Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banten merupakan salah satu bumi intelektualitas yang banyak melahirkan


ulama ilmiah dan pejuang. Syekh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten,
menjadi salah satu contoh teladan bagi kemajuan perkembangan gerakan
keagamaan Islam di Indonesia. Keulamaan beliau sangat dihormati oleh kalangan
tokoh-tokoh Islam Indonesia pada abad ke-18, tidak pelak lagi, banyak murid
yang dulu berguru kepadanya menjadi tokoh yang punya pengaruh besar di
nusantara. Di antara yang pernah menjadi murid beliau adalah pendiri Nahdlatul
Ulama (NU) almarhum Hadraatussyekh Kyai Haji Hasyim Asy’ari.

Banten tidak hanya dikenal dengan intelektualitas keulamaannya, tetapi


juga dari segi pewacanaan masa lampau, daerah ini menyimpan segudang sejarah
yang banyak dikaji oleh peneliti dari dalam maupun manca. Daerah yang dikenal
dengan permainan tradisional debusnya ini, banyak sekali dibahas dalam literatur-
literatur asing. Claude Guillot, seorang sejarawan dan arkeolog asal Prancis, tidak
bisa menyembunyikan kekagumannya akan kekayaan sumber-sumber sejarah
Banten, ia berujar bahwa, “... Banten adalah negeri yang kaya sekali akan sumber-
sumber sejarah. Kerajaan ini bukan hanya telah menulis sejarahnya sendiri,
melainkan juga merangsang banyak tulisan dari pengunjung-pengunjung asing,
khususnya Eropa...” Kekhasan dan keunikan sumber sejarah Banten yang beraneka ragam tidak
bisa lepas dari letak geografis yang berada di ujung barat Pulau Jawa dan
berbatasan Pulau Sumatera dengan Selat Sunda sebagai pemisah kedua wilayah.
Letak geografisnya menjadikan Banten -meminjam istilah Guillot- termasuk ke
dalam “dua dunia” yaitu Jawa dan Sumatera yang keduanya memiliki perbedaan
mendasar.

Posisi Banten berada di perbatasan antara dua tradisi utama nusantara,


yaitu tradisi Kerajaan Jawa dan tempat perdagangan Melayu.2 Keunikan itu
ternyata mempengaruhi komposisi budaya masyarakat Banten yang multikultural
dan sejak dahulu menjadi daerah ataupun kota kosmopolitan yang mempunyai
jaringan dagang sampai ke negeri Inggris pada abad ke-16.3
Memotret perkembangan Banten yang kini tengah menjadi salah satu
daerah industri nusantara, 4 tidak terlepas dari sejarah yang menyelimuti
sebelumnya. Sejak awal abad ke-16, pelabuhan Banten merupakan salah satu
pelabuhan besar Kerajaan Pajajaran setelah Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi3
para pedagang asing. Wilayah ini dikuasai oleh suatu kerajaan bercorak Hindu
dan merupakan daerah vassal dari Kerajaan Pajajaran, nama kerajaan itu terkenal
dengan nama Banten Girang. Penguasa terakhir Kerajaan Banten Girang adalah
Pucuk Umun.

Kebesaran Kerajaan Banten Girang sudah masyhur terdengar dan


didatangi oleh para pedagang asing yang terlibat dalam perdagangan lada.
Maklum saja, lada merupakan komoditas yang banyak terdapat di wilayah
kerajaan yang letaknya sekitar 13 kilometer dari arah pesisir laut ini. Selain itu,
kegiatan metalurgi atau pengolahan bijih besi menjadi sumber pendapatan bagi
masyarakat di Kerajaan Banten Girang. Banyaknya temuan beberapa alat-alat
dalam kegiatan metalurgi, berupa bungkah bijih besi, sebuah batu yang pernah
menjadi dasar sebuah dapur pengecoran besi, sejumlah besar terak besi dan sisa-
sisa benda besi di bekas situs kerajaan yang disebut juga Banten Hulu ini, cukup
menyakinkan bahwa kebesaran Kerajaan Banten Girang salah satunya disebabkan
oleh kegiatan ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan Banten sebelum masa kesultanan dan menjelang


masa pemerintahan?
2. Bagaimana pengembangan infrastrukur Kesultanan Banten?
3. Bagaimana pengembangan pemukiman masyarakat di Kesultanan Banten ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan Banten
Kerajaan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam di Provinsi Banten. Berikut sejarah
kerajaan Banten.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Kerajaan ini memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Cirebon dan
Kesultanan Demak. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, Sultan Cirebon kedua
adalah ayah dari Maulana Hasanuddin.
Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke
kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Ia
menjadi pemimpin pertama Kerajaan Banten yang memerintah pada 1522 sampai dengan
1570.
1. Letak dan Pendirian Kerajaan
Kerajaan Banten didirikan oleh Maulana Hasanudin, putra dari Syarif Hidayatullah,
Sultan Cirebon. Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana
Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke kawasan penghasil lada di
Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan ini. Selain itu, ia juga telah
memainkan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan
Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Kerajaan Demak terutama setelah meninggalnya Sultan
Trenggana, Banten mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang dapat berdiri
sendiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada 1570
melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan
Pajajaran pada 1579.
Ia lalu digantikan anaknya Maulana Muhammad yang mencoba menguasai
Palembang pada 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit pergerakan
Portugis di Nusantara. Sayang, ia gagal dan meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Selanjutnya pada masa Pangeran Ratu, anak Maulana Muhammad, mulai secara
intensif memainkan hubungan diplomasi. Ia mengirim surat untuk Raja Inggris, James I
pada 1605 dan pada 1629 untuk Charles I.

2. Masa Kejayaan
Kerajaan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam
menopang perekonomiannya. Kesultanan Banten berkembang pesat dengan menjadi
salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara. Banten kemudian menjadi
kawasan multietnis. Banten juga berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina, Tiongkok dan Jepang, dibantu orang Inggris, Denmark, dan Tionghoa.
Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah pada 1651-1682 dipandang sebagai masa
kejayaan Kerajaan Banten. Di bawah kekuasannya, Banten memiliki armada. Ia
mengupah orang Eropa untuk memperagakan pekerjaan pada Kesultanan Banten.
Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya
ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (sekarang Kalimantan Barat) dan
menaklukkannya pada 1661. Pada masa ini Banten juga berupaya keluar dari tekanan
yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melaksanakan blokade atas kapal-kapal
dagang menuju Banten.

3. Kemunduran
Kerajaan Banten mengalami kemunduran yang bermula dari perselisihan Sultan
Ageng Tirtayasa dengan sang putra, yakni Sultan Haji karena perebutan kekuasaan. VOC
lalu memanfaat keadaan tersebut dengan cara memihak Sultan Haji dan membuat Sultan
Ageng bersama dengan 2 orang puteranya, yakni Pangeran Purbaya serta Syekh Yusuf
harus mundur menuju pedalaman Sunda.
Pada 14 Maret 1683, Sultan Ageng kemudian ditangkap dan ditahan di Batavia. Ini
menyusul pada 14 Desember 1683, Syekh Yusuf juga ditangkap VOC serta Pangeran
Purbaya yang kemudian juga menyerahkan dirinya.
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan
kompensasi kepada VOC. Antara lain, pada 12 Maret 1682 wilayah Lampung diserahkan
kepada VOC. Ini seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint
Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten.
Akhirnya VOC juga memeeroleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Berdasarkan perjanjian pada 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian
akibat perang tersebut kepada VOC.
Sultan Haji kemudian meninggal pada 1687 dan VOC menguasai Banten. Ini
membuat pengangkatan Sultan Banten harus disetujui oleh Gubernur Jenderal Hindian
Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya untuk menggantikan Sultan
Haji dan kemudian digantikan kembali oleh Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul
Abidin.
Pada 1808 sampai dengan 1810, Gubernur Hindia Belanda melakukan penyerangan
ke Banten di masa pemerintahan Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin
Zainussalihin. Penyerangan ini terjadi karena Sultan tidak mau menuruti permintaan
Hindia Belanda yang ingin memindahkan ibu kota Banten ke Anyer.

4. Akhir Kerajaan dan Penghapusan


Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan
pemerintahan masa berikutnya. Konflik terjadi antara keturunan penguasa Banten,
ketidakpuasan masyarakat Banten, dan ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Pada 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-
1810) memerintahkan memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kota ke
Anyer. Banten juga diminta menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan
yang direncanakan hendak didirikan di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels. Sebagai jawabannya, Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Istana Surosowan dan dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan
saat ini diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan wilayah Kesultanan Banten menjadi kekuasaan Hindia Belanda.
B. Sejarah singkat Kerajaan Banten Sebelum periode Islam
Banten adalah kota penting yang masih dalam kekuasaan Pajajaran. Pada awalnya,
penguasa Pajajaran bermaksud menjalin kerjasama dengan Portugis untuk membantunya
dalam menghadapi orang Islam di Jawa Tengah yang telah mengambil alih kekuasaan dari
tangan raja-raja bawahan Majapahit. Namun, sebelum Portugis sempat mengambil manfaat
dari perjanjian dengan mendirikan pos perdagangan, pelabuhan Banten telah diduduki oleh
orang-orang Islam.
Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten pada 1525-1526 M. Kedatangan Sunan
Gunung Jati ke Banten adalah bagian dari misi Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak untuk
mengusir Portugis dari nusantara. Setelah berhasil menguasai Banten, Sunan Gunung Jati
segera mengambil alih pemerintahan, tetapi tidak mengangkat dirinya sebagai raja. Pada
1552 M, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon dan menyerahkan Banten kepada putra
keduanya,.Sultan.,Maulana..Hasanuddin.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdirinya Kesultanan Islam Banten;
Perpindahan ibukota kesultanan dari Banten Girang ke Banten Lama pada masa
Sultan Hasanuddin; Dampak perpindahan Ibukota terhadap perubahan ekologi kota
dan perubahan sosial ekonomis masyarakat; dan pengembangan infrastruktur dan
pemukiman masyarakat Banten sebelum masa kesultanan dan menjelang masa
pemerintahan..Sultan.Maulana..Yusuf.
Tentang Sultan Maulana Yusuf sebagai Sultan ke-2 di Kesultanan Banten dilihat
dari latar keluarga Sultan Maulana Yusuf dan latar pendidikan Sultan Maulana
Yusuf; kemudian akan dikaji konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis
melihat dari konsep historis dan konsep simbolisnya; dan penerapan konsep gawe
kuta baluwarti bata kalawan kawis pada pengembangan infrastruktur Kesultanan
Banten tahun 1570-1580 seperti yang dapat dilihat pada penyediaan fasilitas
infrastruktur Kesultanan Banten, seperti: keraton, masjid, pasar dan pelabuhan,
irigasi pertanian dan jaringan air bersih dan jaringan jalan
Secara khusus memperlihatkan pemukiman masyarakat
di Kesultanan Banten. Pembahasan bab ini dilihat dari: lapisan masyarakat di
Kesultanan Banten; penyediaan pemukiman masyarakat berdasarka pengelompokkan
lapisan masyarakat; dan pemukiman Kasunyatan sebagai pusat
keagamaan.

B. Saran.
Saran tersebut ditujukan baik kepada diri penulis sendiri, generasi muda maupun
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten selaku pihak yang paling berkepentingan
dalam kebijakan pembangunan fisik di Banten.

Anda mungkin juga menyukai