PENDAHULUAN
Benteng Speelwijk
Benteng Speelwijk adalah peninggalan kerajaan Banten sebagai bentuk dalam
membangun poros pertahanan maritim kekuasaan kerajaan di masa lalu. Benteng
setinggi 3 meter ini dibangun pada tahun 1585. Selain berfungsi sebagai pertahanan
dari serangan laut, benteng ini juga digunakan untuk mengawasi aktivitas pelayaran di
sekitar Selat Sunda. Benteng ini juga memiliki Mercusuar, dan didalamnya juga ada
beberapa meriam, serta sebuah terowongan yang menghubungkan benteng tersebut
dengan Istana Keraton Surosowan.
5. Danau Tasikardi
Danau Tasikardi
Di sekitar Istana Keraton Kaibon, ada sebuah danau buatan yaitu Danau
Tasikardi yang dibuat pada tahun 1570 – 1580 pada masa pemerintahan Sultan
Maulana Yusuf. Danau ini dilapisi dengan ubin dan batu bata. Danau ini dulunya
memiliki luas sekitar 5 hektar, tapi kini luasnya menyusut karena dibagian pinggirnya
sudah tertimbun tanah sedimen yang dibawa oleh arus air hujan dan sungai di sekitar
danau tersebut. Danau Tasikardi pada masa itu berfungsi sebagai sumber air utama
untuk keluarga kerajaan yang tinggal di Istana Keraton Kaibon dan sebagai saluran air
irigasi persawahan di sekitar Banten.
6. Vihara Avalokitesvara
Vihara Avalokitesvara
Walaupun kerajaan Banten adalah kerajaan Islam, tapi toleransi antara warga
biasa dengan pemimpinnya dalam hal agama sangat tinggi. Buktinya adalah adanya
peninggalan kerajaan Banten yang berupa bangunan tempat ibadah agama Budha.
Tempat ibadah umat Budha tersebut yaitu Vihara Avalokitesvara yang sampai
sekarang masih berdiri kokoh. Yang unik dari bangunan ini yaitu di dinding Vihara
tersebut ada sebuah relief yang mengisahkan tentang legenda siluman ular putih.
7. Meriam Ki Amuk
Meriam Ki Amuk
Seperti yang disebut sebelumnya, di dalam benteng Speelwijk adalah beberapa
meriam, dimana diantara meriam-meriam tersebut ada meriam yang ukurannya paling
besar dan diberi nama meriam ki amuk. Dinamakan seperti itu, karena konon katanya
meriam ini memiliki daya tembakan sangat jauh dan daya ledaknya sangat besar.
Meriam ini adalah hasil rampasan kerajaan Banten terhadap pemerintah Belanda pada
masa perang.
2.6 Keruntuhan Kesultanan Banten
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, muncul konflik di
istana kerajaan yang disebabkan oleh penentangan yang dilakukan Sultan Ageng
Tirtayasa terhadap VOC. Hal ini tidak disetujui oleh Sultan Haji selaku raja muda
pada saat itu sehingga terjadi keretakan di dalam istana yang oleh VOC kemudian
dimanfaatkan dengan mengusung politik Devide et Impera. VOC kemudian membantu
Sultan Haji dalam menentang Sultan Ageng Tirtayasa sehingga kekuasaannya
berakhir di bawah naungan VOC. Hal ini kemudian membuat raja-raja yang menguasi
kesultanan Banten adalah raja-raja yang lemah dalam hal pemerintahan sehingga
lambat laun, kesultanan Banten pun mengalami kemunduran.
Pada tahun 1680, perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan
Haji di Kesultanan Banten tidak bisa dielakkan. VOC yang saat itu melihat pertikaian
tersebut kemudian berusaha menjalankan politiknya dengan membantu Sultan Haji
melancarkan serangan terhadap Sultan Ageng Tirtayasa. Hal itu kemudian memicu
perang saudara yang pada akhirnya menimbulkan keruntuhan kerajaan Banten.
Untuk memperkuat posisi, Sultan Haji dan Sultan Abu Nashar kemudian
mengirimkan dua orang utusan untuk menghadap kepada Raja Inggris di London
dalam meminta dukungan dan bantuan persenjataan dalam menghadapi Sultan Ageng
Tirtayasa. Kondisi tersebut membuat Sultan Ageng mau tidak mau harus mundur dari
istana dan pindah ke kawasan yang kemudan dinamakan Tirtayasa. Namun, pada
Desember 1682, kawasan tersebut juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC
sehingga Sultan Ageng bersama puteranya harus mundur ke Pedalaman Sunda.
Lantas pada tahun 1683, Sultan Ageng ditangkap dan ditahan di Batavia.
Meskipun Sultan Ageng sudah tertangkap, namun pertahanan kesultanan masih
dipegang oleh puteranya Pangerang Purbaya dan Syeikh Yusuf. Untuk menghadapi
keduanya, maka VOC kemudian mengirim Untung Surapati yang pada saat itu
berpangkat sebagai letnan untuk bergabung bersama dengan pasukan yang dipimpin
Letnan Johannes Maurits van Happel dalam mengambil alih kawasan Pamotan dan
Dayeuh Luhur.
Kondisi seperti ini tak ayal membuat Syeikh Yusuf tertangkap dan membuat
Pangerang Purbaya menyerahkan diri kepada mereka. Di tengah perjalanan
penjemputan Pangeran Purbaya, Untung Surapati mendapati masalah karena harus
bertikai dengan pasukan VOC lainnya. Hal ini membuat Untung juga menjadi buronan
VOC.
Bantuan VOC terhadap Sultan Haji tidak diberikan cuma-cuma, Sultan Haji
wajib memberikan kompensasi kepada VOC berupa wilayah Lampung yang kemudian
diserahkan kepada VOC. VOC juga memperoleh hak untuk memonopoli perdagangan
lada di Lampung. Tidak hanya itu, Sultan Haji juga harus mengganti kerugian akibat
perang saudara yang ditimbulkan kepada VOC sehingga pada saat Sultan Haji wafat,
pengaruh VOC di wilayah Kesultanan Banten pun semakin kuat.
Beberapa raja di Kesultanan Banten selanjutnya tidak bisa meningkatkan
kembali kejayaan Kesultanan Banten seperti halnya yang dilakukan Sultan Ageng
Tirtayasa sehingga masa pemerintahan di Kesultanan pun menjadi tidak stabil dan
mengalami banyak konflik serta ketidakpuasan masyarakat Banten atas apa yang
dijalankan oleh kesultanan pada masa itu. Hal ini kemudian berujung pada keruntuhan
Kerajaan Banten di bawah naungan VOC.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Pada tahun 1526, berdiri Kerajaan Banten dengan raja pertama yaitu Maulana
Hasanuddin.
2. Kerajaan Banten mempunyai 16 raja, dan mencapai masa kejayaan pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Kerajaan Banten mempunyai rasa toleransi yang tinggi, ini terbukti dari
ditemukannya bangunan peninggalan Kerajaan Banten berupa vihara.
4. Kerajaan Banten runtuh karena adanya konflik dengan VOC. Taktik Devide
et Impera dari VOC berhasil membuat Kerajaan Banten diselimuti konflik.
Ditambah lagi tidak ada pemimpin yang kuat setelah Sultan Ageng Tirtayasa
meninggal.
b. Saran
1. Untuk diperhatikan lagi dalam penulisan agar tidak terjadi kesalahan dalam
menulis.