Cirebon memiliki jejak yang kaya dari masa pra-Islam yang telah membentuk
sejarah dan budaya wilayah ini. Ini adalah periode sejarah yang sangat penting yang
mencakup berbagai kerajaan yang ada sebelum agama Islam diperkenalkan. Mari kita
menjelajahi lebih dalam tentang jejak kerajaan pra-Islam di Cirebon.
1. Kerajaan Galuh
Salah satu kerajaan terawal yang mencetak jejaknya di wilayah Cirebon adalah
Kerajaan Galuh. Kerajaan ini diyakini berdiri sekitar abad ke-7 hingga abad ke-10
Masehi. Galuh terkenal karena sistem pemerintahannya yang maju dan terorganisir.
Mereka juga memiliki budaya yang kaya, yang tercermin dalam seni, arsitektur, dan
tradisi mereka. Kerajaan Galuh meninggalkan banyak peninggalan bersejarah, termasuk
prasasti-prasasti dan artefak seni. Ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana
masyarakat pra-Islam di Cirebon hidup dan berinteraksi.
2. Kerajaan Tarumanegara
Salah satu kerajaan yang paling penting dalam sejarah Cirebon adalah Kerajaan
Sunda Galuh. Kerajaan ini berdiri dari abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi. Pusat
pemerintahan Sunda Galuh terletak di Pedukuhan Tegal Alang-Alang (dahulu dikenal
sebagai "Kawali"), yang merupakan bagian integral dari Cirebon. Kerajaan Sunda Galuh
adalah salah satu kerajaan terbesar di Pulau Jawa pada masanya dan memiliki pengaruh
besar dalam pengembangan budaya dan struktur sosial di wilayah ini. Mereka memiliki
sistem pemerintahan yang terorganisir dengan baik dan meninggalkan banyak
peninggalan bersejarah seperti prasasti, seni, dan arsitektur.
1
Dahlan Syukur, (CIREBON PRA ISLAM) GEO BUDAYA CIREBON, KERAJAAN, KERAJAAN PRA ISLAM,
PEDUKUHAN TEGAL ALANG-ALANG [Berita Online Detik.Com 20 Oktober 2023 05:12] tersedia di situs :
https://www.kompasiana.com/dahlansyukur5110/6531a1deee794a5b9f68a162/cirebon-pra-islam-geo-budaya-
cirebon-kerajaan-kerajaan-pra-islam-pendukuhan-tegal-alang-alang?page=all#section2
Namun, beliau tidak memilih menjadi raja, tetapi memutuskan untuk kembali ke
Kerajaan Cirebon.
Sementara itu, raja pertama Kesultanan Banten diserahkan kepada putra Sunan
Gunung Jati, yaitu Maulana Hasanuddin. Di bawah kepemimpinannya tersebut, Sultan
Maulana Hasanuddin mengembangkan pelabuhan Banten menjadi pusat perdagangan
untuk kancah internasional karena posisinya yang cukup strategis. Di sisi lain,
Kesultanan Cirebon selama di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati juga mengalami
perkembangan pesat di bidang perekonomian, agama, serta politik.
Pada 1479, kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh putra adiknya yang
bernama Syarif Hidayatullah. Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati, dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah. Pada masa
kepemimpinannya, Kesultanan Cirebon mengalami pertumbuhan dan perkembangan
pesat baik di bidang agama, politi, maupun perdagangan. Di sektor politik, Cirebon
mampu merebut pelabuhan Sunda Kelapa bersama Demak pada 1527 untuk
membendung pengaruh Portugis. Sementara di bidang perekonomian, Sunan Gunung Jati
menitikberatkan pada perdagangan dengan berbagai bangsa, seperti Campa, Malaka,
India, Cina, dan Arab. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-
raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa
Barat.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, sempat terjadi kekosongan kekuasaan. Bahkan
Kesultanan Cirebon mulai diincar oleh VOC. Kekosongan ini kemudian diisi oleh pejabat
keraton yang melaksanakan tugas ketika Sunan Gunung Jati berdakwah, yaitu Fatahillah.
Namun, Fatahillah hanya menjabat selama dua tahun karena pada 1570 dirinya wafat.
Setelah Fatahillah wafat, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati
yang bernama Pangeran Emas. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I
dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Perkembangan Islam di Cirebon memiliki akar yang panjang, dimulai pada abad
ke-15. Kesultanan Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah tersebut, dengan
pengaruh dari pedagang dan ulama dari berbagai daerah. Kesultanan ini memainkan
2
Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada, Raja-Raja Kerajaan Cirebon, [Berita Online Kompas.Com 27/04/2021, 16:44
WIB] tersedia di situs : https://www.kompasiana.com/dahlansyukur5110/6531a1deee794a5b9f68a162/cirebon-pra-
islam-geo-budaya-cirebon-kerajaan-kerajaan-pra-islam-pendukuhan-tegal-alang-alang?page=all#section2
peran penting penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat. Pada abad ke-16,
Kesultanan Cirebon dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing dipimpin oleh tiga
pangeran, yang masing-masing memiliki pengaruh dan dukungan dari kelompok
masyarakat tertentu. Ini membentuk latar belakang kultural yang kaya di Cirebon, dengan
pengaruh Islam yang kuat dalam seni, budaya, dan arsitektur kesultanan. Pada abad ke-
17, Kesultanan Cirebon mengalami beberapa perubahan dan pergeseran kekuasaan.
Munculnya Belanda sebagai kekuatan kolonial di wilayah ini mempengaruhi dinamika
politik dan ekonomi kesultanan. Meskipun demikian, Islam tetap menjadi faktor penting
dalam kehidupan masyarakat Cirebon. Pada masa ini, pengaruh Islam semakin mengakar
dalam institusi kesultanan dan kehidupan sehari-hari, serta menginspirasi seni dan budaya
lokal. Pada abad ke-19, Kesultanan Cirebon secara de facto menjadi bagian dari Hindia
Belanda, dan pengaruh kolonial semakin kuat. Namun, tradisi dan budaya Islam tetap
terus berkembang di tengah pengaruh Barat. Pendidikan agama dan penyebaran ajaran
Islam terus dilakukan oleh ulama dan pesantren di Cirebon.
Pada era modern, setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945, Islam
terus menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Cirebon. Pesantren-pesantren
dan lembaga pendidikan Islam berperan dalam menyebarkan ajaran agama dan
melahirkan pemimpin-pemimpin agama serta intelektual muslim yang berpengaruh.
Peningkatan konektivitas dan akses informasi juga memungkinkan penyebaran berbagai
interpretasi dan praktik Islam.
Dalam beberapa dekade terakhir, Cirebon telah mengalami perubahan sosial dan
ekonomi yang signifikan. Perkembangan ini juga mencerminkan dalam wajah Islam di
wilayah ini. Munculnya gerakan-gerakan dakwah dan organisasi-organisasi keagamaan,
bersama dengan kemajuan teknologi, telah membentuk dinamika baru dalam cara
masyarakat menghayati dan mempraktikkan agama.
Pada Tahun 1649 Sampai dengan 1662 terjadi gesekan kepentingan di Cirebon,
Mataram pada waktu itu menginginkan Cirebon tetap dibawah kendalinya, pun Juga
dengan Banten merasa perlu menarik Cirebon untuk bergabung dengan Banten agar
membangkang dari Mataram, Dalam Istana Cirebon terpecah menjadi dua kubu, ada yang
condong ke Mataram dan adapula yang Condong ke Banten. Puncaknya, pada tahun
1660-1661 Ketika Panembahan Girilaya berkunjung ke Mataram untuk seba ke Sultan
Mataram yang sekaligus juga sebagai mertuanya, dimana dalam kunjungannya itu Sultan
Mataram Menekan Cirebon Agar tegas menolak Banten dan tetap berada dibawah
Mataram, namun demikian ternyata kemudian Panembahan Girilaya menolaknya hingga
kemudian atas peristiwa penolakan tersebut Panembahan Girilaya beserta kedua putra
mahkota Cirebon ditawanan Kesultanan Mataram, dan tidak boleh pulang ke Cirebon,
dalam penahanan itu Panembahan Girilaya dikabarkan wafat karena diguna-guna pada
tahun 1662. Setelah Kewafatan Panembahan Girilaya, terjadi kegoncangan di Cirebon, di
Cirebon selama 16 tahun setelah kewafatan Sultan Cirebon ke III tersebut tidak
mempunyai Seorang Sultan, urusan Pemerintahan dipegang oleh Pejabat Pengganti
Sultan yang dijabat oleh Pangeran Wangsakerta anak dari Panembahan Girilaya dari istri
lainnya. Setelah 16 tahun berselang, di Mataram terjadi pemberontakan Trunojoyo,
pemberontakan itu didukung oleh orang-orang Banten dan Cirebon, pemberontakan
itupun berhasil menguasai Istana Mataram, Pangeran Cirebon yang disekap kemudian
dapat diselamatkan pemberontak dan dibawa ke Kediri. Sementara Amangkurat I yang
kala itu menjadi Raja Mataram melarikan diri namun kemudian wafat dalam pelarian.
Kasepuhan sendiri berasal dari kata Sepuh yang berarti tua, sementara Kanoman
sendiri berasal dari kata Nom yang berarti muda, jadilah setelah itu kemudian Cirebon
terdapat II Kerajaan, yakni kerjaan Tua dan Muda, dengan Wilayah kekuasaan masing-
masing. Berdirinya kedua kesultanan Cirebon itu menandai bebasnya Cirebon dengan
Mataram, pada waktu ini Cirebon dibawah perlindungan Banten. Mulai saat itu juga gelar
Panembahan untuk Raja Cirebon dihapuskan digantikan dengan gelar Sultan yang
mendapatkan legitimasi dari Kesultanan Banten. Terpecahnya Cirebon menjadi II
kerajaan tersebut terjadi pada Tahun 1678 Masehi. Penamaan Sepuh dan Nom dalam
menamai kedua kesultanan tersebut karena Pangeran Merta Wijaya merupakan Pangeran
yang lebih Tua dari Pangeran Kertawijaya sementara Pangeran Kertawijaya lebih muda
dari Pangeran Merta Wijaya, karena kedua Sultan tersebut pada dasarnya merupakan
kakak dan adik.
Dengan demikian mulai tahun 1807 Cirebon terpecah menjadi Tiga kerajaan,
Kasepuhan, Kanoman dan Kacirbonan. Peristiwa Pengangkatan Pangeran Pro rakyat itu
kemudian berangsur-angsur memadamkan Pemberontakan yang dipimpin Kiyai Bagus
Rangin dan Kiyai Bagus Serit. Selanjutnya setelah peristiwa terpecahnya Cirebon
menjadi III kerajaan tersebut, selanjutnya berimbas pada kehancuran Cirebon secara
perlahan-lahan, terlebih-lebih setelah itu kemudian para Sultan sudah tidak lagi punya
wewenang dalam memerintah, Pemerintahan diambil alih Penjajah Belanda sementara
para Sultan hanya dijadikan simbol penguasa lokal dan pendapatannya berasal dari gajih
yang diberikan Belanda dalam tiap bulannya. Dengan demikian, sumber ekonomi