Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sejarah Indonesia ada dua kerajaan islam sebagai penonggak sejarah ajaran
islam di daerah pulau jawa, yaitu kerajaan Demak sebagai penguasa saat itu dan kerajaan
Cirebon serta kerajaan Banten sebagai pembantu untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam
didaerah jawa bagian barat, atau tanah pasundan.
Banyak misteri tentang kerajaan Cirebon yang awalnya didirikan oleh Syarif
Hidayatulloh, dimana beliau adalah putra dari Nyai Rara Santang dan tidak salah lagi bahwa
beliau adalah keturuan dari Prabu Siliwangi penguasa tanah pasundan pada massanya yang
tidak mau memeluk agama islam dan lebih mengalah kepada anaknya dengan memberikan
sebagian wilayah kekuasaan di daerah Cirebon untuk didirikan pusat – pusat ajaran islam.
Banten sebagai penguasa di daerah selat sunda adalah sebuah kerajaan yang sudah memliki
hubungan diplomatik dengan kerajaan Cirebon. Namun karena masuknya VOC ke Indonesia
pada saat itu membuat dua kerajaan ini musnah dan lenyap di telan zaman.
Adapun penulisan dan penyusunan makalah kerajaan Cirebon serta Banten ini
merupakan suatu tugas yang diberikan secara berkelompok, semoga dengan makalah ini
dapat membantu untuk sedikit memahami mengenai kerajaan Cirebon serta Banten, dan besar
harapan kami akan adanya suatu kritik yang membangun yang dapat membantu
meningkatkan lagi khazanah keilmuan kami.

1.2 Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui mengenai sejarah dari Kerajaan Cirebon dan Banten.
b. Untuk mengetahui sistem pemerintahan Kerajaan Cirebon dan Banten.
c. Untuk mengetahui sebab runtuhnya kerajaan Cirebon dan Banten.
BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN CIREBON
1. Awal Berdirinya Kerajaan Cirebon
Letak Kerajaan Cirebon Semula Cirebon termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan
Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah satu kota pelabuhan kerajaan tersebut (Tim Penulis
Nasional Sejarah Indonesia , 2010 : 59 ). Pelabuhan ini sudah ramai dari perahu pedagang-
pedagang luar negeri. Pedagang-pedagang itu antara lain dari arab, persi, malaka, cina, dll.
Letak Kerajaan Cirebon secara geografis di pesisir pantai pulau Jawa, merupakan mata rantai
dalam jalan perdagangan internasional pada waktu itu yang antara lain membentang dari
kepulauan Maluku hingga teluk Parsi (jagad pustaka : 2013). Pedagang yang datang dari
berbagai pulau bahkan berbagai Negara. Tidak heran heran jika pada wilayah ini menjadi
jalur perdagangan yang ramai. Melalui jalan perdagangan dapat mengalir pula arus
kebudayaan dan keagamaan, dan konon menurut cerita orang jalan perdagangan itupun
memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa (jagad
pustaka : 2013). Karena banyak pedagang yang datang, salah satunya dari Arab. Pedagang-
pedagang dari Arab itu selain datang untuk berdagang, mereka juga menyebarkan Agama
Islam.
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Cirebon Pada tahun 1302 cirebon mempunyai 3
daerah otonom di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang masing-masing di kuasai oleh
seorang Mangkubumi (Sulendraningrat , 1978 : 16). Daerah otonom itu adalah Singapura
atau Mertasinga yang dikepalai oleh Mangkubumi Singapura. Daerah Pesambangan yang
dikepalai oleh Ki Ageng Jumajan Jati. Dan Daerah Japura yang dikepalai oleh Ki Ageng
Japura. Ketiga daerah otonom tersebut masing-masing mengirimkan upeti setiap tahunnya
kepada kerajaan Pajajaran (Sulendraningrat , 1978 : 16). Semula Cirebon termasuk dalam
daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah satu kota pelabuhan
kerajaan tersebut (Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia , 2010 : 59 ). Sekitar tahun 1513
cirebon ini tidak lagi dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, namun sudah di beritakan
masuk ke dalam daerah jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Saat itu Cirebon di
kuasai oleh Lebe Usa Syarif Hidayatullah atau yang sering di kenal dengan Sunan Gunung
Jati telah datang di Cirebon pada tahun 1470. Syarif Hidayatullah datang untuk mengajarka
agama Islam. Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam di Gunung Sembung. Syarif
Hidayatullah adalah putra dari wanita asal Galuh, Caruban. Wanita tersebut adalah NhayLara
Santang yaitu adik dari Pangeran Cakrabuana pemimpin Cirebon.
Syarih Hidayatullah Mengajarkan agama islam ditemanni dengan uaknya Haji
Abdullah Iman dan pangeran Cakrabumi atau pangeran Cakrabuana. Haji Abdullah Iman dan
Pangeran Cakrabuana sudah lebih dahulu berada atau tinggal di Cirebon. Syarif Hidayatullah
menikah dengan Pakung Wati. Pakung Wati adalah putri dari Uaknya. Syarif Hidayatullah
menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon pada tahun 1479. Setelah menikah dan
menjadi penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah membangun atau mendirikan sebuah kraton.
Karaton itu diberi nama Kraton Pakung Wati. Kraton Pakung Wati terletak disebalah timur
Kraton Sultan Kesepuluhan sekarang ini. Syarif Hidayatullah ini terkenak dengan Gelar
Gusuhunan Jati atau sering dikenal dengan Sunan Gunungjati. Syarif Hidayatullah menjadi
saleh seorang dari Wali Sanga. Syarif Hidayatullah mendapat Julukan Pandita Ratu sejak ia
berfungsi sebagai penyebar Agama Islam di tanah Sunda dan Sebagai Kepala Pemerintahan
(Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia , 2010 : 59 ). Semenjak Syarif Hidayatullah menjadi
penguasa di Cirebon, Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Pajajaran di pangkuan.
Sejak saat itulah Cirebon menjadi Kerajaan yang dikepalai oleh Syarif Hidayatullah.

2. Kondisi Sosial Masyarakat


Kondisi Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari pelabuhan,
karena pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka dari sini tidak
mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa golongan.
Diantara golongan yang ada antara lain, golongan raja beserta keluargana, golongan elite,
golongan non elite, dan golongan budak (Sartono Kartodirdjo, 1975:17).
a. Golongan Raja Para raja/ Sultan
Golongan Raja Para raja/Sultan yang tinggal di kraton melaksanakan ataupun mengatur
pemerintahan dan kekuasaannya.
b. Golongan Elite
Golongan Elite Golongan ini merupakan golongan yang mempunyai kedudukan di
lapisan atas yang terdiri dari golongan para bangsawan/priyayi, tentara, ulama, dan
pedagang.
c. Golongan Non Elite
Golongan Non Elite Golongan ini merupakan merupakan lapisan masyarakat yang besar
jumlahnya dan terdiri dari masyarakat kecil yang bermata pencaharian sebagai petani,
pedagang, tukang, nelayan, dan tentara bawahan dan lapisan masyarakat kecil lainnya.
d. Golongan Budak
Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang yang bekerja keras, menjual
tenagai sampai melakukan pekerjaan yang kasar.

3. Kondisi Budaya
Kondisi Budaya Kerajaan Cirebon Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya
agar melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah
meliputi berbagai bentuk ibadah seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang
Jawa, hidup ini penuh dengan riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru
dalam upacara yang biasanya disebut kenduren atau selamatan (Darori, 1987:130-131).
Membahas masalah budaya, maka tak lepas pula dengan seni, Cirebon memiliki
beberapa tradisi ataupun budaya dan kesenian yang hingga sampai saat ini masih terus
berjalan dan masih terus dlakukan oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah upacara
tradisional Maulid Nabi Muhammad SAW yang tela ada sejak pemerintahan Pangeran
Cakrabuana, dan juga Upacara Pajang Jimat dan lain sebagainya, antara lain :
a. Upacara Maulid Nabi
Upacara Maulid Nabi Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat,± 700 tahun
setelah beliau wafat (P.S. Sulendraningrat, 1978:85) upacara ini dilakukan sebagai rasa
hormat dan sebagai peringatan hari kelahiran kepada junjungan besar Nabi Muhammad
SAW.
b. Upacara Pajang Jimat
Upacara Pajang Jimat Salah satu upacara yang dilakukan di Kerajaan Cirebon adalah
Upacara Pajang Jimat.
c. Seni Bangunan dan Seni Ukir
Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada Cirebon adalah ukiran pola awan yang
digambarkan pada batu karang. Penggunaan seni bangunan masjid tampak asli pada
penggunaan lengkungan pada ambang-ambang pintu masjid. Demikian pula dengan
makam-makam yang strukturnya mengikuti zaman sebelumnya. Yakni berbentuk
bertingkat dan ditempatkan di atas bukit-bukit menyerupai meru (Kosoh dkk, 1979:100).
d. Kasusasteraan
Seni Kasusasteraan Diantara seni bangunan dan seni tari, terdapat juga seni
kasusasteraan yang berkembang. Diantarnya adalah seni tari, seni suara, dan drama yang
mengandung unsur-unsur Islam.
4. Kondisi Ekonomi
Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon
mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak Bandar-
bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga
memiliki fungsi sebagai tempat jual beli barang dagangan. Dari artikel yang ditulis oleh Uka
Tjandrasasmita, yang dibukukan dalam sebuah buku kumpulan artikel oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta. Dituliskan sebuah artikel yang berjudul “Bandar
Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia”, dalam artikelnya terbagi menjadi 3 periode, yaitu:
Bandar Cirebon masa pra-islam, Bandar Cirebon masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan islam, dan masa pengaruh kolonial.
Pada masa pra-islam Cirebon masih dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada
masa ini pula terdapat Bandar dagang yang berada di Dukuh Pasambangan dengan bandar
Muhara Jati. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Muhara Jati antara lain berasal dari Cina,
Arab, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997:56).
Dikatakan bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon masih berkeyakinan Hindu-
Buddha. Pada saat ini Ciebon masih dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut
cerita tradisi Cirebon mulai memeluk agama islam sekitar tahun 1337 M yang dibawa oleh
Haji Purba. Pada abad 14 M perdagangan dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang
muslim.
Dari cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi bahwa terjadi perpindahan
Bandar perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya terlertak pada Bandar Muhara Jati di
dukuh Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu ke Caruban. Alasan mengapa Bandar
dagang dipindahkan, menurut cerita Bandar dagang di Muhara jati mulai berkurang
keramaiaannya. Caruban sendiri dibangun o0leh Walangsungsangatau Ki Samadullah atau
Cakrabumi sebagai kuwu dan seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di
Cirebon makin ramai dan makin baik untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina,
Campa, dan lainnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).
Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon dikuasai penuh oleh VOC.
Dengan diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Cirebon 30 April 1981, Cirebon
selalu akan memelihara kepercayaan terhadap Belanda. Akan tetapi, seluruh komoditi
perdagangan di Cirebon, dikuasai Belanda, hal ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda
dan merugikan Cirebon. Belanda menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah
satu contohnya yaitu kebijakan menanam 10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan
Timur.
Dari gambaran diatas kita kenali bahwa pihak kesultanan sendiri dalam menjalankan
perekonomian terutama terhadap komoditi-komoditi ekspor kurang, peranannya lebih banyak
ditangan Belanda. Hal itu semuanya jelas dampak negative pengaruh kolonialisme Belanda
sejak perjanjian tahun 1981 dan seterusnya. Dengan perjanjian-perjanjian tersebut Belanda
sejak Kompeni menginginkan penguasaan atas daerah subur produksi kopi dan lainnya dapat
terlaksana, disamping rasa ketakutannya terhadap penguasaan daerah Priangan Timur itu
dikuasai oleh Banten dan juga Mataram (Departemen Pendiidikan dan Kebudayaan,
1997:67).
Dapat dilihat pula keadaan perekonomian dari sumber lainnya. Selain perdagangan
dan pelayaran. Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan masyarakatnya yang
menjadi nelayan. Cirebon juga dikenal sebagai kota udang, artinya Cirebon juga memiliki
satu komoditi dagang utama yaitu terasi, petis dan juga garam.
Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari orang asing. Orang asing
tersebut menjadi syahbandar atau yang mengantur tentang ekspor impor perdagangan.
Cirebon yang menjadi syahbandarnya yaitu orang-orang Belanda. Alasan mengapa
syahbandar diambil dari orang-orang asing, karena orang-orang asing dianggap lebih
mengetahui tentang cara-cara perdagangan. Di kota Cirebon juga terdapat pasa tertua yaitu
pasar yang terletak di timur laut alun-alun kraton Kasepuhan dan lainnya di sebelah utara
alun-alun kanoman.

5. Kondisi Politik
Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya
dengan Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome
Pires yang menjadi Dipati Cirebon adalah seorang yang berasal dari Gresik. Kosoh, dkk
(1979:94) Babad Cirebon menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana
atau Haji Abdullah yang menyebarkan agama islam di kota tersebut sehingga upeti berupa
terasi ke pusat Pajajaran lambat laun dihentikan. Selain hubungannya dengan Demak,
kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh beberapa konflik. Konflik yang terjadi
ada konflik internal dan menjadi vassal VOC. Pertama yang terjadi, dimulai dari keputusan
Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan diri dari kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif
Hidayatullah wafat pada tahun 1570, dan kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yaitu
Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa kepemerintahannya, Panembahan Ratu
menyaksikan berdirinya karajaan Mataram dan datangnya VOC di Batavia.
Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja.
Sementara di bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan
Mataram. Setelah wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu
digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim yang dikenal dengan nama Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat
terlebih dahulu.
Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan
dari kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan
menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan
kedua anaknya dibawa ke Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya.
Namun, kemudian mereka dikembalikan ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa
tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak
tertua. Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari
dukungan kepada Sultan Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi
pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi
penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri
menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian Sultan
Banten dan selalu menyebut mereka panembahan.
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC.
Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon
(termasuk pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia,
ketika para Sultan akan bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam
berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan (Nina: online).
Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak perubahan, khususnya di bidang
politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak VOC menjadi Sultan. Pada Tahun
1768 kesultanan Cirebon dibuang ke Maluku.
Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan.
Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran
Aria Cirebon, tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas
Cirebon, sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia
diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari

6. Runtuhnya Kerajaan Cirebon


1. Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang
oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton
Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi
kerajaan masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai
hancur.
2. Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan
kekuasaan diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan
Pangeran Wangsakerta. Di samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu
domba mereka membuat persaudaraan mereka menjadi permusuhan.

KERAJAAN BANTEN
1. Awal Terbentuknya Kerajaan Banten
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang
ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak
selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah
Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan
Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga
melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang
dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan
dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten
yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan
yang mandiri.
Sebelum kerajaan Islam berkuasa di Banten, ketika masih berada di bawah kekuasaan
raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang
berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebutkan nama Wahanten Girang.
Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai
utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakkan dasar
bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta perdangangan orang-orang islam di sana.
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati
dengan ramah-tamah dan tertarik masuk islam. Penguasa itu membukakan jalan seluas-
luasnya bagi kegiatan pengislaman di Banten. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa
atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun, meurut berita
Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh
sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan
tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang
dengan tiba-tiba.[6]
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah
menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas
kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan lain di Jawa Barat yang semula di bawah kekuasaan
di Pajajaran.
Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada puteranya,
Hasanuddin. Hasanuddin sendiri menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi
Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam memperluas
daerah Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Hasanuddin
memerdekakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang menceritakan
kelahiran Banten ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak
semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570
dan digantikan oleh anaknya, Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan,
pada tahun 1579 Yusuf menaklukkan Pakuwan yang belum menganut Islam dan waktu itu
masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu
jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam.
Walaupun telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap memakai pangkat dan gelar
yang disandang sebelumnya.
Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad,
yang masih muda belia. Selama Sultan Muhammad masih di bawah umur, kekuasaan
pemerintahan dipegang oleh kali (Arab: qadhi, jaksa agung) bersama empat pembesar
lainnya. Raja Banten yang saleh ini melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan gugur
dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan,
Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah
4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun
1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekah. Dialah raja Banten pertama
dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya
Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa Sultan Abulfath Abdulfath ini terjadi beberapa kali
peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian
perdamaian tahun 1659 M.

2. Letak Kerajaan
Dasar-dasar Kerajaan Banten diletakkan oleh Hasanuddin (putra Fatahillah) dan
mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Perkembangan
Kerajaan Banten yang demikian pesat, tidak lepas dari posisi dan letaknya yang strategis di
sekitar Selat Sunda.
Secara geografis, Kerajaan Banten terletak di daerah Jawa Barat bagian utara.
Kerajaan Banten menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat
Sunda. Dengan posisi yang strategis Kerajaan Banten berkembang menjadi sebuah kerajaan
besar di Jawa Barat dan bahkan menjadi saingan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan di
Batavia.

3. Puncak Kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan
dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung,
menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan
laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang
Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina, Cina dan Jepang.[8]
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh
Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.
Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

4. Penghapusan Kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-
1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya
ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan
akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya
Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan.
Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian
dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin
kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke
dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan
dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan
pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

5. Kehidupan Politik
Berkembangnya Kerajaan Banten, tidak dapat dipisahkan dari peranan raja-raja yang
pernah memerintah Kerajaan Banten. Raja Hasanuddin Setelah Banten di islamkan oleh
Fatahillah, daerah Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Hasanuddin. la
memerintah Banten dari tahun 1552-1570 M. Dengan meletakkan dasar-dasar pemerintahan,
Kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama. Pada masa pemerintahannya,
agama Islam dan kekuasaan Kerajaan Banten berkembang cukup pesat.[9]
Raja Hasanuddin, juga memperluas wilayah kekuasaannya ke Lampung. Dengan
menduduki daerah Lampung, Kerajaan Banten merupakan penguasa tunggal jalur lalu lintas
pelayaran-perdagangan Selat Sunda, sehingga Kerajaan Banten. Kerajaan Banten mencapai
puncak kejayaannya pada masa Sultan Ageng setiap pedagang yang melewati Selat Tirtayasa.
Letak Kerajaan Banten sangat strategis karena berada Sunda diwajibkan untuk melakukan di
Selat Sunda yang bertambah ramai setelah dikuasainya Selat kegiatannya di Bandar Banten.
Raja Hasanuddin kawin dengan putri Raja Indrapura. Bahkan Raja Indra-pura
menyerahkan tanahSelebar yang banyak menghasilkan lada kepadanya. Di bawah
pemerintahan Raja Hasanuddin, Kerajaan Banten banyak di-kunjungi oleh saudagar-saudagar
dari Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu (Burma Selatan), dan Keling.
Panembahan Yusuf Setelah Raja Hasanuddin wafat tahun 1570 M, putranya yang
bergelar Panembahan Yusuf menjadi raja Banten berikutnya. la berupaya untuk memajukan
pertanian dan pengairan. la juga berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya.
Langkah-langkah yang ditempuhnya antara lain, merebut Pakuan pada tahun 1579 M. Dalam
pertempuran tersebut, raja Pakuan yang bernama Prabu Sedah tewas. Kerajaan Pajajaran
yang merupakan benteng terakhir Kerajaan Hindu di Jawa Barat berhasil dikuasainya. Setelah
10 tahun memerintah, Panembahan Yusuf wafat akibat sakit keras yang dideritanya.
Maulana Muhammad Ketika Panembahan Yusuf sedang sakit, saudaranya yang
bernama Pangeran Jepara datang ke Banten. Ternyata Pangeran Jepara yang dididik oleh
Ratu Kali Nyamat ingin menduduki Kerajaan Banten. Tetapi mangkubumi Kerajaan Banten
dan pejabat-pejabat lainnya tidak menyetujuinya. Mereka mengangkat putra Panembahan
Yusuf yang baru berumur sembilan tahun bernama Maulana Muhammad menjadi raja Banten
dengan gelar Kanjeng Ratu Banten. Mangkubumi menjadi wali raja. Mangkubumi
menjalankan seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan sampai rajanya siap untuk memerintah.
Pada tahun 1596 M Kanjeng Ratu Banten memimpin pasukan Kerajaan Banten untuk
menyerang Palembang. Tujuannya untuk menduduki bandar-bandar dagang yang terletak di
tepi Selat Malaka agar bisa dijadikan tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi
lainnya dari Sumatera. Palembang akan dikuasainya, tetapi tidak berhasil, malah Kanjeng
Ratu Banten tertembak dan akhirnya wafat. Tahta kerajaan kemudian berpindah kepada
putranya yang baru berumur lima bulan yang bernama Abu'Mufakir.
Abu'Mufakir Abu'Mufakir dibantu oleh wali kerajaan yang bernama Jayanegara.
Akan tetapi, ia sangat dipengaruhi oleh pengasuh pangeran yang bernama Nyai Emban
Rangkung.
Pada tahun 1596 M itu juga untuk pertama kalinya orang Belanda tiba di Indonesia di
bawah pimpinan Comelis de Houtman. Mereka berlabuh di pelabuhan Banten. Tujuan awal
mereka datang ke Indonesia adalah untuk membeli rempah-rempah.
Sultan Ageng Tirtayasa Setelah wafat, Abul Mufakir digantikan oleh putranya dengan
gelar Sultan Abu Ma'ali Ahmad Rahmatullah. Akan tetapi berita tentang pemerintahan sultan
ini tidak dapat diketahui dengan jelas. Setelah Sultan Abu Ma'ali wafat, ia digantikan oleh
putranya yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah Banten dari tahun 1651-1692
M.
Di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mencapai masa
kejayaan. Sultan Ageng Tirtayasa berupaya memperluas kerajaannya dan mengusir Belanda
dari Batavia. Banten mendukung perlawan-an Kerajaan Mataram terhadap Belanda di
Batavia. Kegagalan Kerajaan Mataram tidak mengurangi semangat Sultan Ageng untuk
mencapai cita-citanya.
Sultan Ageng Tirtayasa memajukan aktivitas perdagangan agar dapat bersaing dengan
Belanda di Batavia. Di samping itu. Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan kepada pasukan
Kerajaan Banten untuk mengadakan perampokan terhadap Belanda di Batavia, sedangkan
perkebunan tebu milik Belanda di sebelah barat Ciangke dirusak oleh orang-orang Banten.
Gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Banten atas perintah Sultan Ageng Tirtayasa
membuat Belanda kewalahan menghadapinya.
Pada tahun 1671 M Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota menjadi raja
pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar. Sejak saat itu Sultan Ageng Tirtayasa
beristirahat di Tirtayasa/ tetapi ia tidak melepaskan pemerintahan seluruhnya. Pada tahun
1674 M, Sultan Abdul Kahar berangkat ke Mekkah dan setelah mengunjungi Turki ia
kembali ke Banten (1676 M). Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan
Haji.Ketika memerintah Kerajaan Banten, Sultan Haji menjalin hubungan baik dengan
Belanda. Ternyata hubungan ini dijadikan kesempatan yang bagus oleh Belanda untuk
memasuki Kerajaan Banten. Melihat terjalinnya hubungan antara Sultan Haji dengan
Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa menarik kembali tahta kerajaan dari tangan Sultan Haji.
Namun Sultan Haji tetap mempertahankan tahta kerajaannya, sehingga terjadi perang saudara
di Kerajaan Banten antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji yang
mendapat bantuan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan di
Batavia hingga wafat tahun 1692 M.
Kemenangan Sultan Haji merupakan kehancuran Kerajaan Banten, karena selanjutnya
Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan pihak Belanda. Dengan demikian. Sultan Haji
hanyalah sebagai lambang belaka (raja boneka) dalam pemerintahan Kerajaan Banten, karena
seluruh kekuasaan diatur oleh Belanda.

6. Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan
untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan.
Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti
Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana
penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah
pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas
lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik,
baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan
untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40
000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani
ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu,
yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan
Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.

7. Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan
gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran
Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada
pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta
Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada
masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa
adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana
Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana
dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan
dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di
Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung
Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan
alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk
menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten
berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang
dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung
yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten,
pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan
Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama
Syahbandar Kaytsu.

8. Runtuhnya Kerajaan Banten


Hasanuddin berhasil dikalahkan oleh Belanda sehingga harus menandatangani sebuah
perjanjian. Isinya antara lain adalah kerajaan banten harus dibagi menjadi 4 kerajaan kecil,
yaitu kerajaan cirebon, dan lain-lain. Karena menjadi kerajaan kecil maka di banten sering
terjadi perang saudara sehingga kerajaan banten akhirnya runtuh.
MAKALAH
KERAJAA CIREBON & BANTEN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran SKI

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Esha Martivela N.
Ayu Lestari
Moh. Galih M.
Mustofa Kholik
Siti Nurhasanah

MTs NEGERI UJUNGJAYA


SUMEDANG
TAHUN PELAJARAN 2015 – 2016

Anda mungkin juga menyukai