Anda di halaman 1dari 7

I.

Perkembangan Politik Islam dan Negara di Indonesia

Islam merupakan agama yang mengatur segala tatanan kehidupan. Bukan hanya kehidupan spiritual,
melainkan berbagai sektor ekonomi, budaya, sosial, politik dan ketatanegaraan. Terkait dengan wacana
politik dan ketatanegaraan, Islam sejatinya merupakan agama yang paling kaya dalam pemikiran politik.
Baik itu yang berkaitan dengan masalah etika politik, filsafat politik, hukum hingga ketatanegaraan.
Keragaman khazanah pemikiran politik Islam bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang
hubungan agama dan negara, dan keduanya memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. 1 Seperti
yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa hingga saat ini Islam telah menyebar ke seluruh antero dunia,
pengaruh tersebut dimulai sejak berdirinya negara Madinah yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW
pada tahun 622M yang menjadi cikal bakal kejayaan pengaruh politik Islam hingga hari ini. Keberhasilan
Nabi Muhammad SAW menyatukan berbagai suku yang berbeda hingga menjadi suatu komunitas yang
kuat, dan mendekonstruksi segala tatanan hingga sedemikian rupa berpengaruh terhadap
perkembangan politik Islam setelahnya.2 Pasalnya, Nabi Muhammad SAW bukan hanya membentuk
suatu komunitas agama saja, melainkan suatu komunitas politik. Inilah yang disebut sebagai negara
ideal dalam khazanah pemikiran politik dalam Islam. Perkembangan pemikiran politik Islam terus
berjalan dan meluas hingga mempengaruhi peta politik Islam di Indonesia.

Sejak masuknya pengaruh Islam ke Nusantara di abad ke-13 M, perkembangan politik Islam dan Negara
di Indonesia tentunya memiliki sejarah yang cukup panjang dan banyak mewarnai wacana politik di
Indonesia.3 Pemikiran Islam mampu mempengaruhi berbagai kerajaan yang ada di Nusantara sejak saat
itu. Para Ulama memiliki peran sentral dalam menyebarkan agama Islam dan menjadi alat justifikasi oleh
para raja hingga Islam dapat berdiri tegak di bumi Nusantara. 4 Wacana dinamika perkembangan politik
Islam dan Negara di Indonesia disini akan dimulai sejak era kependudukan Belanda sampai era
reformasi.

1) Politik Islam pra-kemerdekaan

1
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution. Pemikiran politik Islam dari masa klasik hingga Indonesia kontemporer. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta, 2010.

2
Kasdi, Abdurrahman. Genealogi dan sejarah perkembangan politik Islam. Addin, STAIN Kudus. Kudus, 2015, Vol 9 No.2

3
Azyumardi, Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar akar Pembaruan
Pemikiran Islam di Indonesia. Mizan. Bandung, 1994.

4
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik di Indonesia. Paramadina. Jakarta, 1998.
Kolonialisme di bumi Nusantara diawali seiring jatuhnya berbagai kerajaan di Nusantara. Sejak
awal menapaki bumi Nusantara, para kolonial khususnya bangsa Belanda tidak terlalu
mencampuri urusan adat dan agama--Islam menjadi mayoritas di Nusantara--karena
kekhawatirannya akan pemberontakan terhadap Belanda yang baru seumur jagung menjajah
bumi Nusantara, dan tentunya bangsa Belanda belum mengetahui seluk beluk kehidupan secara
utuh di Nusantara baik dari aspek sosial, budaya dan agama. 5 Dengan masih terbukanya ruang
untuk melaksanakan kegiatan adat dan agama maka para penduduk dapat leluasa untuk
mengembangkan kegiatan dan agamanya masing-masing tanpa adanya campur tangan dari
pihak lain meskipun saat itu kependudukan Belanda mulai meluas di Nusantara. Namun seiring
berjalannya waktu, dengan pengetahuan mengenai karakter masyarakat dan kepentingan yang
hendak dijalankan, Belanda lambat laun mulai membatasi segala kegiatan khususnya unsur
keagamaan islam. Bahkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial saat itu
dianggap merugikan umat islam sehingga banyak menimbulkan perlawanan dari umat Islam
sendiri terhadap pemerintah kolonial Belanda di berbagai daerah. Belanda yang tak ingin ambil
pusing akhirnya menggaet para kaum adat yang notabene beragama islam juga untuk
membantu meredam pemberontakan umat islam yang cukup konservatif. Hal inilah yang
menjadi awal mula adanya pertentangan antara kaum muslim nasionalis dengan umat islam
yang netral agama.6
Di dekade awal abad ke-20an, kebangkitan Nasional melawan penjajahan dan semangat
nasionalisme terus menyeruak di hampir seluruh wilayah Hindia-Belanda. Semangat
nasionalisme yang mulai muncul ini membawa angin segar bagi perjuangan bangsa Indonesia
melawan kolonialisme dan menjadi cikal-bakal perjuangan revolusioner berbagai organisasi
masa di Hindia-Belanda, termasuk gerakan Islam yang memainkan peran penting di awal
periode kebangkitan Nasional ini. Berbagai kelompok masyarakat yang menentang penjajahan
Belanda mulai bermunculan, salah satunya adalah Sarekat Islam (SI) yang menjadi poros utama
terbesar dalam pergerakan melawan kolonialisme Belanda secara organisasi. Organisasi ini
dikembangkan dari Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi dagang bagi umat Islam yang
didirikan oleh H. Samanhoedi di Solo pada tahun 1911. SI merupakan organisasi nasionalis
Indonesia pertama yang berlandaskan politik khususnya politik islam pertama yang berkembang

5
Op.Cit., Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, 2010.

6
Ibid.
pesat.7 Namun, kejayaan dan posisi yang menjulang ini mulai memudar di penghujung tahun
1920an. Para aktivis Sarekat Islam gagal mempertahankan posisi organisasinya sebagai
katalisator pergerakan nasional, ditambah dengan terpecahnya Sarekat Islam kedalam dua kubu
yang berlawanan antara Sarekat Islam Merah dan Sarekat Islam Putih semakin memperparah
keadaan. Perpecahan yang terjadi di dalam SI tidak terlepas dari pertentangan idealisme para
anggotanya. Ide-ide dari luar mulai mempengaruhi para anggota SI dan para petinggi SI tidak
mampu mengatasi perbedaan pandangan ini. Beberapa tahun setelahnya Sarekat Islam cukup
tertinggal jauh dibandingkan dengan kelompok sosial-politik lainnya yang tidak secara formal
menyatakan Islam sebagai dasar ideologisnya. 8 Selain Sarekat Islam (SI) terdapat berbagai
kelompok Islam lain yang lahir dari periode kebangkitan Nasional ini, diantaranya yaitu Sarekat
Islam (1911) yang semula bernama Sarekat Dagang Islam, SDI Muhammadiyah (1912), Persatuan
Islam (1920), Nahdlatul Ulama (1926) Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930), Persatuan Muslimin
Indonesia (1930) dan Partai Islam Indonesia (1938). Namun para ahli berpendapat bahwa
sebagian besar pada dasarnya organisasi organisasi tersebut memiliki watak kultural dan belum
mewakili ideologis politik. Pemikiran ideologis politik baru muncul kemudian setelah berbagai
komponen bangsa ini mendirikan organisasi organisasi politik sekitar tahun 1930.
Di masa kependudukan Jepang, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang salah
satunya terhadap umat Islam yang memiliki pengaruh signifikan. Jepang kemudian menerapkan
kebijakan yang mengakomodir kepentingan umat Islam saat itu, salah satunya adalah
pembentukan Majelis Islam A'la Indonesia MIAI pada 5 September 1942 yang kemudian
berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi pada akhir tahun 1943. Para ulama
dan pemuda umat Islam selanjutnya direkrut ke dalam berbagai organisasi bentukan
pemerintah Jepang. Menjelang kemerdekaan republik Indonesia perdebatan ideologis antara
para pengusung Islam sebagai dasar negara dan nasional sekuler berlangsung, serta kelompok
kebudayaan Jawa yang berasal dari Jawa Tengah. Melalui Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945
ditetapkanlah Piagam Jakarta dengan sila pertamanya berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya." Tak berlangsung lama sila pertama ini
kemudian diubah karena mendapat banyak perdebatan terutama dikalangan non-muslim
karena sila tersebut tidak mewakili kemajemukan, sehingga mau tak mau umat Islam harus

7
George Mc.T Kahin. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Cornell University Press. Itacha, 1952.

8
Op.Cit., Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik di Indonesia. Paramadina. Jakarta,
1998.
menerima pandangan dari pihak lain dan sila pertama diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha
Esa."9
2) Periode Pasca-Revolusi Agustus
Lima tahun setelah diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1950) Belanda
kembali melakukan agresi militer yang bertujuan menguasai kembali wilayah NKRI seiring
dengan kalahnya Jepang oleh sekutu di Pasifik. Dalam periode tersebut hubungan antara poros
kekuatan Nasionalis dengan umat beragama cenderung kondusif dan harmonis. Untuk
sementara waktu mereka rela untuk menghentikan perdebatan yang selama ini terjadi
mengenai hubungan negara dengan Islam, mengingat situasi yang memaksa mereka untuk
berkonsolidasi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diraih
selama ini, sementara kekuasaan tertingi tetap dipegang oleh kelompok nasionalis. Disamping
terdapat gesekan di sana-sini, namun kedu poros ini--Islam dan Nasionalis-- mampu menjaga
keseimbangannya, hubungan politik yang harmonis ini tetap terjaga hingga kedaulatan dapat
diserahkan sepenuhnya oleh pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia, dan dari situ Islam
mulai kembali memperlihatkan kekuatannya dalam diskursus politik yang berlangsung.
Dalam pemilu pertama tahun 1955, ada tiga kelompok besar yang memperoleh suara terbanyak,
yaitu kelompok nasionalis, komunis dan Islam. Dari perolehan hasil kursi maka terdapat
kekuatan partai besar ketika itu yaitu PNI Masyumi NU dan PKI. 10 Tokoh penting dalam
perjuangan menegakkan Islam sebagai dasar negara adalah Mohammad Natsir. Selain Natsir ada
pula tokoh lain seperti Saifuddin Zuhri, Zainal Abidin Ahmad, Osman Raliby, Syukri Ghazali, T. M.
Hasbi Asy Shidiegy, Buya Hamka, K.H. Masykur dan Kasman Singodimedjo. Di pihak lain para
tokoh yang menentang mereka diantaranya Ruslan Abdulgani, Sutan Takdir Alisjahbana, Arnold
Monunutu, Soedjatmoko dan Suwirjo. Mereka beranggapan apa yang dikatakan pihak Natsir
bahwa Pancasila yang dipakai sebagai dasar negara adalah netral dan tidak bermuatan moral
religius adalah keliru. Mereka menolak neniqnat kalangan Islam yang menyatakan bahwa
Pancasila berhaluan sekuler.11Ditengah perdebatan tersebut Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit presiden 5 Juli 1959 dan membubarkan konstituante, dengan begitu Indonesia kembali
kepada UUD 1945. Seiring dikeluarkannya dekrit tersebut kelompok Islam kembali mengalah
dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
9
Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir. UI PRESS . Jakarta, 2011.

10
Triwulan Tutik, Titik. Pokok-pokok Hukum Tata Negara. Prestasi Pustaka. Jakarta, 2006.

11
Op.Cit., Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir. UI PRESS. Jakarta, 2011.
3) Periode Demokrasi Terpimpin
Dengan ditetapkannya dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 maka sejak saat itu tatanan
pemerintahan mulai berubah. Perdebatan dalam konstituante hilang bersamaan dengan
dibubarkannya lembaga tersebut. Maka dimulailah era baru bagi bangsa Indonesia yang
menimbulkan dampak yang begitu besar dalam perpolitikan di Indonesia, dan sebagian
menyebutnya bahwa konfigurasi politik pada era ini bernuansa totalitarisme. 12 Pergerakan
Partai Politik di era ini tidak begitu leluasa seperti era-era sebelumnya. Dominasi hanya
dikendalikan oleh segelintir golongan yang pro terhadap kekuasaan. Sistem yang digunakan
dalam periode demokrasi terpimpin ini bertujuan untuk menghilangkan berbagai perdebatan
yang menimbulkan perpecahan di permukaan di era sebelumnya, maka kendali sepenuhnya
berada di tangan Presiden sebagai pucuk pimpinan kekuasaan tertinggi.
Era ini merupakan masa-masa sulit bagi gerakan Islam yang hendak menjadikan prinsip Islam
menjadi dasar negara. Partai Masyumi berpendapat bahwa demokrasi terpimpin akan
membawa kehancuran bagi bangsa Indonesia. Maka dari itu, sistem yang dijalankan oleh
Soekarno harus dilawan13. Masyumi menyatakan demokrasi terpimpin Soekarno tidak lagi
bersifat universal, alasan lainnya ditulis dalam artikel Natsir, bahwa adanya bahaya dari PKI yang
ia sebut sebagai kuda Troya dalam demokrasi Soekarno ini. Presiden menganggap Masyumi
menjadi biang keladi dari lahirnya gerakan-gerakan separatis Islam di berbagai daerah dan
menentang kekuasaan totaliter Soekarno, oleh karenanya Partai Masyumi dibubarkan. Berbeda
dengan beberapa partai Islam lainnya, seperti NU, PSII dan Perti berusaha untuk menyesuaikan
diri dengan konfigurasi politik ala Soekarno. Ketiganya beranggapan melakukan amar ma’ruf
nahi mungkar tidak bisa dari luar. Posisi Soekarno yang didukung PKI dan militer dirasa terlalu
kuat, untuk itu mengikuti permainan adalah jalan yang paling realistis. 14 Nasib baik kemudian
menghampiri kubu NU. Sikapnya menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar menjadi wakil
Islam dalam gagasan Nasakom milik Soekarno. NU mendudukkan 36 wakilnya dalam kabinet
Gotong Royong bentukan Soekarno. Mereka juga dapat merebut kembali kursi Menteri Agama
yang sudah mereka idam-idamkan.15
12
Fadli, Muhammad Rijal. Pergumulan Partai Politik Islam pada Masa Demokrasi Terpimpin. UINSU PREES. Medan, 2020. Vol 4.,
No.1

13
Ma’arif, S. Islam dan Politik Indonesia: Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). IAIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta, 1996.

14
Amin, M. M. NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya. Al Amin. Jakarta, 1996.

15
Op. Cit., Fadli, Muhammad Rijal. Pergumulan Partai Politik Islam pada Masa Demokrasi Terpimpin. UINSU PREES. Medan,
2020. Vol 4. No.1
Dualisme partai Islam di era Demokrasi Terpimpin membawa dampak yang begitu besar
terhadap dua kubu partai besar. Sikap yang diambil NU membawa partai tersebut ke puncak
politik mereka. Sedangkan di sisi lain, Masyumi harus menelan pil pahit dari sikapnya yang
menentang Soekarno hingga akhirnya terpaksa harus angkat kaki dari kontestasi politik di
Indonesia.
4) Islam Pada Masa Orde Baru
Lahirnya orde baru ditandai dengan peristiwa G30S/PKI dan diterbitkannya Surat Perintah
Sebelas Maret di tahun 1966 yang memberikan mandat kepala negara kepada Soeharto.
Runtuhnya orde lama yang mengkerdilkan peran Masyumi seolah kembali menemukan angin
segar bagi gerakannya dalam panggung politik. Pemerintahan Soeharto memberikan ruang
kembali pada tokoh-tokoh eks Masyumi yang dipenjara dan mengakomodir segala
kepentingannya. Namun hal indah itu tak berlangsung lama. Nampaknya Soeharto sama sekali
tidak memberikan kesempatan bagi Masyumi untuk kembali dalam pentas politik di Indonesia.
Hal itu didasarkan atas keputusannya untuk tetap mempertahankan Pancasila dan UUD 1945
dari berbagai gerakan yang akan menggantikan dasar negara. Bahkan di awal tahun 1967
Soeharto sendiri mengatakan bahwa militer tidak akan menyetujui adanya rehabilitasi bagi
partai Masyumi demi menjaga keutuhan Pancasila dan UUD 1945. 16 Dengan demikian
tertutuplah kembali jalan bagi Masyumi untuk kembali ke panggung politik, dan nampaknya hal
itu dikarenakan masih adanya trauma sejarah bagi orde baru terhadap berbagai pemberontakan
kaum separatis Islam di masa sebelumnya.
Pada tahun 1971 dilaksanakan pemilu pertama di masa oede baru yang diikuti oleh berbagai
partai. Kelompok Islam yang diwakili oleh Parmusi, NU, PSII dan Perti serta Kekuatan Nasionalis
Kristen diwakili oleh PNI, IPKI, dan Parkindo, Partai Murba. Sementara itu petahan diwakili oleh
Partai Golkar yang keluar sebagai pemenang atas perolehan suara terbanyak. Sementara dalam
perkembangannya, pemerintah orde baru melakukan kebijakan penyederhanaan partai dimana
partai-partai Islam tergabung menjadi satu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
kubu nasionalis dan sekuler tergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keharmonisan
hubungan antara poros Islam yang banyak di cap sebagai kaum radikalis dengan pemerintah
baru terjalin di tahun 90an ketika munculnya kelompok Cendekiawan Muslim yang tergabung
dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin oleh B.J. Habibie. Kelompok

16
Op. Cit., Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik di Indonesia. Paramadina. Jakarta,
1998.
tersebut berupaya menghilangkan stigmatisasi buruk terhadap umat Islam, alhasil strategi
itupun berhasil walaupun poros kekuatan Islam masih terbatas dalam kontestasi politiknya.
5) Periode Pasca-Reformasi
Setelah runtuhnya orde baru di akhir tahun 90-an, Indonesia menapaki ke dalam era baru yang
disebut sebagai era reformasi. Era dimana demokratisasi dalam semua lini kehidupan mulai
berkembang, khususnya dalam dunia perpolitikan. Salah satu kebijakan pertama B.J. Habibie
setelah menggantikan Soeharto--dilengserkan oleh kekuatan massa dari seluruh penjuru
negeri--yaitu mempercepat proses pemilu. Dalam pemilu yang dilaksanakan tahun 1999 itu
setidaknya ada seratus lebih partai politik yang dibentuk, kemudin hanya 48 yang terdaftar dan
memenuhi syarat di kementerian kehakiman. Hal ini tentu memberikan kesempatan emas bagi
umat Islam untuk kembali mentas di panggung politik setelah sebelumnya sempat absen di
masa orde baru. Terbukti ada 16 partai yang berlandaskan agama Islam yang mengikuti pemilu,
namun sayang perolehan suara yang diraih oleh semua partai Islam tersebut tidak terlalu
signifikan.17
Konsolidasi politik antara partai-partai Islam di awal-awal era reformasi ini cenderung sulit
terwujud, maka sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan perolehan suara 2.5% sebagai
prasyarat dalam sistem presidential threshold. 18 Ditambah dengan berkurangnya basis masa
pendukung umat Islam yang menghendaki negara Islam dengan menerapkan hukum Islam
secara utuh menambah kesulitan dalam konsolidasi politik umat Islam. Era globalisasi dan
demokratisasi memungkinkan timbulnya konflik dan perdebatan mengenai orthodoksi dan
sinkretik, modern dan tradisional, liberal dan konservatif, dan radikal yang berujung pada
stigmatisasi dan mempengaruhi perolehan suara partai dalam kontestasi politik. 19

17
Op. Cit., Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution. Pemikiran politik Islam dari masa klasik hingga Indonesia kontemporer.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta, 2010.

18
Syarifuddin Jurdi. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta, 2008.

19
Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad. Wajah Baru Islam di Indonesia. UII Press. Yogyakarta, 2004.

Anda mungkin juga menyukai