Anda di halaman 1dari 25

Kerajaan Islam di Pulau Jawa

KESULTANAN DEMAK

Masjid Agung Demak yang dibangun menggunakan gaya arsitek Jawa tradisional

Kerajaan Demak adalah kesultanan islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah
pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari
kerajaan Majapahit, dan terpecah menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa
dan Indonesia pada umumnya.

Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-
kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada
masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng
Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging
mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.

A. Kehidupan Politik Kerajaan Demak


a. Raden Patah

Raden Patah dianggap sebagai pendiri dari kerajaan Demak dan merupakan orang yang
berhubungan langsung dengan kerajaan Majapahit. Salah satu bukti menyebutkan bahwa
beliau adalah putra dari raja Brawijaya V dari Majapahit (1468-1478). Beliau memerintah
dari tahun 1500-1518. Di bawah pemerintahnya, Demak mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Hal itu disebabkan Demak memiliki daerah pertanian yang sangat luas sebagai
penghasil bahan makanan terutama beras. Oleh karena itu, Demak menjadi kerajaan agraris-
maritim.

Wilayah kekuasaan Demak tak hanya sebatas pantai utara Jawa, seperti Semarang, Jepara,
Tuban, dan Gresik tapi hingga ke Jambi dan Palembang di Sumatera timur.

Wali Sanga sangat membantu dalam penyebaran agama Islam di Jawa

Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran
agama Islam. Jasa para wali dalam penyebaran agama Islam sangat besar, baik di pulau Jawa
maupun daerah-daerah di luar Pulau Jawa, seperti penyebaran agama Islam ke daerah Maluku
dilakukan oleh Sunan Giri, ke daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu
dari Demak yang bernama Tunggang Parangan. Pada masa pemerintahan Raden Patah,
dibangun masjid Demak yang pembangunan masjid itu dibantu oleh para wali atau sunan.
Akan tetapi, ketika Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 M, hubungan
Demak dan Malaka terputus. Kerajaan Demak dirugikan oleh Portugis dalam aktivitas
perdagangan.

b. Pati Unus

Pada tahun 1513 Raden Patah memerintahkan Pati Unus


memimpin pasukan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Serangan itu belum
berhasil, karena pasukan Portugis jauh lebih kuat dan persenjataannya lengkap. Atas
usahanya itu Pati Unus mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.

Setelah Raden Patah wafat, tahta Kerajaan Demak dipegang oleh Pati Unus. Ia memerintah
Demak dari tahun 1518-1521 M. Masa pemerintahan Pati Unus tak begitu lama karena ia
meninggal dalam usia yang masih sangat muda dan tak meninggalkan seorang putra mahkota.
Walaupun usia pemerintahannya tak begitu lama, namun namanya cukup dikenal sebagai
panglima perang yang memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Malaka.

c. Sultan Trenggana
Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah
Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut
Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana
(1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan
Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima
perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi
menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.

B. Keruntuhan Demak

Arya Penangsang memngambil alih Kerajaan Demak setelah mengalahkan Sunan Prawoto

Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan
Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya
terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya “dihabisi” oleh suruhan Arya
Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi
penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati
Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.

Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak
angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana
ia mendirikan Kesultanan Pajang.
C. Kehidupan di Demak

Upacara Sekaten

Perekonomian di Kerajaan Demak berkembang dengan pesat dalam dunia maritim karena
didukung oleh penghasilan dalam bidang agraris yang cukup besar. Kerajaan Demak
mengusahakan kerjasama yang baik dengan daerah-daerah di pantai utara Pulau Jawa yang
telah menganut agama Islam sehingga tercipta semacam federasi atau persemakmuran dengan
Demak sebagai pemimpinnya.

Kehidupan sosial Kerajaan Demak kebanyakan telah diatur oleh aturan -aturan Islam tapi
tak juga meninggalkan tradisi yang lama.

Kebudayaan yang berkembang di Kerajaan Demak mendapat dukungan dari para wali
terutama Sunan Kalijaga. Masjid Demak dan perayaan Sekaten adalah salah satu peninggalan
budayanya.

KERAJAAN BANTEN

Wilayah kekuasaan Kerajaan Banten semasa peninggalan Hasanuddin

Kerajaan Banten didirikan oleh Hasanuddin pada abad ke 16 dan terletak di barat laut Banten
atau Jawa pada umumnya. Hasanuddin sendiri adalah putra dari Fatahillah atau Sunan
Gunung Jati dan mencapai masa keemasan pada kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan posisi yang strategis inilah yang membuat Kerajaan Banten menjadi kerajaan besar
di Jawa Barat dan bahkan menjadi siangan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan di
Batavia.

A. Kehidupan Politik Kerajaan Banten

a. Raja Hasanuddin

Pengislaman Banten oleh Fatahillah membawa pada berdirinya Kerajaan Banten

Setelah Banten diislamkan oleh Fatahillah, daerah Banten diserahkan kepada putranya yang
bernama Hasanuddin. Ia memerintah Banten dari tahun 1552-1570 M. Ia meletakkan dasar-
dasar pemerintahan Kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama. Pada
masa pemerintahannya, agama Islam dan kekuasaan kerajaan Banten dapat berkembang cuup
pesat.

Raja Hasanuddin juga memperluas wilayah kekuasaannya ke Lampung. Dengan menduduki


daerah Lampung, maka Kerajaan Banten merupakan penguasa tunggal jalur lalu lintas
pelayaran perdagangan Selat Sunda, sehingga setiap pedagang yang melewati Selat Sunda
diwajibkan untuk melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Banten.

b. Panembahan Yusuf, Maulana Muhammad, Abu’ Mufakir

Setelah wafatnya Raja Hasanuddin tahun 1570 M, putranya yang bergelar Panembahan Yusuf
menjadi Raja Bnaten berikutnya. Ia berupaya untuk memajukan pertanian dan pengairan. Ia
juga berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya. Setelah 10 tahun
memerintah, Panembahan Yusuf wafat akibat sakit keras yang dideritanya.

Setelah Panembahan Senopati wafat digantikan oleh putranya yang baru berumur sembilan
tahun bernama Maulana Muhammad dengan gelar Kanjeng Ratu Benten. Mangkubumi
menjadi wali raja. Mangkubumi menjalankan seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan samapi
rajanya siap untuk memerintah.

Pada tahun 1596 M Kanjeng Ratu Banten memimpin pasukan kerajaan untuk menyerang
Palembang. Tujuannya untuk menduduki bandar dagang yang terletak di tepi selat Malaka
agar bisa dijadikan tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi lainnya dari Sumatera.
Palembang akan dikuasainya, tetapi tak berhasil, malah Kanjeng Ratu Banten tertembak dan
wafat. Tahta kerajaan kemudian berpindah kepada putranya yang baru berumur lima bulan
yang bernama Abu’ Mufakir.

Abu’ Mufakir dibantu oleh wali kerajaan yang bernama Jayanegara. Akan tetapi, ia sangat
dipengaruhi oleh pengasuh pangeran yang bernama Nyai Emban Rangkung. Pada tahun
1596 M itu juga untuk pertama kalinya orang Belanda tiba di Indonesia di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman. Mereka berlabuh di pelabuhan Banten. Tujuan awal mereka datang ke
Indonesia adalah untuk membeli rempah-rempah.

c. Sultan Ageng Tirtayasa

Setelah wafat, Abu’ Mufakir digantikan oleh putranya


dengan gelar Sultan Abu’ Mu’ali Ahmad Rahmatullah. Tetapi berita tentang pemerintahan
sultan ini tidak dapat diketahui dengan jelas. Setelah Sultan Abu’ Ma’ali wafat, ia digantikan
oleh putranya yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah Banten dari tahun 1651-
1692 M.

Di bawah pemerintahannya, Banten mencapai masa kejayaannya. Ia berupaya untuk


memperluas kerajaannya dan mengusir Beland adari Batavia. Di samping itu, ia
memerintahkan kepada pasukan Banten untuk mengadakan perampokan terhadap Belanda di
Batavia.

Pada tahun 1671 M Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota menjadi raja
pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar. Beliau lebih dikenal dengan Sultan Haji. Sultan
Haji membuat hubungan yang erat dengan Belanda dan hal itu mebuat ayahnya menarik
kembali tahta kerajaan. Kemudian terjadilah perang saudara diantara keduanya. Peperangan
dimenangkan oleh Sultan Haji dan pada akhirnya membawa kehancuran pada Kerajaan
Banten sendiri.

B. Kehidupan di Banten

Masjid Agung Banten

Kerajaan Banten terletak di ujung Pulau Jawa, yaitu daerah Banten sekarang. Daerah Banten
berhasil direbut dan diislamkan oleh Fatahillah dan berkembang sebagai banda perdagangan
dan pusat penyebaran Islam. Banten yang cepat maju dikunjungi oleh pedagang-pedagang
asing seperti pedagang Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu (Myanmar), Keling, Portugis, dan
lain-lain. Di Banten pun banyak berkembang perkampungan-perkampungan menurut asal
bangsa itu. Kehidupan sosialnya kebanyakan telah mendapat pengaruh Islam. Tak banyak
hasil kebudayaan yang dapat diperoleh dari Kerajaan Banten karena kerajaan ini banyak
bergantung pada hasil pelayaran dan perdagangan. Masjid Agung Banten (Grand Mosque of
Banten) adalah salah satu hasil peninggalannya yang dibangun sekitar abad ke-16.
KERAJAAN MATARAM

Kota Gede, bekas ibukota Mataram Islam

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya,
keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang,
Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan
tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang
dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di
Karawang.

A. Kehidupan Politik di Mataram Islam


a. Panembahan Senapati

Pada mulanya daerah Mataram merupakan sebuah kadipaten yang diperintah oleh Kiai Gede
Pamanahan (bekas kepala prajurit Hadiwijaya yang mengalahkan Arya Penangsang).

setelah Kiai Gede Pamanahan wafat tahun 1575 M, kedudukan sebagai adipati Mataram
digantikan oleh putranya yang bernama Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senapati ing
Aloko Saidin Panotogomo. Ia bercita-cita menguasai tanah Jawa. Oleh karena itu, berbagai
persiapan dilakukan di daerah seperti memperkuat pasukan Wijaya dan penyerahan tahta dari
pangeran Benowo kepada Senapati.

Setelah berhasil membentuk kerajaan Mataram, Senapati mengadakan perluasan wilayah


kerajaan dan menduduki daerah-daerah pesisir pantai seperti Surabaya. Adipati Surabaya
menjalin persekutuan dengan Madiun dan Ponorogo dalam menghadapi Mataram. Namun
Ponorogo dan Madiun berhasil dikuasai Mataram. Selanjutnya Pasuruan dan Kediri berhasil
direbut. Adipati Surabaya berhasil dikalahkan. Dengan demikian dalam waktu singkat
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan
Mataram.

b. Mas Jolang

Mas Jolang memerintah Mataram dari tahun 1601-1613 M. di bawah pemerintahannya,


Kerajaan Mataram diperluas lagi dengan mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di
sekitarnya. Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan Mas
Jolang adalah Ponorogo, Kertosono, Kedir, Wirosobo (Mojoagung). Pada tahun 1612 M,
Gresik-Jeratan berhasil dihancurkan. Namun, karena berjangkitnya penyakit menular maka
pasukan Mataram yang langsung dipimpin oleh Mas Jolang terpaksa kembali ke pusat
Kerajaan Mataram. Pada tahun 1613 M, Mas Jolang wafat di desa Krapyak dan dimakamkan
di Pasar Gede. Selanjutnya ia diberi gelar Pangeran Seda ing Krapyak.
c. Sultan Agung

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih
dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari
pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan
Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw.
“kertå”, maka muncul sebutan pula “Mataram Kerta”). Akibat terjadi gesekan dalam
penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram
lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam
beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di
Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

d. Amangkurat 1
Amangkurat 1 memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu,
ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan “sunan” (dari “Susuhunan” atau “Yang
Dipertuan”). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya
dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika
mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum.

e. Amangkurat 2

Amangkurat 2 memerintah Mataram dari tahun 1677-1703 M. di bawah pemerintahannya,


wilayah kekuasaan Kerajaan Matarm semakin sempit. Sebagian daerah-daerah kekuasaan
diambil alih Belanda. Amangkurat II yang tidak tertarik untuk tinggal di ibukota Kerajaan,
selanjutnya mendirikan Ibu Kota baru di desa Wonokerto yang diberi nama Karta Surya. Di
Ibu Kota inilah Amangkurat II menjalankan pemerintahannya terhadap sisa-sisa kerajaan
Mataram, hingga akhirnya meninggal tahun 1703 M.

B. Keruntuhan Mataram Islam

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I


(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak
menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan
internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi “king in exile” hingga tertangkap di
Batavia lalu dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta
tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama
diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian
sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta adalah “ahli waris” dari Kesultanan Mataram.
C. Kehidupan di Mataram

Upacara Grebeg

Mataram yang letaknya jauh di pedalaman Jawa Tengah adalah sebuah negara agraris, yaitu
negara yang mengutamakan pertanian sebagai sumber kehidupan. Di bawah pemerintahan
Sultan Agung, kehidupan perekonomian masyarakatnya berkembang sangat pesat dengan
didukung oleh hasil bumi yang melimpah.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung pula dilakukan usaha memperluas areal persawahan
dan memindahkan banyak petaninya ke daerah Karawang yang sangat subur sehingga
terbentuklah masyarakat feodal.

Upacara Grebeg yang bersumber dari pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri
gunungan merupakan tradisi dari zaman Majapahit.
KESULTANAN CIREBON

Pintu masuki ke Keraton Cirebon Kanoman

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15
dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran
antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan
Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon
yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

A. Kehidupan Politik di Kesultanan Cirebon

a. Pangeran Cakrabuana

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa).
Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian
Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim
dan Raden Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang – ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran
adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan
oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap
sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji
Abdullah Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah dari keraton
Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

b. Sunan Gunung Jati

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang
dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah
(1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar
Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan
bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai
pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama
Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan
Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi
kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah
Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun,
Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

c. Fatahillah,Panembahan Ratu1 dan Panembahan Ratu 2

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton
yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh
Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon
secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon
hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah
Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati
di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran
Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan
Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim,
karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula
dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan


kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh
mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya
Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran
Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan


Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram
di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi
makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

B. Kehidupan di Cirebon

Keraton Cirebon Kasepuhan

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil
yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa
yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur
para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata
pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan
terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

About these ads

Rate this:

9 Votes

Share this:




Related

Sinkretisme Agama di Indonesia (The syncretism)In "Knowledge"

Sistem Pemerintahan di Berbagai NegaraIn "Knowledge"

Pemakaian & Pelestarian Bahasa Jawa Suroboyoan Pada Masa KiniIn "Knowledge"

Post navigation

16 thoughts on “Kerajaan Islam di Pulau Jawa”

1. diko
wuach muakasih banget. stelah skian lama baru tergambar alur nya. thanks brow

Rate This

Reply

February 28, 2012 at 9:40 AM

2. gina aulia

duhhhhh kubingung
kerajaan tertua d pulau jawa apa yh
udh d cari,kok gk dpt jga yhhhhhhhh

Rate This

Reply

September 2, 2012 at 7:51 PM

o Aul

itu pendirinya siapa?


0

Rate This

Reply

January 29, 2016 at 1:27 PM

3. KRT. TEDJONAGORO MM.Msc

Kerajaan tertua di jawa namaya PUCANG SULA di daerah Rembang blora.Berdiri


230 SM.

Rate This

Reply

September 8, 2012 at 4:33 PM

4. Sumhy

Kerajaa2 islam di pulau jawa sangat top patut untuk di baca2 ambl sikap positif.Aa
dan buank sikap negatif.Aa
4

Rate This

Reply

October 10, 2012 at 8:51 PM

5. rahma

emang enak ya ceritanya nyampe gue nangis-nangisan


pantes aje gue suka sama pelajaran ips
wuenak sekali ceritanya

Rate This

Reply

December 3, 2012 at 11:38 AM

6. poker online bank bca

Wow that was strange. I just wrote an extremely long comment but
after I clicked submit my comment didn’t show up. Grrrr…
well I’m not writing all that over again. Anyways, just wanted to say superb blog!
1

Rate This

Reply

January 22, 2014 at 12:30 PM

7. Shada Intishar

Itu beneran gambarnya kayak gitu?


di situs-situs pendidikan, gambar raja-rajanya nggak kayak gitu loh.
Terutama di bagian kerajaan mataram.
Kalo boleh tau, dapet sumber gambar dari mana ya?

Rate This

Reply

March 22, 2014 at 5:27 PM

o Helmi Airan

Beberapa gambar didapatkan dari Internet

4
2

Rate This

Reply

March 22, 2014 at 9:28 PM

8. r.punomo edi .s

pucang sula,alkhamdulilah tambah satu nama kerajaan tertua di jawa,tapi kok ndak
tertulis dalam sejarah,mohon penjelasan pak.

Rate This

Reply

January 22, 2015 at 11:01 AM

9. bima

nceeeeeee broo gua jdi bnyak menambah ilmu mkasiih ya

1
Rate This

Reply

February 12, 2015 at 3:13 PM

10. putra

yg di jawa timur?

Rate This

Reply

February 12, 2015 at 3:22 PM

11. galuhmauliditya

apakah ini ada file format ppt ? bisa download ??

Rate This
Reply

February 18, 2015 at 10:48 PM

o Helmi Airan

tidak untuk diunduh hehehe

Rate This

Reply

June 7, 2015 at 11:34 PM

12. amadamirudin

gambar sultan ageng tirtayasa ko sama seperti sultan hasanuddin

Rate This

Reply

April 12, 2015 at 9:58 AM


13. Fadil Rasyif

apa hubangan antara kerajan majapahit,demak,pajang,mataram,banten,cirebon

Rate This

Reply

April 27, 2015 at 7:06 PM

Leave a Reply

Blog at WordPress.com. | The Fictive Theme.

Anda mungkin juga menyukai