Anda di halaman 1dari 8

KESULTANAN GOWA DAN BUTON: PERAN KESULTANAN

BUTON DALAM KONFLIK ARU PALAKKA- SULTAN


HASANUDDIN PADA ABAD XVII M

Adhe Lia Nirmalasari, Bagas Gifari Eko Saputra, Derryo Idham


Abraham, Isvi Rahmatul Mustafa, Zelinda Istighfariani.

S1 Pendidikan Sejarah Offering C, Jurusan Sejarah


Fakultas Ilmu Sosial, Univesitas Negeri Malang.

Abstrak: Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan islam besar yang terdapat
di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari suku Makassar
yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi bagian selatan dan
berada pada kabupaten Gowa dan sekitarnya. Sedangkan kesultanan Buton
adalah salah satu kerajaan bercorak Islam di Indonesia yang berada di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Setelah VOC melihat potensi kawasan timur Nusantara,
maka VOC berusaha meluaskan pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan yang
dianggap menguntungkan, maka terjadi konflik pada pihak Kerajaan Gowa yang
sedang mempertahankan ekspansi kekuasaannya terhadap Buton. Pengaruh VOC
menjadikan konflik internal dalam menghancurkan kekuasaan, yaitu termasuk
konflik Aru Palakka dengan Sultan Hasanuddin.

Kata-kata kunci: Kerajaan Gowa, Kerajaan Buton, Aru Palakka – Sultan


Hasanuddin.

Abstract: The Sultanate of Gowa is one of the major Islamic kingdoms in South
Sulawesi. The people of this kingdom came from the Makassar tribe who lived on
the southern tip and the west coast of southern Sulawesi and were in Gowa and
surrounding districts. While the Sultanate of Buton is one of the Islamic-style
kingdoms in Indonesia in Southeast Sulawesi Province. After the VOC saw the
potential of the eastern region of the archipelago, the VOC tried to expand its
influence on the kingdoms which were considered beneficial, so there was a
conflict on the part of the Kingdom of Gowa which was maintaining an
expansion of its power over Buton. The influence of the VOC made internal
conflicts in destroying power, including the Aru Palakka conflict with Sultan
Hasanuddin.

Keywords: Gowa Sultanate, Buton Sultanate, Aru Palakka - Sultan Hasanuddin.

Kerajaan Gowa merupakan kerajaan maritime yang berdiri sekitar abad 1320 M dan
menerima Islam pada awal abad 17. Kerajaan Gowa termasuk salah satu kerajaan islam yang
berdiri di Laut Jawa. Tujuan berdirinya kerajaan islam di sekitar Laut Jawa adalah untuk
menghalangi jalur jalannya pedagang asing memasuki Nusantara (Sewang, 2005). Kerajaan
islam di Laut Jawa sering melihat pelayaran pedagang Kerajaan Makasar yang membawa
rempah-rempah ke arah timur, maka pedagang Makasar inilah yang membuat kontak dengan
penduduk muslim di perantauan pada abad 16. Kerajaan ini memiliki raja yang paling
terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal
dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang
dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar
bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis;
demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar
adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Islam masuk di Buton kira-kira tahun 1540. Tradisi lokal menyebut bahwa
pembahwa Islam ke Buton ialah Syeikh Abdul Wahid, putra Syeikh Sulaiman keturunan Ar-
ab yang beristri putri Sultan Johor. Sekembali dari Ternate melalui Adonara menuju Johar,
Syeikh Abdul Wahid berpapasan dengan gurunya Imam Pasai yang bernama Ahmad bin Qois
Al Aidrus di perairan Flores (dekat pulau Batuatas). Sang guru menugaskan muridnya untuk
tidak segera kembali ke Johor melainkan terlebih dahulu menuju ke Utara, ke negeri Buton.
Berbeloklah perahu yang ditumpangi Syeikh Abdul Wahid ke utara dan berlabuh di
Burangasi, di Rampea bagian selatan pulau Buton (Usman, 2011).
Ditinjau dari kedudukan geografisnya, posisi Buton sangat penting dan strategis
bagi pelayaran. Sebab terletak di persimpangan jalan rempah-rempah. Pedagang-
pedagang dari Bagian Barat Nusantara yang hendak berlayar ke Kepulauan Maluku pasti
singgah di Buton untuk menambah perbekalan seperti air, bahan bakar dan kebutuhan
lainnya. Sebaliknya, pedagang-pedagang dari timur yang hendak berlayar ke bagian barat
Nusantara juga singgah di Buton. Apalagi wilayah Buton juga termasuk penghasil
rempah-rempah, khususnya Pulau Wangi-wangi dan Pulau Keledupa. Tidak
mengherankan jika kemudian Buton semakin ramai dalam aktivitas niaga. Hal itu
membuat posisi Buton sebagai daerah perebutan kekuasaan oleh kerajaan-kerajaan di
sekitarnya. Dari arah timur, Kerajaan Buton mendapat rongrongan dari kerajaan Ternate
dan dari barat mendapat ancaman dari Kerajaan Gowa. Bahkan kekuatan asing sekalipun,
seperti VOC turut dalam perebutan wilayah Buton.
Menurut sumber-sumber sejarah Kerajaan Buton bahwa sebelum ke-datangan Arung
Palakka di Buton, kerajaan Gowa telah beberapa kali melakukan serangan terhadap
Buton. Serangan pertama terjadi pada tahun 1626 (Zahari, 1977). Buton pada waktu itu di
bawah pemerintahan Sultan La Balawo (1617-1632), sedangkan Gowa di bawah
pemerintahan Sultan Alauddin. Lambia, Menteri Baluwu meriwayatkan bahwa
penyerangan Alauddin dapat ditangkis oleh Buton, kecuali barat Tiworo dijadikan
sebagai daerah (vasal) dari Kerajaan Gowa dan pada sekitar tahun 1634 seorang putera
bangsawan Kerajaan Bone bernama Daeng Pabila diasingkan karena kekalahan Kerajaan
Bone dalam Perang Makassar. Dari konflik tersebut maka penulis mengangkat artikel ini
dengan judul “Kesultanan Gowa Dan Buton: Peran Kesultanan Buton Dalam Konflik Aru
Palakka- Sultan Hasanuddin Pada Abad XVII M”.

KESULTANAN GOWA

Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang
(Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung,
Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara,
baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan
Gowa. Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng
(Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang
penjelajah portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil".
Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna
mengubah daerah Makassar dari sebuah persatuan antar-komunitas yang longgar menjadi
sebuah negara kesatuan Gowa, dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo.
Kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga
melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Untuk
memperkuat persatuannya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna membuat sebuah sumpah yang
menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan
(ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Selain sumpah tadi dibuat juga sebuah
perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem
pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai
kerajaan. Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini
mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi
imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya pada
abad ke-16 dan ke-17.
Proses Islamisasi Kesultanan Gowa
Kesultanan Gowa sendiri juga mengalami proses islamisasi, hal ini bisa dilihat
dalam hikayat Gowa-Tallo dan Wajo. Proses islamisasi ini dilakukan oleh para mubalig,
nama-nama mubalig ini antara lain Khatib Tunggal, Dato’ri Bandang, Dato’ Sulaimana,
Dato’ Patimang, Dato’ri Tiro, para mubalig ini menyiarkan agama islam atau melakukan
proses islamisasi dengan cara yang baik-baik dan damai tanpa adanya kekerasan. Salah
satu yang terkenal adalah Dato’ri Bandang, bahkan berkat Dato’ri Bandang kedua raja
dwitunggal Kerajaan Gowa dan Talo pada tahun 1603 yaitu Raja Gowa Daeng Manrabia
dan Raja Talo Raja Karaeng Matoaya masuk islam. Daeng Manrabia mengambil gelar
Sultan Alaudin sedangkan Karaeng Matoaya mengambil gelar Sultan Abdullah, mereka
mengambil gelar tersebut setelah memeluk islam.
Dwi Tunggal Awalul Islam (Daeng Manrabia dan Karaeng Matoaya) sangat gigih
dan penuh semangat untuk menyiarkan atau menyebarkan agama islam dan sekaligus
memperluas wilayah kekuasaannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Kerajaan
Gowa-Tallo dalam menyebarkan agama Islam yaitu dengan cara damai, yakni
mengirimkan hadiah melalui utusan-utusan kebeberapa Kerajaan-Kerajaan kecil yang ada
di sekitar Kerajaan Gowa-Tallo untuk menerima Islam, karena pada perinsipnya dakwah
Islam adalah ajakan secara damai. Strategi penyebaran Islam yang dilakukan oleh
Kerajaan Gowa tidak lepas dari prakarsa ketiga Dato’ (Dato’ ri Bandang, Dato’
Pattimang, dan Dato’ ri Tiro). Cara ketiga Dato’ tersebut dalam menyiarkan Islam
memang sangat ampuh untuk dengan cepat menyabarkan agama baru tersebut di seluruh
daratan Sulawesi Selatan.
Ajakan yang dilakukan oleh Dwi Tunggal Awalul Islam ini mendapat sambutan
yang baik oleh beberapa Kerajaan disekitarnya, tetapi ada beberapa kerajaan juga yang
tidak menggubris yaitu datang dari Kerajaan daerah Bugis (Soppeng, Wajo, dan Bone).
Mereka memiliki anggapan bahwa hal ini hanya taktik atau siasat yang dilakukan oleh
Raja Makasar (Gowa-Talo) untuk merebut dan menguasai ketiga daerah tersebut.
Akhirnya terpaksa dilakukan peperangan. Menurut sumber Bugis serangan pertama
Gowa-Tallo dilancarkan ke Soppeng melalui Sawitto pada tahun 1608. Akan tetapi
serangan tersebut berhasil di patahkan dikarenakan Kerajaan Soppeng di bantu oleh
sekutunya yaitu Kerajaan Wajo dan Kerajaan Bone. Tiga bulan selanjutnya raja Gowa-
Tallo melancarkan kembali serangannya kali ini Gowa-Tallo dibantu oleh Kerajaan Luwu
sebagai Kerajaan Islam peratama di Sulawesi Selatan karena atas dasar sesama muslim
dan alasan politik. Barulah pada serangan berikutnya ini Kerajaan Gowa-Tallo dapat
menundukkan Soppeng sehinnga Soppeng praktis memeluk Islam pada tahun 1609.
Setelah kekalahan Kerajaan Soppeng Kerajaan Gowa-Tallo melancarkan
serangannya ke kerajaan Wajo. Sebelum Gowa-Tallo menyerang Kerajaan Wajo, Arung
Matoa Wajo mengirim utusan ke raja Gowa. Utusan tersebut bermaksud untuk
menyampaikan pesan Arung Matoa Wajo bahwa pihak Wajo meminta gencatan senjata.
Permintaan itu di terima oleh raja Gowa dalam batas waktu lima malam saja. Akan tetapi
hanya semalam saja kontak senjata itu berlangsung, nampaknya kerajaan Wajo telah
kewalahan dan Arung Matoa Wajo kembali mengirim utusannya ke Kerajaan Gowa-
Tallo. Setelah utusan Arung matoa Wajo bertemu dengan raja GowaTallo akhirnya
Kerajaan Wajo menyerah dan meminta perdamaian. Secara otomatis Kerajaan Wajo
memeluk Islam pada tahun 1610.
Kekalahan sekutu Kerajaan Bone yakni Kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng,
menyebabkan kekuatan Kerajaan Bone semakin melemah. Tidak ada lagi persekutuan
yang terhimpun kini Kerajaan Bone harus berjuang sendiri menghadapi Kerajaan Gowa-
Tallo yang ingin mengislamkannya. Hingga pada akhirnya Kerajaan Gowa-Tallo, sama
halnya dengan sekutu Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo Kerajaan Bone diislamkan
dengan cara peperangan sehingga pada tahun 1611 Bone berhasil diislamkan oleh
kerajaan Gowa-Tallo.
Kehidupan Ekonomi Kesultanan Gowa
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat
perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti
letak yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang
pindah ke Indonesia Timur. Pedagang-pedagang yang berasal dari Jawa, Melayu, Bugis
dan pedagang dari daerah lain melakukan transit di pelabuhan Kerajaan Makasar,
komoditas yang sangat laku keras pada waktu itu adalah rempah-rempah. Para pedagang
yang ingin menukarkan rempah-rempah jadi tidak perlu jauh-jauh ke Maluku, cukup
menukarkannya di sana. Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan
hukum niaga yang disebut dengan ”ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA
PABBALUE” , sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di
Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat. Selain perdagangan,
Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai
daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Masa Kejayaan Kesultanan Gowa
Kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-
daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah
Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas,
seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin
terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia
menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di
Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan
Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul
pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya
peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan
VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan
pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas
keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya
sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan
Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan
Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh
Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar.
Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan
Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan
kerajaan Makasar. Isi dari perjanjian Bongaya antara lain VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan di Makasar, Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar, dan
Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di
luar Makasar.

KESULTANAN BUTON

Di wilayah Sulawesi Tenggara, terdapat sebuah kerajaan bernama kesultanan


Buton. Oleh Mpu Prapanca, nama Kesultanan Buton yang semula berstatus sebagai
kerajaan itu disebutkan dalam Kakawin Nagarakertagama. Dengan demikian
disimpulkan, bahwa Kesultanan Buton pernah berinteraksi dengan Kerajaan Majapahit
semasa pemerintahan Hayam Wuruk. Mengingat Mpu Prapanca hidup semasa Hayam
Wuruk melakukan ekspansi wilayah ke kekuasaan Majapahit dibawah komando panglima
Mahapatih Gajah Mada.
Lahirnya Kesultanan Buton sebelumnya adalah berstatus sebagai kerajaan.
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Buton yang berdiri tahun 1332 itu dipimpin pertama
kali oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Wa Kaa Kaa. Raja Buton ke-2 pula
seorang perempuan bernama Ratu Bulawambona. Sesudah diperintah oleh 2 ratu,
Kerajaan Buton diperintah oleh raja-raja pria. Mereka adalah Bataraguru, Tuarade,
Rajamulae, dan Murhum. Semasa pemerintahan Murhum, kerajaan Buton berubah status
menjadi kesultanan. Dengan demikian, Raja Murhum yang dilantik oleh Imam Fathani itu
bergelar sebagai Sulatan Murhum. Berdirinya Kerajaan Buton berdasarkan kesepakatan
dari 3 kelompok yang datang dari Sriwijaya, Cina, dan Majapahit. Konsep kekuasaan
Buton tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.
Kekuasaan Buton ditopang oleh 2 golongan bangsawan, yankni golongan Kaomu dan
golongan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan raja (sultan) berada di tangan
golongan Walaka, akan tetapi yang berhak menjabat sebagai raja harus dari golongan
Kaomu. Dengan demikian, seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, melainkan
berdasarkan pemilihan.
Kejayaan Kesulatanan Buton sangat kompleks di berbagai bidang, seperti
bidang sistem pemerintahan, politik, perekonomian, hukum, dan pertahanan. 1) kejayaan
dalam bidang sistem pemerintahan Buton tidak hanya terbilang unik, namun telah
mengalami kemajuan pada zamannya. Sistem pemerintahan Buton di bagi ke dalam 3
bentuk kekuasaan, yakni Sara Pangka (lembaga eksekutif), Sara Gau (lembaga
legislatif), dan Sara Bhitara (lembaga Yudikatif). Disamping itu, terdapat 114 anggota
Majelis Sara Buton yang terdiri dari 3 fraksi, yakni fraksi rakyat yang beranggotakan 30
menteri (bonto) ditambah 2 menteri besar mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah
Buton, fraksi pemerintaham (Pangka, Bobato, Lakina Kadie) yang mewakili
pemerintahan, dan fraksi agama yang diwakili oleh pejabat lingkunagn sarakidina sarana
hukumu. Fraksi ini berkonsentrasi di masjid agung Buton. Sistem pemerintahan Buton
dibagi menjadi 3 wilayah, yakni wilayah inti, moronene, dan barata. Wilayah inti dipecah
lagi menjadi 2, yakni wilayah bonto yang diperintah oleh kadie dan wilayah bobato yang
diperintah oleh lakina.
Daerah moronene diperintah langsung oleh adat, namun tidak langsung berada
dalam sistem pemerintahan. Sementara daerah barata berperan untuk menjaga kestabilan
kerajaan; 2) kejayaan bidang politik semasih Buton berstatus sebagai kerajaan ditandai
dengan bertambahnya luas wilayah kerajaan dan realisasi hubungan politik dengan
Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna. Sementara setelah berstatus kesultanan,
perkembangan Buton ditandai dengan diterapkannya Undang-Undang Dasar yang
mengatur fungsi, tugas, dan kedudukan perangkat kesultanan di dalam melaksanakan
pemerinatahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan
membentuk 72 kadie (wilayah kecil); 3) kejayaan bidang ekonomi dapat dilihat dari
masyarakat Buton yang pada saat itu telah menggunakan alat tukar uang yang disebut
kampua. Pajak pula sudah diterapkan di wilayah Buton. Tunggu Weti yang bertugas
sebagai penagih pajak di daerah kecioh ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena; 4)
kejayaan di bidang hukum dicirikan dengan tegasnya peraturan yang ada di Buton serta
tidak membedakan antara aparat pemerintahan dengan masyarakat umum. Hal ini dapat
ditunjukkan dari 38 Sultan Buuton, 12 orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan
melanggar sumpah jabatannya mandapatkan hukuman secara adil. Bahakn Sultan Mardan
Ali (Sultan Buton ke-8) mendapatkan hukuman mati melalui cara dililit lehernya dengan
tali sampai meninggal; 5) kejayaan di bidang pertahanan dapat diketahui dari sudah
diterapkannya sistem pertahanan rakyat semesta dengan berpijak pada filosofi, sebagai
berikut, a) Yinda yindamo arata somanamo karo, b). Yinda yindamo karo somanamo lipu,
c) Yinda yindamo sara somanamo agama. Selain itu Buton juga menerapkan sistem
pertahanan berlapis yang dikenal dengan 4 barata (wuna,tiworo, kulisusu, dan kaledupa),
4 matana sorumba (wabula, lapandewa, watumotobe, dan mawasangka), serta 4 orang
bhisa patamiana. Di dalam memperkokoh pertahanan di dalam negeri Buton membangun
benteng dan kubu-kubu guna melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari
segala macam ancaman eksternal.
Masa surut Kesultanan Buton diidentifikais setelah terealisasikannya perjanjian
dengan Belanda (1873), Raja Konawe-Laiwui (1858 dan 1885) dan Datu Luwu (1861
dan 1887). Isi dari serangkaian perjanjian tersebut adalah sangat merugikan bagi pihak
Buton. Sekalipun demikian, Hindia Belanda baru bisa menempatkan pasukannya di
wilayah Buton pada tahun 1906.

PERANG GOWA-BUTON 1666

La Tenritata Toappa Tunru Aru Palaka keluarga Sultan Bone tidak lagi
melanjutkan perlawanan terhadap kerajaan Gowa di daratan Sulawesi Selatan. Pada tahun
1660 ia bersama keluarga dan pengikutnya berlayar menuju Kerajaan Buton untuk
meminta perlindungan Sultan Buton. Sultan Buton bersedia menerima permintaan Aru
Palaka yang bertujuan untuk datang di Batavia guna meminta bantuan kompeni. Setelah
tahu bahwa Aru Palaka lari dan meminta bantuan Sultan Buton, Sultan Gowa mengirim
utusan ke Buton untuk meminta agar Aru Palaka diserahkan kepada Gowa. Permintaan
ini tidak diperhatikan oleh Sultan Buton dan Aru Palaka disembunyikan.
Pada tahun 1661 Aru Palaka menuju Batavia untuk meminta bantuan Kompeni
guna membebaskan Kerajaan Bone dari Kerajaan Gowa. Kompeni menyambut dengan
senang hati akan permintaan Aru Palaka, bertepatan sekali disaat kompeni sedang
mencari raja atau tokoh yang dapat diajak kerjasama untuk merongrong dan menggempur
Kerajaan Gowa. Akhirnya kompeni dan Aru Palaka sepakat untuk menyerang Kerajaan
Gowa.
Oleh sebab itu Sultan Hasanuddin mempersiapkan laskar yang kuat untuk
menyerang Kerajaan Buton yang membangkang. Sekaligus bersiap-siap menghadapi
serangan gabungan Kompeni-Aru Palaka yang akan datang. Melalui jalur diplomasi,
kompeni berusaha berunding dengan Sultan Gowa untuk menyelesaikan perselisihan
dengan jalan damai. Gubernur Jendral Joan Maetsuyker pada tahun 1665 mengirim Joan
Wasenhagen ke Somba Opu guna mengadakan perundingan dengan Sultan Hasanuddin.
Perundingan mengalami kegagalan disebabkan tuntutan kompeni amat merugiakan
Kerajaan Gowa, nyaris timbul perang terbuka. Dalam perundingan tersebut Sultan
Hasanuddin menuntut ganti rugi atas 400 orang Bima yang dibinasakan atau ditawan
kompeni pada saat Komandan Roos menyerang Bima.
Dalam situasi yang semakin tegang itu Sultan Hasanuddin semakin marah kepada
Sultan Buton yang sejak lama memihak kompeni dan memberikan perlindungan kepada
Aru Palaka. Pada tahun 1666 Sultan Hasanuddin mengirim ekspedisi armada besar yang
terdiri dari ratusan kapal dan perahu dengan kekuatan 70.000 personil laskar ke Kerajaan
Buton. Ekspedisi di bawah pimpinan laksamana Karaeng Bontomaranu dan dibantu Datu
Luwu Sultan Alauddin dan Sultan Bima Abdul Khair Sirajuddin sebagai wakilnya.
Pertempuran diperairan Buton berjalan seru. Sementara peperangan berjalan, laskar
Bone/Bugis sebanyak 15.000 orang yang bergabung dalam laskar Gowa, membelot
setelah mengetahui Aru Palaka bersama Admiral C. Speelmen datang membantu kerajaan
Buton. Di sebabkan pembelotan itu serta bantuan datang, laskar Gowa tak dapat bertahan
dan patah perlawanannya dalam waktu singkat. Sebagian armada sempat mengundurkan
diri, dan sekitar 10.000 laskar Gowa tewas dan ditawan. Diantara tawanan itu terdaftar
nama-nama orang terkemuka yakni Karaeng Bontomaranu, Datu Luwu Sultan Alauddin,
Raja Mandar dan La Mbila Sultan Bima.
Menurut kitab BO La Mbila, Abdul Khair Sirajuddin tidak ditawan. Yang tertawan
adalah La Mbila Bicara Bima/ Raja Bolo yang mengambil alih komando laskar Bima
untuk memberikan kesempatan Sultan Abdul Khair Sirjuddin meloloskan diri. La Mbila
Raja Bolo menderita luka berat, termasuk salah seorang dari 10.000 orang yang tertawan
tewas. Tawanan itu ditempatkan di sebuah pulau di Buton dan seorang Belanda
menyebutnya dengan Makassarsche Kerkhof (pekuburan Makassar) dan orang Buton
menyebutnya pulau Makassar. Sebagian dari tawanan yang dibawa kesana mengalami
kematian akibat kelaparan dan serangan penyakit. Yang meninggal antara lain La Mbila
Bicara Bima/ Raja Bolo. Tawanan yang masih sehat dibawa dan dijual dijadikan sebagai
budak. Dan untuk mengenang La Mbila yang meninggal di Buton, orang Bima
menyebutnya dengan nama Bicara ma mbora di Buton.
Sebagai hadiah kemenangan, Sultan Buton mendapatkan 30 buah kapal dan perahu,
sisanya 300 buah dibakar musnah. Orang Buton yang dijadikan budak orang Makassar
dikembalikan kepada Sultan Buton. Demikian pula orang-orang Bone/Bugis lebih kurang
5.000 orang dijadikan serdadu Aru Palaka.

DAFTAR RUJUKAN
Mattulada. 2011. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Yogyakarta:
PenerbitOmbak.
Sewang M, Ahmad. 2013. Peranan Orang Melayudalam Perkembangan Islam di
Sulawesi Selatan. Makassar: Alauddin University Press.
_________________. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa, (Abad XVI samai Abad XVII).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tajib, Abdullah. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: PT Harapan Masa PGRI.
Usman. 2011. Tinjauan Buku: Strategi Buton Menghadapi Ancaman Ternate, Gowa, dan
VOC. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 13 No 1 2011., hlm 185-196.
(Online) (Sumber: http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/viewFile/137/1
18) Diakses tanggal 10 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai