Anda di halaman 1dari 12

TUGAS SKI

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI


(GOWA-TALLO DAN BUGIS)

D
I
S
U
S
U
N
OLEH

KELOMPOK 4
FAHRUN NISA
MAULIZAN
SHAKIRA ANANDA IMARA
SYIFA NABILA

MTsN KUTA BARO


KABUPATEN ACEH BESAR
TAHUN AJARAN 2016/2017

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI


A.

Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi


Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau
ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau
Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat
datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah.
Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja
di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaudin al Awwal dan Perdana
Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah
Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaudin yang bernama Tonigallo dari Sultan
Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam,
ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaudin begitu terkenal karena
pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri
Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para
ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal
Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan
perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette,
Luwu dan Paloppo.

B.

Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi

1) Kerajaan Gowa-Tallo
Pada awalnya, Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih dikenal sebagai Kerajaan
Makassar terdiri dari beberapa kerajaan yang bercorak Hindu, antara lain, Gowa, Tallo,
Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Dengan adanya dakwah dari Dato' ri Bandang dan
Dato' Sulaiman, Sultan Alauddin (Raja Gowa) masuk Islam. Setelah raja memeluk
Islam, rakyat pun segera ikut memeluk Islam.
Kerajaan Gowa dan Tallo kemudian menjadi satu dan lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Makassar dengan pemerintahannya yang terkenal adalah Sultan Hasanuddin
(1653-1669). Ia berhasil memperluas pengaruh Kerajaan Makassar sampai ke Matos,
Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok.
Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandar
transit di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Hasanuddin mendapat julukan Ayam
Jantan dari Timur. Karena keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar
menjadi kerajaan besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.
Faktor-faktor penyebab Kerajaan Makassar menjadi besar:
Letaknya strategis, baik sekali untuk pelabuhan

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam pindah ke


Makassar.
Perkembangan Makassar menyebabkan VOC merasa tersaingi. Makassar tidak
tunduk kepada VOC, bahkan Makassar membantu rakyat Maluku melawan VOC.
Kondisi ini mendorong VOC untuk berkuasa di Makassar dengan menjalin kerjasama
dengan Makassar,tetapi ditolak oleh Hasanuddin. Oleh karena itu, VOC menyerang
Makassar dengan membantu Aru Palaka yang telah bermusuhan dengan Makassar.
Akibatnya, banteng Borombong dan ibu kota Sombaopu jatuh ke tangan musuh,
Hasanuddin ditangkap dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
Isi Perjanjian Bongaya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

VOC memperolehhakmonopoli di Makassar


VOC diizinkan mendirikan benteng di Makassar
Makassar harus melepaskan jajahan seperti Bone
Semua bangsa asing diusir dari Makassar, kecuali VOC
Kerajaan Makassar diperkecil hanya tinggal Gowa saja
Makassar membayar semua utang perang
Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
Akibat kekalahannya, peranan Makassar sebagai penguasa pelayaran dan
perdagangan berakhir. Sebaliknya, VOC memperoleh tempat yang strategis di
Indonesia bagian timur. Rakyat Makassar yang tidak mau menerima Perjanjian
Bongaya, seperti Kraeng Galesung dan Monte Merano, melarikan diri ke Mataram.
Selanjutnya, untuk memperlemah Makassar, banteng Sombaopu dihancurkan oleh
Speelman dan benteng Ujung Pandang dikuasai VOC diganti nama menjadi benteng
Ford Roterdam.
Dalam bidang kebudayaan, Makassar sebagai kerajaan yang bersifat maritim
sedikit meninggalkan hasil-hasil budaya. Peninggalan budaya Makassar yang menonjol
adalah perahu pinisi, lambo, dan bercadik. Dalam bidang sastra, diperkirakan sudah
lahir beberapa karya sastra. Hanya saja, karya-karya tersebut tidak sampai ke kita.
Tetapi pada saat itu sudah ada sebuah buku tentang hukum laut dan perniagaan,
yaitu Ade' Allopiloping Bicaranna Pabbalu'e dan naskah lontar karya Amanna Gappa.
Birokrasi Pemerintahan Makassar Di Sulawesi, ditemukan buku kronik, antara
lain, Lontara (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Gowa, Bone, Wajo,
Luwu, dan sebagainya), Sanggala (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja
Toraja), dan I La Galigo (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Bugis).
Dari sekian banyak kerajaan di Sulawesi Selatan, ada tiga kerajaan besar, yaitu:

1.
2.
3.

Kerajaan Gowa, rajanya disebut Sombaya ri Gowa (yang disembah di Gowa)


Kerajaan Luwu, rajanya disebut Pajunge ri Luwu atau Mapajunge ri Luwu
Kerajaan Bone, rajanya disebut Mangkau'E ri Bone (yang bertakhta di Bone).
Setelah raja-raja Makassar masuk Islam, mereka bergelar sultan. Dalam
menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh suatu dewan yang disebut
Kasuwiyang Salapanga (pangabdi sembilan), kemudian diubah menjadi Bate
Salapanga (bendera sembilan). Sebagai pembantu raja yang menjalankan undangundang pemerintahan, majelis diawasi oleh seorang pemimpin yang disebut Paccalaya
(hakim).
Setelah raja, jabatan tertinggi di bawahnya adalah Pabbicarabutta yang dibantu
oleh Tumailalang Matowa dan Tumailalang Malolo. Tumailalang Matowa bertugas
sebagai pegawai tinggi yang menyampaikan perintah raja kepada majelis Bate
Salapanga. Adapun Tumailalang Malolo adalah pegawai tinggi urusan istana. Panglima
yang

memimpin

tentara

dalam

perang

disebut

Anrong

Guru

Lompona

Tumakjannangang. Mereka bergelar Karaeng atau Gallareng.


Ada lagi jabatan yang disebut Opu Bali Ranten, yaitu bendahara kerajaan. Selain
sebagai bendahara, ia juga mengurus masalah perdagangan dan hubungan ke luar.
Bidang agama diurus oleh seorang kadhi yang dibantu oleh imam, khatib, dan bilal.
Raja-raja KerajaanGowaTallo :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Tumanurunga (+ 1300)
Tumassalangga Baraya
Puang Loe Lembang
I Tuniatabanri
Karampang ri Gowa
Tunatangka Lopi (+ 1400)
Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
Daeng Matanre Karaeng Tumapa' ri si' Kallonna (awalabad ke-16)
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-

11.
12.
13.
14.

1565)
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminangari Gaukanna
Berkuasa mula itahun 1593 wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa
Gowa pertama yang memeluk agama Islam.

15.

I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminangari


Papang Batuna. Lahir11 Desember1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga

16.

wafatnya 6 November 1653


I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin
Tuminangari Balla'pangkana. Lahir tanggal 12 Juni1631, berkuasa mulai

17.

tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670


I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminangari Allu'
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7

18.
19.

Mei 1681
I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminangari Passiringanna
Sultan
Mohammad
Ali
(Karaeng
Bisei)
Tumenangari
Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15

20.

Agustus1681
I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil

21.
22.
23.
24.

Tuminangari Lakiyung. (1677-1709)


La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminangari Somba Opu (1709-1711)
I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminangri Pasi
I Manrabbia Sultan Najamuddin
I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminangri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya

25.
26.
27.
28.

pada tahun1735)
I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminangari Tompobalang (1767-

29.

1769)
I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminangari Mattanging

30.
31.

(1770-1778)
I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminangri Katangka

32.
33.

(1816-1825)
La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminangari Suangga (1825-1826)
I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminangari

34.

Kakuasanna (1826 - wafat30 Januari1893)


I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminangari

35.

Kalabbiranna (1893- wafat18 Mei1895)


I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminangri
Bundu'na. Memerintah sejak tanggal 18 Mei1895, dimahkotai di Makassar pada
tanggal 5

Desember 1895.

Belanda pada

tanggal 19

Ia

melakukan

Oktober 1905 dan

perlawanan
diberhentikan

terhadap Hindia
dengan

paksa

oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma,
36.

dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.


I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur

37.

Muhibuddin Tuminangari Sungguminasa (1936-1946)


Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir
Aidudin (1946-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada
tahun 1978.

2) Suku Bugis
Suku Bugis merupakan kelompok etnik yang tempat asalnya berada di Sulawesi
Selatan. Suku Bugis juga biasa disebut dengan Suku Deutro-Melayu yang daerah
asalnya di Yunan setelah bermigrasi. Kata bugis diambil dari kata To Ugi yang berarti
orang bugis. To Ugimerupakan julukan bagi Raja pertama disalah satu Kerajaan di
jazirah Sulawesi selatan dan nama aslinya yaitu La Sattumpugi. Orang bugis juga
banyak yang merantau ke mancanegara seperti ke Brunei, Malaysia, Fillipina, dan
Thailand.

Perkembangan suku bugis pada tempo dulu sangat siginifikan dan membentuk
beberapa kerajaan yang terkenal seperti kerajaan Makassar (Gowa dan Tallo), Kerajaan
Luwu, Kerajaan Soppeng, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Bone, Kerajaan Wajo, Kerajaan
Rappang, Kerajaan Suppa, Kerajaan Sidenreng.
Peperangan Antar Kerajaan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng
serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi
politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga
bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu

Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah.
Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu
dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian
mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari
Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan
posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah
Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai
Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan
Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo
dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng
membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe".
Masuknya Agama Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas
perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri
Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang)
menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan
Islam di Bulukumba.
Masa Pemerintahan Kolonialisme Belanda
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan
VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa
dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang
Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang
berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh
menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan
Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa &
sekutunya. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang
merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa
adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu
tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian pada tahun 1905-1906 setelah
perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri
Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis baru bisa betul-betul
ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda

menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja


sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan
tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga
berdirinya NKRI.
Suku Bugis Pada Masa Kemerdekaan Indonesia
Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama
(Soekarno) untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI.
Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan
pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan
kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di
Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis.
Sekarang generasi muda Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih banyak
mengonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat
pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus
reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru
yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara
banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak
bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi dan transmigrasi.
C.
1.

Peninggalan Sejarah Islam di Sulawesi


Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu pelantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks
makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini
(Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu
alami tanpa pembentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu
andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai
sekarang. Pemujaan penduduk terhadap batu ini ditandai dengan banyaknya sajian di
atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan
yang bertuah.

2.

Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami
beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan

Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa
(1948); dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962). Sangat sulit mengidentifikasi
bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan
sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana
dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada
ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di
atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab
terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang
dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
3.

Makam Syekh Yusuf


Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat
Msjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah
makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk
bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik.
Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23
Mei 1699, beliau dimakamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja
Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan
dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru permintaan tersebut
dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang
berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka
Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di
atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam
yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu
menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah
masih

sangat

ramai

mengunjungi

tokoh

ulama

(panrita)

dan

intelektual

(tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan


Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa 7, Syekh Yusuf dianggap
Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti
berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab
fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan

Qadriyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara


Hamzah Fanzuri yang mengembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin arRaniri.
4.

Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan
menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng
diperkirakan 2 kilometer. Berdasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang
masih tersisa, tebal dinding banteng diperkirakan mencapai 260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa
benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng
(bastion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai
keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi
pemukiman dan makam raja-raja Tallo.

D.

Bukti-Bukti Peninggalan Sejarah Islam


Banyak terdapat bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi, dan berikut di
antrara bukti-bukti tersebut:
1.

Dalam catatan Lontara Bilang tertulis bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam
tahun 1603 adalah Kanjeng Matoaya, Raja ke-4 dari Kerajaan Tallo. Penyiar agama
Islam di daerah ini berasal dari Demak, Tuban, dan Gresik. Oleh karena itu Islam

2.

masuk melalui Raja dan masyarakat Gowa Tallo.


Masjid Hila yaitu masjid pertama Datuk Tiro di Kabupaten Bulukumba yang didirikan
oleh Al-Maulana Khotib Bungsu atau Datuk Tiro. Setelah Luru Daeng Biasa masuk

3.

Islam, maka Datuk Tiro membuat masjid Hila.


Batu karang berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang dengan tinggi 15
meter, adalah makam Karaeng Sapo Batu, karena Raja Tiro pertama bernama Karaeng

4.

Raja Daeng Malaja.


Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di kota Manado berupamakam tua yang
terdapat di kmpleks pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam
memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu:
Kijing (jirat), dasar yang berbentuk persegi panjang dengan berbagai bentuk
variasi.

Nisan, berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan di
atas kijing. Nisan ada yang dipasang pada bagian kepala saja, atau kepala dan
kaki.
Cungkup, berupa bangunan pelindung beratap untuk melindungi makam dari
5.

hujan.
Benda bersejarah yang berkaitan dengan masuknya agama Islam di Lembah Palu,
Sulawesi Tengah, tidak hanya berupa Al-Quran kuno saja. Ada sejumlah naskah yang
hadir di tengah masyarakat lembah Palu bersamaan dengan masuknya Islam. Naskah

6.

tersebut di antaranya berupa naskah Kutika dan Naskah Lontara.


Masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.

Anda mungkin juga menyukai