Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kearifan lokal dalam suatu lingkup tertentu memiliki peran penting dalam keberadaan
suatu golongan. Menurut Rupanna (2016) kearifan lokal merupakan kecerdasan-kecerdasan
lokal yang ditransformasilan ke dalam cipta, karya dan karsa sehingga masyarakat dapat
mandiri dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah. Cipta, karya dan karsa itu
disebut juga budaya. Kebudayaan yang dimaksud adalah semua pikiran, perilaku, tindakan
dan sikap hidup yang selalu dilakukan orang setiap harinya. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan
lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dipertahankan
eksistensinya, untuk memperkaya kebudayaan di Indonesia.

Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki kebudayaan yang plural tentunya
memiliki kearifan lokal masing-masing di setiap daerah. Dengan adanya kearifan lokal akan
menjaga kelestarian sumberdaya alam, berfungsi untuk mengembangkan sumber daya
manusia, dan kearifan lokal juga merupakan sebuah bentuk penyelesaian suatu persoalan atau
kesulitan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini dengan adanya peristiwa atau persoalan
disuatu lingkungan maka akan memunculkan usaha manusia dengan menggunakan akal
budinya untuk tetap bertahan didalam lingkungan tersebut.

Malang sebagai salah satu kota besar di Jawa Timur, pada masa Agresi Militer
Belanda tidak terlepas dari incaran prajurit Belanda dan mata-mata yang berusaha membasmi
para gerilyawan yang ada di Kota Malang. Dengan adanya kesulitan atau persoalan tersebut,
masyarakat Malang khususnya para gerilyawan rakyat kota dengan menggunakan akal
budinya dan kekreativitasan mereka, menciptakan suatu karya dalam penggunaan bahasa
yang disebut Bahasa Walikan Malang. Bahasa ini muncul digunakan sebagai sandi dan alat
komunikasi antar pejuang gerilyawan untuk merahasiakan percakapan meraka dari penyusup
dan mata-mata.

Bahasa Walikan Malang ini menarik untuk dikaji sebagai bentuk kearifan lokal
masyarakat kota Malang dalam usahanya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Keeksistensian bahasa tersebut juga masih terjaga hingga dasawarsa ini, sebagai sebuah
bentuk jati diri arek Malang. Selain itu dengan adanya bahasa tersebut juga semakin
mengakrabkan masyarakat Malang itu sendiri dan menjadi ciri khas yang ada di wilayah
Malang. Dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat topik makalah
dengan judul Bahasa Walikan Malang sebagai Bentuk Kearifan Lokal Gerilyawan Rakyat
Kota Malang dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari Agresi Militer Belanda
pada tahun 1949.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari makalah
ini antara lain adalah:
1. Bagaimana sejarah terbentuknya Bahasa Walikan Malang?
2. Mengapa Bahasa Walikan Malang dapat dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal?
3. Bagaimana penggunaan Bahasa Walikan Malang dalam upaya mempertahankan
kemerdekaan RI pada tahun 1949?

1.3 Tujuan
Tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Bahasa Walikan Malang.
2. Untuk mengetahui Bahasa Walikan Malang sebagai salah satu bentuk kearifan lokal.
3. Untuk mengetahui penggunaan Bahasa Walikan Malang dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan RI pada tahun 1949.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Terbentuknya Bahasa Walikan Malangq


Bahasa merupakan alat komunikasi dan interaksi yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Pada setiap daerah bahasa yang digunakan berbeda-beda,
namun meskipun berbeda-beda bahsa merupakan alat yang digunakan untuk
berhubungan atau berkomunikasi dengan manusia satu dengan lainnya. Setiap daerah
mempunyai bahasa daerahnya sendiri-sendiri, termasuk juga di kota Malang. Kota
Malang merupakan salah satu kota yang terletak di Propinsi Jawa Timur yang
mempunyai kearifan lokal berupa bahasa. Penduduk kota Malang menyebut bahasa
ini adalah bahasa prokem atau bahasa walikan. Bahasa ini merupakan salah satu ciri-
ciri dari Kota Malang, karena di daerah lainnya tidak ada yang menyamai keunikan
dari bahasa walikan ini. Arek-arek Malamg biasa menyebut bahasa ini dengan istilah
“Lawikan Kera Ngalam”, dan bahasa ini samapi sekarang masih dipakai oleh arek-
arek Malang. Biasanya yang memakai bahasa walikan ini adalah para generasi muda,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang tua pun masih menggunakan bahasa
ini dalam kehidupan sehari-hari. Namun, adanya bahasa walikan yang digunakan oleh
arek-arek Malang hingga saat ini tidak terlepas dari peristiwa yang terjadi di Kota
Malang pasca kemerdekaan Indonesia.
Bahasa walikan sebenarnya tidak hanya terdapat di Malang saja, namun juga
terdapat di Yogyakarta. Namun meskipun sama-sama mempunyai bahasa walikan,
antara bahasa walikan di Yogyakarta dan Malang tidaklah sama, mereka mempunyai
ciri khas tersendiri. Bahasa walikan yang terdapat di Yogyakarta merupakan bahsa
wlikan yang dirumuskan dari aksara jawa yang dibolak-balik yaitu baris pertama (ha
na ca ra ka) diganti baris ketiga (pa dha ja ya nya), baris kedua (da ta sa wa la)
diganti baris keempat (ma ga ba tha nga) dan begitu pula sebaliknya (Hermawan).
Sedangkan bahasa walikan malang menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan
untuk berkomunikasi, jadi lebih mudah digunakan bahasa walikan dari malang
daripada bahasa walikan dari Yogyakarta. Bahasa Walikan Malang pada mulanya
diusulkan oleh Suyudi Raharno yang merupakan dari kalangan pejuang Gerilya
Rakyat Kota (GRK) sebagai bahasa komunikasi antar pejuang. Tujuannya sebagai
bahasa sandi untuk membedakan mana pejuang dan pendukungnya dan mana musuh
(Hermawan).
Bahasa Walikan ini diperkirakan muncul pertama kali pada tahun 1949 yaitu
pasca kemerdekaan. Munculnya bahasa ini digunakan untuk mengahalau strategi
Belanda yang banyak menyusupkan mata-mata ke kalangan pejuang untuk memburu
pejuang Mayor Hamid Roesdi yang telah gugur pada 8 Maret 1949 dalam
pertempuran Dukuh Sekarputih yang saat ini daerahnya dikenal sebagai desa
Wonokoyo. Akibatnya banyaknya sisa-sisa dari laskar Mayor Hamid Roesdi yang
tertangkap padahal sudah bersembunyi atau disembunyikan oleh penduduk
sedemikian rupa. Bahkan setiap gerak-gerik mereka sudah terbaca oleh Belanda
(Hermawan). Hal ini lalu menimbulkan pertanyaan di benak para pejuang yang
tersisa. Usaha mereka untuk bersembunyi sudah maksimal, namun pihak Belanda
dengan mudahnya menemukan mereka dan menangkapnya. Akhirnya timbulah
kecurigaan apakah adanya mata-mata Belanda yang menyusup ke laskar perjuangan
mereka. Akhirnya muncullah bahasa walikan ini.
Seorang pejuang Kota malag yang bernama Suyudi Raharno mempunyai
gagasan cerdik. Beliau menciptakan sebuah bahasa baru (bahasa walikan) bagi para
pejuang kota Malang yang isi dari bahasa tersebut kebanyakan merupakan kode dan
sandi. Dengan adanya bahasa baru tersebut, diharapkan para pejuang kota Malang
dapat menjaga kerahasiaan informasi dan lebih dari itu, identitas dari para pejuang
pun bisa terjamin. Hal unik yang ada pada bahasa baru ini adalah tidak terikat pada
aturan tata bahasa yang umum dan baku. Bahasa baru ini hanya mengenal satu cara
baik dalam pengucapan maupun dalam penulisannya, yaitu dilakukan dengan secara
terbalik dari belakang dibaca kedepan. Karena keakraban yang ada pada para pejuang
lambat laun akhirnya bahasa tersebut digunakan dan para pejuang juga fasih dalam
menggunakan bahasa baru tersebut. Para mata-mata yang tidak setiap hari bergaul
dengan para pejuang akhirnya tidak bisa mengikuti perekmbangan bahasa yang ada.
Termasuk ketidakfahaman mereka tentang perkembangan bahasa baru yang tiba-tiba
saja ngetrend di kalangan para pejuang. Dari sinilah para pejuang menjadi tahu mana
yang mata-mata Belanda dan mana yang bukan. Sebab para mata-mata tidak bisa
diajak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa walikan tersebut (Malang Tempo
Doelo). Penciptaan bahasa baru ini sangat memudahkan para pejuang dalam
mempertahankan keadaanya. Karena dari sinilah, para pejuang tahu mana orang yang
berkhianat dan bisa lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi maupun yang
lainnya.
Setelah para pejuang mengetahui para mata-mata Belanda ini, mereka
melakukan interogasi dan akhirnya mereka dihukum mati. Karena bahsa ini sangat
bebas dan longgar aturannya, maka dalam perkembangannya menjadi sangat luas.
Dengan perkembangan bahasa walikan yang luas maka perlu adanya kesepakatan
bersama mengenai pemakaian bahasa walikan tersebut. Di kalangan para pejuang,
kesepakatan istilah ini diperlukan karena banyak kata penting yang sulit untuk dibaca
secara terbalik sehingga harus dicari istilah dan padanan yang sesuai namun mudah
diingat oleh para pelakunya. Contohnya kata Belanda dalam bahasa Jawa disebut
Londo dan istilah ini cukup sulit apabila dibaca secara terbalik. Lalu dicarilah istilah
padanannya yaitu Nolo. Sedangkan untuk pecipta bahasa walikan ini sendiri yaitu
Suyudi Raharno, pada September 1949 gugur disergap Belanda di Dukuh Genukwatu.
Konon ada mata-mata yang melaporkan keberadaan Suyudi Rahrno di tempat
tersebut. Padahal pada kala itu, situasinya sedang ada genjatan senjata antara laskar
pejuang kota Malang dengan pasukan Belanda (Malang Tempo Doelo). Meskipun
bahasa walikan ini penggunaanya tanpa terikat pada peraturan tata bahasa, namun
haruslah tetap ada peraturan dalam bahasa ini. Selain karena tidak semua kata bisa
dibaca secara terbalik, banyak kata-kata yang sulit diucapkan karena tidak sesuai dan
akhirnya muncullah istilah (kata) padanan yang hampir sama dengan kata aslinya.

Contoh Bahasa Walikan

OSOB KIWALAN CONTOH KALIMAT

racap pacar racapan pacaran

raijo uang Rajione kanyab Uangnya bnayak

rasap pasar Rasap Klojen Pasar Klojen

rayaban bayaran Kapan rayaban? Kapan bayaran

rotom motor Hadepes rotom Sepedah motor

rudit tidur Kadit rudit Tidak tidur

sam mas Sam inod Mas Doni


sanap panas Ipok sanap Kopi panas

sareb beras Sareb jagung Beras jagung

senjem menjes Lawet-an senjem Jualan menjes

sedeb bedes Sedeb Wendit Bedes Wendit

sedep pedes Kajur-e sedep Rujak-e pedes

sinam manis Kadit sinam Tidak manis

sidag gadis Sidag sinam Gadis manis

soak kaos Soak hitup Kaos putih

sutar ratus Agit sutar Tiga ratus

suda adus Wis suda? Wis adus?

tail Liat/nonton Tail bioskop Nonton bioskop

Takis sikat Takis-an Sikat-an

tarus surat Tarus-tarusan Surat-suratan

tewur ruwet Urusane tewur Urusane ruwet

toper repot Laopo toper? Laopo repot?

tumbar Rambut Tumbar-e brodol Rambut-e brodol

2.2 Bahasa Walikan Malang Sebagai Salah Satu Bentuk Kearifan Lokal
Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan
kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-
gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat
(Rupanna, 2016: 4). Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat
setempat dalam menyikapi kehidupan.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup. Kearifan lokal lahir dari pemikiran dan nilai yang
diyakini suatu masyarakat terhadap alam dan lingkungannya. Didalam kearifan lokal
terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat
setempat. Dengan demikian, kearifan lokal di setiap daerah berbeda-beda bentuknya.
Menurut Ridwan (dalam Rupanna, 2016: 8) kearifan lokal dapat dipahami
sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak
dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom/kearifan dipahami
sebagai kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya dalam bertindak
atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu. Sementara local secara spesifik
menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula.
Berdasarkan pengertian kearifan lokal pada paragraf diatas, maka dapat
dikatakan bahwa Bahasa Walikan Malang merupakan bentuk kearifan lokal yang
terbentuk atas usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan
bersikap terhadap suatu peristiwa. Dalam hal ini, bahasa walikan Malang terbentuk
karena usaha masyarakat Malang khususnya Gerilyawan Rakyat Kota dalam
menghadapi ancaman dari banyaknya mata-mata Belanda yang menjadi penyusup dan
memahami bahasa Jawa. Oleh karena itu terbentuklah bahasa walikan sebagai bahasa
komunikasi antar pejuang. Dengan tujuan sebagai bahasa sandi untuk membedakan
mana pejuang dan pendukungnya dan mana musuh serta mata-mata.
`Bahasa walikan Malang sebagai bentuk kearifan lokal juga dapat diperkuat
melalui pengertian kearifan lokal menurut Ahimsa-Putra (dalam Rupanna, 2016) yang
menyatakan bahwa kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan
dan praktek-praktek baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun
dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu
komunitas di suatu tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan
benar berbagai persoalan dan kesulitan yang dihadapi.

2.3 Penggunaan Bahasa Walikan Malang dalam Upaya Mempertahankan


Kemerdekaan RI Tahun 1949
Menurut Prayogi (2013) penggunaan slang muncul diberbagai daerah di
Indonesia, Slang merupakan bentuk lain dari bahasa rakyat di samping logat.
Penggunaan slang berkaitan dengan bahasa rakyat, salah satu penggunaan slang
tersebut berada di wilayah Kota Malang, Provinsi Jawa Timur yang mayoritas
penduduknya pengguna bahasa Jawa dialek Surabaya (dialek yang merupakan hasil
campuran antara bahasa Jawa dan Madura) yang menggunakan slang khas daerah
(sosiolek) mereka untuk tuturan informal, terutama apabila mereka telah pergi jauh
merantau. Slang yang digunakan dikenal dengan istilah “osob kiwalan” atau bahasa
terbalik.
Slang Malang atau disebut warga lokal sebagai Osob Kiwalan ini dipakai oleh
kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK) Malang pada zaman agresi militer II
pascakemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya sekitar akhir Maret 1949.
Berdasarkan istilah “Osob Kiwalan” ini dapat langsung diketahui bahwa terjadi
perubahan fonem serta perubahan yang tidak lazim yang menyertainya. Osob berasal
dari kata basa (Jawa), dan kiwalan dibentuk dari kata walikan (dibalik) afiks -an
tetap dipertahankan di sini, dan tetap menempati posisi setelah kata walik. Adapun
penyebabnya, pada masa agresi militer II perang kemerdekaan sekitar akhir Maret
1949, Belanda menyusupkan banyak mata-mata di dalam kelompok pejuang Malang
untuk memburu sisa laskar Mayor Hamid Rusdi yang gugur pada 8 Maret 1949.
Mata-mata ini banyak yang mampu berkomunikasi dalam bahasa daerah
dengan tujuan menyerap informasi dari kalangan pejuang Gerilya Rakyat Kota
(GRK). Mengatasi kendala (mata-mata) tersebut, Suyudi Raharno seorang pejuang
yang tergabung dalam kelompok GRK menciptakan sebuah model bahasa baru yang
dapat digunakan bagi sesama pejuang untuk menjaga kerahasiaan informasi dan
efektivitas komunikasi, selain itu juga sebagai pengenal identitas kawan dan lawan.
Dalam linguistik pemakaian bahasa secara khusus ini termasuk dalam ragam slang.
Sampai sekarang slang tersebut digunakan sebagai penanda identitas sebagai Arema
(sebutan anak muda untuk ‘orang Malang’) di Kota Malang dan sekitarnya, serta
mengalami perluasan dan perubahan dibandingkan pada awal-awal perumusannya
(Prayogi, 2013).

2.3.1 Eksistensi Basa Walikan Malang Pada Masa Kini

Menurut Putra (2016) bahasa walikan berfungsi sebagai alat komunikasi


verbal. Hal ini terbukti bahwa yang menggunakan bahasa Walikan tersebut berasal
dari berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga orang dewasa. Bahasa Walikan juga
digunakan oleh sebagian besar masyarakat Malang, dan banyak pula digunakan oleh
masyarakat di luar daerah Malang. Masyarakat Malang dikenal sebagai masyarakat
yang menggunakan bahasa walikan. Dukungan dari pihak media lokal menunjukkan
bahwa bahasa walikan tetap dikenal hingga saat ini. Adanya hubungan yang erat
mengenai pers dan identitas membuat bahasa walikan ini sebagai salah satu tujuan
utama yang ditampilkan oleh media cetak Malang Post. Adanya suatu identitas yang
tidak dapat dilepaskan dari adanya suatu kelompok membuat media cetak Malang
post koran lokal tetap menampilkan apa yang menjadi bagian dari identitas
masyarakat Malang.

Surat kabar harian Malang Post digunakan untuk menciptakan suatu kesadaran
kelompok dengan para pembacanya dan yang terpenting disini adalah para pembaca
merasa bahwa koran yang mereka baca tersebut sesuai dengan pandangan mereka dan
melaporkan berbagai hal yang menarik perhatian para warga Malang sebagaimana hal
tersebut sesuai dengan identitas mereka dan hanya ditulis untuk orang - orang seperti
mereka. Dengan adanya otonomi daerah, harian Malang Post mewakili wilayah
Malang melakukan pemberitaannya. Dengan mengatasnamakan identitas dan budaya,
harian ini terbit sebagai koran milik warga Malang. Sebagai Koran lokal di daerah
Malang dan sekitarnya, Malang Pos hadir dengan berita berita yang aktual dan satu-
satunya Koran yang memuat berita dengan menggunakan bahasa walikan dalam salah
satu rubriknya.

Bahasa walikan yang digunakan oleh harian Malang Pos ini sesuai dengan
logo dari harian surat kabar ini sendiri yaitu Malang Pos Koran e Arek Malang.
Rubrik yang memuat berita dengan menggunakan bahasa walikan ini posisi berada
pada bagian kiri bawah bernama Ebes Ngalam atau Bapak Malang dalam istilah
bahasa Indonesianya ini memuat berita-berita tentang seputar warga Malang dan
sekitarnya yang sedang hangat untuk dibicarakan. Setiap topik yang diusung untuk
diberitakan tiap harinya selalu menampilkan adanya situasi yang sedang dihadapi saat
surat kabar ini akan diterbitkan sehingga topik yang diangkat selalu hangat untuk
menjadi bahan pembicaraan (Andryani, 2015).

Gambar 1. Rubrik Ebes Ngalam, Malang Post tahun terbit 2015

Menurut Andryani (2015) rubrik dengan menggunakan bahasa walikan ini


juga meliputi berbagai jenis isu yang terdiri dari politik, olahraga, ekonomi maupun
sosial budaya. Dan informasi-informasi tersebut dimuat atau ditulis dalam
menggunakan bahasa walikan tetapi ada beberapa kata yang menggunakan bahasa
Indonesia jadi tidak secara keseluruhan menggunakan bahasa walikan, hal ini
dimaksud agar para pembaca yang berasal dari luar daerah Malang dapat ikut
menikmati berita yang disajikan oleh harian surat kabar Malang Post ini. Harian surat
kabar Malang Post dianggap sebagai media yang mampu untuk mengangkat kembali
serta mendistribusikan budaya setempat agar setidaknya dikenal dan tidak punah.
Karena pada dasarnya kita memiliki potensi budaya yang cukup beragam tetapi
karena kurangnya media penyaluran maka kebudayaan tersebut seolah-olah tidak ada
artinya sama sekali karena tidak dikenal oleh masyarakat yang hidup sesudahnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Bahasa Walikan ini diperkirakan muncul pertama kali pada tahun 1949 yaitu
pasca kemerdekaan. Munculnya bahasa ini digunakan untuk mengahalau strategi Belanda
yang banyak menyusupkan mata-mata ke kalangan pejuang untuk memburu pejuang
Mayor Hamid Roesdi yang telah gugur pada 8 Maret 1949 dalam pertempuran Dukuh
Sekarputih yang saat ini daerahnya dikenal sebagai desa Wonokoyo. Akibatnya
banyaknya sisa-sisa dari laskar Mayor Hamid Roesdi yang tertangkap padahal sudah
bersembunyi atau disembunyikan oleh penduduk sedemikian rupa.

Bahasa Walikan Malang merupakan bentuk kearifan lokal yang terbentuk atas
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap
suatu peristiwa. Dalam hal ini, bahasa walikan Malang terbentuk karena usaha
masyarakat Malang khususnya Gerilyawan Rakyat Kota dalam menghadapi ancaman dari
banyaknya mata-mata Belanda yang menjadi penyusup dan memahami bahasa Jawa.
Oleh karena itu terbentuklah bahasa walikan sebagai bahasa komunikasi antar pejuang.
Dengan tujuan sebagai bahasa sandi untuk membedakan mana pejuang dan
pendukungnya dan mana musuh serta mata-mata.

Bahasa walikan berfungsi sebagai alat komunikasi verbal. Hal ini terbukti bahwa
yang menggunakan bahasa Walikan tersebut berasal dari berbagai kalangan, mulai dari
remaja hingga orang dewasa. Bahasa Walikan juga digunakan oleh sebagian besar
masyarakat Malang, dan banyak pula digunakan oleh masyarakat di luar daerah Malang.
Masyarakat Malang dikenal sebagai masyarakat yang menggunakan bahasa walikan.
Dukungan dari pihak media lokal menunjukkan bahwa bahasa walikan tetap dikenal
hingga saat ini. Adanya hubungan yang erat mengenai pers dan identitas membuat
bahasa walikan ini sebagai salah satu tujuan utama yang ditampilkan oleh media cetak
Malang Post.

3.2 Saran

Dengan adanya arus globalisasi, diharapkan bahasa walikan Malang tidak tergeser
dan menghilang dalam masyarakat Malang sebagai bentuk kearifan lokal masa lalu. Serta
dengan adanya bahasa walikan ini dapat dijadikans sebagai ciri khas kota Malang dan
dapat dijadikan sebagai bahasa persatuan arek-arek Malang meski sudah banyak arus
globalisasi dan westernisasi.
DAFTAR RUJUKAN

Andryani, Kristina. 2015. Budaya, Identitas, dan Media Lokal. Vol. 08/No.02. (Online)
https//:media.neliti.com diakses pada 1 Maret 2019.

Putra, dkk. 2016. Proses Morfologis Pembentukan Kata Ragam Bahasa Walikan.
Arkhais, Vol. 07 No. 1. (Online). (https://docplayer.info/57397986 -Proses
morfologis- pembentukan-kata-ragam-bahasa-walika.html), diakses
pada 01 Maret 2019.

Prayogi, Icuk. 2013. Proses Pembentukan Slang Malang. (Online).


(http://journal.upgris.ac.id/index.php/sasindo/article/view/425/381),
diakses pada 01 Maret 2019.
Rapanna, Patta. 2016. Membumikan Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Ekonomi.
Makassar: CV Sah Media.

Anda mungkin juga menyukai