Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Nusantara tidak terlepas dari
peranan para pedagang, khususnya para pedagang Islam dari Gujarat dan Persia.
Mereka datang ke daerah-daerah di Nusantara untuk berdagang sekaligus
menyebarkan agama yang mereka anut. Dari interaksi para pedagang Islam
tersebut dengan penduduk setempat, yang membuat agama Islam kemudian
menjadi berkembang. Mula-mula hanya sekelompok orang kemudian berkembang
menjadi sebuah perkampungan, desa, dan sebuah kerajaan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan agama Islam dapat berkembang
dengan cepat di Nusantara. Pertama, syarat untuk masuk agama Islam sangat
mudah, yaitu seseorang hanya butuh mengucapkan kalimat syahadat untuk bisa
secara resmi menganut Islam. Kedua, agama Islam tidak mengenal sistem
pembagian masyarakat berdasarkan kasta. Ketiga, penyebaran agama Islam
dilakukan dengan jalan yang relatif damai. Keempat, sifat rakyat setempat yang
ramah tamah memberi peluang Islam diterima dengan mudah oleh masyarakat
Nusantara.

1.2 Permasalahan
Ketika pengaruh Islam mulai masuk ke Indonesia, banyak bermunculan
kerajaan kerajaan Islam di beberapa daerah di Indonesia, contohnya Kerajaan
Makassar. Akibat dari kegiatan perdagangan yang ada di wilayah Nusantara,
memberikan pengaruh bagi perkembangan kehidupan masyarakat di daerah
Makassar. Masukanya Islam ke wilayah ini membuat perubahan dalam berbagai
aspek yang merupakan bagian permasalahan dalam makalah ini. Aspek-aspek
tersebut adalah aspek politik, ekonomi, aspek sosial dan budaya di Kerajaan
Makassar. Di dalam tulisan ini juga akan dijelaskan masa kejayaan dan juga
penyebab runtuhnya kerajaan Makasaar.yang dibahas dalam factor intern dan
ekstern.

1
BAB II
KERAJAAN GOWA TALLO (MAKASSAR)

II.1 Bidang Politik dan Pemerintahan


Pada mulanya, di zaman Gowa purba terdapat 9 buah daerah yang masing-
masing dikepalai oleh seorang penguasa seperti raja kecil. Kesembilan daerah
tersebut adalah :
1. Tomblo
2. Lakiung
3. Bisei
4. Kalling
5. Sero
6. Saumata
7. Data’
8. Parang-Parang
9. Agang- je’ne’
Kesembilan raja kecil membentuk sebuah gabungan yang diketuai oleh
seorang pejabat yang disebut “Paccalaya”. Ketua ini bertidak sebagai ketua
gabungan dan menjadi hakim tertinggi apabila ada sengketa di antara para
anggota gabungan.1 Ketentuan ini berlaku dari awal berdirinya kerajaan Gowa
pada awal abad ke-13. Raja pertama dari Kerajaan Gowa adalah seorag wanita
yang bernama Tumanurunga yang dipercaya sebagai titisan dari dewa yang datang
untuk memipin kerajaan Gowa.
Sesudah dua abad sejak berdiri pada tahun 1300, kerajaan Gowa yang
diperintah oleh Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumapa’risi’ Kallongna
sebagai Raja Gowa ke-IX mengalami perkembangan yang pesat. Raja Gowa ke
IX ini juga melanjutkan politik perluasan daerah yang dilakukan oleh para
pendahulunya. Berbagai negeri berhasil ditaklukkan seperti, Garassi, Kantingang,
Polobangkeng, Selayar, Mandalle, Bulukumba, dan Sidenreng.

1
H. Ahmad Massiara Daeng Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di
Sulawesi Selatan, (Jakarta, Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, 1988), Hal 16

2
Tidak berapa lama timbul perselisihan antara Raja Gowa ke-IX ini dengan
Raja Talo sehingga timbul peperangan antara Gowa dan Tallo. Peperangan
tersebut dimenangkan oleh Gowa. Sejak saat itu terdapat ketentuan bahwa siapa
saja yang menjadi raja di Tallo, dia juga merupakan Mangkubumi Kerajaan
Gowa.
Pada tahun 1546, Raja Gowa Daeng Matanre wafat karena penyakit leher.
Ia pun digantikan oleh putranya yang bernama I. Manriogau’ Daeng Bonto
Karaeng Lakiung yang menjadi Raja Gowa ke-X. Pada zaman raja ini, banyak
orang asing tinggal di ibukota yang berasal dari Pahang, Johor, Pattani, dan
Minangkabau. Tahun 1565, beliau wafat dan digantika oleh saudaranya yang
bernama I. Tajibarani Daeng Marompa Karataeng Data yang memerintah hanya
satu bulan karena tewas dalam pertempuran ketika memerangi Bone.2 Setelah itu,
ia digantikan oleh putranya yang bernama Manggorai Daeng Mammeta Karaeng
Bontolangkasa sebagai Raja Gowa ke-XII. Pada tahun 1590, ia wafat ketika
mencoba menyerang kerajaan Bone dan digantikan oleh putranya yang bernama I.
Tepu Karaeng sebagai Raja Gowa ke-XIII. Raja ini merupakan raja yang
sewenang-wenang. Selain memecat seorang Tumailalang, masih banyak perilaku
buruk yang dilakukan olehnya sehingga ia diturunkan dari jabatannya.3
Setelah itu, tahta kerajaan dipegang oleh Sultan Alauddin. Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Gowa yang terbesar dan terkuat pada waktu itu di
Sulawesi Selatan menyatakan diri sebagai Kerajaan Islam di belahan Timur di
Nusantara. Masuknya pengaruh Islam di Gowa memberikan dampak berupa
perubahan kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Beberapa hal perubahan
paling menonjol diantaranya adalah sistem politik dan pemerintahannya. Dalam
sistem politik dan pemerintahan, pengaruh Islam bisa dilihat dalam beberapa hal,
yaitu :
1. sistem pemerintahan yang mengikuti sistem pemerintahan Islam. Jadi
seorang pemimpin negara merangkap menjadi pemimpin agama sekaligus

2
Ibid, Hal 48
3
Ibid, Hal 49

3
2. raja dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia yang perintahnya harus ditaati
dan dilaksanakan. Dalam pandangan agama Islam, raja bukanlah titisan
dewa, melainkan hanya manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan
3. penggunaan istilah-istilah Arab dalam jabatan dan pangkat pemerintahan
kerajaan Islam. Hal ini bisa terlihat misalnya pada gelar Sultan
4. majelis ulama merupakan lembaga penasehat raja dalam kehidupan
kenegaraan dan keagamaan di kerajaan Gowa
Masuknya pengaruh Islam juga membawa pengaruh terhadap sistem
kekuasaan di kerajaan Gowa. Sistem kekuasaan kerajaan ini didasarkan pada Al-
Quran dan As-Sunnah. Raja atau penguasa pada masa itu menganggap dirinya
adalah khalifatullah atau wakil Tuhan di muka bumi. Seorang raja memiliki
tanggung jawab menjaga pelaksanaan ajaran Al-Quran dan As- Sunnah.
Kekuasaan seorang raja bukan karena keturunan namun karena amanah yang
harus diembannya. Seorang raja juga harus mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada Tuhan (Allah SWT)
Selama berkuasa di Gowa, Sultan Alauddin berhasil menjalin perjanjian
persahabatan dengan Raja Aceh dan Raja Mataram. Pada masa pemerintahannya,
Kerajaan Gowa juga harus berjuang melawan VOC yang ingin memonopoli
perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur. Pada tanggal 15 Juni 1639,
Sultan Alauddin wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan
Malikussaid.
Di zaman pemerintahan Sultan Malikussaid ini, kerajaan Gowa berada di
puncak kekuasaan yang terpancar dari Sombaopu, ibukota Kerajaan Gowa ke
timur sampai ke selat Dobo, ke utara sampai ke Sulu, ke barat sampai ke Kutai,
dan ke selatan sampai melalui Sunda Kecil, di luar Pulau Bali sampai ke Marege.
Suatu imperium yang luas meliputi lebih dari 2/3 wilayah Nusantara.4
Sambil mempertahankan ketenaran itu, Sultan Malikussaid tetap
melakukan perang terbuka melawan imperialism Barat yang hendak diwujudkan
oleh Kompeni Belanda. Raja Gowa ke-XV ini wafat setelah 14 tahun lamanya
memegag pimnpinan kerajaan dari tahun 1639 – 1653. Setelah wafat, Sultan

4
Ibid, Hal 68

4
Malikussaid digantikan oleh Malombasi atau yang biasa dikenal denga nama
Sultan Hasanuddin untuk melanjutkan pemerintahan. Seperti pada zaman
pemerintahan Sultan Malikussaid, Kerajaan Gowa masih berada pada puncak
ketenaran, kekuasaan, dan kebesaran, baik ke dalam maupun luar negeri.
Setelah berhasil menguasai kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan,
Sultan Hasanuddin juga berniat menjadikan Kerajaan Makassar sebagai penguasa
tunggal di jalur perdagangan Indonesia timur. Untuk itu, Sultan Hasanuddin harus
menghadapi kekuatan armada VOC sebelum dapat menguasai Maluku yang pada
waktu itu menjadi daerah penghasil rempah-rempah. Akan tetapi, usaha
Hasanuddin gagal. Pada tahun 1667, dengan bantuan Kerajaan Bone, Belanda
berhasil menekan Makassar untuk menyetujui Perjanjian Bongaya.5
Isi dari perjanjian itu adalah :
1. VOC mendapat hak monopoli dagang di Makassar,
2. Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makassar,
3. Makassar harus melepas daerah yang dikuasainya seperti Bone dan
Soppeng serta mengakui Arung Palaka sebagai Raja Bone6
Berkat keberanian menantang VOC, Sultan Hasanuddin pun dijuluki
sebagai Ayam Jantan dari Timur. Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada
tahun 1669, putranya yang bernama Masapomba berusaha meneruskan
perjuangan melawan VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dan pasukan
Kerajaan Makassar berhasil dipukul mundur oleh pasukan VOC. Dengan
demikian, Makassar dan jalur perdagangannya menjadi wilayah kekuasaan VOC.
Daftar Raja-Raja yang Pernah Bertahta di Kerajaan Gowa
1. Tumanurunga ri Tamalate (Ratu) ( +_ 1300)
2. Tumassalangga Baraya
3. I. Puang LoE ri Lembang
4. I. Tuniyattambari
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka’lopi
5
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004, Jakarta, Serambi, 2004,
hal 144
6
Ibid, hal 145

5
7. Batara Gowa Tumenanga ri Parallakenna (+_ 1400)
8. I. Pakeretau Tunijallo ri Pasukki
9. Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumapa’risi’
10. I. Manriwagau Daeng Bonto Tunipalangga Ulaweng (1546 – 1565)
11. I. Tajibarani Daeng Marompa Tunibatta (1565)
12. Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565 – 1590)
13. Tepukaraeng Daeng Tunipasulu (1590 – 1593)
14. I. Manga’rangi Daeng Manrabi’a, Sultan Alauddin (1593 – 1639)
15. I. Mannuntungi Daeng Mattola, Sultan Malikussaid (1639 – 1653)
16. I. Mallombasi Daeng Mattawang, Sultan Hasanuddin (1653 – 1669)
17. I. Mappasomba Daeng Nguraga, Sultan Amir Hamzah (1669 – 1674)

II 2 Bidang Ekonomi
Sejak abad ke-16, Makassar merupakan pelabuhan yang ramai. Berbagai
macam komoditi dari berbagai daerah dapat dibeli di pelabuhan ini. Misalnya
barang-barang dari Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor,
Irian, Jawa, Kalimantan, dan Filipina Selatan. Produk-produk utama yang
diperdagangkan adalah budak, rempah-rempah, produk dari laut dan juga kayu
cendana. Makassar juga memperdagangkan komoditi-komoditi dari India dan
Cina yang didapat dari kehadiran kapal asing di Malaka atau para pedagang
Makassar yang membelinya dari Pelabuhan Malaka.
Pada abad tersebut, kegiatan dagang dan perantauan orang Bugis-
Makassar menyebar ke banyak wilayah di kepulauan Nusantara. Termasuk
kepulauan Maluku yang banyak menghasilkan rempah-rempah merupakan tujuan
utama pelayaran mereka. Di pelabuhan Ternate terdapat komunitas pedagang
Makassar yang menetap di sana, yaitu sebuah tempat di tepi pantai dekat Benteng
Oranje milik Belanda yang bernama Kampung Makassar.
Pelayaran para pelaut Bugis-Makassar juga merambah daerah-daerah
selatan kampung mereka di Sulawesi Selatan. Kapal mereka seringkali berlayar ke
kepulauan Nusa Tenggara untuk membeli kayu cendana, kayu sapan, lilin kuda,
dan tripang. Daerah Nusa Tenggara merupakan daerah taklukan Kerajaan Gowa-

6
Tallo sejak abad ke-16, terutama Kerajaan Bima, namun kekuasaan politik
kerajaan Gowa ini hancur bersamaan dengan kekalahan Gowa melawan VOC
dalam perang Makassar (1666-1669). Meskipun begitu pada abad-abad
selanjutnya Nusa Tenggara tetap menjadi daerah tujuan perdagangan laut yang
dilakukan oleh orang-orang Bugis dan Makassar. Keterlibatan para pedagang
Bugis-Makassar itu tidak dapat disangkal telah membagkitkan dinamika
perdagangan di Nusa Tenggara sampai abad-abad berikutnya. Selain itu kapal
Bugis - Makassar juga menyelundupkan senjata dan opium yang dimonopoli
perdagangannya oleh kolonial Hindia Belanda.
Perdagangan tripang ini dimulai pada awal abad ke-18, karena dalam
laporan penguasa Belanda (VOC) pada abad ke-17 di Makassar belum ada
laporan yang menyebutkan adanya perdagangan tripang. Pada tahun 1763, ada
satu Junk Cina yang mengunjungi Makassar untuk membeli tripang, Junk Cina ini
memiliki bobot 600 ton. Sejak itu pelabuhan Makassar tercatat sebagai pasar
menjualproduk tripang yang didatangkan dari berbagai wilayah. Menurut
Gubernur Jenderal van Der Capellen, nilai ekspor tripang pada tahun 1824 dari
Makassar mencapai f. 350.000. Menurut perkiraan pihak Belanda penjualan
tripang dalam satu musim perdagangan di Makassar sampai tahun 1850-an
mencapai 300 ton tripang olahan atau setara dengan 5000 pikul.
Dalam menangkap dan mengolah tripang yang berjarak puluhan bahkan
ratusan mil, para pelaut Bugis-Makassar menggunakan perahu-perahu yang
mereka miliki yaitu Pinisi dan Padewakang. Muatan yang sering dibawa oleh
pelaut Bugis-Makassar untuk dipasarkan di Pelabuhan Makassar adalah tripang,
sarang burung, lilin, dan produk lainnya. Akan tetapi, Tripang merupakan mata
dagangan utama yang laku dijual kepada pedagang-pedagang Cina yang
membawa jung-nya ke Pelabuhan Makassar. Produk tripang ini biasanya sudag
diolah (dikeringkan atau diasap) dan dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya.
Tripang Marege merupakan tripang terbaik yang ditangkap di perairan Australia
Utara. Biasanya nelayan Bugis-Makassar berangkat mencari tripang pada

7
Desember dengan sejumlah besar padewakang, mereka berangkat menuju pantai
Australia Utara yang letaknya cukup jauh di selatan.7
Para pelaut Makassar merupakan penangkap tripang yang terkenal di
wilayah laut-laut dangkal di Indonesia Timur. Mereka melakukan pelayaran yang
cukup jauh sampai menuju pantai utara Australia, karena tripang yang berkualitas
baik terdapat di pantai-pantai karang di pantai utara Australia. Tidak heran
pelayaran para pelaut Makassar diikuti oleh pelaut Bugis bahkan juga oleh pelaut
Mandar. Mereka menuju pantai utara Australia melewati kepulauan di Nusa
Tenggara, oleh sebab itu, kawasan laut, teluk, dan selat di Nusa Tenggara Timur
seperti Laut Sawu, Laut Flores, Selat Solor, Selat Wetar, Selat Lewotobi, Selat
Ombaii, Teluk Kupang, dan Teluk Waingapu menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Jalur-jalur tersebutdijadikan tempat persinggahan sebelum menuju ke perairan
Australia Utara.Mahalnya harga tripang berkualitas terbaik dari perairan Australia
Utara, mengakibatkan banyak perahu nelayan dan pedagang yang mencari tripang
dengan melintasi wilayah Laut Sawu dan sekitarnya menuju ke perairan Australia
Utara. Sumber-sumber yang meyakinkan tentang berita kehadiran perahu-perahu
Bugis-Makassar dan yang lainnya di Teluk Carpentaria, Australia Utara adalah
laporan dari perjalanan Thomas Forrest pada tahun 1792. Forrest mendapatkan
keterrangan ini dari orang Bugis yang sering berlayar dengan padewakang ke
Australia untuk mencari tripang.

II.3 Sosial dan Budaya


Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar lebih
menintikberatkan kehidupannya pada perdagangan. Mereka giat berusaha untuk
meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang
merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat
Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan
hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat
yang mereka anggap sakral. Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga
mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan

7
Ibid

8
bangsawan dan keluarganya disebut dengan Anakarung/Karaeng, sedangkan
rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah yaitu para
hamba-sahaya disebut dengan golongan Ata. Makasar adalah sebuah kota
perdagangan, sehingga ramai dikunjungi oleh pedagang-pedangang yang berasal
dari berbagai macam negara dan banyak dari pedangang tersebut yang menetap
dan mendirikan perkampungan mereka sendiri di antara perkampungan orang-
orang Makasar.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan
benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal
sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal
dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan
rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara. Selain itu Makasar masih
memiliki hasil kebudayaan lain, yakni kesastraan. Kesastraan mereka
menggunakan tulisan asli yang berbeda dari tulisan Arab maupun Jawa, walaupun
mempunyai persamaan dengan tulisan beberapa tulisan Sumatera dan pada
dasarnya berasal dari suatu bentuk tulisan India. Makasar merupakan kerajaan
islam, sehingga tidak heran banyak dari kesastraannya yang berupa terjemahan
dari karya-karya keagamaan yang berbahasa Arab dan Melayu, salah satunya
tulisan Nuruddin ar-Raniri, yang berjudul La Galigo, sebuah syair kepahlawanan
yang masih dipandang keramat oleh banyak orang makasar sekarang ini. La
Galigo berisi tentang bahan mitologis mengenai seorang raja Sulawesi yang
legendaris.
Kesastraan makasar dianggap penting bagi banyak sejarawan. Kronik
tersebut ditulis dalam bahasa makasar, yang disebut patturioloang (yang berarti
sejarah manusia zaman kuno). Yang membedakan kronik milik Makasar dengan
kronik-kronik lain adalah dihindarinya unsure-unsur mitologi atau legenda
terkecuali untuk dongeng-dongeng dasar yang bersifat pengantar. Oleh karena itu,
kronik-kronik Makasar ini sangat berpotensi menjadi sumber sejarah yang
berharga, tetapi kronik tersebut memiliki kekurangan yakni tidak terdapat
pencantuman tahun. Tradisi penulisan buku harian ini tidak dikenal di kalangan
masyarakat Indonesia lain.

9
BAB III
PERJALANAN KERAJAAN GOWA TALLO (MAKASSAR)

III.1 Masa Kejayaan


Keberhasilan meluaskan kekuasaan mulai terlihat di era Raja Tumapa’risi
Kallona yang diperkirakan memerintah pada awal abad ke-16. Daerah Selayar,
Bulukumba, Maros, Mandar, Sulawesi Utara, dan Luwu berhasil ditaklukannya.
Bahkan semua kerajaan itu diwajibkan membayar pajak kepada Kerajaan Gowa-
Tallo8 yang menjadi sistem baru di kawasan Sulawesi Selatan.
Letaknya yang berada di semenanjung barat daya pulau Sulawesi
membuat Gowa-Tallo sangat strategis dilihat dari sudut perdagangan rempah-
rempah nusantara. Namun, keberadaanya tidak sendiri di semenanjung, kerajaan
ini harus bersaing dengan Kerajaan persekutuan Tellum poco dan Kerajaan
Bone, kerajaan yang disebut terakhir menjadi penyebab keruntuhan Gowa-Tallo.
Letak Gowa-Tallo yang berada di tengah antara Malaka sebagai pusat
perdagangan terbesar kawasan dan Maluku sebagai pusat rempah-rempah
nusantara, maka sejak abad ke-16 Makasar sudah tercatat sebagai pelabuhan
terbesar di kawasan Indonesia timur. Hal itu juga menarik para pedagang Islam
yang sekaligus pada kemudian hari berpengaruh besar terhadap perubahan sistem
pemerintahan kerajaan menjadi sistem kesultanan Islam.
Tercatat pada tahun 1605, Gowa-Tallo berubah menganut Islam sebagai
sistem pemerintahannya. Adalah Karaeng Matoaya yang lebih dulu mengislamkan
diri pada tahun 1903 yang pada perjalanan kerajaan menjadi penyebab terpenting
kemajuan kehidupan politik kerajaan dan masyarakatnya. Sebenarnya Gowa-Tallo
tidak mempunyai banyak hasil untuk diperdagangkan. Hanya beras yang banyak
terdapat di sana. Gowa-Tallo hanya penting sebagai sebuah pelabuhan transito di
kawasan timur. Di sini banyak pedagang singgah dari barat ke Maluku atau
sebaliknya untuk mengisi perbekalan untuk perjalanan selanjutnya. Kerajaan
mulai menjadi penting ketika rempah-rempah dari Maluku diperdagangkan di

8
Mundzirin Yusuf (editor), Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jogjakarta,
Pustaka, 2006), hlm 117

10
pelabuhan di Makasar9 karena pada masa pemerintahan Sultan Alaudin mulai
dirintisnya kegiatan pelayaran dan perdagangan.10 Bahkan pada kira-kira tahun
1600-an Sombaopu-Makasar atau pelabuhan Kerajaan Gowa-Tallo yang orang
Makasar menyebutnya dengan Ujungpandang kadang ditemukan rempah-rempah
yang lebih murah daripada di Maluku sendiri.11 Barulah nanti kerajaan ini mulai
dilirik oleh orang-orang Barat terutama Belanda untuk ikut berdagang di sana
(dengan tujuan untuk memonopoli perdagangan). Faktor-faktor yang membuat
Makasar menjadi kerajaan dan pusat perdagangan di Indnonesia timur adalah:
a. letak Makasar di tepi sungai dan ditutupi gugusan pulau yang
menghidarinya dari terpaan gelombang besar membuatnya layak sebagai
pelabuhan.
b. Selat Makasar yang sejak dulu dijadikan jalur pelayaran dagang
internasional.
c. Jatuhnya Malaka 1511 ke tangan Portugis mengalihkan pusat perdagangan
dan sifat Sultan Agung Mataram yang cenderung agararis dan non-maritim
menjadikan Makasar sebagai pilihan lain perdagangan.12
Daeng Manarabbia atau yang lebih dikenal dengan Sultan Alauddin
merupakan raja Islam pertama di Kerajaan Makasar. Ia memerintah dari tahun
1591—1638. Pada masa sultan pertama ini, Gowa-Tallo mengalahkan sebagaian
besar negeri-negeri Pulau Sulawesi, kepulauan Timor, dan sebagian Kalimantan. 13
Pada masa pemerintahannya, kerajaan menjalin persahabatan dengan raja Aceh
dan Mataram.14

9
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia jilid III (Jakarta, Balai Pustaka, 1993), hal 40
10
Mundzirin, Op. cit., hal 118
11
Marwati, Op. cit
12
Ibid., hal 120
13
negeri Bulukumba, Bisulu, Sidenreng, Lamuru, Soppeng, Wajo, Beno,
sebagian Tempe, Bulu’ Cenrana, Wawonio, Bilokka, Lemo, Pekkalabbu,
Cempaga dan lain-lain. Kemudian Gowa juga mengalahkan Bima, Dompu,
Sumbawa, Kekelu, Sanggara, Buton, Pancana, Tubungku, Banggai, Buol,
Gorontalo, Larompong, Selaparang (Lombok), Pasere (Kalimantan Selatan),
Kutai dan lainnya.
14
Sagimun, Sultan Hasanudin (Jakarta, Balai Pustaka, 1992), hlm 90

11
Tampuk kepempimpinan kemudian diteruskan oleh seorang putra Sultan
Muhammad Said putra Sultan Alaudin yang bernama Sultan Hasanudin. Adalah
Sultan Hasanudin yang dalam berbagai sumber menyatakan sebagai pemimpin
puncak kegemilangan Kerajaan Gowa-Tallo.15
Pada masa pemerintahannya, ia bercita-cita untuk menjadikan Makasar
sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia timur. Hal itu diwujudkannya
dengan menaklukan daerah-daerah di Nusa Tenggara yang membuat pelayaran
dan perdagangan di kawasan Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara berada di
bawah kekuasaan Makasar.16 Sultan Hasanudin sejak muda telah memperlihatkan
bakatnya. Sebelum menjadi Sultan, ia pernah menjabat sebagai penghubung (duta
keliling) dengan negara-negara taklukan Gowa-Tallo, Karaeng negeri Bonto
Mangape dan juga pernah duduk dalam dewan kerajaan sebagai karaeng yang
mengurusi pendidikan anak-anak bangsawan.17
Ancaman dan rongrongan kian besar dari penjajah Belanda memang
mengharuskan Makasar memilih seorang pemimpin yang kuat, berwatak, dan
berwibawa. Sejak menonjol pelabuhan Makasar campur tangan Belanda sangat
besar dan sempat terjadi beberapa peperangan. Permusuhan dengan pihak Belanda
telah berlangsung lama, oleh sebab itu target utamanya ketika naik tahta adalah
memperkuat pertahanan dengan memperluas wilayah kerajaan. Namun,
permusuhan tak dapat dihindari lagi karena memang sultan sangat menentang
sistem monopoli dagang yang diterapkan VOC Belanda. Dari sini lah terlihat
kegigihan Sultan Hasanudin dalam mempertahankan wilayahnya dari kekuatan
raksasa Belanda. Ia mengatakan “Lebih baik berperang lagi daripada menerima
perjanjian ini”. Perjanjian yang sangat merugikan kerajaannya yang seolah-olah
mengaku takluk tinggal menunggu keruntuhan saja. Namun, pada akhirnya ia
harus mengakui kekalahannya dengan menandatangani Perjanjian Bongaya yang
sangat merugikan kerajaan.

15
Ia juga dinyatakan sebagai pahlawan nasional melalui Keppres No.
087/TK/th.1973 atas kegigihannya mempertahankan wilayahnya (Indonesia)
dari penjajah Belanda
16
Mundzirin, Op. cit., hal 119
17
Ibid., hal 119

12
Kegigihannya ini mendapat pengakuan dari Belanda yang menjulukinya
sebagai “Hantje van het Oosten”, berarti “Ayam Jantan dari Timur” yang menjadi
julukannya yang paling terkenal.

III.2 Runtuhnya Makassar


II.2.1 Faktor Intern
Terbentuknya kerajaan Makassar memang tidak terlepas dari kerajaan-
kerajaan kecil yang bergabung melalui proses integrasi yang diiringi perebutan
hegemoni dan ekspansi dari kerajaan besar. Kerajaan kecil itu yang dimaksud di
sini adalah kerajaan Gowa, Luwu, Soppeng, Bone, Tallo, yang kesemuanya terdiri
atas rumpun-rumpun komunitas sebagai unit politik yang telah teritegrasikan
dalam periode sebelumnya.18 Kerajaan besar yang yang membentuk kerajaan
Makassar adalah kerajaan Gowa dan Tallo, bila menilik kerajaan Makassar yang
besar karena menikmati hasil dari perdagangan maka sebenarnya ini adalah
sebuah transformasi dari yang sebelumnya antara kerajaan ini yang bersifat
agraris19, factor berkembang pesatnya perdagangan pada abad ke-15 telah
mendorong kebangkitan kerajaan Makassar untuk menguasai wilayah Sulawesi
Selatan.
Berkembang pesatnya kerajaan Makassar tidak terlepas dari apa yang
terjadi di Malaka dan Banten, dengan semakin tingginya penguasaan VOC
terhadap kedua wilayah tersebut telah banyak menimbulkan dampak yang besar
bagi dunia perdagangan pada masa kurun niaga. Pada decade pertama abad ke-17,
Makassar tidak hanya mampu menguasai seluruh wilayah Sulawesi Selatan, tetapi
juga menjadi salah satu kekuatan maritime terkemuka di Nusantara.20 Kerajaan
Makassar ketika dipimpin oleh Ala’uddin menerapkan prinsip laut bebas, hal ini
telah memancing pertengkaran serius dengan Belanda, walaupun bila merujuk
pada tahun 1613-1618 dua negara besar yakni Perancis dan Inggris telah
membuka kantor dagangnya di Makassar, menyusul kemudian negara Denmark.

18
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium Sampai Imperium (Jakarta, 1993), hal. 58.
19
Edward Poelinggomang, Makassar Abad XIX (Jakarta, 2002), hal. 22-23.
20
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta, 2006), hal. 162.

13
Begitu Belanda memaksakan monopoli kepada Ala’uddin maka secara terang-
terangan ditolaknya.
Pertengkaran serius dengan Belanda merupakan factor eksternal yang
menyebabkan dampak serius kepada kerajaan ini hingga nanti menuju
keruntuhannya. Pada 1637 hingga 1653 telah dicapai gencatan senjata yang riskan
antara Belanda dan Makassar, sementara di darat tentara dari Makassar berperang
melawan Bone dan pada rahun 1660 ketika serangan Belanda mengalahkan
Makassar bahkan sampai menghancurkan pula kapal-kapal Portugis yang sedang
berlabuh, di saat inilah Bone melalui Arung Palaka melibatkan pertempuran
dengan Makassar.21 Terlibatnya Bone dalam pertempuran dengan Makassar
adalah kelanjutan dari apa yang terjadi pada dua puluh tahun sebelumnya. Sebagai
sebuah proses historis terbentuknya Makassar, dari kerajaan Gowa dan Bone yang
terlibat perebutan hegemoni atas semenanjung Sulawesi Selatan di mana pada saat
itu Gowa keluar sebagai pemenang. Hal ini bermula dari berbagai upaya
perebutan kekuasaan di Bone yang diperintah La Ma’daremmeng antara 1631
hingga 1634, yang disebabkan kebijakan para bangsawan yang mengucilkan
bissu, melarang perjudian, minum arak, dan berbagai bentuk takhayul.22
Tidak hanya antara Gowa dan Bone saja yang bersaing merebutkan
supremasi di Sulawesi Selatan, walaupun sebenarnya antara Gowa dan Bone
sajalah yang merupakan dua kerajaan kuat yang berdiri dan saling bersaing.
Dalam prosesnya persaingan tersebut melibatkan kerajaan-kerajaan seperti Luwu
dan Wajo pula. Pernah suatu ketika dalam perebutan hegemoni Gowa membantu
Bone untuk melawan Luwu yang bersekutu dengan Wajo. Dalam kerajaan itu pun
terdiri dari unit-unit politik, misalnya saja kerajaan Bone yang terdiri atas
gabungan tujuh unit politik inti, seperti Ujung, Tibojong, Ta, Tanete, Riattang,
Tanete, Riawang, Ponceng dan Macege. Setiap unitnya dipimpin oleh seorang
Matoa atau Daeng Kalula, mereka menjadi Dewan yang disebut Matoa Pitu
kemudian juga disebut Arupittu.23 Gowa pun sama dengan Bone, terdiri dari
Sembilan unit politik, di antaranya: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data,
21
Christian, Op. cit., hal. 164-165.
22
Ibid., hal. 165.
23
Sartono, Op. cit., hal. 58

14
Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kali. Di bawah pemerintahan Tumapa risi
Kalionta diperkuat kesatuan unit-unit antara Goa dan Tallo.24
Resistensi dari Bone terhadap Gowa – Tallo berperan sangat penting
dalam kemerosotan Makassar nantinya, rivalitas kuno antara mereka telah
membuat integrasi Makassar runtuh dari dalam. Faktor agama Islam telah turut
pula menentukan dimensi lain dalam konfrontasi, sebagai pemicu karena dengan
masuk Islamnya para petinggi kerajaan seperti misalnya adalah Sultan Ala’uddin
maka Goa selaku perintis ingin pula mengintroduksi agama Islam kepada kerajaan
lain, hal mana sangat berpengaruh kepada kerajaan Bone. Masalahnya di sini
adalah bahwa pengintroduksian agama Islam dilakukan dengan jalan memerangi
kerajaan yang belum Islam. Sehingga sentimen terhadap kerajaan Gowa ditambah
dengan sentimen agama. Ditambah lagi pada tahun 1660 ketika Belanda berhasil
menyerang Gowa, terpaksa Gowa menandatangani perjanjian yang merugikan,
Makassar memerintahkan 10.000 orang Bone melakukan kerja pakasa menggali
tanggul untuk melindungi mereka dari kemungkinan datangnya serangan darat
(pedalaman). Terjadinya pemberontakan dan begitu pula mereka dihajar dengan
keras. Sejumlah bangsawan Bone, termasuk Arung Palaka yang masih muda,
melarikan diri ke Buton dan menawarkan diri untuk bersekutu dengan Belanda
guna membalas dendam dengan Makassar.25
Perlu diketahui bahwa dalam perang melawan VOC, kerajaan Makassar
(Gowa) dihadapkan kepada faktor politik yang tidak menguntungkan yakni: (1)
faksionalisme di kalangan bangasawan Gowa – Tallo; (2) persaingan Ternate
untuk mengawasi Sulawesi Utara, Butung, dan beberapa kepulauan lain; (3)
kontingen pengungsi Bugis di Batavia.26 Dalam menghadapi tekanan-tekanan
politik yang berasal dari luar, di kalangan bangsawan Makassar sendiri timbul
kelompok-kelompok yang bertentangan. Loyalitas kerajaan-kerajaan vassal pun
mengalami pasang surut seiring dengan merosotnya kekuasaan pusat, hal mana
yang membuat kekuasaan pusat mengirim ekspedisi ke wilayah-wilayah tersebut
untuk menunjukkan wibawanya. Faktor ketiga dari politik di atas adalah adanya
24
Ibid., hal. 59.
25
Christian, Op. cit., hal. 165.
26
Sartono, Op. cit., hal. 96-97

15
kontingen Bugis yang ada di pengasingan, khususnya yang ada di Batavia.
Kontingen Bugis ini di bawah pimpinan Arung Palaka diberi pemukiman sendiri
di Sungai Angke, maka mereka disebut Toangke.27 Mereka ini mendapat
keterampilan keras dalam bertempur, bahkan mereka dikirim ke Sumatera Barat.
Arung Palaka mendapat kemenangan di Ulakan, maka ia mendapat julukan “Raja
Ulakan”.
Perang Makassar yang berlangsung pada tahun 1660 – 1669 bisa dikatakan
merupakan pertempuran yang mempertemukan antara Gowa- Tallo berhadapan
dengan VOC – Bugis (Bone). Keadaan pasukan Makassar (Gowa – Tallo) yang
sangat buruk mentalitas bertempurnya karena faktor mobilitas paksaan sangat
berbeda jauh dengan pasukan Bone yang dipimpin oleh Arung Palaka, bahkan
tampilnya Arung Palaka di Butung telah membuat banyak orang Bugis di Butung
untuk turut ikut serta dalam pasukan Bone. Faktor kharisma dari Arung Palaka
turut juga mendorong mobilisasi besar dan gairah dalam pasukan Bone. Peranan
Arung Palaka dalam Perang Makassar pun diakui oleh puhak VOC sebagai faktor
yang menentukan dalam kemenangan melawan Makassar. Sehubungan dengan
moral tinggi pasukan Bone bisa pula disebabkan karena dendam mereka terhadap
kerajaan Gowa yang telah menjadikan mereka budak, hal inilah yang mereka nilai
sebagai suatu penghinaan terhadap mereka dan waktunya untuk membalas
perbuatan mereka dengan pukulan telak.
VOC berhasil memenangkan pertempuran atas jasa Arung Palaka dengan
Toangke-nya. Sekali lagi VOC berhasil memanfaatkan faksionalisme intern yang
terjadi dalam kerajaan Makassar yakni pertentangan antara Gowa – Tallo dengan
Bone. Ini dimanfaatkan VOC dengan menjalin kerjasama atau aliansi dengan
salah satu pihak, atau beraliansi dengan musuhnya musuh. Aliansi yang baik ini
ketika pertempuran kerjasama merupakan aliansi yang sangat mematikan,
Belanda berkonsentrasi untuk menyerang Makassar di laut sedangkan Bone di
darat. Perjanjian Bongaya pada tahun 1669 pun ditandatangani dengan konsesi
lebih besar untuk VOC, di sisi lain sejarah Sulawesi Selatan memasuki babak baru

27
Ibid., hal. 97-98

16
dengan runtuhnya hegemoni Gowa – Tallo digantikan dengan Bone yang
memegang hierarki paling berkuasa.

III.2.2 Faktor Ekstern


Makassar mencapai puncak kejayaan adalah pada masa pemerintahan
Sultan Hasanudin. Pada masanya, Kesultanan Makassar menguasai perdagangan
dan pelayaran di Indonesia bagian Timur. VOC yang sangat mengincar Indonesia
bagian timur merasa terhalangi oleh Kesultanan Makassar dalam langkahnya
untuk merajai pulau rempah-rempah ingin menghancurkan Kesultanan Makassar
tersebut. Untuk melancarkan niatnya tersebut, VOC memblokade pelabuhan
Sombaopu. Selain itu, VOC juga melakukan politik devide et impera (politik adu
domba) antara Aru Palaka Raja Bone dengan Sultan Hasanudin hingga
menyebabkan pecahnya perang antara Sultan Hasanudin dengan gabungan VOC
dan Aru Palaka yang dikenal dengan Perang Makassar pada tahun 1666-1669.
Kesultanan Makassar akhirnya terdesak hingga kalah dan terpaksa
menandatangani perjanjian dengan VOC dan Aru Palaka yang dikenal dengan
Perjanjian Bongaya yang isinya antara lain adalah:
• Kerajaan Makassar memberikan daerah- daerah yang strategis.
• VOC boleh memegang monopoli perdagangan Kerajaan Makassar.
• VOC boleh membuat benteng di daerah Kerajaan Makassar, yaitu: Fort de
Rotterdam.
Seusai perjanjian Bongaya, Sultan Hasanudin digantikan oleh anaknya yang
bernama Maposamba. Maposamba mewarisi sifat tegas ayahnya namun tidak
disertai dengan perhitungan matang sehingga lambat laun VOC akhirnya berhasil
menguasai Makassar sepenuhnya.

17
BAB IV
PENUTUP

Masuk dan berkembangnya agama Islam di Nusantara memang tidak


terlepas dari peranan para pedagang, khususnya para pedagang Islam dari Gujarat
dan Persia. Mereka datang ke daerah-daerah di Nusantara untuk berdagang
sekaligus menyebarkan agama yang mereka anut, yaitu Islam. Dari interaksi para
pedagang Islam dengan penduduk setempat, penyebaran agama Islam semakin
berkembang. Mula-mula hanya sekelompok orang kemudian berkembang
menjadi sebuah perkampungan, desa, dan sebuah kerajaan. Media untuk
penyebaran agama Islam di Nusantara dilakukan dengan berbagai cara.
Contohnya dengan melalui saluran perkawinan, saluran sosial dan budaya, dan
saluran perekonomian.
Di Kerajaan Gowa Tallo (Makassar), proses masuknya Islam sangat
memberikan pengaruh kepada perkembangan kehidupan masyarakat setempat.
Aspek-aspek kehidupan yang ada di masyarakat menjadi terkena dampak dari
pengaruh Islam yang datang ke daerah ini. Aspek-aspek itu adalah aspek politik
dan pemerintahan, sosial dan budaya, dan juga ekonomi. Semua aspek tersebut
menjadi berubah seiring dengan masuknya Islam ke wilayah ini. Perubahan-
perubahan ini terlihat sangat jelas ketika perkembangan masuknya Islam ke
daerah ini semakin pesat.
Di dalam perkembangannya Kerajaan Gowa Tallo mengalami pasang
surut. Kerajaan ini mengalami masa kejayaannya pada masa Sultan Hasanuddin.
Pada masa pemerintahannya, ia bercita-cita untuk menjadikan Makasar sebagai
pusat kegiatan perdagangan di Indonesia timur. Hal itu diwujudkannya dengan
menaklukan daerah-daerah di Nusa Tenggara yang membuat pelayaran dan
perdagangan di kawasan Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara berada di bawah
kekuasaan Makassar. Pada masa pemerintahannya, dia berhasil melakukan
perlawanan kepada VOC yang ingin memonopoli perdagangan di Indonesia
Timut. Selain itu, VOC pun dibuat kewalahan ketika melawan pasukan kerajaan

18
yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Karena kekuatan inilah, Sultan
Hasanuddin dijuluki oleh VOC sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Selain mengalami masa kejayaan, Kerajaan Gowa Tallo (Makassar) juga
mengalami masa kemunduran hingga akhirnya runtuh. Masa kemunduran ini
diakibatkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor internnya adalah pertempuran
dengan saudara sendiri yaitu, kerajaan Bone. Faktor eksternya adalah dimulai
ketika VOC datang ke wilayah Indonesia bagian Timur untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah. VOC yang sangat mengincar Indonesia bagian
timur merasa terhalangi oleh Kesultanan Makassar dalam langkahnya untuk
merajai pulau rempah-rempah ingin menghancurkan Kesultanan Makassar
tersebut. Untuk melancarkan niatnya tersebut, VOC memblokade pelabuhan
Sombaopu. Selain itu, VOC juga melakukan politik devide et impera (politik adu
domba) antara Aru Palaka Raja Bone dengan Sultan Hasanudin hingga
menyebabkan pecahnya perang antara Sultan Hasanudin dengan gabungan VOC
dan Aru Palaka yang dikenal dengan Perang Makassar pada tahun 1666-1669.
Kerajaan Makassar akhirnya terdesak hingga kalah dan terpaksa
menandatangani perjanjian dengan VOC dan Aru Palaka yang dikenal dengan
Perjanjian Bongaya yang isinya adalah :
1. VOC mendapat hak monopoli dagang di Makassar,
2. Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makassar,
3. Makassar harus melepas daerah yang dikuasainya seperti Bone dan
Soppeng serta mengakui Arung Palaka sebagai Raja Bone28
Seusai perjanjian Bongaya, Sultan Hasanudin digantikan oleh anaknya
yang bernama Maposamba. Maposamba mewarisi sifat tegas ayahnya namun
tidak disertai dengan perhitungan matang sehingga lambat laun VOC akhirnya
berhasil menguasai Makassar sepenuhnya. Hal ini mengakibatkan mundurnya
Kerajaan Makassar dan berujung pada runtuhnya kerajaan ini.

28
Ibid, hal 145

19
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Christian Pelras. 2006. Manusia Bugis. Jakarta:
Daeng Rapi, H. Ahmad Massiara. 1988. Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya
di Sulawesi Selatan, Jakarta: Yayasan Bhinneka Tunggal Ika.
Edward Poelinggomang, 2002. Makassar Abad XIX. Jakarta:
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugruoho Notosusanto. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2004. Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004, Jakarta: Serambi.
Sagimun. 1992. Sultan Hasanudin. Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium Sampai Imperium Jakarta: Balai Pustaka.
Yusuf, Mundzirin (ed). 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jogjakarta:
Pustaka.

20

Anda mungkin juga menyukai