Anda di halaman 1dari 7

BOOK REPORT

SEJARAH ISLAM INDONESIA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Sejarah Islam Indonesia

Dosen Pengampu:
Drs. Tarmidzi Idris, M.A

Disusun Oleh:
Nadia Syarfa Khairani (11220220000011)

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerajaan Gowa yang dikenal sebagai kerajaan maritim yang berdiri sekitar
abad ke-14 dan menerima Islam awal abad ke-17. Penerimaan Islam oleh Raja
Gowa merupakan langkah penting dalam proses Islamisasi. Ini terjadi dalam
konteks perang penaklukan yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa ke terhadap
kerajaan-kerajaan Tellunpoccoe, yang dikenal sebagai Musu Selleng atau Islamic
Wars. Hasil dari proses ini adalah tersebarnya Islam di Sulawesi Selatan, kecuali di
daerah Tana Toraja. Penyebaran agama Islam juga berdampak signifikan pada
transformasi wilayah ini selama abad ke-17, mengubahnya menjadi pusat kegiatan
politik dan perdagangan yang semakin kuat.

B. Identitas Buku
Judul Buku : Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI Sampai Abad XVII)
Penulis : Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2005, Cetakan ke-2
Jenis : Non Fiksi
Jumlah Halaman : 209
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ringkasan Isi Buku


BAB I – Pendahuluan
Pada bab ini, penulis buku menyatakan bahwa kajian ini sepenuhnya
bersifat kepustakaan dengan menggunakan dua macam sumber, yaitu sumber
primer (lontara) dan sumber sekunder (tulisan karya penulis dalam negeri
ataupun penulis asing) yang kemudian diolah dengan metode sejarah, yaitu
heuristik, kritik sumber, interprestasi, dan historiografi.

BAB II – Tinjauan Umum Kerajaan Gowa


Bab ini menjelaskan tentang kondisi sebelum berdirinya Kerajaan Gowa
yang diperkirakan berdiri pada abad ke-14. Wilayah ini awalnya dikenal sebagai
Makassar, terbagi menjadi sembilan kerajaan kecil yang dikenal sebagai
Kasuwiyang Salapang. Namun, seringkali terjadi perselisihan dan perang antara
kerajaan-kerajaan ini. Masyarakat mereka mencoba meredakan perselisihan
dengan menunjuk seorang pejabat bernama Paccallaya sebagai pendamai,
meskipun perselisihan tidak selalu dapat diakhiri sepenuhnya. Namun,
situasinya berubah ketika To Manurung muncul dan berhasil menyatukan semua
kerajaan kecil ini menjadi satu kerajaan yang disebut Butta Gowa (Tanah atau
Kerajaan Gowa). Hal ini menjadi awal dari pembentukan Kerajaan Gowa.
To Manurung menjadi raja setelah kesepakatan dengan Paccallaya dan
Kasuwiyang Salapang. Pada pertengahan abad ke-14, Raja Gowa ke-6,
Tunatangka Lopi, membagi wilayah Gowa menjadi dua, Batara Gowa dan
Kerajaan Tallo. Keduanya terlibat dalam persaingan dan perang panjang. Pada
masa Raja Gowa ke-10, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tunipalangga Ulaweng (1546-1565), Kerajaan Tallo bersatu kembali dengan
Gowa dalam perjanjian "Rua Karaeng Se’ra Ata" atau “Dua Kerajaan tetapi Satu
Rakyat”. Selama pemerintahan Tunipalangga, banyak pedagang Nusantara
menetap di Makassar. Tunibatta, yang menggantikan Tunipalangga, hanya
menjabat 40 hari. Dia melakukan ekspansi ke Kerajaan Bone dan tewas dalam
pertempuran. Perundingan antara kedua kerajaan menghasilkan kesepakatan
bernama “Ulukanaya ri Caleppa” yang bertujuan meredakan perselisihan.
Pada tahun 1582, dua Kerajaan Bugis, yaitu Wajo dan Soppeng,
bergabung dengan Kerajaan Bone untuk membentuk aliansi bernama
“Tellunpoccoe” atau “Tiga Puncak Kerajaan Besar Bugis” sebagai respons
terhadap ancaman dari Kerajaan Gowa. Pada tahun 1583, Gowa menyerang
Wajo, tetapi serangan tersebut berhasil digagalkan oleh pasukan Tellunpoccoe.
Serangan Gowa kembali terjadi pada tahun 1590, namun mereka tetap tidak
berhasil mengalahkan aliansi tersebut. Perputaran roda kerajaan terus berlanjut
hingga I Mangarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa ke-
14.

BAB III – Islamisasi Kerajaan Gowa


Bab ini menjelaskan bahwa masyarakat Makassar pada abad ke-15
hingga ke-16 adalah pelaut dan saudagar. Pada tahun 1513, Tome Pires
menemukan orang Makassar sebagai pelaut ulung dalam perjalanannya. Pada
akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, pedagang Muslim dari berbagai daerah
di Nusantara dan pedagang Eropa datang ke wilayah ini, terutama setelah
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Hubungan baik dengan
penduduk setempat membuat mereka diterima dengan baik di wilayah ini.
Penerimaan Islam di Kerajaan Gowa memperlihatkan pola top down atau
Islam yang diterima langsung oleh penguasa kerajaan, kemudian
diasosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah. Ketika memasuki
abad ke-17 terdapat kehadiran mubalig-mubalig dari Minangkabau untuk
menyaingi misi-misi Katolik yang diberi nama Datuk Tallua, yaitu Datuk ri
Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro. Kemudian, mereka melanjutkan
perjalanan ke Luwu untuk mengislamkan Datuk ri Luwu (raja yang paling
dihormati karena kerajaannya dianggap sebagai tempat asal nenek moyang raja-
raja Sulawesi Selatan). Datuk Luwu diberi gelar Sultan Muhammad Wali
Muzahir al-Din. Sultan Muhammad memberi rekomendasi agar menemui Raja
Gowa, karena dialah yang memiliki kekuasaan militer dan politik.
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan melibatkan dua jalur: damai dan
peperangan. Sultan Alauddin dari Gowa mencoba jalur damai dengan mengirim
utusan dan hadiah kepada kerajaan-kerajaan tetangga. Namun, beberapa
kerajaan seperti Bone, Soppeng, dan Wajo menolak, mereka menganggapnya
sebagai upaya ekspansi politik dan ekonomi. Ini memicu konflik yang disebut
Musu Selleng atau Islamic Wars, di mana Gowa berperang melawan
Tellunpoccoe. Beberapa raja akhirnya menerima Islam secara damai, seperti
Raja Bone ke-11 setelah menerima surat perdamaian dari Raja Gowa.

BAB IV – Islamisasi dalam Kehidupan Sosial-Politik


Bab ini membahas perbedaan antara kebiasaan sebelum dan setelah
masuknya Islam. Ritus-ritus tradisional pra-Islam tetap ada, tetapi para mubalig
secara perlahan menggantikannya dengan ajaran Islam. Misalnya, praktik
menjaga mayat agar rohnya tidak mengganggu warga sekitar sebelum
pemakaman yang justru berkembang menjadi arena perjudian. Namun setelah
Islam masuk, ritus ini diisi dengan pengajian al-Qur'an seperti yasinan.
Islamisasi di Sulawesi Selatan berlangsung dengan cepat karena
penyebar Islam di setiap kerajaan dipimpin dan dilindungi oleh raja. Posisi raja
di wilayah ini sangat dihormati, sehingga nama raja tidak bisa disebutkan begitu
saja. Sebagai contoh, setiap penulis lontara selalu memulai tulisannya dengan
ungkapan yang menghormati raja. Meskipun Islam diterima sebagai agama
kerajaan, tradisi penghormatan terhadap raja tetap berlanjut dengan nama-nama
yang dilengkapi dengan gelar jabatan dan nama diri yang berasal dari Islam,
seperti contoh nama I Mangarangi Daeng Manrabia pada Sultan Alauddin. Hal
ini mencerminkan bagaimana Islam meresap ke dalam struktur sosial dan budaya
setempat.

BAB V – Kesimpulan
Pada awal abad ke-17, Islam diterima di Kerajaan Gowa setelah
kedatangan pedagang Muslim pada akhir abad ke-16, terutama setelah jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Proses Islamisasi Gowa melibatkan
tiga tahap: kedatangan pedagang Muslim, penerimaan Islam oleh Raja Gowa,
dan penyebaran Islam lebih lanjut. Para peneliti menilai, jika Kerajaan Gowa
terlibat dalam perang ekspansi yang disebut Musu Selleng lebih mengejar
ekspansi politik ekonomi daripada pengislaman. Hal ini terkait dengan posisi
Gowa sebagai pusat perdagangan maritim yang mencari wilayah penghasil
komoditi. Penaklukan ini menguntungkan dalam pengislaman dan memperkuat
posisi Gowa dalam politik dan perdagangan. Setelah benteng Tellunpoccoe
dikalahkan pada tahun 1611, Islam tersebar luas di Sulawesi Selatan, kecuali di
Tana Toraja.
BAB III
PENUTUP

A. Kelebihan dan Kekurangan Buku


1. Kelebihan
Buku dengan judul “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI Sampai
Abad XVII)” karya Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A sangat bermanfaat
dalam menambah wawasan baru terhadap pengislaman Kerajaan Gowa.
Dalam buku ini, diterangkan tentang sejarah, sistem pemerintahan, proses
Islamisasi, hingga keadaan geografis dan ekonomi di sana. Prof. Dr. Ahmad
M. Sewang, M.A mampu menerangkan buku ini dengan bahasa yang mudah
dimengerti yang terkadang diselingi oleh pengertian-pengertian atau
terjemahan dari bahasa Sulawesi Selatan seperti yang ada dalam catatan kaki.
Kelebihan lainnya adalah dalam teknik pengumpulan bukti, penulis buku
menggunakan metode sejarah yang disertai dengan penyampaian kutipan-
kutipan dari lontara yang memperkuat isi dan argumen penulis dalam
bukunya. Selain itu, halaman buku ini tidak terlalu tebal sehingga membuat
pembacanya dapat menyelesaikan bacaan dengan waktu yang tidak terlalu
lama.

2. Kekurangan
Buku dengan judul “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI Sampai
Abad XVII)” memiliki kekurangan dalam pengetikan. Masih ditemukan
banyak kesalahan ejaan, terutama dalam penyebutan nama tokoh-tokoh
dalam isi buku tersebut. Selain itu, kekurangan lainnya adalah terlalu banyak
pengulangan kalimat, yang dimana kalimat tersebut pasti akan muncul pada
bab selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai