Startifikasi sosial di Banten, pada awal di zaman Kesultanan, lapisan atas dalam
stratifikasi sosial adalah para sultan dan keluarga/keturunan sebagai lapisan bangsawan.
Kemudian para pejabat kesultanan dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan
selanjutnya, hilangnya Kesultanan Banten yang sebagian perannya beralih pada kiyai (Kaum
spritual) dalam stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas.
Namun perkembangan selanjutnya peran kiyai/ulama dapat tertandingi oleh
kehadiran Jawara, dimana Jawara mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat Banten.
Kata kiyai sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti manusia yang dianggap atau dipandang
memiliki sifat-sifat yang istimewa, karena itu sangat dihormati dan dikagumi. Sedangkan
Jawara menurut M.A Tihami adalah murid Kiyai dimana mereka lebih condong ke arah fisik
dan ilmu persilatan sehingga kemampuannya setelah keluar dari pesantren adalah mampu
membela diri.
Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah
persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang
menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini
melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Hubungan sosial
kota-desa di wilayah Banten masa Orde Baru masih mencerminkan pola hubungan
paternalistik. Pola hubungan ini tidak jarang mengakibatkan lahirnya praktek ekploitasi yang
lebih menguntungkan pihak kota.

1.6.3 Kondisi Pendidikan di Banten


Pendidikan memiliki peran sebagai sebuah gerakan penyadaran masyarakat.
Penyadaran yang dimaksud disini adalah bagaimana melalui pendidikan tertanam cita-cita
dalam diri masyarakat tentang perlunya mengubah diri dalam rangka pencapaian cita-cita
masa yang akan datang. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat
dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya
Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah
pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan
perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik
sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pada masa Orde Baru pemerintah belum merata di Banten, dalam wawancara dengan
penulis buku Catatan Masalalu Banten, Mudjahid Chudori mengatakan bahwa keadaan
pendidikan di Banten masa Orde Baru belum merata sepenuhnya di daerah Banten tercatat
dalam memori Mudjahid Chudori bahwa selama Orde Baru berlangsung, pendidikan di
Banten yang mengalami kemajuan adalah daerah Kabupaten Serang dan Kabupaten
Tangerang.
Alasan Kabupaten Serang dan Tangerang maju dalam hal pendidikan karena karena bebrapa
alasan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kabupaten Serang merupakan ibukota Residen Banten.
2. Tangerang merupakan tetangga ibukota Republik Indonesia.
3. Anggaran terserap banyak di Kabupaten Serang sebagai ibukota Residen Banten
Sedangkan daerah yang tertinggal di daerah keresidenan Banten masa Orde Baru
adalah Lebak, Pandeglang dan Cilegon Tarap pengetahuan penduduk wilayah Banten dapat
dikatakan relatif rendah. Indikator yang digunakan dalam memantau aspek pendidikan ini
adalah rata-rata Lama Sekolah (RLS). Untuk wilayah Banten, RLS penduduknya berkisar
antara 5 tahun dan 6 tahun dengan demikian rata-rata tingkat pendidikan wilayah Banten
adalah tidak tamat SD, Kecuali Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang dimana rata-
rata penduduknya adalah tamatan SD (Sekolah Dasar). Tinggi rendahnya rata-rata lama
sekolah sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan penduduk, partisipasi sekolah, geografi,
sarana dan prasarana pendidikan serta budaya dan perilaku masyarakatnya. Di wilayah
Banten pada umumnya angka partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar (SD) sudah cukup
tinggi walaupun masih berada di bawah Jawa Barat. Yang menjadi masalah adalah
meningkatnya partisipasi penduduk pada jenjang yang lebih tinggi (Angka Partisipasi Murni
SLTP dan SLTA), sangat jauh berada di bawah Jawa Barat.
Kondisi ini kemungkinan besar berkaitan dengan fenomena maupun kemungkinan
faktor budaya lokal yang ada seperti banyak orang tua yang memperkerjakan anaknya setelah
tamat pendidikan dasar bahkan sebelum tamat pendidikan Sekolah Dasar. Hal ini karena
untuk membantu ekonomi keluarganya, atau dinikahkan pada usia muda.

Anda mungkin juga menyukai