Anda di halaman 1dari 11

Silsilah Kerajaan Islam di Cirebon

Dosen Pengampu : Basiran, S.Ag. MA


Mata Kuliah : Cirebonologi
Semester/Kelas : 2D
Jurusan : Akuntansi Syari’ah
Oleh Kelompok 2 :
1. Fahru Ravi ( 2382130120 )
2. Halimatus sa'diyyah (2382130147)
3. Ismah Indana Zulfa (2382130155)
4. Sindi Rahmawati (2382130131)

Silsilah Kerajaan Islam di Cirebon

1. Konteks Sejarah Pra-Kesultanan Cirebon


2. Sunan Gunung Jati dan Pendirian Kesultanan Cirebon
3. Silsilah Penguasa Kesultanan Cirebon
4. Pembangunan Budaya dan Agama
5. Penurunan dan Akhir Kesultana Cirebon

A. Konteks Sejarah Pra-Kesultanan Cirebon

Cirebon memiliki jejak yang kaya dari masa pra-Islam yang telah membentuk
sejarah dan budaya wilayah ini. Ini adalah periode sejarah yang sangat penting yang
mencakup berbagai kerajaan yang ada sebelum agama Islam diperkenalkan. Mari kita
menjelajahi lebih dalam tentang jejak kerajaan pra-Islam di Cirebon.

1. Kerajaan Galuh

Salah satu kerajaan terawal yang mencetak jejaknya di wilayah Cirebon adalah
Kerajaan Galuh. Kerajaan ini diyakini berdiri sekitar abad ke-7 hingga abad ke-10
Masehi. Galuh terkenal karena sistem pemerintahannya yang maju dan terorganisir.
Mereka juga memiliki budaya yang kaya, yang tercermin dalam seni, arsitektur, dan
tradisi mereka. Kerajaan Galuh meninggalkan banyak peninggalan bersejarah, termasuk
prasasti-prasasti dan artefak seni. Ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana
masyarakat pra-Islam di Cirebon hidup dan berinteraksi.

2. Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan Buddha yang berkuasa di wilayah


Cirebon pada abad ke-5 hingga ke-7 Masehi. Mereka dikenal karena mengembangkan
agama Buddha dan memiliki budaya yang terkait. Penyelidikan arkeologi telah
mengungkapkan peninggalan seperti stupa dan arca yang merupakan bukti sejarah dari
masa ini.
3. Kerajaan Sunda Galuh

Salah satu kerajaan yang paling penting dalam sejarah Cirebon adalah Kerajaan
Sunda Galuh. Kerajaan ini berdiri dari abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi. Pusat
pemerintahan Sunda Galuh terletak di Pedukuhan Tegal Alang-Alang (dahulu dikenal
sebagai "Kawali"), yang merupakan bagian integral dari Cirebon. Kerajaan Sunda Galuh
adalah salah satu kerajaan terbesar di Pulau Jawa pada masanya dan memiliki pengaruh
besar dalam pengembangan budaya dan struktur sosial di wilayah ini. Mereka memiliki
sistem pemerintahan yang terorganisir dengan baik dan meninggalkan banyak
peninggalan bersejarah seperti prasasti, seni, dan arsitektur.

Pusat pemerintahan di Pedukuhan Tegal Alang-Alang adalah pusat keputusan


politik, administrasi, dan budaya yang berpengaruh. Jejak-jejak penting dari masa ini
masih dapat ditemukan di sana, termasuk situs-situs bersejarah dan peninggalan kerajaan.
Meskipun zaman telah berubah, Pedukuhan Tegal Alang-Alang dan masyarakat setempat
tetap memelihara warisan budaya dari masa pra-Islam. Tradisi adat, upacara keagamaan,
dan seni tradisional terus berkembang di wilayah ini. Ini adalah contoh nyata bagaimana
budaya dan sejarah masa lalu terus hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat
Cirebon saat ini.

Jejak kerajaan pra-Islam di Cirebon, terutama Kerajaan Galuh, Kerajaan Tarumanegara,


dan Kerajaan Sunda Galuh, adalah bagian penting dari sejarah dan budaya wilayah ini.
Mereka meninggalkan peninggalan bersejarah yang memberikan wawasan tentang
kehidupan, budaya, dan struktur sosial masyarakat pra-Islam di Cirebon. Pedukuhan
Tegal Alang-Alang, yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda Galuh, tetap
menjadi saksi bisu dari masa lalu yang kaya ini, mengingatkan kita akan pentingnya
melestarikan warisan budaya untuk generasi mendatang.1

B. Sunan Gunung Jati dan Pendirian Kesultanan Cirebon

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, kesultanan yang didirikan oleh Sunan


Gunung Jati adalah Kesultanan Banten. Meskipun demikian, beliau tidak memegang
tampuk pemerintahannya sekalipun. Di sisi lain, Sunan Gunung Jati menjadi salah satu
raja di Kerajaan Cirebon. Pendirian Kesultanan Banten sendiri bermula dari kemenangan
pasukan Demak saat mengusir Portugis dari wilayah Sunda Kelapa serta menjadi
manifestasi dari penyebaran agama Islam. Sebelumnya, Banten sendiri adalah wilayah
kekuasaan Kerajaan Padjajaran dan menjadi area strategis untuk menjalin kerja sama
dengan wilayah lain. Di sisi lain, Padjajaran justru meminta bantuan pihak Portugis untuk
melawan pengaruh dari Kerajaan Demak. Sayangnya, upaya yang dilakukan oleh
Portugis gagal karena telah diusir oleh pasukan dari Kerajaan Cirebon dan Demak di
bawah pimpinan dari Fatahillah. Sementara itu, pelabuhan Banten juga belum sampai
dikuasai oleh Portugis karena telah lebih dulu di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati.
Setelah itu, Sunan Gunung Jati akhirnya membentuk Kesultanan Banten pada 1552.

1
Dahlan Syukur, (CIREBON PRA ISLAM) GEO BUDAYA CIREBON, KERAJAAN, KERAJAAN PRA ISLAM,
PEDUKUHAN TEGAL ALANG-ALANG [Berita Online Detik.Com 20 Oktober 2023 05:12] tersedia di situs :
https://www.kompasiana.com/dahlansyukur5110/6531a1deee794a5b9f68a162/cirebon-pra-islam-geo-budaya-
cirebon-kerajaan-kerajaan-pra-islam-pendukuhan-tegal-alang-alang?page=all#section2
Namun, beliau tidak memilih menjadi raja, tetapi memutuskan untuk kembali ke
Kerajaan Cirebon.

Sementara itu, raja pertama Kesultanan Banten diserahkan kepada putra Sunan
Gunung Jati, yaitu Maulana Hasanuddin. Di bawah kepemimpinannya tersebut, Sultan
Maulana Hasanuddin mengembangkan pelabuhan Banten menjadi pusat perdagangan
untuk kancah internasional karena posisinya yang cukup strategis. Di sisi lain,
Kesultanan Cirebon selama di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati juga mengalami
perkembangan pesat di bidang perekonomian, agama, serta politik.

C. Silsilah Penguasa Kesultanan Cirebon

1. Pangeran Cakrabuana (... - 1479 M)

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran yang mempunyai nama kecil


Raden Walangsungsang. Setelah remaja, ia dikenal dengan nama Kian Santang. Sebagai
anak sulung, Pangeran Cakrabuana tidak mendapatan haknya sebagai putra mahkota
Kerajaan Pajajaran karena memeluk Islam. Ketika kakeknya, Ki Gedeng Tapa, sang
penguasa pesisir utara Jawa wafat, Pangeran Cakrabuana justru mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, Pangeran
Cakrabuana dianggap sebagai pendiri Kesultanan Cirebon. Sepulang ibadah haji,
Pangeran Cakrabuana dikenal sebagai Haji Abdullah Iman yang aktif menyebarkan
agama Islam kepada penduduk Cirebon.

2. Sunan Gunung Jati (1479 - 1568 M)

Pada 1479, kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh putra adiknya yang
bernama Syarif Hidayatullah. Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati, dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah. Pada masa
kepemimpinannya, Kesultanan Cirebon mengalami pertumbuhan dan perkembangan
pesat baik di bidang agama, politi, maupun perdagangan. Di sektor politik, Cirebon
mampu merebut pelabuhan Sunda Kelapa bersama Demak pada 1527 untuk
membendung pengaruh Portugis. Sementara di bidang perekonomian, Sunan Gunung Jati
menitikberatkan pada perdagangan dengan berbagai bangsa, seperti Campa, Malaka,
India, Cina, dan Arab. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-
raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa
Barat.

3. Fatahillah (1568 - 1570 M)

Setelah Sunan Gunung Jati wafat, sempat terjadi kekosongan kekuasaan. Bahkan
Kesultanan Cirebon mulai diincar oleh VOC. Kekosongan ini kemudian diisi oleh pejabat
keraton yang melaksanakan tugas ketika Sunan Gunung Jati berdakwah, yaitu Fatahillah.
Namun, Fatahillah hanya menjabat selama dua tahun karena pada 1570 dirinya wafat.

4. Panembahan Ratu I (1570 - 1649 M)

Setelah Fatahillah wafat, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati
yang bernama Pangeran Emas. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I
dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

5. Panembahan Ratu II (1649 - 1677 M)

Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim menggantikan kakeknya, Panembahan Ratu


I, yang wafat pada 1649. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama Panembahan
Adiningkusuma, yang juga dikenal sebagai Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu
II. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Cirebon terjepit antara dua kekuasaan, yaitu
Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Saat Panembahan Ratu II wafat pada 1677
di Kartasura, terjadilah kekosongan kekuasaan. Setelah itu, Kesultanan Cirebon terpecah
menjadi tiga, yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya.2

D. Pembangunan Budaya dan Agama

Perkembangan Islam di Cirebon memiliki akar yang panjang, dimulai pada abad
ke-15. Kesultanan Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah tersebut, dengan
pengaruh dari pedagang dan ulama dari berbagai daerah. Kesultanan ini memainkan
2
Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada, Raja-Raja Kerajaan Cirebon, [Berita Online Kompas.Com 27/04/2021, 16:44
WIB] tersedia di situs : https://www.kompasiana.com/dahlansyukur5110/6531a1deee794a5b9f68a162/cirebon-pra-
islam-geo-budaya-cirebon-kerajaan-kerajaan-pra-islam-pendukuhan-tegal-alang-alang?page=all#section2
peran penting penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat. Pada abad ke-16,
Kesultanan Cirebon dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing dipimpin oleh tiga
pangeran, yang masing-masing memiliki pengaruh dan dukungan dari kelompok
masyarakat tertentu. Ini membentuk latar belakang kultural yang kaya di Cirebon, dengan
pengaruh Islam yang kuat dalam seni, budaya, dan arsitektur kesultanan. Pada abad ke-
17, Kesultanan Cirebon mengalami beberapa perubahan dan pergeseran kekuasaan.
Munculnya Belanda sebagai kekuatan kolonial di wilayah ini mempengaruhi dinamika
politik dan ekonomi kesultanan. Meskipun demikian, Islam tetap menjadi faktor penting
dalam kehidupan masyarakat Cirebon. Pada masa ini, pengaruh Islam semakin mengakar
dalam institusi kesultanan dan kehidupan sehari-hari, serta menginspirasi seni dan budaya
lokal. Pada abad ke-19, Kesultanan Cirebon secara de facto menjadi bagian dari Hindia
Belanda, dan pengaruh kolonial semakin kuat. Namun, tradisi dan budaya Islam tetap
terus berkembang di tengah pengaruh Barat. Pendidikan agama dan penyebaran ajaran
Islam terus dilakukan oleh ulama dan pesantren di Cirebon.

Selama masa kemerdekaan Indonesia, Islam tetap menjadi agama mayoritas di


Cirebon dan berkontribusi pada perjuangan nasional. Kini, Cirebon tetap menjadi pusat
kegiatan keagamaan, dengan banyak masjid, pesantren, dan lembaga pendidikan Islam
yang berfungsi penting dalam menjaga dan mengembangkan tradisi Islam di wilayah
tersebut. "Secara keseluruhan, sejarah perkembangan Islam di Cirebon mencerminkan
perpaduan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal yang kaya, serta pengaruh
kolonial. Ini membentuk identitas unik dan keragaman dalam praktik dan interpretasi
Islam di wilayah tersebut.

Pada era modern, setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945, Islam
terus menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Cirebon. Pesantren-pesantren
dan lembaga pendidikan Islam berperan dalam menyebarkan ajaran agama dan
melahirkan pemimpin-pemimpin agama serta intelektual muslim yang berpengaruh.
Peningkatan konektivitas dan akses informasi juga memungkinkan penyebaran berbagai
interpretasi dan praktik Islam.

Dalam beberapa dekade terakhir, Cirebon telah mengalami perubahan sosial dan
ekonomi yang signifikan. Perkembangan ini juga mencerminkan dalam wajah Islam di
wilayah ini. Munculnya gerakan-gerakan dakwah dan organisasi-organisasi keagamaan,
bersama dengan kemajuan teknologi, telah membentuk dinamika baru dalam cara
masyarakat menghayati dan mempraktikkan agama.

Kendati menghadapi perubahan zaman, warisan sejarah Islam tetap berpengaruh


dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat Cirebon, termasuk seni, budaya, dan tradisi.
Masjid-masjid bersejarah dan peninggalan arsitektur Islam masih dijaga dan dihormati.

Demikian, perkembangan Islam di Cirebon terus berlanjut sebagai cerminan dari


dinamika budaya, sejarah, dan tuntutan zaman, menjaga keseimbangan antara tradisi dan
inovasi dalam interpretasi dan praktik agama.

Pada era kontemporer, globalisasi juga memiliki dampak signifikan pada


perkembangan Islam di Cirebon. Akses terhadap informasi dari berbagai belahan dunia
memungkinkan masyarakat Cirebon untuk terlibat dalam dialog dan interaksi dengan
berbagai pemahaman agama yang beragam. Hal ini telah memberikan kontribusi pada
perkembangan berbagai aliran pemikiran dan praktik keagamaan di wilayah ini.

Tantangan-tantangan baru juga muncul dalam konteks modern ini, termasuk


dalam hal memadukan nilai-nilai Islam dengan perkembangan sosial dan teknologi.
Masyarakat Cirebon harus menjaga keseimbangan antara tradisi dan kemajuan, serta
merespons isu-isu global seperti ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Dengan demikian, sejarah perkembangan Islam di Cirebon terus menjadi


cerminan dinamika yang menggabungkan warisan tradisional dengan perkembangan
zaman. Hal ini mengilustrasikan bagaimana Islam di wilayah ini terus berkembang,
mengakomodasi perubahan, dan tetap relevan dalam kehidupan masyarakat modern.

E. Penurunan dan Akhir Kesultanan Cirebon

Benih-benih kemuduran Kerajaan Cirebon dimulai pada Tahun 1649-1662


Masehi ketika Cirebon dipimpin oleh Panembahan Girilaya, sebab-sebab kemunduran
Cirebon ini ditenggarai karena bangkitnya tiga kekuatan Politik besar di pulau Jawa yaitu
Kesultanan Mataram yang terletak di Timur Cirebon, dan VOC Belanda serta Kesultanan
Banten yang terletak di Barat Cirebon. Mataram, Banten dan VOC dalam tahun itu
menggenjot ekonominya untuk membiyayai Militer besar-besaran, sementara Cirebon
sendiri cenderung fakum dalam memperbesar kekuatan ekonomi dan militernya, hal ini
wajar sebab Cirebon memang dalam waktu itu lebih banyak melakukan dakwah-dakwah
Islam ke Pelosok Pasundan.

Pada Tahun 1649 Sampai dengan 1662 terjadi gesekan kepentingan di Cirebon,
Mataram pada waktu itu menginginkan Cirebon tetap dibawah kendalinya, pun Juga
dengan Banten merasa perlu menarik Cirebon untuk bergabung dengan Banten agar
membangkang dari Mataram, Dalam Istana Cirebon terpecah menjadi dua kubu, ada yang
condong ke Mataram dan adapula yang Condong ke Banten. Puncaknya, pada tahun
1660-1661 Ketika Panembahan Girilaya berkunjung ke Mataram untuk seba ke Sultan
Mataram yang sekaligus juga sebagai mertuanya, dimana dalam kunjungannya itu Sultan
Mataram Menekan Cirebon Agar tegas menolak Banten dan tetap berada dibawah
Mataram, namun demikian ternyata kemudian Panembahan Girilaya menolaknya hingga
kemudian atas peristiwa penolakan tersebut Panembahan Girilaya beserta kedua putra
mahkota Cirebon ditawanan Kesultanan Mataram, dan tidak boleh pulang ke Cirebon,
dalam penahanan itu Panembahan Girilaya dikabarkan wafat karena diguna-guna pada
tahun 1662. Setelah Kewafatan Panembahan Girilaya, terjadi kegoncangan di Cirebon, di
Cirebon selama 16 tahun setelah kewafatan Sultan Cirebon ke III tersebut tidak
mempunyai Seorang Sultan, urusan Pemerintahan dipegang oleh Pejabat Pengganti
Sultan yang dijabat oleh Pangeran Wangsakerta anak dari Panembahan Girilaya dari istri
lainnya. Setelah 16 tahun berselang, di Mataram terjadi pemberontakan Trunojoyo,
pemberontakan itu didukung oleh orang-orang Banten dan Cirebon, pemberontakan
itupun berhasil menguasai Istana Mataram, Pangeran Cirebon yang disekap kemudian
dapat diselamatkan pemberontak dan dibawa ke Kediri. Sementara Amangkurat I yang
kala itu menjadi Raja Mataram melarikan diri namun kemudian wafat dalam pelarian.

Setelah Pangeran Kertawijaya dan Mertawijaya dapat diselamatkan, keduanya


kemudian dibawa pulang ke Cirebon, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
akhirnya kedua Pangeran tersebut kemudian dilantik menjadi Sultan. Karena di Cirebon
waktu itu ada dua Sultan maka mulai setelah itu Cirebon dibelah menjadi dua kerajaan,
yaitu Kesultanan Kasepuhan yang dirajai oleh Pangeran Mertawijaya dan Kesultanan

Kanoman yang dirajai oleh Kertawijaya. Cirebon dibawah pemerintahan


Pangeran Merta Wijaya (Sultan Sepuh Raja Syamsudin) serta wilayah kekuasaannya
dinamakan Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Sedangkan Cirebon dibawah pemerintahan
Pangeran Kertawijaya (Pangeran Anom Mohamad Badarudin) serta wilayah
kekuasaannya dinamakan Kasultanan Kanoman Cirebon.

Kasepuhan sendiri berasal dari kata Sepuh yang berarti tua, sementara Kanoman
sendiri berasal dari kata Nom yang berarti muda, jadilah setelah itu kemudian Cirebon
terdapat II Kerajaan, yakni kerjaan Tua dan Muda, dengan Wilayah kekuasaan masing-
masing. Berdirinya kedua kesultanan Cirebon itu menandai bebasnya Cirebon dengan
Mataram, pada waktu ini Cirebon dibawah perlindungan Banten. Mulai saat itu juga gelar
Panembahan untuk Raja Cirebon dihapuskan digantikan dengan gelar Sultan yang
mendapatkan legitimasi dari Kesultanan Banten. Terpecahnya Cirebon menjadi II
kerajaan tersebut terjadi pada Tahun 1678 Masehi. Penamaan Sepuh dan Nom dalam
menamai kedua kesultanan tersebut karena Pangeran Merta Wijaya merupakan Pangeran
yang lebih Tua dari Pangeran Kertawijaya sementara Pangeran Kertawijaya lebih muda
dari Pangeran Merta Wijaya, karena kedua Sultan tersebut pada dasarnya merupakan
kakak dan adik.

Selanjutnya pada tahun 1807-1810 ketika pengaruh Belanda sudah menguasai


hampir seluruh Jawa dimana Banten sudah dikalahkan Belanda dan Mataram sudah lama
hancur digantikan kerjajaan kecil-kecil, Belanda secara pengaruh sudah menguasai
Cirebon, hampir seluruh kebijakan Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman cenderung
disetir Belanda. Dalam zaman itu ketidak adilan di Cirebon akibat kesewenang-wenangan
kebijakan Kesultanan yang dipelopori Belanda membawa penderitaan rakyat Cirebon,
sehingga rakyat Cirebon waktu itu sudah muak terhadap para Rajanya.

Pada Tahun 1806 meletuslah pemberontakan besar di Cirebon yang dipelopori


oleh para ulama dan santri, Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Kiyai Bagus Rangin
dan Kiyai Bagus Serit. Alasan pemberontakan pada umumnya didasarkan karena Para
penguasa Cirebon-Indramayu dianggap antek-antek Belanda yang mengangkangi rakyat
dan lebih memilih memanjakan para penguasa Cina. Perlawanan ini didukung oleh salah
Satu Pangeran Kasultanan Kanoman yang bernama Pangeran Buhaeiridin. Pangeran
Buhaeiridin kemudian berhasil di tangkap dan diasingkan ke Ambon. Melihat Pangeran
Pro rakyatnya di Buang Belanda, Perlawanan Kiyai Bagus Rangin dan Kiyai Bagus Serit
semakin didukung rakyat, Belanda kemudian kwalahan menghadpi perlawanan tersebut.
Dengan taktiknya, kemudian Belanda membawa kembali Pangeran Buhaeiridin dari
pengasingan ke Cirebon dan kemudian melantinya menjadi Sultan Baru, mulailah setelah
itu Cirebon terpecah menjadi III Kerajaan, Pangeran Buhaeiridin kemudian dilantik
menjadi Sultan dengan gelar Sultan Carbon Buhaeiridin. Adapun nama kerajaannya
kemudian di beri nama Kasultanan Kacirbonan, selain Pelantikannya sebagai Sultan,
Sultan Carbon Buhaeiridin juga kemudian dibangunkan Istana dan mempunyai wilayah
kekuasaan sendiri. Pengukuhan dan Pelantikan tersebut terjadi pada tahun 1807 Masehi.

Dengan demikian mulai tahun 1807 Cirebon terpecah menjadi Tiga kerajaan,
Kasepuhan, Kanoman dan Kacirbonan. Peristiwa Pengangkatan Pangeran Pro rakyat itu
kemudian berangsur-angsur memadamkan Pemberontakan yang dipimpin Kiyai Bagus
Rangin dan Kiyai Bagus Serit. Selanjutnya setelah peristiwa terpecahnya Cirebon
menjadi III kerajaan tersebut, selanjutnya berimbas pada kehancuran Cirebon secara
perlahan-lahan, terlebih-lebih setelah itu kemudian para Sultan sudah tidak lagi punya
wewenang dalam memerintah, Pemerintahan diambil alih Penjajah Belanda sementara
para Sultan hanya dijadikan simbol penguasa lokal dan pendapatannya berasal dari gajih
yang diberikan Belanda dalam tiap bulannya. Dengan demikian, sumber ekonomi

Kesultanan Cirebon baik di pelabuhan maupun di pedalaman dikuasai sepenuhnya


oleh pihak kompeni. Benteng VOC menjadi pusat perdagangan sedangkan keraton
berhenti dari aktifitas perdagangan. Keraton akhirnya hanya bisa melakukan aktifitas di
bidang kesenian, kerohanian, gaya hidup, dan upacara-upacara keraton yang adiluhung.

Anda mungkin juga menyukai