Anda di halaman 1dari 21

[SAJINDO]

X JB 3
KELOMPOK 4
[SAJINDO]
Kelompok 4

No Nama Tugas

1. Meyka Shandira ~Mencari artikel Tentang Peninggalan Sejarah


Kerajaan Bone dan Gowwa –Talo

~Menyusun seluruh artikel menjadi satu

2. Zahrah zafira ~ Mencari artikel sejarah awal terbentuknya


kerajaan Bone
3. Keisha Bulan ~Mencari artikel Raja –Raja yg pernah
berkuasa di kerajaan bone

4. Az-zahra rizqy ~Mencari riwayat cerita dari kerajaan bone

5. Fathur Rizky ~ Mencari artikel sejarah awalterbentuknya


kerajaan gowa-tallo
6. Suhindra ~ Mencari artikel riwayat cerita dari kerajaan
gowa talo
7. Nia Ramadhani ~Mencari artikel raja – raja yg pernah berkuasa
di kerajaan gowa talo

 [KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI]


 Kerajaan Gowa- tallo

 Sejarah awal terbentuknya kerajaan gowa-tallo


Kesultanan Gowa-Tallo adalah kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan
dan berpusat di Makassar. Posisinya yang strategis menjadikan wilayah
kerajaan ini sebagai salah satu jalur pelayaran dan pusat perdagangan terpenting
di Nusantara dalam sejarah. erajaan Gowa dan Kerajaan Tallo -yang sempat
terpisah dan berseteru- membentuk persatuan pada 1528 dan mengalami masa-
masa kejayaan. Sejak awal abad ke-17 Masehi, Kerajaan Gowa-Tallo resmi
menjadi kerajaan Islam atau kesultanan. I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-
1639) menjadi penguasa Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama Islam dan
lantas memakai gelar Sultan Alauddin I. Sebelum menjadi kerajaan Islam atau
kesultanan, masyarakat Gowa dan Tallo menganut kepercayaan animisme atau
kepercayaan terhadap leluhur yang disebut To Manurung.
Asal usul nama Gowa sudah dikenal sejak tahun 1320, yaitu sejak
era pemerintahan penguasa Gowa pertama yang bernama Tumanurung Bainea.
Orang-orang Makassar dan Bugis dikenal sebagai kaum pelaut yang
tangguh.Mattulada
melalui buku Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah (2011)
mengungkapkan bahwa terdapat 9 negeri kecil yang sudah ada di Gowa
sebelum Tumanurung hadir. Mereka mengikat diri di bawah naungan
Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah). Adapun 9 negeri tersebut adalah
Kasuwiang Tambolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne,
Bisei, Kalling, dan Sero. Awalnya, mereka sering terlibat pertikaian. Dengan
adanya
Paccalaya, konflik tersebut dapat ditekan. Mereka sadar bahwa untuk dapat
hidup lebih damai dibutuhkan seorang pemimpin yang bisa mempersatukan dan
mengakomodir seluruh kepentingan. Ahmad M Sewang dalam buku Islamisasi
Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII (2013) menyebutkan, mereka
mencari orang dari luar kelompok. Kemudian, mereka bertemu
denganTumanurung
di bukit Tamalate dan mengangkatnya menjadi raja dari ke-9 negeri di Gowa
itu. Selanjutnya, digelar perundingan antara Kasuwiang Salapa (perwakilan dari
9 negeri), Tumanurung, dan Paccalaya.
Berikut ini isi perjanjian tersebut: “Berkatalah Kasuwiang Salapangan
kepada Tumanurung: Dikaulah yang akan menjemput kami menjadi baginda
raja kami. Berkatalah Tumanurung: Engkau berhamba dirilah kepadaku,
sementara aku masih menumbuk padi, masih mengambil air. Berkatalah
Kasuwiang Salapanga: Sedang istri kami tidak melakukan hal itu, apalagi
baginda yang kami pertuankan. Sesudah itu Tumanurunga menyanggupi
diangkat karaeng di Gowa.” Berdasarkan kesepakatan tersebut, maka
Tumanurung dinobatkan sebagai raja pertama dari silsilah penguasa Kerajaan
Gowa. Kedatangannya bak juru selamat di tengah-tengah masyarakat yang saat
itu penuh dengan kekacauan dan ketidakteraturan.

 Riwayat kerajaan gowa- tallo


Kerajaan Gowa pernah terbelah menjadi dua setelah masa pemerintahan
Tonatangka Lopi pada perjalanan abad ke-15. Dua putranya, yakni Batara
Gowa dan Karaeng Loe ri Sero berebut takhta sehingga terjadilah perang
saudara. Batara Gowa mengalahkan sang adik. Karaeng Loe kemudian turun ke
muara Sungai Tallo dan mendirikan kerajaan baru bernama Tallo. Versi lainnya
menyebutkan, Tonatangka Lopi memang membagi wilayah Kerajaan Gowa
menjadi dua untuk diberikan kepada kedua anaknya, Karaeng Gowa dan
Karaeng Loe ri Sero. Jadilah ada dua kerajaan yakni Kerajaan Gowa dan
Kerajaan Tallo. Dua kerajaan kembar ini berpolemik selama bertahun-tahun.
Hingga akhirnya, setelah tahun 1565, Gowa dan Tallo bersatu kembali dengan
kesepakatan Rua Karaeng se’re ata atau dua raja, seorang hamba. Setelah
bersatu kembali, kerajaan ini disebut Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan
Makassar. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008),
mengungkapkan, ada sistem pembagian kekuasaan, yaitu raja berasal dari garis
keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari garis Tallo.
Menjelang berakhirnya abad ke-16 atau menuju abad ke-17, Kerajaan Gowa-
memasuki masa Islam dan berubah menjadi kesultanan. Begitu pula dengan
pemimpinnya yang kemudian menyandang gelar sultan.

 Daftar raja yg berkuasa di kerajaan Gowa- tallo

 Tumanurung Bainea (awal abad ke-14)


 Tamasalangga Baraya (1320 -1345)
 I Puang Loe Lembang (1345-1370)
 I Tuniata Banri (1370-1395)
 Karampang Ri Gowa (1395-1420)
 Tunatangka Lopi (1420-1445)
 Batara Gowa Tuniawangngang Ri Paralakkenna (1445-1460)
 Pakere Tau Tunijallo Ri Passukki (1460)
 Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna (1460-1510)
 I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga (1510 -1546)
 I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta (1546-1565)
 I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565)
 I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Tunipasulu (1565-1590)

 Peninggalan kerajaan Gowa – tallo


1. Benteng Fort Rotterdam

Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo


yang wajib diketahui pertama yaitu Benteng Fort Rotterdam. Benteng ini
dibangun oleh raja ke-9 Kerajaan Gowa pada tahun 1545 masehi dengan
bahan dasar tanah liat.
Kemudian pada masa pemerintahan raja ke-14 Kerajaan Gowa, benteng ini
dipungar kembali dengan mengunakan bahan dasar batuan padas yang
diperoleh langsung dari Pegunungan Karst di kawasan Maros. Awalnya,
Benteng Fort Rotterdam ini bernama " Benteng Ujung Pandang ". Namun,
setelah bangsa Belanda berhasil menjajah daerah Sulawesi Selatan, Nama "
Benteng Ujung Pandang " diganti menjadi " Benteng Fort Rotterdam ".
Penduduk lokal sering juga menyebut " Benteng Fort Rotterdam " ini dengan
sebutan " Benteng Panyyua " atau " Benteng Penyu ". Pasalnya, benteng ini
mempunyai bentuk mirip seperti penyu jika dilihat dari atas.

2. Masjid Katangka

Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo yang


wajib diketahui berikutnya yaitu Masjid Katangka. Namun kini, masjid yang
diperkirakan dibangun pada tahun 1603 masehi ini lebih sering disebut "
Masjid Al-Hilal ".Penamaan " Masjid Katangka " yang secara administratif
berada di Desa Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa ini
berasal dari bahan dasar pembuatan masjid tersebut yaitu kayu Katangka
Walaupun masjid yang berada di sebelah utara Komplek Makam Sultan
Hasanuddin ini memiliki tampilan yang sederhana, namun masjid ini
dipercayai sebagai salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan.

3 . Benteng Somba Opu


Benteng Somba Opu yang berada
di Desa Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa ini
juga dibangun oleh raja ke 9 Kerajaan Gowa Tallo pada abad ke-16 masehi.
Pada masa jayanya, tempat yang satu ini pernah menjadi salah satu pusat
perdagangan di Gowa Tallo, dimana pada saat itu, rempah-rempah
diperjualbelikan oleh para pedagang dari berbagai belahan dunia. Namun
sayang, pada tahun 1669 masehi, VOC menghancurkan benteng ini, dan
membiarkannya terendam. Kemudian pada tahun 1980-an, benteng ini
ditemukan kembali oleh beberapa ilmuan yang berkunjung ke lokasi benteng
ini.

4. Masjid Joggaya (Babul Firdaus)

Peninggalan dari Kerajaan Gowa Tallo


berupa masjid selanjutnya adalah masjid joggaya yang dibangun pertama
kali oleh Raja Gowa ke-34. Raja yang membangun masjid ini bernama
Imakkalau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang Sultan Husain
Tumenangan Bandu'na ketika perayaan ulang tahun Nabi Muhammad SAW
sekitar tahun 1314 H. Berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar, masjid
ini merupakan masjid ketiga yang didirikan oleh Kerajaan Gowa, setelah
Masjid Nurul Mu'minin dan Masjid Katangka. Untuk arsitekturnya hampir
sama, sebab masih dibangun oleh keturunan raja Gowa. Tujuan dari
pembangunan masjid ini adalah sebab adanya perpindahan pusat Kerajaan
Gowa dari wilayah Katangka ke Jogayya.

5. Kompleks Makam Katangka

Peninggalan Kerajaan Gowa Selanjutnya


adalah kompleks makam katangka yang berada di area Masjid Katangka. Di
dalam area pemakaman ini terdapat makam dari keluarga dan keturunan
raja-raja Gowa termasuk di dalamnya Sultan Hasanudin.

Untuk bisa mengenali berbagai makam di area ini cukuplah mudah, dimana
makam raja-raja diatapi dengan kubah. Sementara makam para pemuka
agama serta keturunan raja hanya diberikan tanda dengan batu nisan biasa
saja.

6 Makam Syekh Yusuf Tajul Khalwati

Peninggalan dari Kerajaan


Gowa yang terakhir adalah Makam Syekh Yusuf Tajul Khalawati atau yang
dikenal sebagai Syekh Yusuf Almaqqassari Al-Bantani. Beliau merupakan
ulama besar yang lahir di Gowa pada tanggal 3 Juli 1926 yang keturunan
dari Abdullah dan Aminah. Ketika lahir, beliau diberikan gelar kehormatan
sebab diberikan nama langsung oleh Sultan Alauddin, dengan nama
Muhammad Yusuf. Beliau memiliki pengaruh yang besar untuk perlawanan
rakyat Gowa Tallo untuk mengusir para penjajah. Sebab dianggap memiliki
pengaruh yang cukup besar, beliau kemudian diasingkan ke Srilangka, India
pada September dan kemudian ke Cape Town, Afrika Selatan. Ketika beliau
meninggal, jenazahnya kemudian dipulangkan ke daerah asalnya yakni
Makassar dan dimakamkan di dataran rendah Lakiung sebelah barat Masjid
Katangka.

 Kerajaan Bone

 Sejarah awal terbentuknya kerajaan Bone


A. Asal Usul Kerajaan Bone

Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan
masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua
kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua
Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege.
Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan
dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang
tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan
patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan
permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya. Seperti halnya
kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali
dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa
adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran
Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah
ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum
kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang
mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan
Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus
selama tujuh hari tujuh malam. Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu
tempat. Orang tersebut mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah
padang Bone. Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang
menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka
berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah
kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat menjadi
Raja Bone. Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon
agar orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut
menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja. Tapi
orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa
membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya,
orang tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya
disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara”
beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung
dan membawakan salendrang (tempat sirih). Para pemohon dari Bone pun,
langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara agar kiranya
bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao”
artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala
janji”.Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni
ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja
Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk
“ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana “bulisa” artinya
kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.
B. Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone

Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar
MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M
sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro,
yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak
yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We
Arattiga dan Isamateppa

Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat


ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya
penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan
Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh
komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-
peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk
mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –
MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat
setempat disebut; Mallajang)

Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam


Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan
bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung
Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone
(Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas
dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao
(tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan
karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.

Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’


menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru,
Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya
berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang,
Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”.

La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan


kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak
perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to
sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu
bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh
anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh
Arung Palakka La Pattikkeng.

Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk


pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng
ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah
Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.

La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE


Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan
kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan
berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri,
Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko,
Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo,
Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang
Ale.

Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai
wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga
organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu
membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah
administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone.
Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ :
Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi.
Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri
yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing,
Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi
Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di
sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi,
Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”.
(Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)

Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum


warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin
stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun
Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa
beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari
isteri keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.

Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang


perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta
menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau
digelari pula Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan
Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone
mencapai stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil.
Raja perempuan pertama Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan
pendahulunya dalam perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya
mengintensifkan perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina
dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung
Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.

Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang


dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan
pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama,
karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun
lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La
Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama
keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia
menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.

Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta


dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja
Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar
lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV
sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki
berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara
Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”,
karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone.
Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.

Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu


To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan
senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo
MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian
kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak
mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang
dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang
perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari
kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan
sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah
perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La
Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.

Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa


pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara
Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya
terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi
bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan
peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise
yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone
bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.

Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu


– salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi
pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah
beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi
penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya
dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E
karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).

Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone


dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa
untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu
merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk
merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang
mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di
semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah
Bone mulai dilirik oleh Gowa.

Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong.. Dia


pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng
Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan
diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan
pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya
Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan
kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara
Gowa dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata
kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di
Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).

Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan


balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan
Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate).
Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling
memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan
bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa
kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung
Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja
Bone VII.
 Riwayat kerajaan bone
Sejarah mencatat bahwa Bone dahulu merupakan salah satu kerajaan besar di
Nusantara pada masa lalu.Kerajaan Bone dalam catatan sejarah didirikan oleh
raja Bone ke-1 yaitu Manurunge ri Matajang pada tahun 1330 Masehi,mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan La Tenritatta Arung Palakka
pertengahan abad ke 17.
Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan
masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua
kaum).Selanjutnya anang terbentuk menjadi Wanua (negeri),seperti Wanua
Ujung,Tibojong,Ta',Tanete Riattang,Tanete Riawa,Ponceng,dan Macege.Setiap
pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa keseteruan dari satu
nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup
terhadap persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan
patrimonial (garis keturunan dari pihak ayah).Hal seperti itu menciptakan
permusuhan diantara satu wanua dengan wanua lainnya.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa,proses sejarah berdirinya Kerajaan
Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung.Jika Tomanurung di
Kerajaan Gowa adalah wanita,Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-
laki.Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali
oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik
setempat.Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena
alam yang memberikan.Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum
kedatangan Tomanurung,terjadi hujan dan petir sambung-menyambung tanpa
putus selama tujuh hari tujuh malam.Setelah hujan reda,muncullah seseorang
disuatu tempat.Orang tersebut mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-
tengah padang Bone.Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang
menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).Maka
berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundangan demi sebuah
kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat menjadi
Raja Bone.
Setelah mereka sampai dihadapan orang tersebut,mereka memohon agar orang
tersebut mau menjadi Raja di Bone.Akan tetapi,orang tersebut menolak untuk
menjadi Raja,karena ia juga hanya seorang budak raja.Tapi,orang tersebut
menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja,maka ia bisa membawa
mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut.Selanjutnya,orang
tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang.Sesampainya
disana,terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu “napara"
beserta 3 pengikutnya,yang masing-masing bertugas memang kipas,payung dan
membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun,langsung memohon kepada lelaki yg duduk diatas
batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone.Maka raja itu
menyahut,”teddua nawa-nawao" artinya “orang setia" dan “temmaballecoko"
artinya tidak mendiami istana itu.
 Raja” yg pernah berkuasa
 1. MANURUNGE RI MATAJANG, MATA SILOMPOE, 1330-1365, Pria
2. LA UMMASA, PETTA PANRE BESSIE, 1365-1368, Pria
3. LA SALIYU KORAMPELUA, 1368-1470, Pria
4. WE BANRIGAU, MALLAJANGE RI CINA, 1470-1510, Wanita
5. LA TENRISUKKI, MAPPAJUNGE, 1510-1535, Pria
6. LA ULIYO BOTE-E, MATINROE RI ITTERUNG, 1535-1560, Pria
7. LA TENRIRAWE BONGKANGE, MATINROE RI GUCINNA, 1560-1564,
Pria
8. LA INCA, MATINROE RI ADDENENNA, 1564-1565, Pria
9. LA PATTAWE, MATINROE RI BETTUNG, 1565-1602, Pria
10. WE TENRITUPPU, MATINROE RI SIDENRENG, 1602-1611, Wanita
11. LA TENRIRUWA, SULTAN ADAM, MATINROE RI BANTAENG, 1611-
1616, Pria
12. LA TENRIPALE, MATINROE RI TALLO, 1616-1631, Pria
13. LA MADDAREMMENG, MATINROE RI BUKAKA, 1631-1644, Pria
14. LA TENRIAJI, ARUNGPONE, MATINROE RI PANGKEP, 1644-1672, Pria
15. LA TENRITATTA, DAENG SERANG, MALAMPE-E GEMME’NA, ARUNG
PALAKKA, 1672-1696, Pria
16. LA PATAU MATANNA TIKKA, MATINROE RI NAGAULENG, 1696-1714,
Pria
17. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG, SULTANAH
ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN,
1714-1715, Wanita
18. LA PADASSAJATI, TOAPPEWARE, PETTA RIJALLOE, SULTAN
SULAEMAN, 1715-1718, Pria
19. LA PAREPPA, TOSAPPEWALI, SULTAN ISMAIL, MATINROE RI
SOMBAOPU, 1718-1721, Pria
20. LA PANAONGI, TOPAWAWOI, ARUNG MAMPU, KARAENG BISEI, 1721-
1724, Pria
21. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG, SULTANAH
ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN,
1724-1749, Wanita
22. LA TEMMASSONGE, TOAPPAWALI, SULTAN ABDUL RAZAK,
MATINROE RI MALLIMONGENG,
1749-1775, Pria
23. LA TENRITAPPU, SULTAN AHMAD SALEH, 1775-1812, Pria
24. LA MAPPASESSU, TOAPPATUNRU, SULTAN ISMAIL MUHTAJUDDIN,
MATINROE RILEBBATA,
1812-1823, Pria
25. WE IMANIRATU, ARUNG DATA, SULTANAH RAJITUDDIN, MATINROE
RI KESSI, 1823-1835,
Wanita
26. LA MAPPASELING, SULTAN ADAM NAJAMUDDIN, MATINROE RI
SALASSANA, 1835-1845, Pria
27. LA PARENRENGI, ARUNGPUGI, SULTAN AHMAD MUHIDDIN,
MATINROE RIAJANG BANTAENG,
1845-1857, Pria
28. WE TENRIAWARU, PANCAITANA BESSE KAJUARA, SULTANAH
UMMULHUDA, MATINROE RI
MAJENNANG, 1857-1860, Wanita
29. LA SINGKERU RUKKA, SULTAN AHMAD IDRIS, MATINROE RI
TOPACCING, 1860-1871, Pria
30. WE FATIMAH BANRI, DATU CITTA, MATINROE RI BOLAMPARE’NA,
1871-1895, Wanita
31. LA PAWAWOI, KARAENG SIGERI, MATINROE RI BANDUNG, 1895-
1905, Pria
32. LA MAPPANYUKKI, SULTAN IBRAHIM, MATINROE RI GOWA, 1931-
1946, Pria
33. LA PABBENTENG, MATINROE RI MATUJU, 1946-1951, Pria

 Peninggalan kerajaan bone


1. Museum Lapawawoi

Museum Lapawawoi dinamakan


demikian karena merujuk pada nama Raja Bone ke 31 yang
memerintah dari 1895 – 1905, lengkapnya La Pawawoi Karaeng
Sigeri. Dahulu, museum ini merupakan istana (Saoraja) Raja Bone. Ia
menyimpan banyak peninggalan Kerajaan Bone. Salah satu koleksi
yang ada di museum ini adalah La Ummasa Petta Mulange Panre,
yang merupakan landasan untuk menimpa besi yang biasa dipakai
oleh Raja Bone Kedua.
2. Makam Raja-raja Bone

Mengunjungi makam, tidak


selamanya meninggalkan aura-aura seram. Dari sini, Teman Traveler bisa
napak tilas sejarah dan budaya Bone yang memang merupakan wilayah
kesultanan atau kerajaan. Salah satu makam yang bisa dikunjungi saat
bertandang ke Bone, adalah makam Raja Bone ke XVI, Lapatau Matanna
Tikka. Situs makam ini biasa juga dikunjungi oleh petinggi-petinggi Bone.

3. Bola Soba

Wisata budaya dan sejarah Bone


yang satu ini berusia lebih dari 100 tahun. Bola Soba dibangun pada masa
pemerintahan Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri, sebagai tempat
tinggal raja. Sayangnya, ketika Belanda mulai masuk ke Indonesia,
bangunan ini jatuh ke tangan Belanda dan berubah fungsi menjadi
penginapan untuk menjamu para tamu mereka. Bola Saba memiliki panjang
39,45 meter. Terdiri atas empat bagian utama: teras, rumah induk, selasar
penghubung dan ruang dapur
4. Patung Arung Palakka Bone
Bagi masyarakat Bone, Arung Palakka
bukan nama yang asing. Ia adalah putra mahkota Bone yang kontroversial.
Tokoh ini lahir pada 15 September 1634. Ia merupakan putra Raja Bone ke-
XIII, La Maddaremmeng Matinro’e Ri Bukaka. Meski begitu, bukan berarti
hidupnya mudah. Aru Palaka lahir di antara konflik kerajaan yang tengah
terjadi di Sulawesi Selatan. Keberadaan patung Arung Palakka di Taman
Bunga Kota Watampone, Bone bisa menjadi destinasi wisata budaya dan
sejarah Bone yang bisa Teman Traveler kunjungi.

[Selesai]

Anda mungkin juga menyukai