Anda di halaman 1dari 14

REVIEW BUKU

“BANTEN DALAM PERGEMULAN SEJARAH ; SULTAN, ULAMA, JAWARA’’


Karya Nina Herlina Lubis

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Historiografi Islam


Dosen Pengampu: M. Nandang Sunandar, M.A

Disusun oleh:

Abdul Malik Ibrohim (191350102)


SPI V C

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDIN DAN ADAB
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN 2021
1. Identitas Buku
Penulis : Nina H Lubis
Kata Pengantar : Taufik Abdullah
Penerjemah : Drs. Azmi, MA., Ph.D dan Drs. Zulfahmi, Dipl. ITU
Penerbit : Pustaka LP3S Indonesia
Tahun Terbit : 2004
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 333 Halaman

2. Pendahuluan
Buku ini menjelaskan tentang sejarah Banten sejak masa pra sejarah hingga
terbentuknya provinsi Banten dengan menitikberatkan pada sisi politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Selain itu dijelaskan pula tentang peran Sultan, Ulama, dan Jawara
dalam kehidupan masyarakat Banten. Banten pada masa lalu merupakan sebuah
daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang
terbuka dan makmur
Tema buku ini adalah penggambaran secara keseluruhan mengenai sejarah
Banten dari awal prasejarah hingga terbentuknya provinsi Banten. Selain itu, pula
mengenai keterhubungan peran sultan, ulama, dan jawara yang sangat penting pada
saat itu bagi kehidupan masyarakat Banten. Buku ini terdiri dari 10 bagian yaitu:

3. Pembahasan
 Bagian 1: Masa Prasejarah
Berisi tentang budaya prasejarah dengan memulai masa berburu dan
mengumpulkan makanan, masa lalu, budaya megalitik, tradisi gerabah dan masa
perundagian. Jadi, pada bab ini dijelaskan peninggalan masa prasejarah di berbagai
tempat di wilayah Banten dengan memaparkan pula bukti-bukti yang ada. Contohnya
Di Cigeulis, Pandeglang telah ditemukan kapak perimbas, alat penetak, pembelah, dan
alat serpih. Di samping itu ditemukan pula lukisan gua di Sanghiyang Sirah, Ujung
Kulon. Hal ini menunjukkan bahwa manusia waktu itu hidup di gua-gua.
Pada tahap akhir dari kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan
itu, memang membakar orang sudah hidup di gua-gua walaupun tidak tetap. Gua-gua
tempat tinggal sementara itu biasanya berada tidak jauh dari danau atau aliran sungai
yang memiliki sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput.

 Bagian 2: Masa Hindu-Budha


Berisi tentang kehidupan pada masa sebelum adanya Kerajaan
Tarumanegara, selanjutnya pada masa Kerajaan Tarumanegara, dan ditutup pada masa
Kerajaan Sunda. Sumber asing pertama yang secara samar-samar berkaitan dengan
Yunani adalah sumber tertulis yang berasal dari, yaitu Geogyaphike Hyphegesis karya
Claudius Ptolemaeus. Dalam sumber ini disebutkan tentang sebuah tempat bernama
Argyre yang terletak di ujung labadiou. Istilah labadiou dalam bahasa Sanskerta
adalah Yawadwipa yang berarti 'pulau jelai'.
Yawadwipa itu dianggap sama dengan Jawa; dan karena aygyre berarti
`perak', sementara di ujung barat Pulau Jawa terletak sebuah kota bernama Merak,
biasanya Merak itulah yang memiliki argyre dalam berita Yunani itu. jika dugaan itu
benar, maka seharusnya dilakukan koreksi atas nama kola itu, bukan merak yang
berarti 'burung merak', melainkan merak yang berarti 'memerak, putih seperti perak'.
Dijelaskan pula tentang berita Cina yang mengabarkan tentang adanya kerajaan
Tarumanegara. Selain itu, dijelaskan pula mengenai peninggalan-peninggalan dari
kerajaan Tarumanegara dan Sunda.

 Bagian 3: Kesultanan Banten


Membahas tentang Berdirinya Kesultanan Banten. Dalam laporan perjalanan
Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai
dan berada di kawasan Kerajaan Sunda (Cortesao,1944). Kesaksian Tome Pires itu
dapat dijadikan petunjuk bahwa bandar Banten sudah berperan sebelum berdirinya
Kesultanan Banten (1526), atau pada masa Kerajaan Sunda.
Bisa diduga bahwa Banten telah berdiri sedikitnya pada pertengahan abad
kesepuluh atau bahkan abad ke-7.Selanjutnya dibahas mengenai sultan yang
memimpin pada masa kesultanan Banten, yaitu: Sultan Maulana Hasanudin (1552-
1570), Maulana Yusuf (1570-1580), Maulana Muhammad (1580-1596), dan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1652). Pada bab ini sangat kompleks sekali, dimana dijelaskan
tentang kemajuan dan kemunduran kesultanan Banten, adanya konflik dengan
Mataram dan VOC,
Awal Berdirinya Kesultanan Banten
Islamisasi Banten, setelah diawali oleh Sunan Ampel, kemudian dilakukan
oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah Sunan Gunung Jati kembali ke
Cirebon, menurut Babad Banten, Islamisasi dilanjutkan oleh Hasanuddin dengan
berdakwah dari satu daerah ke daerah lain mulai dari Gunung Pulosari, Gunung
Karang, Gunung Lor, sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam tradisi Banten sebagaimana tertulis dalam Sadjarah Banten,
Hasanuddin dianggap sebagai pendiri kerajaan Banten. Sunan Gunung Jati lebih
dipandang sebagai ayah yang membimbing puteranya hingga sanggup mendirikan
sebuah kerajaan yang berdiri sendiri. Hal ini terlihat dalam silsilah Sultan Banten yang
selalu di awali dengan nama Maulana Hasanuddin sebagai pendiri Kesultanan Banten.
Sultan Hasanuddin (1552-1570)
Sejak perintisannya, kesultanan Banten didukung oleh para pedagang
muslim. Dalam usahanya membangun Banten, Maulana Hasanuddin sebagai Sultan
Banten pertama, menitikberatkan pada perkembangan sektor perdagangan dan
perluasan wilayah kekuasaan ke Jayakarta, Karawang, Lampung dan beberapa daerah
lainnya di Sumatera Selatan. Dan salah satu pendiri Keraton Surosowan.
Maulana Yusuf (1570-1580)
Pada masa Maulana Yusuf memerintah, perdagangan Banten sudah sangat
maju dan Banten bisa dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan emporium, tempat
barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia digudangkan dan kemudian
didistribusikan.
Pada tahun 1580, Maulana Yusuf mangkat dan di makamkan di Pakalangan
Gede dekat kampung Kasunyatan, sehingga setelah meninggal ia lebih dikenal sebagai
pangeran panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean di usia 9 tahun.
Maulana Muhammad (1580-1596)
Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang sultan amat saleh. Untuk
kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak menulis kitab-kitab agama Islam yang
kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya.
Akhir hidup Maulana Muhammad cukup tragis, bermula dari keinginan
Pangeran Mas menjadi raja Palembang. Pangeran Mas adalah putra Pangeran pangiri,
cucu Sunan Prawoto dari Demak. Ia membujuk Maulana Muhammad untuk
membantunya dalam melawan tentara Palembang. Dengan 200 Kapal perang,
Maulana Muhammad memimpin sendiri peperangan tersebut dengan di dampingi
Mangkubumi dan Pangeran Mas. Maulana Muhammad meninggal dalam medan
peperangan melawan Palembang, dalam usia 25 tahun dan dikenal dengan sebutan
Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Dan dikuburkan di serambi
Masjid Agung Banten.
Konflik dengan Mataram
Terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul mufakir, Banten tidak luput
dari ancaman agresi Mataram. Yaitu akibat ekspansi kedua kekuasaan berbenturan
antara Palembang dan Mataram.
Konfik Pertama Banten dengan Kompeni (VOC)
Terjadinya persaingan tidak sehat di antara sesama pedagang dan ketika
VOC memperoleh tempat kedudukan di Batavia, persaingan dagang dengan Banten
tak pernah berkesudahan mengakibatkan blokade niaga Banten, melarang dan
mencegat junjung dari Cina yang perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke
pelabuhan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682)
Upaya lain yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa yaitu melakukan
konsolidasi pemerintahannya dengan mengadakan hubungan persahabatan antar lain
dengan Lampung, Bengkulu dan Cirebon. Hubungan pelayaran dan perdagangan
dengan Kerajaan Goa, dengan sumber rempah-rempah di Maluku meskipun menurut
perjanjian dengan VOC, Banten tidak diperbolehkan untuk melakukan pelayaran dan
perdagangan dengan Maluku tapi tetap dilakukannya.
Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil mengembangkan kembali perdagangan Banten dan berupaya juga untuk
memperluas pengaruh kekuasaan wilayah yang lainnya seperti Priangan Cirebon dan
sekitar Batavia.

 Bagian 4: Banten dan Kompeni


Membahas tentang ekspedisi dagang kompeni, politik kompeni, reaksi
Banten, Perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, kehidupan perekonomian,
penanaman wajib perdagangan, kehidupan sosial budaya, demografi, dan stratifikasi
sosial, kehidupan agama dan kepercayaan, dan bahasa, tulisan dan kesusatraan. Jadi,
pada bab ini lebih berfokus pada keadaan Banten pada saat itu dengan diawali
kedatangannya pedagang asing dari Belanda yaitu: Inggris, Perancis, Portugis, dan
Denmark ke Banten. Selanjutnya memaparkan tentang kehidupan masyarakat Banten
dan perlawanannya terhadap VOC.
Ekspedisi Dagang Kompeni
Pada awalnya VOC berusaha untuk menjadikan Banten sebagai pusat
perdagangan mereka di Nusantara. Akan tetapi, usaha tersebut mengalami kegagalan
sehingga pada tahun 1619 VOC memutuskan untuk menjadikan Batavia sebagai pusat
perdagangannya.
Politik Kompeni
Mengingat hasil yang begitu besar dari perdagangan rempah-rempah,
tindakan selanjutnya yang dilakukan adalah berupaya menanamkan kekuasaan politik
untuk mengamankan kepentingan mereka di dunia Timur ini.
Sampai tahun 1651, usaha perluasan kekuasaan VOC ke Banten belum juga
berhasil diwujudkan secara efektif. Bahkan setelah tahun itu kesulitan yang dialami
oleh VOC semakin bertambah seiring mulai bertahtanya Sultan Abdul Fath
Abdulfattah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tahun 1676, putra sulung Sultan Ageng Tirtayasa adalah kembali ke
negerinya setelah menunaikan ibadah haji dan kemudian beliau dikenal dengan
sebutan Sultan haji. Beliau datang mendatangkan konflik dengan ayahnya, dengan
situasi tersebut disitu VOC mengambil keuntungan.
Dengan sepulangnya beliau Sultan Haji dari Mekah telah diserahi sebagian
kekuasaan atas kerajaan Banten oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan demikian sejak
bulan Agustus 1682, pengaruh kekuasaan Banten telah tercampur oleh perjanjian
politik VOC dengan perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Haji. Perjanjian
tersebut lebih condong menguntungkan pihak VOC yang berbekal setiap keputusan
atau kebijakan Sultan Haji harus atas persetujuan VOC.
Reaksi Banten
Dengan perjanjian tersebut mengalami banyak kekecewaan dan puncak
kekecewaannya itu terjadi pada tahun 1733, dengan kepemimpinan Banten yang
dicampur tangani oleh VOC, masyarakat Banten sejauh ini kita mencabut keturunan
Maulana Hasanuddin sebagai penguasa Banten. Ketika Sultan Zainul Arifin mulai
menyadari apa yang sedang terjadi di negerinya iya menyusun atau
memprovokatorkan rakyat Banten untuk menentang VOC.
Perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa
Perlawanan hebat yang diperlihatkan oleh pasukan Tubagus buang dan kyai
tapa betul-betul sangat menghawatirkan VOC. Maka dari itu VOC mengajukan
gencatan senjata kepada Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa, masa-masa gencatan
senjata ternyata dimanfaatkan oleh VOC untuk menambah kekuatan militer dengan
mendatangkan pasukan tambahan dari negeri dan Maluku. Kekuatan persenjataan
yang sangat tidak seimbang mengakibatkan pasukan Ratu Bagus Buang dan Kyai
Tapa berhasil dipukul mundur oleh pasukan VOC hingga ke pedalaman Banten
mendekati daerah Jasinga.
Dengan tidak ada jalan lagi Kyai Tapa berkesimpulan untuk memerangi
VOC di berbagai daerah dalam waktu bersamaan. Dengan mencari bala bantuan ke
timur Banten dalam perjalanannya pasukan Kyai Tapa berhasil menghancurkan
pemukiman-pemukiman pertama Belanda yang ada di daerah Cipanas dan Cianjur,
demikian pula daerah Bandung ketika pasukannya dihadang oleh VOC, Kyai Tapa
berhasil memukul mundur pasukan COC sehingga perjalanannya ke arah timur tidak
menemui kesulitan berarti. Namun, iya tidak mendapat dukungan yang diharapkannya.
Rencananya untuk mengangkat senjata di seluruh pulau Jawa pun tidak terwujud.
Walaupun pasukan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa tidak berhasil
mengusir VOC dari Banten, mereka berhasil mengembalikan hak keturunan Maulana
Hasanudin untuk memerintah Banten. Keberhasilan itu menjadi inspirasi bagi
masyarakat Banten untuk terus melakukan perlawanan bersenjata.
Kehidupan Perekonomian
Berdasarkan berita Tome Pires tahun 1513, Kerajaan Sunda memiliki enam
pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang. Pelabuhan-pelabuhan itu adalah
Kalapa, Cimanuk, Banten, Pontang, Cigede, dan Tamgara. Semua pelabuhan tersebut
adalah pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda yang terletak di wilayah Banten
sekarang. Diantara keempat pelabuhan itu, Banten merupakan yang paling ramai
meskipun kalah ramai dibandingkan dengan pelabuhan Kalapa sampai tahun 1527.
Penanaman Wajib Komoditas Perdagangan
Kembali pada periode awal pertumbuhan kekuasaan VOC di pulau Jawa. Ia
memakai sistem leverensi atau penyerahan wajib dan kontingensi atau penyerahan
kuota yang telah ditetapkan oleh VOC, Kedua sistem tersebut, dikenakan kepada suatu
daerah atas dasar penaklukan, perjanjian, atau kontrak. Beras, cengkih, pala, lada, nila,
benang, kopi, dan gula merupakan sebagian tanaman pertanian yang dikenai aturan
penyerahan wajib dan penyerahan kuota.
Kesultanan Banten menjadikan lada sebagai komoditas terpenting dalam
struktur perdagangannya. Selain dihasilkan di daerah sendiri, Kesultanan Banten pun
menerima lada yang dihasilkan daerah lain, seperti Bengkulu dan Lampung. Dengan
demikian kedudukan kesultanan Banten sebagai produsen lada dan memegang
monopoli perdagangan lada mulai mengalami kemunduran setelah memasuki
pertengahan abad ke-17 Masehi dikarenakan terjadinya pertentangan politik di
kalangan keluarga sultan yang memperebutkan tahta.
Kehidupan Sosial Budaya
Golongan pribumi yang menempati lapisan terbawah dalam masyarakat
kolonial terbagi-bagi ke dalam beberapa golongan. Pada umumnya mereka terbagi ke
dalam empat golongan yaitu golongan raja dan keluarganya; golongan elite; golongan
nonelite; dan golongan budak.

 Bagian 5 : Keresahan Abad Ke-19


Membahas tentang pemerintahan Kesultanan akhir abad ke-18, perubahan
politik dan sistem kolonial, kesultanan Banten menjadi daerah jajahan, kehidupan
perekonomian, gerakan sosial di Banten yang terdiri dari gerakan di Cikandi Udik
(1845), gerakan di Ciomas (1886), dan gerakan di Cilegon (1888), kehidupan sosial
budaya pendidikan, dan munculnya jawara.
Khusus pembahasan pada materi yang terakhir ini, dalam perkembangannya
kemudian, kata "jawara" (juara) lalu dikonotasikan negatif, misalnya disebut sebagai
singkatan dari "jalma wani rampog" (orang yang berani merampok) atau "jalma wani
rahul" (orang berani berbohong, menipu) (Kartodirdjo, 1984:43). Citra ini terus
terbawa hingga abad ke-20, dapat dilihat dalam memorie van overgave (memori serah
jabatan) Residen Banten, FG Putman Craemer, 24 Februari 1931, yang dilaporkan
bahwa golongan jawara berasal dari apa yang disebut orok lanjang yang ada di Distrik
Menes .
Orok lanjang adalah organisasi pemuda yang tadinya bertujuan tolong-
menolong, misalnya bila ada orang mengadakan hajatan, mereka membantu
penyelenggaraannya. Lamat-laun, bila ada orang menyelenggarakan hajatan, mereka
harus diundang dan diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila tidak demikian, mereka
akan mengacau pesta. Organisasi ini kemudian meluas ke luar Menes dan menjadi
organisasi tukang pukul yang disebut jawara.
Mereka menjadi kelompok yang ditakuti masyarakat, kaum pangreh praja
pun tidak berani bertindak keras terhadap mereka. Menurut Residen Banten ini, sejak
tahun 1916, para pejabat pangreh praja bila datang ke pesta harus membawa senjata
api karena takut diganggu mereka.Akibatnya, etos "kejuangan, membela kebenaran,
kepahlawanan", yang sebenarnya dimiliki kaum "jawara" terkontaminasi dengan etos
"premanisme".
Seorang jawara yang kemudian memdalami agama disebut jawara ulama,
sedangkan ulama yang merangkap menjadi jawara, kemudian disebut ulama
jawara. Tokoh-tokoh semacam inilah yang disegani masyarakat sehingga berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan. Didasarkan atas konsensus di antara para
jawara. Umumnya senioritas menentukan siapa yang akan menjadi "yang dituakan"
atau "kokolot"

 Bagian 6: Dinamika awal abad ke-20


Membahas tentang politik etis, otonomi pemerintahan, perkembangan
pemerintahan otonom, pergerakan nasional, dan pergerakan pers. Dijelaskan pula
mengenai sekolah pertama yang didirikan di Serang sekitar tahun 1907. Selanjutnya
dijelaskan pula mengenai karesidenan Banten, Batavia, Cirebon, dan Priangan.
Pada masa pergerakan nasional Pada tahun 1928, para pemuda Banten
mendirikan organisasi kepemudaan di Batavia, yang dinamai Budi Banten, dan di
Bandung didirikan pula organisasi sejenis yang disebut Tirtayasa.
Antara bulan Februari hingga Mei 1940, pemerintah Hindia Belanda
menyatukan gerakan kaum jawara yang terdiri dari 175 orang. Maksud gerakan
mereka adalah untuk mengembangkan organisasi jawara yang oleh pemerintah
kolonial dianggap sebagai kelompok perusuh. Selanjutnya ditutup dengan sejarah pers
di Banten.

 Bagian 7: Pendudukan Jepang


Membahas tentang masuknya tentara Jepang di daerah Banten, kehidupan
sosial-budaya dan ekonomi, organisasi semimiliter dan kepemudaan, lahirnya
PETA. Secara keseluruhan bab ini menjelaskan kedudukan dan peran Jepang pada
masyarakat Banten. Selain itu, dijelaskan pula mengenai perlawanan yang dilakukan
oleh Ce Mamat dengan gerakan bawah tanahnya yang bernama Joyo Boyo.
Tetapi, pada akhir tahun 1943 gerakan tersebut tercium pemerintah militer
Jepang. Ce Mamat ditangkap dan dijebloskan ke penjara bersama dengan beberapa
temannya. la dikurung dan disiksa di Markas Kempetai di Serang. Dari sana
dipindahkan ke Markas Kempetai Pusat di Tanah Abang Jakarta dan baru dibebaskan
beberapa hari setelah Indonesia merdeka.Dua orang lainnya yaitu H. Sinting dari
Kaujon Serang (mantan Digulis) dan Hidayat meninggal dunia di penjara.

 Bagian 8: Di Tengah Gejolak Revolusi


Membahas tentang proklamasi kemerdekaan, berdirinya Badan Keamanan
Rakyat (BKR), pemberontakan Ce Mamat, agresi militer, pemerintahan kaum Ulama,
dan masyarakat Banten di tengah revolusi. Pada bab ini dijelaskan pula mengenai
peran ulama pada pemerintahan di Banten. Ahcmad Chotib pada saat itu sebagai
Residen Banten dan pada masa kepemimpinannya, NICA menghembuskan isu seolah-
akan Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali dengan Residen Banten sebagai
sultannya.
Isu ini dibantah oleh KH Achmad Chatib ketika ia berkunjung ke
Yogyakarta. Untuk membatasi ruang gerak Residen Banten, maka diangkatlah Mas
Yusuf Adiwinata sebagai wakil Gubernur Jawa Barat yang berkedudukan di
Serang.Selain itu, para kiai perlahan-lahan mencari jawatan yang berkaitan dengan
keahlian mereka seperti Jawatan Keagamaan dan Jawatan Penerangan. Beberapa
pejabat profesional dikirim pula oleh pemerintah pusat. Sementara itu, Kolonel
Soekanda Bratamanggala dikirim ke Banten oleh Kolonel KH Syam'un yang menjadi
Bupati Serang.

 Bagian 9: Proses Menuju Provinsi


Membahas tentang kondisi politik tahun 1990-an, embrio gerakan, langkah
awal, lahirnya orde baru, dan peluang baru.Pada tahun 1953, untuk pertamakalinya
dimunculkan keinginan masyarakat Banten untuk meningkatkan status wilayahnya
dari Karesidenan menjadi provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat.
Hal ini muncul terkait dengannya diberikannya status Daerah Istimewa
Yogyakarta dan munculnya tuntutan yang sama dari Aceh Masyarakat Banten merasa
bahwa Banten juga memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada
Belanda, pernah berdiri sendiri karena diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata
uang sendiri pada tahun 1949. Hanya saja keinginan ini tidak mendapat tanggapan
serius.
Selanjutnya pada tahun 1963, Bupati Serang, Gogo
Sandjadirdja, mengadakan acara halal-bilhalal dengan tokoh-tokoh masyarakat Banten
di Pendopo Kabupaten Serang. Tokoh-tokoh yang datang bukan saja dari Banten,
tetapi juga dari daerah Jasanga-Bogor. Setelah acara halal-bilhalal usai, dilanjutkan
dengan rapat. Dalam rapat itu untuk pertama kali dicetuskan gagasan tentang perlunya
Karesidenan Banten provinsi itu sendiri. Tumbuhan ini kemudian diwujudkan dengan
membentuk Panitia "Pembentukan Provinsi Banten" (PPB).

 Bagian 10: Pembentukan Provinsi Banten berisi tentang lahirnya orde


reformasi
berdirinya Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten (Bakor-PPB),
sikap pemerintah provinsi Jawa Barat, dan terakhir lahirnya Provinsi Banten. Jadi,
secara keseluruhan pada bab ini dijelaskan mengenai perjuangan tokoh-tokoh Banten
dalam membentuk provinsi Banten. Isu tentang Provinsi Banten terus bermateri.
Para tokoh Banten berusaha mendapatkan dukungan dari
Mendagri. Kelompok Jakarta dan para tokoh Banten lainnya mendapat kesempatan
untuk bertemu Mendagri Suryadi Sudirja, setelah Menteri meresmikan pameran
lukisan di Hotel Bidakara, Jakarta pada tanggal 3 Desember 2000.
Dalam pertemuan yang dilakukan di restoran hotel tersebut, para tokoh
Banten yang hadir adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini, H.Uwes Qorny, KH Irsyad
Djuwaeli, Aly Yahya, HMA Tihami, dan H.Tb.Chasan Sochib. Mendagri memberikan
saran bila rakyat Banten memang sudah bulat keinginannya untuk mendirikan provinsi
sendiri, agar cara-cara sesuai prosedur yang berlaku.
Isu PPB terus bergulir dalam berbagai pertemuan formal maupun informal
seperti pengajian, pelatihan pangkaderan aktivis, dalam seminar, diskusi serta
pertemuan para ulama dan berbagai kalangan lain. Pada hari Rabu, 4 Oktober 2000,
Kumpulkan masyarakat Banten, mulai dari ulama, mahasiswa, anggota LSM,
seniman, memadati Gedung DPR RI Senayan.
Berbagai atraksi pertunjukan tradisional Banten, seperti debus, silat, rebana
digelar di Jakarta yang cerah. Suasana meriah di luar gedung diimbangj dengan
suasana serius di dalam gedung. DPR RI hari itu rapat Paripurna yang ditunggu-
tunggu masyarakat Banten.Setelah mendengarkan akhir dari fraksi-fraksi yang ada,
maka rapat yang berlangsung dari pukul 9.00 berakhir pukul 13.30 dengan puncak
acara pengesahan RUU Pembentukan Provinsi Banten menjadi Undang-Undang no 23
tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Semua fraksi DPR RI menyetujui
secara bulat pengesahan itu.

4. Penutup
a. Rangkuman:
. Diawali dengan Penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan
dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana
Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Pada
tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pasukan
Pajajaran, ibu kota atau pakuan (berasal dari kata pakuwuan) Kerajaan Sunda.Dengan
demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.
Dalam perlawanan terhadap tentara Belanda pun, Banten ikut terlibat dimana
pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, pihak tentara Belanda mengakui kegigihan dan
keberaniannya dalam usaha mempertahankan Wilayah Banten. Karena memang susah
sulit maka Belanda pun menggunakan politik adu domba untuk mengalahkan Sultan
Ageng Tirtayasa. Selain itu, ada juga bentuk perlawanan terhadap tentara Jepang yang
dipimpin oleh Ce Mamat.

Anda mungkin juga menyukai