Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata
cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama
Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam
bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber
naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut
Hindu.
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum
Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam
masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi
prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka
anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan
Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-
naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga
awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-
patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak
batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya.
Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan
Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan
ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang,
Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah
yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas,
adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul
Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan
bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah
kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada
masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan
pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan, Banten Lama berfungsi sebagai
pelabuhan saja. Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten,
dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. Tapi disamping itu
pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua.
Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M
dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif
Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran
agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M,
beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun
kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun
berikutnya lahir pula Pangeran Hasanuddin.
Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari
Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang
menjadi Keraton Surosowan. Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh dan
digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai
negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Panjang. Disamping itu Banten juga
menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja
datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang
ada di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari
masjid Agung Banten. Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kyai Dukuh yang bergelar
Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf.
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan
sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah mencapai masa
kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah sebagian besar masyarakat
Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta
mubaligh Islam di Banten seperti tidak dapat disanksikan lagi dan penyebarannya melalui
jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.
Sejak awal abad kesembilan belas, pemerintah kolonial Belanda mulai berkuasa di
Hindia Belanda (Indonesia) menggantikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang
bubar pada tanggal 31 Desember 1799 dan seluruh aset miliknya dikuasai oleh Negara
Belanda. Bubarnya VOC disebabkan kesalahan urus dan persoalan korupsi para pejabatnya.
Selanjutnya, sebuah komisi Negara yang diketuai Sebastian Cornelis Nederburg bergelar
komisaris jenderal dibebani tugas bidang administrasi, hukum, dan pertahanan. Barulah
kemudian pada tahun 1808, si tangan besi, Herman Willem Deandels mengawali
kekuasaannya sebagai gubernur jenderal di Hindia Belanda.
Berita gembira itu terutama disampaikan kepada tokoh Banten yaitu K.H. Ahmad
Chatib, K.H. Sjamun, dan Zulkarnain Surya, serta tokoh pemuda seperti Ali Amangku dan
Ajip Dzuhri. Chaerul Saleh juga mengamanatkan agar para tokoh dan pemuda di Serang
segera merebut kekuasaan dari Jepang. Maka, Ali Amangku mendirikan Angkatan Pemuda
Indonesia (API). Sedangkan API Puteri dipimpin oleh Sri Sahuli.
Wilayah Banten yang dikenal dengan para Jawaranya dan tokoh-tokoh agama, serta
etnis Baduy, berdekatan dengan Ibukota Jakarta, sehingga secara politis cukup strategis bagi
pusat pemerintahan Republik Indonesia. Pada awal pemerintahan Orde Baru, wilayah Banten
dijadikan prioritas untuk “distabilkan” mengingat peran ulama dan jawara sangat kuat dan
dapat menggangu kebijaksanaan politik pemerintah pusat Republik Indonesia. Keberadaan
kantor sosial politik di setiap daerah merupakan salah satu kebijakan yang sangat efektif
dalam membantu setiap gerakan sekecil apapun yang dinilai dapat membahayakan negara
Pemerintah Republik Indonesia.
Lembaga tersebut mirip organisasi di negara-negara totaliter , melakukan
pengendalian (control) untuk mencegah terjadinya berbagai aspirasi yang bertentangan
dengan kebijaksanaan/politik pemerintah. Langkah tersebut sangat berhasil menjinakan
Banten yang ditunjukan dengan dukungan yang semakin besar bagi kemenangan Golkar
(Golongan Karya) dalam setiap Pemilihan Umum selama Orde Baru, terutama sejak tahun
1987 sampai dengan tahun 1997. Dalam masa tersebut suara Golkar terus meningkat,
sedangkan PPP dan PDI mengalami fluktuasi dengan perolehan jauh dibawah Golkar.
Banten terletak di Ujung Barat Pulau Jawa. Kondisi Banten dalam perpolitikan
mengalami banyak perubahan, wilayah Banten awalnya sebuah pusat ibukota kerajaan. Pada
masa kolonial Belanda ketika daerah Banten dikuasai oleh Belanda Banten berstatus
Afdeling, kemudian sejak tahun 1938 berubah nama menjadi Residentie. Sedangkan pada
masa pendudukan Jepang wilayah Banten bernama Shu. Di era Pemerintahan Republik
Indonesia, wilayah Banten menjadi Karesidenan, yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa
Barat.
Pada awal pemerintahan Orde Baru tahun 1967-1970 gerakan tuntutan provinsi
Banten gencar kembali, DPRD-GR tingkat satu pimpinan Kastura mengadakan dengar
pendapat dengan tokoh politik dan organisasi masyarakat di Serang tentang provinsi
Banten.Selama kekuasaan Orde Baru berlangsung, isu pembentukan Provinsi Banten
meredup karena dianggap membangkang terhadap pemerintah pusat, para tokoh Banten yang
ikut serta dalam kepanitiaan dijaga ketat oleh para militan Orde Baru sehingga para tokoh
Banten menemui kesulitan dalam membangun kembali keinginan membentuk Provinsi
Banten.
Pada awal gerakan reformasi, masyarakat Banten menjadi sangat mudah di
mobilisasi untuk menentang kelompok lain yang dianggap non-Islam dan menentang
pemerintah pusat. Hal tersebut dapat dilihat dari pergerakan Pasukan Pam Swakarsa dari
wilayah Banten yang memenuhi Jakarta pada saat Sidang Istimewa MPR tahun 1998.
Pasukan tersebut sebagian besar dari pesantren atau kelompok masyarakat yang masih
menghormati kepemimpinan ulama.
1.6.2 Kondisi Sosial Banten
Startifikasi sosial di Banten, pada awal di zaman Kesultanan, lapisan atas dalam
stratifikasi sosial adalah para sultan dan keluarga/keturunan sebagai lapisan bangsawan.
Kemudian para pejabat kesultanan dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan
selanjutnya, hilangnya Kesultanan Banten yang sebagian perannya beralih pada kiyai (Kaum
spritual) dalam stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas.
Namun perkembangan selanjutnya peran kiyai/ulama dapat tertandingi oleh
kehadiran Jawara, dimana Jawara mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat Banten.
Kata kiyai sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti manusia yang dianggap atau dipandang
memiliki sifat-sifat yang istimewa, karena itu sangat dihormati dan dikagumi. Sedangkan
Jawara menurut M.A Tihami adalah murid Kiyai dimana mereka lebih condong ke arah fisik
dan ilmu persilatan sehingga kemampuannya setelah keluar dari pesantren adalah mampu
membela diri.
Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah
persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang
menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini
melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Hubungan sosial
kota-desa di wilayah Banten masa Orde Baru masih mencerminkan pola hubungan
paternalistik. Pola hubungan ini tidak jarang mengakibatkan lahirnya praktek ekploitasi yang
lebih menguntungkan pihak kota.