Anda di halaman 1dari 8

Menurut buku "Sejarah Indonesia Periode Islam" oleh Ricu Sidiq dan kawan-kawan, sejarah

mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan China sudah memiliki
hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Meski terdapat beberapa teori mengenai
kedatangan agama Islam di Indonesia, banyak ahli percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia
pada abad ke-7 berdasarkan Berita China zaman Dinasti Tang.

Berita tersebut mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat permukiman pedagang muslim dari
Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara. Sementara sejarah masuknya Islam pada
abad ke-13 Masehi, lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.

Pendapat ini berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia pernah
singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut
agama Islam. Bukti yang turut memperkuat pendapat ini adalah ditemukannya nisan makam Raja
Samudra Pasai, Sultan Malik al Saleh yang berangka tahun 1297.

Islam di Jawa masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam
Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di
Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik.

Kemudian di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab
bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu Sungai Pawan, di Ketapang,
Kalimantan Barat, ditemukan pemakaman Islam kuno. Angka tahun yang tertua pada makam-
makam tersebut adalah tahun 1340 Saka (1418 M).

Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar
agama dari Minangkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggang Parangan.

Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan oleh Dayyan,
seorang khatib (ahli khotbah) dari Demak.

Di Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di Kotawaringin
yang bertuliskan angka tahun 1434 M.

Di Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo. Hal masuknya Islam ke
Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang. Menurut catatan tersebut, raja pertama yang memeluk
Islam ialah Kanjeng Matoaya, raja keempat dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603.
Diperkirakan Islam di daerah ini disiarkan oleh keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh Amin,
Syekh Mansyur, Syekh Umar, dan Syekh Yakub pada abad ke-8.

Islam di era sebelum 1900-an terutama di masa awal-awal masuknya Islam, hanya membahas
tentang cara masukunya Islam. Islam di masa ini juga terlihat dari banyaknya kerajaan yang
mulai bercorak Islam. Islam di masa ini juga melihat bagaimana masyarakat Nusantara terutama
yang Islam melawan penjajah. Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas,
mencintai tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan
semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk
yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam.

Di abad 20 perkembangan Islam sudah mulai berubah, memang tujuannya untuk melawan
penjajah asing, tetapi bentuk pergerakannya sudah dalam bentuk organisasi seperti Sarekat
Islam. Sarekat Islam merupakan salah satu organisasi Islam yang bangkit pada periode
kebangkitan kesadaran nasional Indonesia, namanya bermula dari Sarekat Dagang Islam. Sarekat
Islam sendiri mempunyai tujuan tunggal yaitu, untuk mencapai kemerdekaan nasional atas dasar
agama Islam.

H.O.S Cokroaminoto merupakan pimpinan dari pada Sarekat Islam, kepandaiannya dalam
berbicara dan berpidato memberikan pengaruh yang besar terhadap kelanjutan Sarekat Islam
Sosoknya akan dikenal panjang sebagai seorang guru politik bagi tokoh-tokoh politik yang
bermunculan setelahnya.

Paradigma Lima-K merupakan merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh Oemar Said
Tjokroaminoto untuk membangkitkan kesadaran umat Islam yang sedang terlena dan lupa akan
martabat dirinya agar bangkit dan menjadi bangsa yang merdeka. Ke lima paradigm tersebut
diantaranya adalah Kemauan, kekuatan, kemenangan, kekuasaan, kemerdekaan.

Strategi yang dilakukan oleh Sarekat Islam diantaranya adalah merumuskan AD ART, dan
memperjelas maksud dan tujuannya didirikan Sarekat Islam, selain itu Sarekat Islam juga
mengadakan berbagai kongres dan dalam kongres itu menekankan bahwa Sarekat Islam menuju
ke arah persatuan yang teguh dari semua golongan bangsa Indonesia, dalam kongres ini
dimulailah penyusunan konsep mengenai parlemen baik ditingkat pusat maupun ditingkat
daerah. Dan dampak dari adanya Sarekat Islam ini masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya
melalui organisasi ini, karena Sarekat Islam merupakan organisasi elit.

Untuk kasus Indonesia di awal masa kemerdekaan, para tokoh-tokoh Islam rela menghapus tujuh
kata dalam Piagam Jakarta. Para tokoh Islam memahami betul sehingga Proklamasi 17 Agustus
1945 perlu dijaga ujar Hidayat Nur Wahid selaku wakil ketua MPR. Ia menambahkan juga jika
tokoh Islam menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta agar Indonesia tetap
bersatu

Belajar dari sejarah tersebut bila bangsa ini membaca sejarah maka tak akan menjadikan umat
Islam sebagai pelengkap penderita. Tanpa peran umat Islam tak akan ada Pancasila dan NKRI.

Sebagai mayoritas penduduk Indonesia, menurut Hidayat Nur Wahid, Soekarno paham betul
kondisi ini sehingga dalam pidato pada 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan di dadanya ada Islam.
Tak heran bila Soekarno tak mempermasalahkan Piagam Jakarta namun karena ada lobby
Mohammad Hatta kepada tokoh-tokoh Islam maka tujuh kata tersebut dihapus.

Peran tokoh Islam dalam kebangsaan tak hanya itu. Ketika bangsa ini berbentuk Republik
Indonesia Serikat, bentuk yang tak sesuai dengan cita-cita proklamasi itu ditolak oleh tokoh dari
partai Islam Masyumi, Mohammad Natsir. "Dengan mosi integral Mohammad Natsir, Indonesia
berbentuk kembali menjadi NKRI," paparnya.

Di era demokrasi parlementer muncul partai dan organisasi berhaluan Islam seperti Masyumi dan
Nadhatul Ulama. Di tahun ini juga masih hangat isu penggantian Pancasila dengan ideologi lain,
seperti pada Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Pendirian Masyumi
merupakan penganti Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang sudah dibentuk pada 1937 untuk
menaungi berbagai organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan
Islam (Persis), dan lainnya. Perkembangan anggota Masyumi semakin pesat sejak berkat
bergabungnya organisasi-organisasi Islam dari berbagai daerah. Tersebutlah Persatuan Umat
Islam dan Perikatan Umat Islam, Persatuan Islam di Bandung, serta Jami’ah Al-Wasliyah dan
Al-Ittihdiyah di Sumatera Utara. Tahun 1952, NU memutuskan keluar dari Masyumi. NU sudah
merasa tidak nyaman sejak pelaksanaan Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta pada 15-18
Desember 1949. Salah satu alasan NU hengkang adalah adanya perubahan Majelis Syuro
menjadi badan penasehat, serta kedudukan wakil NU di jajaran pimpinan partai tidak seimbang
dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya.

Sedangkan DI/TII adalah Pemberontakan dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.


Pemberontakan DI/TII ini ditandai dengan didirikannya Negara Islam Indonesia (NII) oleh
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949. Tujuan utama didirikannya NII adalah untuk
mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan syari'at Islam. Di sisi lain, gerakan DI/TII
bertentangan dengan ajaran Islam. Pengikutnya melakukan perusakan dan pembakaran rumah-
rumah penduduk, pembongkaran jalan-jalan kereta api, perampasan harta benda milik penduduk,
dan penganiayaan terhadap penduduk. Gerakan ini adalah salah satu tindakan keras dari
kalangan muslim yang ingin menegakkan negara Islam di Indonesia.

Pada masa Demokrasi Terpimpin ini, politik memainkan peran yang sangat penting sehingga
perkembangan ekonomi negara menjadi terabaikan. Ideologi negara memiliki peranan penting
dalam mengatur semua sendi kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, Presiden Soekarno memiliki
hak penuh dalam menentukan ideologi negara. Pada masa ini, Presiden Soekarno
mengemukakan satu istilah untuk menyatukan semua ideologi yang dianggapnya sesuai dengan
bangsa Indonesia, yaitu istilah NASAKOM (Nasionalisme, Agama (Islam), Komunisme).

Partai yang berhaluan Islam tidak banyak bergerak di masa ini. Setelah ada kecurigaan Masyumi
ikut andil dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Dengan bubarnya Masjumi, NU menjadi parpol Islam terbesar. Akan tetapi, sebenarnya,
pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijaksanaan nasional sangat kecil, kalau tidak dapat
dikatakan tidak ada sama sekali. Selain NU, terdapat partai Islam lain, yaitu PSII (Partai Sarekat
Islam Indonesia) dan Perti. Ketiga partai ini berhasil bertahan selama periode Demokrasi
Terpimpin karena mereka mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan Demokrasi Terpimpin
seperti yang dikehendaki Presiden Soekarno. Yang terpenting bagi ketiga partai politik ini adalah
bagaimana caranya menyenangkan Soekarno dan menjaga agar Soekarno tidak menjadi marah
sehingga bersedia melindungi kepentingan mereka.

Kelihatannya ketiga partai Islam tadi tidak lagi memperlihatkan identitasnya. Mereka sekedar
mengikuti kehendak Soekarno. Misalnya sikap NU mengenai kemerosotan ekonomi selama
periode Demokrasi Terpimpin. Para pemimpin NU meminta rakyat untuk tabah dan melarang
rakyat menyalahkan pemerintah. Mengenai “ganyang Malaysia” NU juga menunjukkan sikap
yang taat kepada Soekarno. Padahal, dalam hal pemikiran agama, NU lebih dekat kepada
Muslim Malaysia daripada kalangan modernis Islam Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan dengan
seringnya orang-orang Islam Malaysia menghadiri kongres NU. Seharusnya mereka tidak
mendukung “ganyang Malaysia”. Tapi nampaknya, politik dalam pandangan NU berbeda dengan
ideologi sehingga dalam pelaksanaannya juga berbeda.

Adapun PSII menunjukkan sikap yang tidak jauh berbeda dengan NU. Sebagai partai yang
pengikutnya lebih kecil dari NU maka tidak dapat diharapkan banyak terobosan dalam partai ini.
Mengenai Manipol (GBHN) misalnya, PSII melihatnya “sesuai” dengan tujuan PSII dan
bersamaan dengan itu sesuai dengan ajaran Islam. Partai ini memutuskan dalam kongresnya di
Bandung pada tahun 1962 untuk mendesak Menteri Penghubung Alim Ulama agar
menyelenggarakan kursus-kursus tentang Manipol untuk segenap ulama di Indonesia.

Perti mengambil sikap yang sama dengan kedua partai Islam di atas. Partai ini turut duduk dalam
parlemen yang diangkat oleh Presiden dan dalam Front Nasional. Mengenai “ganyang Malaysia”
Perti justru mengambil sikap yang lebih mendukung gerakan itu, yaitu dengan menolak
undangan Tengku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia, untuk menghadiri suatu konferensi
Islam Asia Tenggara dan Timur Jauh yang didukung oleh Muktamar Alam Islam dari Pakistan.

Pada masa Orde Baru, terjalin hubungan antara Islam politik, terutama kalangan Islam modernis
dengan pemerintah yang mendapatkan dukungan dari kalangan militer (ABRI). Terbagi beberapa
kelompok perilaku politik umat Islam dan elitenya, yakni kelompok akomodasionis, reformis
dan fundamentalis. Walau hubungan antara Islam dan pemerintahan mengalami pasang surut
karena berbagai dinamika dan konflik yang ada, tetapi Islam dan pemerintah pada masa Orde
Baru saling membutuhkan dan berpengaruh pada masa depan politik bangsa.
Dalam fase orde baru ada beberapa tahapan, yaitu terjadinya konsolidasi antara pemerintah dan
pihak Islam, formulasi ulang tentang Islam dan pengaruhnya, serta terakhir hubungan Islam dan
negara yang ternyata saling membutuhkan.

Pada awal era orde baru keadaan ekonomi umat Muslim semakin memburuk lantaran pemerintah
memberi peluang dalam bidang ekonomi lebih banyak kepada para pengusaha ketimbang kelas
menengah santri. Akibatnya, terjadi penurunan ekonomi pada pedagang-pedagang Muslim,
mulai dari Majalaya, Solo, Pekalongan, Majalengka bahkan hingga Kudus.

Di sisi lain, pemerintah mensyiarkan Islam dengan cara mengembangkannya melalui berbagai
pembangunan fisik dan aktivitas-aktivitas yang bersifat penampilan. Pembangunan fisik
misalnya adalah pemerintah mendirikan kantor agama. Adapun aktivitas bersifat penampilan
misalnya adalah dengan diselenggarakannya Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), tarian dan
nyanyian Islam hingga ritual keagamaan

Pada tahap kedua kaum politik Islam kemudian mereformulasi strategi perjuangan dengan
menyebarkan isu "sekularisasi Islam" dan "masyarakat muslim". Pada 1977 Indonesia
melakukan pemilihan umum atau pemilu. Partai-partai Islam berpartisipasi namun dukungan
yang mereka dapatkan sangat minim. Begitu pun yang terjadi pula pada pemilu 1982. Akan
tetapi pemilu pada era itu dianggap sebagai pemilu yang tidak jujur dan tidak adil karena
realisasi dari pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia sulit diaplikasikan.

Pada 1980-an, terjadi penurunan pengaruh dalam kalangan kelompok Islam garis keras. Mereka
gagal menyerukan penolakan dalam penerapan pancasila di Indonesia. Pada dekade yang sama,
NU (Nahdlatul Ulama) keluar dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan memutuskan untuk
tidak lagi bergabung dengan partai politik. Penyebabnya adalah karena NU menganggap PPP
memperlakukannya secara tidak adil. Salah satunya terkait dengan jumlah daftar calon legislatif
yang disusun oleh pimpinan pusat partai.[

Pada periode ini hubungan antara Islam dan pemeritah membaik karena mereka merasa saling
membutuhkan. Salah satu buktinya adalah pemerintah mengeluarkan SKB (Surat Keputusan
Bersama) dari tiga menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri. Selain itu juga lahir pula berbagai kebijakan seperti Undang-Undang
Pendidikan Nasional (1988), Undang-undang Peradilan Agama (1989), berdirinya Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berkat dukungan pemerintah pada 1990, SKB Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang efektivitas zakat (1991) bahkan hingga Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
tentang perizinan pemakaian busana muslimah (jilbab) kepada para siswi. Hasil ini didapatkan
tak terlepas dari upaya perjuangan intelektual muda Islam kala itu.

Menjelang tahun 1990-an, Soeharto mulai menunjukkan simpati politiknya kepada kelompok
politik Islam. Di samping hal-hal yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, Soeharto juga
mengizinkan sistim perbankan Islam yang dikenal dengan Bank Muamalat dan terjadinya
perubahan penampilan ABRI yang sebelumnya antiIslam menjadi tidak antiIslam. Hal itu
terbukti dengan dilibatkannya perwira santri atau simpasitan Islam ke dalam kepemimpinan
militer.[

Kemudian memasuki era reformasi yang bermula pada 21 Mei 1997, agama Islam di negara ini
semakin mengalami perkembangan yang signifikan. Pada era ini, bukan saja partai Islam
semakin banyak, tetapi organisasi Islam semakin banyak pula, seperti Forum Pembela Islam
(FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Forum Komunikasi Ahli Sunnah
Waljamaah (FKSW), Hizbut Tahrir. Partai Islam di masa ini tidak dibatasi seperti era demokrasi
parlementer. Partai Islam tidak juga ingin menggantikan Pancasila. Para pemikir Islam tetap
berpegang pada nilai-nilai Islam, tetapi tidak ingin menjatuhkan Pancasila. Para kalangan ini
menganggap Pancasila masih memuat nilai-nilai Islam, walaupun begitu, segelintir oknum tetap
ada yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam atau Khilafah. Ciri khas lain
perkembangan Islam di Indonesia di era reformasi, juga dibuktikan dengan jumlah penduduk
Muslim yang semakin meningkat mencapai +88%. Hal ini karena kegiatan dakwah di era
reformasi juga semakin meningkat dan mengalami perkembangan. Sesuai dengan kesimpulan di
atas, maka implikasinya dan tak terelakkan menuntut pada setiap Muslim agar senantiasa terlibat
dalam upaya pengembangan agama (Islam), baik dari segi perkembangan kuantitasnya dan
kualitasnya.
Daftar Pustaka
Noor, Firman. Islam and Politics in Indonesia: Thoughts and Movements. File PPT.
Maarif, Dwi Syamsul. (2021). Sejarah Partai Masyumi, Daftar Tokoh, & Kenapa Dibubarkan
Sukarno?. Diakses pada 21 Oktober 2021 dari https://tirto.id/sejarah-partai-masyumi-
daftar-tokoh-kenapa-dibubarkan-sukarno-gbL9.

Sauki, M.. (2018). Perkembangan Islam di Indonesia Era Reformasi. Papua: STAIN Sorong
Papua Barat.

Sejarah Peradaban Islam. (2015). Islam Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-
1966). Diakses pada 21 Oktober 2021 dari
https://peradabandansejarah.blogspot.com/2015/12/islam-demokrasi-terpimpin.html.

Tempo.co. (2017). Awal Kemerdekaan, Tokoh Islam Jaga Agar Indonesia Tak Pecah. Diakses
pada 21 Oktober 2021 dari https://bisnis.tempo.co/read/1021009/di-awal-kemerdekaan-
tokoh-islam-jaga-agar-indonesia-tak-pecah.

Wahyudi, Muhammad. (2020). Gerakan Sarekat Islam di Indonesia. Diakses pada 21 Oktober
2021 dari http://afi.unida.gontor.ac.id/2020/08/07/gerakan-sarekat-islam-di-indonesia/.

Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. (2021). Islam pada masa Orde Baru. Diakses pada 21 Oktober
2021 dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Islam_pada_masa_Orde_Baru&oldid=18722692

Wulandari, Trisna. (2021). Penerapan Pancasila sebagai Dasar Negara pada Masa Awal
Kemerdekaan. Diakses pada 21 Oktober 2021 dari
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5721317/penerapan-pancasila-sebagai-dasar-
negara-pada-masa-awal-kemerdekaan.

Zulfikar, Fahri. (2021). Perkembangan Islam di Indonesia, Sejarah Awal hingga Masa Wali
Songo. Diakses pada 21 Oktober 2021 dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-
5712586/perkembangan-islam-di-indonesia-sejarah-awal-hingga-masa-wali-songo.

Anda mungkin juga menyukai