Anda di halaman 1dari 12

GERAKAN ORGANISASI ISLAM PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

DI INDONESIA 1942-1945

Adhe Lia Nirmalasari, Bagas Gifari Eko Saputra, Isvi Rahmatul Mustafa,
Meru Pangesthi Aji, Moch Nizam Alfahmi

adhelianirmala@gmail.com
S1 Pendidikan Sejarah Offering C 2017, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial,
Univesitas Negeri Malang.

Abstrak: Pendudukan Jepang di Indonesia banyak memberi dampak baik negatif maupun
positif bagi rakyat Indonesia. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui
dampak kebijakan Pendudukam Jepang di Indonesia kepada gerakan organisasi Islam
pada masa 1942-1945. Pada masa kolonialisme Belanda, organisasi Islam banyak
dihalangi kemajuannya oleh pemerintah Belanda. Berbeda dengan masa pendudukan
Jepang yang mendukung terbentuknya organisasi Islam di Indonesia, namun tujuan
utamanya adalah untuk menggunakan potensi umat Islam untuk kepentingan mendirikan
Asia Timur Raya.

Kata Kunci: Pendudukan Jepang, Organisasi Islam.

Bangsa Indonesia adalah satu dari sekian bangsa yang memiliki sejarah
masa lalu sebagai bangsa yang terjajah. Setelah sekian lama dikuasai oleh
kolonialisme Belanda, kemudian wilayah Indonesia kembali diduduki oleh bangsa
Jepang yang menguasai selama 3,5 tahun lamanya. Bangsa Jepang yang
menggantikan kolonialisme Belanda menguasai Indonesia pada tahun 1942
hingga tahun 1945. Meskipun singkat namun masa pemerintahan Jepang di
Indonesia dinilai lebih kejam dari masa kolonialisme Belanda.

Sebelum menggantikan kolonialisme Belanda di Indonesia, Jepang


terlebih dahulu menaklukan pasukan sekutu (Belanda, Inggris, dan Australia)
khususnya tentara KNIL (Koninklijk Netherlands Indische Leger) yang berkuasa
di Indonesia waktu itu. Pemerintah Belanda yang berkuasa di Indonesia (Hindia
Belanda) menyerahkan kekuasaannya tanpa syarat ke tangan Jepang pada tanggal
8 Maret 1942 (Isnaeni dan Apid, 2008:4-5). Dengan penyerahan tersebut, maka
berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung tidak begitu lama. Namun
memberikan dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan rakyat
Indonesia (politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, birokrasi dan
mobilisasi sosial serta militer). Dalam menjalankan pendudukannya, Jepang
dipandang merata, karena seperti halnya Belanda dapat menguasai seluruh daerah
yang ada di Indonesia.

Jepang merupakan bangsa yang cerdas melihat kondisi rakyat Indonesia


yang menginginkan hak kemerdekaan dari cengkraman kolonialisme dan
imperialisme, dengan demikian diungkapkanlah kepada rakyat Indonesia bahwa
kedatangan Jepang di Indonesia adalah untuk memberi kemerdekaan. (Isnaenai
dan Apid, 2008:29) menyebutkan rakyat Indonesia percaya akan janji Jepang yang
akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Di awal pendudukannya Jepang
menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat baik. Berbagai kebijakan berpihak
kepada Indonesia. Bendera Merah Putih diijinkan berkibar, lagu Indonesia Raya
boleh dinyanyikan, dan Bahasa Indonesia bebas digunakan oleh masyarakat.

Dengan siasat cerdik bangsa Jepang untuk menarik simpatisan rakyat


Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam, Jepang memandang bahwa umat
Islam adalah umat yang anti dengan kolonialisme dan imperialisme Barat disatu
sisi, disisi lain Jepang sedang berhadapan dengan imperialisme Barat, karena
keinginan Jepang untuk mendirikan Asia Timur Raya. Oleh karena itu Jepang
ingin menggunakan potensi yang ada pada kaum muslimin untuk kepentingan
Asia Timur Raya.

Pendudukan Jepang di Indonesia juga membentuk beberapa organisasi


yang dapat mempersatukan para pembesar umat Islam. Tujuannya utamanya
adalah untuk menghimpun kekuatan yang ada pada setiap golongan Islam, dan
selanjutnya kekuatan itu akan dimanfaatkan dalam rangka menghadapi Perang
Asia Timur Raya. Namun demikian niat Jepang itu tidak dapat memberikan hasil
karena terlebih dahulu bom sekutu jatuh di Hirosima dan Nagasaki (Hadidjah,
2007:114). Meskipun Jepang tidak mendapat keuntungan dan mempersatukan
para pembesar Islam, kedatangannya di Indonesia memberikan kebebasan gerakan
organisasi Islam di Indonesia yang dimusuhi oleh kolonialisme Belanda.
METODE

Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode studi


pustaka. Dimana dalam penggunaan metode ini ialah dengan mengumpulkan
sumber-sumber yang relevan dengan topik yang dibahas. Teknik yang digunakan
dalam pengumpulan data adalah dengan menghimpun sumber-sumber yang
berhubungan dengan pembahasan, baik itu dari buku atau artikel dari jurnal-jurnal
ilmah. Analisis dari sumber-sumber yang diperoleh menggunakan triangulasi
sumber dengan membandingakan dan menelaah sumber-sumber yang telah
dikumpulkan. Kemudian data-data yang telah terkumpul disusun dan
dikembangkan menjadi satu tulisan yang berkesinambungan.

PEMBAHASAN

Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Gerakan Islam di Indonesia

Secara khusus, umat Islam di Hindia Belanda juga terfregmentasi dalam


beragam organisasi dengan corak yang berbeda. Wadah bagi umat Islam dapat
diwakili dengan keberadaan organisasi Islam, yang memang menyatakan diri
membawa Islam sebagai gagasan utama serta sebagai identitasnya, walau dalam
beberapa batasan tertentu. Keberadaan organisasi Islam di Hindia Belanda yang
merepresentasikan sebagai umat dari Islam contohnya Sarekat Islam,
Muhammadiyah, Persis, Nahdatul Ulama yang menjadi bukti keberadaan gerakan
dan organisasi Islam pada masa Hindia Belanda.

Pada masa ini juga Islam dihadapkan pada masuknya gagasan ajaran
komunisme yang menjadikan umat islam mengalami persntuhan gagasan serta
ideologi secara politis. Walaupun ajaran komunisme dianggap sangat
bertentangan dengan ajaran islam yang banyak dianut oleh masyarakat, namun
gagasan ini mampu mempengarhi beberapa golongan dari masyarakat Islam di
Hindia Belanda untuk kemudian dijadikan sebagai sikap politik. Gagasan yang
lain juga muncul sebagai pemahaman akan Nasionalisme. Gagasan Nasionalisme
ini kemudian mengalami perkembangan dengan memunculkan berbagai dinamika
yang pada akhirnya juga turut membentuk respon dan posisi umat Islam dalam
percaturan politik pada masa Hindia Belanda. Sehingga umat Islam juga
mengalami dinamika berupa pertikaian terhadap pemerintah Belanda melalui
praktik adu domba yang menyebabkan konflik antar praktik keagamaan dari
golongan pembaharu dan tradisional.

Pemahaman gagasan Nasionalisme tersebut sudah terlihat pada abad ke-19


Belanda telah kaya dengan pengalaman pahit dalam menghadapi kekuatan Islam
di Indonesia. Sejak kedatangannya pada akhir abad ke-16 di Indonesia, Belanda
senantiasa menghadapi kenyataan bahwa Islam selalu menjadi penghalang cita-
citanya. Hal ini tidak mengherankan, sebab sebagian besar penduduk daerah yang
dijajahnya di kepulauan Indonesia ini beragama Islam, motif aneka perlawanan
terhadapnya, bagaimana pun jarang terlepas dari kaitan ajaran agama ini. Sejarah
telah membuktikan selama abad ke-19 saja, Kolonial Belanda cukup sibuk
menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan
sebagai “perang sabil” atas nama Islam. Syafii (1985:53) mencatat adanya
pemberontakan-pemberontakan yang terkenal pada abad ini antara lain, Perang
Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa
Tengah dan yang terlama adalah Perang Aceh dari tahun 1871-1912.

Pemerintah Kolonial Belanda sangat takut terhadap muslim fanatik yang


mempunyai hubungan dengan dunia internasional, termasuk bahaya permintaan
bantuan kepada negara Islam di luar negeri. Hal tersbut didukung pada apa yang
telah dipaparkan Effendi (2012:97) bahwa rezim Belanda di Indonesia sangat
takut terhadap sesuatu yang berbau Pan Islamisme. Islam dibayangkannya sebagai
sebuah agama yang diorganisir, banyak hal dianggap serupa dengan agama
Katholik Roma yang memiliki susunan kebiaraan hirarchis yang bersekutu dengan
Sultan Turki. Akibatnya, Islam di mata penjajah Belanda nampak sebagai musuh
yang menakutkan, maka tidak mengherankan apabila pemerintah Kolonial
Belanda pada waktu itu bertindak sangat membatasi ruang gerak umat Islam di
Indonesia; terutama dalam hal pergi haji ke Makkah yang dianggapnya sebagai
biang keladi yang menimbulkan agitasi dan pemberontakan di Indonesia.

Keberadaan Islam pada masa Hindia Belanda sangat dikhawatirkan


keberadaanya oleh Pemerintah kolonial. Kebijakan-kebijakan dalam beragamapun
patut diawasi oleh pemerintahan karena muncul kecurigaan pada kelompok Islam
tertentu yang akan membahayakan pemerintahan kolonial. Begitupun pada masa
kekuasaan Raffles. Raffles sangat tegas dalam menyikapi fenomena para peng-
haji Hindia Belanda yang dianggapnya sering menghasut pembangkangan pada
sistem pemerintahan. Maka begitu, akan terbentuk segolongan orang yang
memiliki banyak waktu luang dan memanfatkan pengaruh keagamaan mereka
untuk melawan pemerintah. Beberapa dekade kemudian, pada 1859, pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan Haji. Meskipun
lebih longgar dari aturan sebelumnya, namun pengetatan dalam proses penegakan
peraturan masi dilakukan di beberapa daerah (Ahsan, 2017).

Maka dari itu dalam konteks pembahasan ini Islam sangat banyak
memainkan peran dalam menentukan perkembangan pemikiran kebangsaan
Indonesia pada masa Hindia Belanda dibawah Pemerintahan Kolonial. Islam
berfungsi sebagai mata rantai yang menyatukan rasa persatuan nasional
menentang kolonialisme Belanda. Dengan sejarah perjalanan pergerakan umat
Islam ini serta diiringi dengan berakhirnya masa pemerintahan Kolonial Belanda
dan digantikan dengan masa pendudukan Jepang, menjadikan permasalahan ini
sebagai senjata Jepang untuk menrik simpatisan rakyat Indonesia dengan
merangkul umat Islam dalam meluaskan pergerakannya dalam menjalankan
syariat serta kegiatan beribadah.

Sikap Jepang Dalam Menarik Simpati Umat Islam Indonesia

Jepang mengetahui bahwa umat Islam Indonesia sangat tidak senanag pada
Belanda. Oleh karena itu kebencian tersebut dijadikan alat oleh Jepang untuk
memuluskan pendaratannya di bumi Indonesia. Pada hari-hari menjelang
pendaratan Jepang ke Indonesia, radio Tokyo menyiarkan bahwa mereka akan
datang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan akan
menghormati serta menjunjung tinggi Islam. Pesawat-pesawat udara Jepang pun
menyebarkan pamflet-pamflet yang isinya sama dan juga bendera merah putih
Shiddiqi (dalam Hadidjah, 2007:145).

Propaganda Jepang tersebut termakan oleh kaum muslimin di Indonesia,


sehingga kedatangannya dinantikan dan pendaratannya tidak dihalangi. Bahkan
Persatuan Ulama Aceh melawan Belanda guna memuluskan pendaratan Jepang di
Indonesia. Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai
kebijakan politik yang sama dengan Belanda, tetapi dalam awal pendekatannya,
Jepang memperlihatkan sikap bersahabat.

Jepang menyadari, jika hendak merebut hati sebagian besar bangsa


Indonesia, ia harus mendekati ulama. Bangsa Indonesia sebagian besar adalah
muslim, dan Islam telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan mereka
Shiddiqi (dalam Hadidjah, 2007:146).

Organisasi Gerakan Islam Masa Pendudukan Jepang

1. Pembentukan Shumubu dan Shumuka

Dalam usaha menggalang hati umat Islam, pemerintah Jepang membangun


organisasi islam dibawah pemerintah pendudukan Jepang. Oleh karena itu sejak
tanggal 1 April 1944, dimulai pembentukan Kantor Urusan Agama Daerah di
setiap keresidenan (yaitu bagian dari suatu provinsi). Di bawah kepemimpinan
para tokoh seperti Wahid Hasyim dan Kahar Muzakkar (Husni, 2015:62).
Organisasi ini dinamakan Shumbu dan Shumka. Shumubu adalah Departemen
Agama dan Shumuka adalah Kantor Urusan Agama yang terletak di seluruh
keresidenan. Shumubu dan Shumuka digunakan untuk memperhatikan seluk
beluk masyarakat Islam Indonesia, dan untuk meningkatkan pemanfaatan umat
Islam bagi kepentingan Jepang (Hadidjah, 2007: 147).

2. Masyumi

Latar belakang dibentuknya Masyumi adalah bertambahnya kekuasaan


politik Islam dalam struktur pemerintahan. Pemerintah Jepang membubarkan
MIAI pada bulan Oktober 1943, karena dinilai anti Jepang dan tidak disukai
Jepang karna tidak bisa dikendalikan (Hasim, 2018). Sebagai pengganti MIAI,
Jepang membentuk organisasi baru yaitu Masyumi (Majlis Syuro Muslimin
Indonesia) tanggal 22 November 1943 dan diberi status hukum pada tanggal 1
Desember 1943. Sebagai ketua organisasi ini adalah K.H. Hasyim Asy’ari.
Masyumi semakin kokoh ketika tanggal 1 Agustus 1944, pemerintah Jepang
mengeluarkan pengumuman reorganisasi Shumubu yang bertujuan agar semua
masalah keagamaan yang dirasakan penting dapat diatur dengan mudah.
Konsekuensi reorganisasi ini, Husein Djajadiningrat, kepala Shumubu
mengundurkan diri, lalu diganti oleh K.H. Hasyim Asy’ari dari Masyumi. Dengan
demikian, kegiatan keagamaan ke Islaman di bawah kontrol elit muslim (Husni,
2015:62).

Tujuan Jepang membubarkan MIAI dan mendirikan Masyumi guna


merangkul rakyat Indonesia, khususnya pemimpin Islam. Basis organisasi adalah
semua organisasi yang tergabung di MIAI, Muhammadiyah, NU, dan Persis.
Ketua pertamanya adalah K.H Hasyim Asy’ari dari NU dengan wakilnya K.H
Wahab Hasbullah. Wondoamisino dari PSII bekas ketua MIAI. Masyumi
dibentuk untuk mendukung pemerintah pendudukan Jepang, namun beberapa
pemimpinnya berusaha melencengkan tujuan tersebut,dan upaya ini berhasil,
tokoh-tokoh Masyumi tetap memegang peran politik penting meskipun Jepang
telah bertekuk lutut kepada sekutu. Pemimpin Masyumi menjalin hubungan yang
erat dengan Shumbu pemimpin kelompok Islam (Hasim, 2018: 284).

3. Hizbullah

Pada zaman Jepang, akhir tahun 1944, juga dibentuklah Hizbullah, yaitu
sejenis organisasi militer bagi pemuda-pemuda muslim Indonesia. K.H. Zainul
Arifin dipercaya menjadi ketua panglima Hizbullah, dengan tugas utamanya
mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi meliter. K.H. Zainul Arifin adalah salah
satu utusan dari Nahdatul Ulama dalam kepengurusan Masyumi. Di antara
pemimpinnya terdapat Muhammad Roem, Anwar Tjokro Aminoto, Jusuf
Wibisono, dan Prawoto Mangkusaswito yang kemudian terkenal menjadi
politikus-politikus terkenal. Jadi seluruh masa pendudukan Jepang ini, ternyata
umat Islam telah memperoleh keuntungan-keuntungan besar (Husni, 2015:62).

4. Pembentukan MAIBKARTA
Majelis Agama Islam untuk Bantuan Kemakmuran Asia Timur Raya.
Organisasi ini dibangun oleh Jepang di Aceh yang didukung oleh PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Pada intinya usaha Jepang menggaet hati umat
Islam adalah untuk: (1) menanamkan semangat Nippon di hati masarakat muslim;
(2) menumbuhkan loyalitas Ulama kepada Jepang; (3) meyakinkan kebencian
Ulama kepada sekutu; (4) meyakinkan Umat Islam bahwa perang Asia Timur
Raya adalah perang suci; dan (5) menanamkan keyakinan bahwa Jepang dan
Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras (Hadidjah, 2007:147).

Peran Gerakan Organisasi Islam Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan


Pada Masa Pendudukan Jepang

1. Peran NU pada masa pendudukan Jepang

Sejak didirikan pada tahun 1926, NU menjadi organisasi pelopor untuk


melawan penjajahan di Indonesia. Kehadiran ulama dalam masyarakat telah
diterima sebagai pelopor pembaharauan, dan pengaruh ulama semakin mendalam
setelah berhasil membina pesantren. Menurut Raffles (dikutip dari Amin, 2016:
264) bahwa ulama merupakan kelompok intelektual yang sangat kuat dan
membahayakan di tangan-tangan penguasa pribumi dalam rangka melawan
penjajahan Belanda dan kelompok ulama senantiasa aktif menggerakkan
perjuangan dan memberikan spirit untuk melakukan pemberontakan pada penjajah
Belanda.

Perjuangan para tokoh NU masih terus berlanjut bahkan saat Indonesia dijajah
oleh Jepang. Amin (2016: 265-266) menjelaskan bahwa jauh sebelumnya, yaitu
masa pendudukan Jepang, kaum ulama dan santrinya sudah bersiap-siap
menyusun kekuatan. Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah)
didirikan pada akhir kedudukan Jepang, dan mendapatkan latihan kemiliteran di
Cibarusah, sebuah desa di daerah Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada
dibawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh
KH. Zaenul Arifin. Adapun Laskar Sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur, dia
adalah pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) sebagai pemasok paling
besar dalam keanggotaan Hizbullah.
2. Peran Masyumi pada masa pendudukan Jepang

Masyumi didirikan dengan maksud menghimpun massa Islam yang akan


digunakan oleh Jepang untuk kepentingannya. Para pemimpin Masyumi
berpendapat bahwa, wadah persatuan umat Islam yang telah ada itu lebih baik
digunakan untuk memobilitasi massa dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan
dan menyebarkan ajaran Islam yang benar.

Ketika Jepang sedang berada dalam kebingungan karena kekalahan demi


kekalahan yang dideritanya di Pasifik dan Indonesia sendiri sudah mulai diserang
oleh sekutu, pemimpin organisasi ini lebih meningkatkan lagi perjuangan mereka
untuk memperoleh kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Bagi komperensi yang
berlangsung di Jakarta pada 12-14 Oktober 1944 keluar pernyataan:
Mempersiapkan masyarakat Muslim Indonesia agar siap menerima kemerdekaan
(Nugroho Notosusanto, 1993 dikutip dari Hadidjah 2007: 152).

Masyumi yang mempunyai cabang di seluruh Indonesia mensosialisasikan


pernyataan tersebut kepada seluruh kaum muslimin. Pernyataan tersebut mendapat
sambutan yang gembira dari mereka yang sadar akan bahaya shintoisme, sehingga
itu pemuda-pemuda Muslim mempersiapkan diri berjuang untuk merebut
kemerdekaan dari belenggu shintoisme.

3. Peran Muhammadiyah pada Masa Pendudukan Jepang


Berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
telah membangkitkan semangat berjuang kepada masyarakat Indonesia, baik di
bidang perjuangan fisik, maupun politik. Hal ini tidak luput juga peran serta
warga Muhammadiyah, seperti Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan
lain sebagainya. Mereka merasa terpanggil untuk berbakti mempertahankan
kemerdekaan dan supaya negara yang baru merdeka ini dapat berdiri dengan
tegak. Salah satunya adalah berusaha untuk membentuk dasar konstitusi negara
dengan peranannya di BPUPKI, bersama para tokoh-tokoh lainnya. Selain itu,
tokoh-tokoh Muhammadiyah juga turut serta dalam mewarnai komite, partai
politik, maupun dalam revolusi fisik.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI membentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dan komite tersebut dilantik Presiden pada tanggal 29
Agustus 1945. Anggota KNIP terdiri dari 140 orang di antaranya ada tokoh
Muhammadiyah, yaitu Ki Bagus Hadikusuma. Sementara itu, pimpinan Pusat
KNIP terdiri dari Kasman Singodimejo sebagai ketua, Sutarjo sebagai wakil ketua
I, Latuharhary sebagai wakil ketua II, dan wakil ketua III dijabat oleh Adam
Malik. Tugas dari KNIP ini adalah untuk membantu tugas dari Presiden dalam
menjalankan pemerintahan, terutama di masa awal-awal, mengingat kondisi dari
negara Indonesia yang belum stabil. Setelah KNIP terbentuk, tidak beberapa lama
didirikanlah Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Yogyakarta pada
tanggal 29 Oktoer 1945. Ki Bagus Hadikusuma diangkat sebagai penasihat
bersama dengan BPH Purboyo, dan Sukiman.
Setelah pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3
November 1945, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Hatta, yang berisi
tentang anjuran untuk membentuk partai-partai politik, maka partai-partai politik
pun bermunculan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa negara Republik Indonesia
yang baru dibentuk ini menganut sistem demokrasi. Isi dari maklumat tersebut
yaitu:
a. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan
adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala
aliran paham yang ada dalam masyarakat.
b. Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat
pada bulan Januari 1946.
Keluarnya Maklumat Pemerintah tersebut dan juga keinginan untuk
mempersatukan umat Islam di Indonesia, maka pada tanggal 7 November 1945,
seluruh organisasi Islam mengadakan kongres di gedung Madrasah Mualimin
Muhammadiyah Yogyakarta.

KESIMPULAN
Masa pendudukan Jepang di Indonesia berjalan cukup singkat yakni dari
1942-1945. Dalam melancarkan pendaratannya di Indonesia, Jepang
mempergunakan siasat-siasat cerdik untuk menarik simpati masyarakat Indonesia.
Hal pertama yang dilancarkan Jepang untuk menarik perhatian masyarkat
Indonesia adalah melalui sikap-sikap baik yang diberikan kepada umat Islam
karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Pada akhirnya umat
Islam mengizinkan pendaratan Jepang di Indonesia karena menganggap bahwa
Jepang tidak akan menyebarluaskan ajarannya di Indonesia, bahkan Jepang
memberi kebebasan kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadah. Hal ini
berbeda ketika masa Kolonialisme Belanda yang mempersempit ruang gerak umat
Islam.

Dalam usaha menyebarkan ajaran Shinto di Indonesia, Jepang mengambil


simpati para ulama dengan cara membentuk berbagai organisasi yang melibatkan
ulama dan pemimpinnya. Selain itu, Jepang juga menghidupkan kembali
organisasi-organisasi Islam yang sempat dibekukan pada masa Kolonialisme
Belanda. Organisasi-organisasi bentukan Jepang pada akhirnya ternyata tidak
berfungsi sebagaimana cita-cita Jepang. Malahan organisasi tersebut berfungsi
sebagai media bagi tokoh-tokoh Islam untuk mengatur siasat dalam rangkan
menyongsong persiapan kemerdekaan.

Kesempatan yang diberikan Jepang kepada para ulama untuk memimpin


organisasi seperti Masyumi, merupakan kesempatan emas bagi para ulama untuk
memperoleh pengalaman administrasi dan bersatu dalam satu wadah ukhuwah
islamiyah. Dalam hal ini Masyumi adalah media tempat bersatunya ulama
moderen (yang berpikiran maju) dan ulama yang bertahan pada ajaran-ajaran yang
lama.

DAFTAR RUJUKAN
1. Isnaeni, Hendri F & Apid. 2008. Romusa: Sejarah Yang Terlupakan
(1942-1945). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
2. Hadidjah, St. 2007. Kontribusi Pendudukan Jepang Bagi Persatuan Umat
Islam di Indonesia. Jurnal Hunafa Vol.4, No.2, Juni 2007. (online)
garuda.ristekdikti.go.id. Diakses pada 7 Oktober 2019.
3. Hasim. H. 2018. Perkembangan Politik Ketatanegaraan Islam Di
Indonesia. Bilancia Vo. 12 No. 2, Juli-Desember 2018
4. Husni. M. 2015. Kondisi Umat Islam Masa Penjajahan Jepang. Jurnal
Rihlah Vol. III No. 1 Oktober 2015
5. Syafii, Maarif. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
6. Effendi. 2012. Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia
Dalam Prespektif Sejarah (Studi Pemikiran Snouck Hurgronye).
Jurnal TAPIs. Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012. (online)
(http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs
/article/download/1546/1286) . Diakses 3 Oktober 2019.
7. Ahsan Ivan A. 2017. Taktik Belanda Mengendalikan Islam Melalui Gelar
Haji. Tirto.id. (online) (https://tirto.id/taktik-belanda
mengendalikan-islam-melalui-gelar-haji-cvHx). Diakses 3 Oktober
2019.
8. Amin Farih. 2016. Nahdlatul Ulama (NU) Dan Kontribusi Dalam
Memperjuangkan Kemerdekaan Dan Mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Online)
file:///C:/Users/This%20PC/Downloads/969-2759-1-PB.pdf.
Diakses pada 08 Oktober 2019 pukul 17.00 WIB.
9. Dwikurniarini D., dkk. 2012. Peran Organisasi Islam: Dari Perjuangan
Menuju Kemerdekaan Sampai Masa Perang Kemerdekaan (1936
1949). (Online)
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132305856/penelitian/penlt-2012
peran-orgnsasi-islam.pdf. Diakses pada 08 Oktober 2019.

Anda mungkin juga menyukai