Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar ummat Muslim di

dunia. Ada sekitar 85,2% atau 199.959.285 jiwa dari total 234.693.997 jiwa

penduduk Indonesia yang menganut agama Islam.1 Dari data tersebut, logis

jika konstitusi Indonesia dari tahun 1945 sampai sekarang selalu

memperhatikan nilai-nilai ke-Islaman.

Masuknya Islam ke Indonesia belum dapat diketahui dengan pasti

waktu dan siapa pembawanya. Dalam bukunya L’Arabie et les Indes

Neerlandaises, atau Revue de I’Histoire des Religious, jilid I, Snouck

Hurgronje, seorang ahli agama Islam kebangsaan Belanda, mengatakan bahwa

agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan dibawa oleh pedagang

dari Gujarat, India. Hal ini berdasarkan bukti-bukti yang ada, yaitu Pertama,

kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran

agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah

1
Wikipedia, Islam di Indonesia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia diunduh
Rabu, 1 Februari 2012 pukul 08.42 WIB.
1
2

lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam terdapat di Sumatra

memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.2

Islam di Indonesia tersebar melalui peranan para ulama, yang disebut

dengan walisongo. Kesembilan wali ini menyebarkan agama Islam dengan

menggunakan caranya masing-masing. Jawa Timur mendapat perhatian besar

dari para wali dengan ditempatkannya 5 wali. Maulana Malik Ibrahim, sebagai

wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah Malik

Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil

posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban.

Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Jawa Tengah kebagian 3 wali dalam

penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Kudus di Kudus,

dan Sunan Muria di daerah pegunungan Muria. Sedangkan Jawa Barat hanya

didatangi oleh 1 wali, yaitu Sunan Gunung Jati yang memilih tempat

dakwahnya di Cirebon.3

Pemberontakan umat Islam terhadap kolonialisme selalu

menghadirkan seorang pemimpin yang gagah berani, meskipun mereka tidak

berlatar belakang sebagai seorang ahli perang. Pemberontakan ini diawali di

Sumatera Barat pada tahun 1821-1828, yang kita kenal dengan Perang Padri.

Jawa Tengah mengikuti pada tahun 1825-1830, perang ini disebut Perang

Sabil yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Di daerah Barat Laut Jawa

juga terjadi pemberontakan pada tahun 1840-1880 yang dilatar belakangi dari

2
Snouck Hurgronje dalam Ahmad Mansur Suryanegara, 1995, Menemukan Sejarah: Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, hal. 75.
3
Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit., hal. 104-106.
3

penindasan Tanam Paksa di Banten. Selanjutnya, di Aceh pada tahun 1873-

1903 yang berhasil mengacaukan imperialisme Belanda selama 30 tahun. Ada

juga perlawanan dari Si Singamangaraja XII, yang juga gugur sebagai seorang

muslim, yang berakhir dengan tewasnya beliau pada 17 Juni 1907. Kartini

juga ikut meramaikan pemberontakan dengan pimikirannya sebagai

perempuan yang melawan adat dan penjajah.4

Dalam sejarah Indonesia, tokoh Islam mempunyai peran yang sangat

besar dalam pencetusan proklamasi sebagai awal lahirnya sebuah negara baru

yang merdeka dan berdaulat. Hal ini tidak luput dari peran Sarekat Islam (SI)

sebagai satu diantara organisasi politik di Indonesia abad ke-20 yang paling

menonjol.5 SI adalah transformasi dari Sarekat Dagang Islam (SDI), didirikan

pada 11 November 1911, oleh H. Samanhudi, seorang pedagang muslim kaya

di Surakrta, Jawa Tengah. Pada 1912 SDI menjadi SI dan mendapatkan

pemimpin organisator baru yang kompeten, H.O.S. Tjokroaminoto (1883-

1934).6 A.W.F. Idenburg, Gubernur Jenderal pada tahun 1911-an, menyadari

ancaman yang dibawa SI terhadap kekuasaan kolonial dan pada bulan Maret

1914, ia hanya memberikan pengakuan kepada berbagai cabang SI, tidak

kepada SI sebagai satu kesatuan organisasi.7 Pada bulan Februari 1915 di

Yogyakarta, Tjokroaminoto mencari jalan keluar sebagai solusi keputusan

pemerintah tersebut dengan membentuk Centraal Sarekat Islam (CSI) dan

4
Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit., hal. 131-183.
5
Robert Van Niel, 1970, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, The Hague: W. Van
Hoeve, hal. 2 dalam Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1996, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi
tentang percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, hal. 79.
6
Ibid.
7
Ibid., hal. 82.
4

cabang-cabang yang ada dijadikan sebagai anggota.8 Adanya perlawanan-

perlawanan seperti tersebut di atas, dan masih banyak lagi yang lain,

menandakan bahwa SI adalah organisasi yang radikal dan keras terhadap

pemerintah kolonial.

Sarekat Islam (SI) adalah sebuah penegasan dimana umat Islam itu

harus menjadi suatu contoh bagi umat yang lain karena memang dalam Al-

Qur’an dijelaskan bahwa manusia diturunkan di bumi ini adalah sebagai

rahmat seluruh alam, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT Q.S. Al-

Anbiyaa’ ayat 107 yang bunyinya

∩⊇⊃∠∪ š⎥⎫Ïϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ ωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ

Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)


rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa’: 107)

Bulan Maret 1942, kekuasaan kolonial Belanda diusir dari Indonesia

oleh pasukan Jepang tanpa perlawanan yang berarti dari pihak penjajah

Belanda. Kedatangan Jepang mula-mula disambut dengan antusias, bukan saja

oleh umat Islam tapi juga oleh seluruh bangsa Indonesia.9 Pada bulan

mendaratnya, Jepang segera menciptakan Shumubu (Kantor Departemen

Agama) di Ibukota. Pada bulan Agustus 1944, dibuka pula cabang-cabangnya

yang dinamakan Shumuka di seluruh kepulauan Indonesia.10 Keuntungan lain

yang diperoleh umat Islam pada masa pendudukan Jepang ialah dibentuknya

pasukan Hizbullah, semacam unit militer bagi pemuda Islam di akhir tahun

8
Ibid., hal. 83.
9
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Op. Cit., hal. 95.
10
Singodimedjo, Serial, hal. 7 dalam Ibid., hal. 98.
5

1944.11 Terciptanya semacam kerja sama antara pemimpin-pemimpin umat

Islam dengan pihak Jepang adalah dalam usaha umat Islam mempercepat

tercapainya kemerdekaan.12

Tanggal 14 Agustus 1945 bom atom jatuh di Nagasaki dan Hiroshima.

Tanggal 17 Agustus 1945, jam 04.00 (pagi), yakni sehari setelah Jepang

menyerah kepada Kekuatan Sekutu, naskah baru Pernyataan Kemerdekaan

dirumuskan dalam suatu pertemuan yang berlangsung di rumah Kolonel

Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta.13

Kemudian pada pukul 10.00 pagi tercetuslah proklamasi bangsa Indonesia

yang ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, yang kemudian

diangkat menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, yang

secara resmi diproklamirkan oleh Soekarno. Merdeka berarti bahwa mulai

pada saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan

sendiri nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang.14 Selang satu

hari, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, disahkanlah Undang-Undang

Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi awal Negara Republik Indonesia

setelah merdeka. Dalam UUD 1945 ini tercantum pembukaan yang diambil

dari Piagam Jakarta yang berbunyi:15

“Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh

11
Ibid.
12
Ibid., hal. 100.
13
Prawoto Mangkusasmito, 1970, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah
Proyeksi, Jakarta: Hudaya, hal. 24.
14
Joeniarto, 1990, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 4.
15
Piagam Jakarta dalam Adnan Buyung Nasution, 2001, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
hal. 460.
6

tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan


umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan Rakjat
dengan berdasar kepada Ke-Tuhanan, dengan kewadjiban
mendjalankan sjariat Islam bagi pemeluk-pemeluk, menurut dasar
kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan
kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam
permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia.”

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini ada perubahan yang sangat

berpengaruh dari apa yang sudah disetujui oleh para pendiri bangsa dalam

sidang BPUPKI, pada konstitusi yang dipakai bangsa Indonesia, yaitu sebagai

berikut.16

1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.

2. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat “Berdasarkan kepada

Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya” diubah menjadi “berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha

Esa”.

3. Pasa 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”

kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.

4. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1

menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai

pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

16
Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Jajasan
Pranpanca, hal. 400 – 410.
7

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, pihak Belanda

yang sebelumnya menyerah kepada Jepang dalam hal penyerahan negara

jajahannya, Belanda sekali lagi tidak rela untuk melepaskan bekas negara

jajahannya ini. Belanda akhirnya melancarkan serangan, yang kita kenal

dengan istilah agresi militer Belanda, sebanyak 2 kali untuk merebut kembali

Hindia Belanda yang sebelumnya telah merdeka dengan nama Indonesia.

Serangan tersebut pun berlangsung cukup lama, sehingga PBB (Perserikatan

Bangsa-Bangsa) merasa perlu untuk campur tangan dalam hal mendamaikan

kedua negara dengan membentuk suatu konferensi yang disebut dengan

Konferensi Meja Bundar (KMB). Buntut dari KMB ini adalah Negara

Kesatuan Republik Indonesia berubah wajah menjadi Republik Indonesia

Serikat dengan beberapa negara bagian di dalamnya, termasuk Republik

Indonesia. Bersamaan dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat, lahir

pula konstitusi yang mendampingi berdirinya negara federal tersebut, yaitu

Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang belaku mulai tanggal 27

Desember 1949.17

Ternyata usia Republik Indonesia Serikat sendiri tidaklah lama karena

kehendak rakyat menginginkan kembali bentuk negara kesatuan seperti awal

berdirinya negara Indonesia. Dari keinginan tersebut, maka para pemimpin

bangsa ini sepakat kembali kepada bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Kesepakatan ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang

Federal No. 7 tahun 1950 pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku

17
Joeniarto, Op. Cit., hal. 62-63.
8

pada tanggal 17 Agustus 1950.18 Undang-undang ini dikenal dengan sebutan

Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).

Untuk menindaklanjuti UUDS, maka dibentuklah Badan Konstituante

yang dilantik pada tanggal 10 November 1956 yang bertugas membuat sebuah

undang-undang dasar baru menggantikan UUDS.19 Setelah 2,5 tahun bekerja,

tidak ada hasil yang diberikan oleh Badan Konstituante untuk pembuatan

Undang-Undang Dasar yang baru bagi Republik Indonesia. Untuk mengatasi

keadaan tersebut Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik

Indonesia, Presiden Soekarno, pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan sebuah

dekrit yang kita kenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang

menyatakan bahwa pada intinya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

berlaku lagi sebagai konstitusi Republik Indonesia.20

Setelah sekian lama UUD 1945 menjadi konstitusi Indonesia sampai

pada masa Orde Baru, pada tanggal 19 Oktober 1999 perubahan pertama pada

UUD 1945 dilakukan.21 Hal ini sebagai langkah awal yang sangat bersejarah

bagi bangsa Indonesia karena sebelumnya UUD 1945 dianggap sebagai

sesuatu yang sakral dan tidak dapat dirubah. Setelah sakralisme berhasil

dirobohkan, MPR-RI kembali melakukan perubahan yang kedua pada UUD

1945, yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000.22 Agenda perubahan dilanjutkan

lagi, MPR-RI berhasil menetapkan naskah perubahan ketiga UUD 1945 pada

18
Ibid., hal. 72-73.
19
Ibid., hal. 88.
20
Ibid., hal. 99-100.
21
Jimly Asshiiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi
Press, hal. 58.
22
Ibid., hal. 59.
9

tanggal 9 November 2001.23 Perubahan yang terakhir dalam rangkaian

gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah

perubahan yang ditetapkan dalam sidang tahunan MPR-RI tahun 2002.

Pengesahan naskah perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus

2002.24

Secara historis kesepakatan MPR pernah dilakukan oleh para

pemimpin nasional pada saat menyusun Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Pada

saat itu terdapat kesepakatan mengenai essentialia UUD 1945 yang meliputi 3

(tiga) pasal yang tidak boleh berubah, yakni Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 33

UUD 1945. Atas dasar kesepakatan tentang essentialia itu ketiga pasal tersebut

tidak mengalami perubahan sama sekali, sekalipun terjadi pergantian UUD

1945 oleh Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sampai pada amandemen yang

terakhir pada tahun 2002. Pada amandemen yang terakhir Pasal 33 tidak

mengalami “perubahan”, tetapi hanya mengalami penambahan ayat.25

Akan tetapi berkaitan dengan orisinalitasnya, ada banyak nuansa Islam

yang menjiwai pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pasca amandemen.

Di pembukaan misalnya, kandungan yang termuat dalam pembukaan UUD itu

akan terasa bahwa gaya bahasanya bernuansa keislaman. Hal ini tidak

mengherankan karena yang mengusulkannya adalah para tokoh kalangan

23
Ibid.
24
Ibid., hal. 60.
25
Aidul Fitriciada Azhari, 2011, UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet: Tafsir Postkolonial atas
gagasan-Gagasan Revolusioner dalam wacana Konstitusi Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra, hal.
157.
10

Islam.26 Yang menarik adalah pernyataan Soekarno dalam paragraf lima dari

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menginstruksikan untuk kembali

pada UUD 1945. Soekarno menyatakan, “... kami berkeyakinan bahwa

Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945

dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”27

Hal tersebut menandaskan bahwa Islam “menjiwai” terbentuknya konstitusi

Indonesia karena kata “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 dapat

diterjemahkan sebagai “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Di batang tubuh UUD 1945 juga tidak luput dari adanya nuansa ke-

Islam-an, misalnya hal yang menyangkut tentang kebebasan beragama. Dalam

UUD 1945, kebebasan beragama diatur dalam Pasal 29 ayat (2) yang

berbunyi:

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”

Bunyi Pasal 29 ayat (2) dapat dipahami sebagai manifestasi firman Allah SWT

dalam Q.S. Al-Baqarah: 256 yang berbunyi

26
Salahuddin Wahid, Negara Sekular No! Negara Islam No!, dalam Kurniawan Zein dan
Sarifuddin HA, Ed., 2001, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, hal. 27.
27
Idris Thaha, Syariat Islam Jiwai UUD 1945, dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA, Ed.,
Ibid., hal. 133.
11

-∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ ⎯yϑsù 4 Äc©xöø9$# z⎯ÏΒ ß‰ô©”9$# t⎦¨⎫t6¨? ‰s% ( È⎦⎪Ïe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω

∩⊄∈∉∪ îΛ⎧Î=tæ ìì‹Ïÿxœ ª!$#uρ 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρóãèø9$$Î/ y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù «!$$Î/

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya


telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 256)

Islam mengakui kebebasan ini dan melarang keras setiap orang merusak

akidahnya secara bebas, meskipun berlandaskan akalogik dan teori yang

benar. Hal itu karena Islam menjadikan dasar teologi dan keimanan untuk

dibahas dan dikaji, tidak ada unsur paksaan.28

Atas dasar itu, keperluan akan adanya peninjauan lebih jauh tentang

kandungan Al-Qur’an yang ada dalam konstitusi Indonesia menjadi sangat

penting mengingat ada banyak sekali sumbangsih para tokoh umat Islam

dalam perjuangan bangsa Indonesia yang bisa menimbulkan pemikiran dari

umat Islam bahwa perlu adanya ketentuan-ketentuan Islam yang tercantum

dalam konstitusi Indonesia.

Berdasarkan apa yang tersebut di atas, maka penulis mencoba untuk

meninjau lebih jauh tentang perwujudan nilai-nilai Islam dalam UUD 1945

28
Arti ini perlu penjelasan dan batasan bahwa maksud penulis adalah tidak boleh memaksa
seseorang masuk Islam. Tetapi itu dinisbatkan kepada mereka yang beragama Islam. Hukum
Islam (syara’) mengatakan bahwa hukuman orang murtad adalah dibunuh, bila dia masih terus
melakukan setelah disuruh bertaubat karena murtad dianggap mengkhianati agama dan
menghina masyarakat Islam, dalam Abdul Wahhab Khallaf, 2005, Politik Hukum Islam,
Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 38.
12

hasil amandemen melalui penulisan skripsi dengan judul: ”Perwujudan Nilai-

Nilai Islam dalam Konstitusi Indonesia Pasca Amandemen”

B. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini tetap mengarah kepada permasalahan dan tidak

menyimpang dari pokok pembahasan hingga menimbulkan kerancuan, maka

diperlukan suatu perumusan permasalahan. Berdasarkan hal tersebut di atas,

maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dikemukakan. Adapun

perumusan masalah yang hendak dikemukakan penulis adalah sebagai berikut:

“Nilai-nilai Islam apa yang terkandung dalam konstitusi Indonesia

pasca amandemen?”

C. Pembatasan Masalah

Skripsi ini mempunyai parameter sendiri untuk menentukan

perwujudan nilai-nilai Islam dalam konstitusi Indonesia pasca amandemen.

Parameter tersebut bertujuan untuk membatasi skripsi ini agar tidak terlalu

luas dalam hal pembahasannya. Parameter dari skripsi ini berdasarkan hanya

kepada Al-Qur’an Al Karim sebagai landasan dan pedoman hidup manusia.

Tafsir yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah Tafsir Ibnu Katsir

karena Tafsir Ibnu Katsir mempunyai banyak keunggulan dibanding tafsir-

tafsir yang lain, diantaranya pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya

tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi

beliau juga menghimpun referensi yang lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat


13

yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya,

keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya.

Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in.

Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if,

dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar

ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan

menda’ifkan riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan

pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu

Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat

mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu

riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang

munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di

dunia ataupun di akhirat kelak. Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia

mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal

kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Keenam,

mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang,

sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.29

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbagi

dalam beberapa bab untuk memilah bagian-bagian yang dibahas di dalamnya.

BAB I membahas tentang Bentuk dan Kedaulatan, BAB II tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan

29
Muhammad Ramdhoni, Metodologi Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim (Ibnu Katsir), diunduh dari
http://hadyussari.wordpress.com/2010/09/06/metodologi-tafsir-al-qur%E2%80%99anul-
%E2%80%98azhim-ibnu-katsir/ pada hari Selasa, 30 Oktober 2012 pukul 15.43
14

Negara, BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (telah dihapus dalam

UUD 1945 hasil amandemen), BAB V tentang Kementrrian Negara, BAB VI

tentang Pemerintahan Daerah, BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), BAB VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah (DPD), BAB VII B

tentang Pemilihan Umum (Pemilu), BAB VIII tentang Hal Keuangan, BAB

VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BAB IX tentang Kekuasaan

Kehakiman, BAB IX A tentang Wilayah Negara, BAB X tentang Warga

Negara dan Penduduk, BAB X A tentang Hak Asasi Manusia (HAM), BAB

XI tentang Agama, BAB XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, BAB

XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, BAB XIV tentang Perekonomian

Nasional dan Kesejahteraan Sosial, BAB XV tentang Bendera, Bahasa, dan

Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan, dan BAB XVI tentang Perubahan

Undang-Undang Dasar. Sedangkan pokok pembahasan yang dikaji dalam

penulisan skripsi ini adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang terdapat dalam

BAB XA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(yang selanjutnya disebut dengan UUD) tentang Hak Asasi Manusia. Jadi

dalam pembahasan skripsi ini nantinya dapat terarah dengan pasti arah

penelitian yang dilakukan oleh penulis.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka peneliti menentukan

tujuan penelitian untuk mendeskripsikan perwujudan nilai-nilai Islam dalam

konstitusi Indonesia setelah amandemen


15

Berdasarkan permasalahan di atas, manfaat yang ingin dicapai

dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan serta

pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum

tata negara pada umumnya; dan pada khususnya mengenai perwujudan

nilai-nilai Islam dalam konstitusi Indonesia setelah amandemen.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan bahan masukan bagi penulis sendiri mengenai ruang

lingkup yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang

dinamis untuk menelaah perwujudan nilai-nilai Islam dalam konstitusi

Indonesia setelah amandemen.

c. Untuk menyelesaikan penulisan hukum sebagai syarat wajib bagi

setiap mahasiswa dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum dan Sarjana Syari’ah pada Jurusan Syari’ah Fakultas Agama

Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.


16

E. Kerangka Pemikiran

Islam Barat Adat

UUD 1945
(HAM)

Keadilan

Musyawarah

Hak Milik

Kebebasan Keyakinan

Jaminan Sosial

Hak Hidup

Pernikahan

Ilmu Pengetahuan
17

Pengaturan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945

terpengaruh oleh tiga aliran pemikiran, yaitu Islam, Barat, dan Adat. Tetapi

dalam HAM tersebut ternyata ada 8 bidang yang bisa dipilah-pilah

berdasarkan ruang lingkup yang dikaji. Kedelapan bidang tersebut adalah

keadilan, musyawarah, hak milik, kebebasan keyakinan, jaminan sosial, hak

hidup, pernikahan, dan ilmu pengetahuan. Setelah dilakukan penelitian,

ternyata kedelapan bidang yang menjadi ruang lingkup hak asasi manusia

(HAM) di dalam konstitusi Indonesia menganut pemikiran Islam yang

tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

F. Metode Penelitian

Menurut Sutrisno Hadi, penelitian adalah usaha untuk menemukan,

mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha-usaha

yang mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.30 Metode

penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode yang digunakan

dalam penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang penulis gunakan dalam penyusunan

penulisan penelitian hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif

atau penelitian hukum kepustakaan karena konsep hukum yang digunakan

adalah meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan

30
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hal. 10.
18

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yang

mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,

penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. Bahan-

bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu

kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.31

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis karena penelitian ini

bermaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin yang kemudian

dilakukan penganalisisan tentang Islam dalam konstitusi Indonesia setelah

amandemen.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dimaksud diatas digunakan teknik

studi kepustakaan yang dilakukan dengan mencari, mencatat,

menginventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data yang berupa

Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen dan data-data sekunder lain

yang terkait dengan obyek yang dikaji.

4. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka dalam

penelitian ini analisis akan dilakukan melalui inventarisasi Undang-

Undang Dasar 1945 hasil amandemen, pada khususnya BAB XA tentang

Hak Asasi Manusia dengan memilah-milah bab tersebut menjadi 8 bidang,

31
Ibid., hal. 51.
19

yaitu keadilan, musyawarah, hak milik, kebebasan keyakinan, jaminan

sosial, hak hidup, pernikahan, dan ilmu pengetahuan. Kemudian dianalisis

dan dicari ketentuan-ketentuan Al-Qur’an yang terkandung dalam UUD

1945 tersebut.

G. Sistematika Penelitian

Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan,

penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun

sistimatika penulisan hukum ini sebagai berikut:

Bab Pendahuluan berisikan tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka penelitian, metode penelitian yang kemudian diakhiri

dengan sistematika penelitian.

Bab Tinjauan Pustaka, dalam bab ini penulis menguraikan tentang

tinjauan umum tentang Islam dan tinjauan umum tentang konstitusi.

A. Tinjauan Umum tentang Islam

1. Pengertian Islam

2. Sejarah Islam

3. Islam sebagai Pedoman Hidup Manusia

4. Islam dan Negara

B. Tinjauan Umum tentang Konstitusi

1. Sejarah Pertumbuhan Konstitusi

2. Muatan dalam Konstitusi


20

3. Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Konstitusi

4. Klasifikasi Konstitusi

5. Konstitusi dan Negara

C. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

2. Sejarah Adanya Hak Asasi Manusia

3. Konstitusionalitas Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dalam Bab tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan menguraikan

mengenai hasil penelitian yaitu seperti apakah ketentuan-ketentuan Islam yang

tercantum dalam konstitusi Indonesia setelah amandemen.

Bab terakhir Penutup, berisikan simpulan yang diambil berdasarkan

hasil penelitian dan saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) dan Natie (Belanda), yang

berarti bangsa. Bangsa adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah

tertentu dan memiliki hasrat serta kemampuan untuk bersatu, karena adanya per-

samaan nasib, cita-cita, dan tujuan. Nasionalisme merupakan suatu konsep penting

yang harus tetap dipertahankan untuk menjaga agar suatu bangsa tetap berdiri kokoh

dalam kerangka sejarah pendahulunya, dengan semangat nasionalisme yang tinggi

maka eksistensi suatu negara akan selalu terjaga dari segala ancaman, baik ancaman

secara internal maupun eksternal. Sasaran nasionalisme adalah penyebaran kesadaran

berbangsa atau terbentuknya sebuah nation-state. Nasionalisme melahirkan upaya

untuk membentuk bangunan kebangsaan (nation building) yaitu upaya yang

terencana dan sistematis untuk menanamkan kesadaran bahwa walaupun dari

keanekaragaman ras, etnik, agama ataupun budaya, namun itu semua merupakan

dalam satu wadah yaitu bangsa.

Nasionalisme untuk pertama kalinya muncul di Eropa pada abad ke- 18.

Lahirnya paham ini diikuti dengan terbentuknya negara-negara nasional atau negara

kebangsaan. Awal terbentuknya negara kebangsaan dilatarbelakangi oleh faktor-

faktor objektif seperti persamaan keturunan, bahasa, adat-istiadat, tradisi, dan agama.

Akan tetapi kebangsaan yang dibentuk atas dasar paham nasionalisme lebih

menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam negara kebangsaan. Sejalan

1
2

dengan ini, rakyat Amerika Serikat tidak menyatakan harus satu keturunan untuk

membentuk suatu negara, sebab disadari bahwa penduduk Amerika Serikat terdiri

atas berbagai suku bangsa, asal-usul, adat-istiadat, dan agama yang berbeda. Begitu

pula yang terjadi di Indonesia, masyarakat Indonesia menyadari bahwa negaranya

terbentuk dari berbagai individu yang memiliki latar belakang yang berbeda, namun

memiliki keinginan kuat untuk hidup bersama dalam satu negara kebangsaan.

Berdasar itu pula Indonesia disebut negara multikultur.

Nasionalisme di Indonesia muncul dari adanya kesadaran yang terus ber-

kembang, yaitu kesadaran terhadap situasi ketertindasan yang melahirkan keinginan

untuk bebas dan merdeka. Kesadaran tersebut pada akhir abad 19 melahirkan

beberapa pergerakan organisasi modern, salah satunya Budi Utomo. Sejak berdirinya

Budi Utomo, perkembangan nasionalisme Indonesia menjadi sangat cepat. Hal ini

ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan yang mempunyai tujuan

sama, yaitu mencapai kemerdekaan atau membebaskan bangsa Indonesia dari

belenggu kolonialisme. Nasionalisme yang terjadi di Indonesia adalah nasionalisme

yang berkeadilan sosial, anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Nasional-

isme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan

adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara ini. Selanjutnya

istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang perjuangan bangsa

Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa

dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala

bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah

lagi.
3

Gagasan persatuan, kesatuan, dan nasionalisme merupakan dasar perjuangan

untuk meraih kemerdekaan. Semangat nasionalisme bangsa Indonesia tidak lagi ber-

juang secara kedaerahan, semuanya bersatu padu mengusir penjajah demi mewujud-

kan cita-cita Indonesia yang merdeka. Gerakan nasionalisme Indonesia telah mem-

bawa negara ini menjadi bangsa mandiri, terlepas dari belenggu penjajahan bangsa

lain, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 lahirlah Bangsa Indonesia sebagai

bangsa yang merdeka, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sejatinya,

yang melahirkan bangsa Indonesia bukan pengumuman kemerdekaan Indonesia

tanggal 17 Agustus 1945, akan tetapi semangat dan rasa nasionalisme yang tumbuh

dan berkembang di hati tiap warga yang mencintai Indonesia dengan segenap jiwa

dan raganya. Aksi kaum tani berupa penghapusan tanam paksa yang telah dilakukan

sejak jaman penjajahan Belanda juga andil dalam revolusi kelahiran Indonesia.

Tuntutan penghapusan tanam paksa merupakan perkembangan tipe nasionalis yang

militan, sehingga muncul pemberontakan yang dilakukan kaum petani. Hal tersebut

merupakan salah satu cikal-bakal proses tumbuh dan perkembangan nasionalisme

kebangsaan Indonesia, untuk bersatu menentang penindasan dan kesewenang-

wenangan kolonialisme.

Tekanan dan pemaksaan dari pihak penjajah menimbulkan reaksi berupa

penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir penjajah. Kolonialisme dan

imperialisme menimbulkan reaksi bangkitnya semangat berkebangsaan. Perlakuan

diskriminatif dari kolonial dan imperialis Barat (Belanda) menimbulkan kesengsaraan

dan penderitaan terhadap rakyat Indonesia yang akhirnya menimbulkan perasaan


4

senasib. Berdasar perasaan senasib maka rakyat Indonesia bersatu melawan kolonial

untuk membebaskan diri dari penindasan. Perasaan senasib dan semangat nasional-

isme itulah yang membawa negara Indonesia merdeka. Saat ini ketika Indonesia

sudah merdeka, penanaman nasionalisme tidak lagi melalui perasaan senasib karena

dijajah, melainkan dapat dilakukan melalui berbagai sarana, yaitu secara formal dan

non formal. Secara formal penanaman nasionalisme dapat dilakukan melalui pen-

didikan, sedangkan secara non formal dapat dilakukan melalui berbagai sarana,

seperti organisasi, film, dan novel.

Pendidikan merupakan salah satu sarana penting dalam menanamkan nasional-

isme pada generasi muda. Pendidikan di sekolah melalui kegiatan kurikuler maupun

ekstrakurikuler berupaya menumbuhkan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai

nasionalisme, misalnya melalui pelajaran PKn dan kegiatan upacara bendera. Karena

itu, pendidikan di sekolah seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai nasionalisme

pada peserta didik. Namun kenyataannya dalam proses pendidikan di sekolah, guru

hanya menekankan ranah kognitif daripada afektif. Nasionalisme seringkali disangka

akan muncul secara otomatis ketika siswa mampu menghafal nama-nama tokoh

pejuang kemerdekaan dan aneka nama budaya bangsa Indonesia. Nasionalisme bukan

sekedar pengetahuan, karena nasionalisme merupakan kesadaran yang terbangun dari

akal dan rasa. Penanaman nasionalisme melalui pendidikan harus bertumpu pada

ranah afektif yang terus menerus dipupuk pada siswa sehingga membuat peserta didik

menjadi nasionalis-nasionalis yang mencintai Indonesia.


5

Penanaman nasionalisme di sekolah salah satunya dapat dilakukan melalui mata

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Materi yang diajarkan guru PKn

seharusnya dikaitkan dengan isu kewarganegaraan yang sedang terjadi, seperti

adanya korupsi, teroris, dan pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia. Melalui

informasi mengenai isu kewarganegaraan siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok

untuk berdiskusi, karena dengan melakukan diskusi sikap kritis siswa akan terlihat.

Sikap kritis siswa juga akan mempengaruhi peserta didik lain untuk bertukar pikiran

mencari solusi memecahkan permasalahan yang sedang terjadi. Setelah berdiskusi

siswa dapat menyimpulkan pentingnya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan

NKRI, sehingga bukan hanya pengetahuan nasionalisme yang dimiliki, tetapi rasa

bangga menjadi warga negara Indonesia.

Penanaman nasionalisme di samping melalui pendidikan di sekolah, bisa pula

dilakukan melalui kegiatan dalam sebuah organisasi. Organisasi yang dapat diguna-

kan sebagai sarana penanaman nasionalisme salah satunya adalah Karang Taruna.

Karang Taruna merupakan salah satu organisasi yang penting untuk membentuk

mental anak muda sebagai calon pemimpin bangsa, kegiatannya dapat menumbuhkan

kesadaran tanggungjawab sosial pemuda untuk pembangunan bangsa.

Selain pendidikan dan organisasi, penanaman nasionalisme juga dapat di-

lakukan melalui media film. Film yang baik merupakan media komunikasi meng-

hubungkan gambaran masa lampau dengan sekarang dan mencerahkan bangsa karena

memberikan nilai-nilai keberagaman yang terkandung di dalamnya seperti sarana

informasi, pendidikan dan pengekspresian seni. Film tidak hanya menonjolkan unsur
6

hiburan semata, tetapi lebih kepada tanggungjawab moral untuk mengangkat nilai

nasionalisme dan jati diri bangsa yang berbudaya. Salah satu contohnya yaitu film

Naga Bonar (1986). Hasil penelitian Mariana (2011) menunjukkan bahwa film

Nagabonar jadi 2 dapat dijadikan sebagai alternatif media pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan, karena mengandung nilai nasionalisme dan patriotisme di era

globalisasi yang dikemas dalam suasana modern. Sesuai dengan realita kehidupan

masyarakat sekarang ini, sehingga penonton dapat dengan mudah menangkap arti dan

memaknai pesan yang terdapat dalam film tersebut.

Novel dapat dijadikan sebagai media yang menanamkan nilai nasionalisme,

karena dengan membaca kepekaan jiwa dan perasaan pembaca dapat tergugah dan

meniru figur atau tokoh yang baik di dalamnya. Novel yang baik adalah novel yang

mengandung nilai pendidikan di dalamnya. Salah satu contoh novel yang

mengandung nilai pendidikan adalah novel Perempuan Berkalung Sorban. Hasil

penelitian Cahyaningsih (2013) menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai edukatif

yang terkandung dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El

Khalieqy yaitu nilai cinta, kebahagiaan, dan tanggung jawab.

Akan tetapi fakta atau kenyataan yang ditemui tidak sebagaimana gambaran di

atas, baik yang ditemui dalam pembelajaran di sekolah, kegiatan organisasi, maupun

produksi film, dan novel yang terbit. Cukup banyak yang tidak sesuai dengan

menanamkan nilai nasionalisme. Guru dalam proses pembelajarannya sebatas

menanamkan pengetahuan, aspek nilai atau penghayatan rasa nasionalisme kurang

optimal. Sehingga nasionalisme peserta didik untuk mencintai kebudayaannya ter-


7

kikis, mereka lebih suka pada K-Pop (Korean Pop). Lagu-lagu K-Pop menjadi trend

dikalangan remaja dibandingkan lagu Pop Indonesia. Model baju yang dipakai lebih

condong ke fashion barat, memakai rok mini menjadi sesuatu yang wajar bagi anak

muda. Film yang beredarpun dan disukai kebanyakan film-film yang kurang bahkan

tidak menanamkan nilai nasionalisme, seperti film percintaan dan horor. Sama seperti

film, sebagian besar novel remaja yang beredar hanya menceritakan kisah cinta

remaja tanpa muatan nilai tertentu. Film dan novel yang dimaksud diantaranya

“Misteri Cipularang”, “Suster Keramas”, dan “Cinta Brontosaurus”.

Penanaman nasionalisme melalui berbagai media tersebut pada saat ini sangat

diperlukan, mengingat munculnya krisis nasionalisme akibat gempuran globalisasi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang informasi,

komunikasi dan transportasi, membuat dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi

sebuah kampung tanpa mengenal batas negara. Kondisi ini menciptakan struktur

baru, yaitu struktur global. Kondisi ini mempengaruhi struktur dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk Indonesia, sekaligus mem-

pengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat, termasuk nilai-nilai nasional-

isme. Pemuda saat ini lebih bangga dengan budaya luar, seperti menggunakan bahasa

Korea atau Inggris. Pakaian yang digunakan juga kurang mencerminkan budaya

Indonesia, mereka lebih menyukai fashion budaya Barat. Lagu K-Pop (Korean Pop)

juga lebih disukai dari pada musik Pop Indonesia. Rasa cinta terhadap produk

makanan dalam negeri pun terkikis dengan banyaknya produk makanan dari luar

negeri seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut dan Fried Chicken. Kebanggaan diri
8

menggunakan budaya dari luar tersebut merupakan cermin kurangnya nasionalisme.

Karena itu penanaman nasionalisme dengan memanfaatkan berbagai media sangat

penting dilakukan di era global ini.

Salah satu media penanaman nasionalisme yang dimaksud adalah novel. Karya

sastra novel dapat dikatakan sebagai media belajar, karena merupakan salah satu

karya sastra yang berbentuk cerita. Pada dasarnya menyenangi cerita adalah sifat

alamiah manusia, sekaligus berpengaruh pada perasaan manusia yang membacanya,

itulah yang menjadikan dasar untuk menetapkan novel sebagai media pendidikan.

Novel yang dapat digunakan sebagai media belajar adalah novel yang dikemas

dengan baik, yaitu memiliki kandungan nilai-nilai edukatif yang dapat memberi

inspirasi, dan membantu perkembangan apresiasi budaya, serta memperluas

pengetahuan. Salah satu contoh novel yang dapat dijadikan media pembelajaran

adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, karena novel Laskar Pelangi

memberikan pelajaran pada siswa untuk lebih tekun dalam menuntut ilmu. Alur cerita

novel Laskar Pelangi sangat inspiratif, novel ini mampu mengobarkan semangat

siswa yang selalu dirundung kesulitan dalam belajar di sekolah, namun tetap

bersemangat dan optimis. Tokoh-tokohnya digambarkan sebagai sosok sederhana,

jujur, sabar, gigih, penuh dedikasi, ulet, tawakal dan takwa. Alur cerita dalam novel

tersebut dituturkan secara indah (Zainure, 2008).

Namun demikian tidak semua novel seperti Laskar Pelangi. Novel yang ada

kebanyakan berisi kisah cinta yang kurang dengan nilai-nilai positif, bahkan negatif,

salah satunya karya Enny Arrow. Novel Enny Arrow tidak tebal, hanya puluhan

lembar, namun isinya luar biasa vulgar. Pembaca diajak berimajinasi liar mem-
9

bayangkan sepasang kekasih berasyik masyuk. Tidak ada alur cerita di dalam novel

itu, hanya dari satu adegan seks ke adegan seks berikutnya. Novel karya Enny Arrow

dimaksud diantaranya “Malam Kelabu”, “Gairah dan Cinta”, dan “Selembut Sutera”.

Novel sejenis meski tidak sevulgar contoh di atas adalah novel Belenggu. Novel ini

kontroversial, ada yang menerima dan menolak. Pihak yang mendukungnya ber-

anggapan bahwa novel ini benar-benar mencerminkan konflik yang dihadapi para

intelektual Indonesia, sementara yang menolak beranggapan bahwa novel ini porno

karena memasukkan tokoh pelacur dan tema perselingkuhan (Anonim, 2013). Karena

itu penulis tertarik untuk mengkaji novel yang memiliki muatan nilai positif

sebagaimana isi cerita novel Laskar Pelangi di atas, khususnya yang mengandung

nilai-nilai nasionalisme. Dalam hal ini meneliti muatan nasionalisme pada novel

Sebelas Patriot.

Novel Sebelas Patriot berikut nilai nasionalisme yang ada di dalamnya dapat

dijadikan sebagai media dalam pembelajaran PKn, karena PKn merupakan mata

pelajaran yang menekankan pemahaman dan menanamkan nasionalisme. Hal tersebut

secara jelas tercerminkan dalam visi pembelajaran PKn, yaitu berfungsi sebagai

sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan

warga negara. Diperjelas lagi dalam misinya, yaitu membentuk warga negara yang

baik yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam

kehidupan bernegara, dilandasi oleh kesadaran politik, kesadaran hukum, dan ke-

sadaran moral.
10

Visi dan misi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam tujuan umum pelajaran

PKn yang sangat kental dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme. Tujuan di-

maksud adalah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang

memiliki jiwa patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama,

demokratis, Pancasilais sejati (Somantri dalam Parulian, 2013). Secara resmi tujuan

PKn adalah untuk membentuk kompetensi sebagai berikut:

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarga-
negaraan.
2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti
korupsi.
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi (BSNP, 2006:201).

Berdasarkan visi, misi, dan tujuan PKn tersebut jelas bahwa penanaman nilai

nasionalisme menjadi bagian yang penting dalam mata pelajaran PKn. Melalui

penanaman nilai nasionalisme diharapkan dapat membentuk peserta didik yang

sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bernegara. Selain itu

diharapkan mampu mendidik peserta didik menjadi warga negara yang baik, yang

dapat dilukiskan dengan warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa

dan negara, beragama, demokratis dan Pancasilais sejati.

Penanaman nasionalisme dijabarkan secara lebih rinci melalui materi atau

pokok bahasan PKn. Namun materinya disajikan terintegrasi dalam bahasan pokok

materi lain. Salah satu contohnya yaitu Standar Kompetensi “Menampilkan


11

partisipasi dalam usaha pembelaan negara” dan Kompetensi Dasar “Menjelaskan

pentingnya usaha pembelaan negara”, dari materi tersebut siswa akan mengetahui

pentingnya memiliki rasa nasionalisme untuk tetap mempertahankan keutuhan

negara. Setelah mengetahui pentingnya memiliki rasa nasionalisme untuk mem-

pertahankan keutuhan negara, diharapkan siswa mampu mengimplementasikannya

dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya materi bela negara yang dapat

diintegrasikan dengan nasionalisme, tetapi pokok bahasan globalisasi juga bisa

digunakan untuk menanamkan nilai nasionalisme dalam pembelajaran. Salah satu

contohnya yaitu Standar Kompetensi “Memahami dampak globalisasi dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” dan Kompetensi Dasar “Men-

jelaskan pengertian dan pentingnya globalisasi bagi Indonesia”, dari materi tersebut

siswa akan mengetahui pentingnya globalisasi bagi Indonesia, sehingga tidak

menyalahgunakan masuk bebasnya budaya dari luar.

Novel merupakan karya sastra yang memiliki fungsi sebagai penyampai pesan

moral dan pembentuk karakter. Selain itu novel juga dapat digunakan sebagai media

pembelajaran dalam dunia pendidikan. Karena itu, guru PKn dapat menjadikan novel

sebagai media pembelajaran, dengan membaca novel siswa akan lebih bisa meng-

hayati isi cerita dan mengikuti alur cerita, sehingga siswa dapat mengambil intisari

yang terkandung di dalamnya. Guru PKn dalam memilih novel yang digunakan

sebagai media pembelajaran harus selektif, terutama yang mengandung nilai

nasionalisme, karena nilai nasionalisme sangat penting ditanamkan pada siswa

sebagai generasi penerus bangsa. Tujuannya adalah agar siswa dapat menangkap nilai
12

nasionalisme yang terkandung dalam novel dan mampu mengimplementasikannya

dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman nilai nasionalisme salah satunya terdapat

dalam novel Sebelas Patriot. Sehingga cukup penting penulis melakukan penelitian

mengenai “Konstruksi Penanaman Nilai Nasionalisme pada Novel, Analisis Isi pada

Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata untuk Pembelajaran Pendidikan Kewarga-

negaraan”.

B. Perumusan Masalah atau Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penggambaran nilai nasionalisme yang diperankan para tokoh

dalam novel Sebelas Patriot?

2. Bagaimanakah konstruksi pendidikan nilai nasionalisme dalam novel Sebelas

Patriot?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendiskripsikan penggambaran nilai nasionalisme yang diperankan para tokoh

dalam novel Sebelas Patriot.

2. Mendiskripsikan konstruksi pendidikan nilai nasionalisme dalam novel Sebelas

Patriot.
13

D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian

1. Manfaat atau Kegunaan Teoritis

a. Sebagai karya ilmiah maka hasil penelitian diharapkan memberi konstribusi

mengenai konstruksi penanaman nilai nasionalisme dalam novel.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk penelitian

selanjutnya yang relevan.

2. Manfaat atau Kegunaan Praktis

a. Mendorong guru berfikir kreatif untuk memanfaatkan berbagai sarana dalam

menunjang proses pembelajaran yang dilakukan, salah satunya memanfaatkan

novel.

b. Memanfaatkan novel sebagai media pendidikan nilai, khususnya dalam

penanaman nilai nasionalisme.

c. Masukan bagi guru PKn untuk memanfaatkan novel sebagai media dalam

proses pembelajaran penanaman nilai nasionalisme.

d. Mendorong sekolah dan perpustakaan sekolah untuk memiliki dan menjadikan

novel edukatif dalam mendukung proses pembelajaran, khususnya penanaman

nilai-nilai nasionalisme.

E. Daftar Istilah

Penelitian ini mengenai konstruksi penanaman nilai nasionalisme pada novel,

analisis isi pada novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata untuk pembelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan. Oleh karena itu, peneliti perlu mengetahui definisi-


14

definisi mengenai nilai, nasionalisme, novel, analisis isi, pembelajaran, dan Pen-

didikan Kewarganegaraan.

1. Nilai, pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek,

bukan objek itu sendiri (Budiyono, 2007:69), atau keyakinan yang membuat

seseorang bertindak atas dasar pilihannya (Allport dalam Mulyana, 2011:9).

Dirumuskan pula sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam

menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif (Kuperman dalam

Mulyana, 2011:9). Jadi nilai merupakan sifat yang melekat pada suatu objek dan

dapat dijadikan patokan normatif untuk bertindak atas dasar pilihannya.

2. Nasionalisme, adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara (Renan dalam

Hadisarjono, 2011), atau suatu persatuan perangai (karakter) yang timbul karena

perasaan senasib (Bauar dalam Hadisarjono, 2011). Disebut pula sebagai suatu

paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation)

dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia

(Subadi, 2010:55). Jadi nasionalisme adalah suatu kehendak untuk bersatu yang

dimiliki oleh sekelompok manusia karena perasaan senasib dalam mempertahan-

kan kedaulatan sebuah negara.

3. Novel, adalah sebuah karya fiksi yang tertulis dan naratif, biasanya dalam bentuk

cerita (Mistamiroh, 2013), atau karangan prosa yang panjang mengandung

rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan

menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008:1079).
15

Jadi novel merupakan karya sastra yang mengandung cerita kehidupan seseorang

dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

4. Analisis isi, atau content analysis pada dasarnya merupakan suatu teknik

sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk

mengobservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari

komunikator yang dipilih (Budd dalam Hadi dan Haryono, 2005:175). Disebut

pula sebagai suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat

ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Bungin,

2011:163). Jadi analisis isi atau content analysis adalah teknik penelitian untuk

menganalisis isi dan mengolah pesan.

5. Pembelajaran, adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar

(Barizi, 2009:87), atau suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu

kegiatan untuk membelajarkan peserta didik (Warsita dalam Dedi, 2013).

Dirumuskan pula sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan

sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sisdiknas Pasal 1 ayat 20 dalam Dedi, 2013). Jadi pembelajaran merupakan suatu

cara untuk membuat peserta didik belajar.

6. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah mata pelajaran yang memfokuskan

pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-

hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas,

terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945

(BSNP, 2006:201), atau merupakan salah satu program pendidikan mata pelajaran
16

yang wajib dimuat dalam kurikulum di setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan

(Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

pasal 37 ayat (1) dan (2). Jadi Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata

pelajaran wajib yang dimuat dalam kurikulum di setiap jenjang pendidikan untuk

membentuk warganegara yang mampu melaksanakan hak dan kewajibannya

sebagai warganegara Indonesia.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) yang selama ini hanya menjadi

isu nasional, akhirnya meningkat semakin endemis dan kecenderungan tetap

parah akibatnya bangsa dan negara dilanda multi krisis termasuk dalam dunia

bisnis, kredebilitas dan kemampuan daya saing para pelaku bisnis melemah. Hal

ini menjadi tantangan dunia usaha dalam menghadapi perdagangan bebas.

Dalam praktek bisnis di Indonesia fenomena yang senantiasa muncul

dalam masyarakat adalah setiap peluang usaha selalu tidak lepas adanya KKN.

Hampir setiap media informasi cetak, elektro, digital internet memuat tentang

KKN yang mempengaruhi praktek bisnis, bahkan telah sedemikian melembaga.

Para pelaku bisnis mulai dari oknum-oknum yang berada pada struktur

pemerintahan negara (birokrat) dan BUMN maupun dari swasta, konglomerat

dan koperasi, praktisi hukum, legislatif dan LSM sering terkait dengan praktek

KKN, jadi pelaku KKN itu baik yang berstatus swasta maupun pegawai negeri

juga diperluas pengertiannya termasuk korporasi (Prinst, 2002 : 17). Hal tersebut

dimungkinkan karena para birokrat dan pelaku-pelaku bisnis tertentu menguasai

sumber-sumber dan potensi ekonomi atau jaringan bisnis yang setrategis tanpa

memperhatikan kepentingan natural meskipun akan menimbulkan kerugian

keuangan dan ekonomi negara. Di antara negara-negara Asia, tumbuhnya KKN

dalam praktek bisnis terungkap secara terbuka oleh Badan Konsultasi Resiko
2

Ekonomi dan Politik ( PERC ) terhadap 527 eksportir di seluruh wilayah Asia

yang merupakan hasil penelitian awal tahun 2001. Indonesia memperoleh nilai

9,88 menduduki peringkat pertama berturut-turut negara yang terkorup adalah

India (9,50), Cina (9,11), Filipina (8,67), Taiwan (6,89), Korea Selatan (8,33),

Thailand (8,20), vietnam (9,20) (Mujiran, 2004 :10). Negara Singapura,

Hongkong dan Jepang yang dinilai paling sedikit korupsinya. Hal ini dapat

terjadi karena adanya upaya keras dari penguasa yang berwenang, untuk

menindak KKN dengan melibatkan Polisi Anti Korupsi, memanfaatkan Komisi

Independent Anti Korupsi dan sistem peradilan yang konsisten.

Ada fenomena yang menonjol dalam praktek bisnis yaitu semakin subur

dan transparan nuansa KKN. Transisi dan perubahan praktek bisnis berjalan

begitu cepat dari bisnis tradisional, konvensional, nasional menuju bisnis global

seiring dengan era perdagangan bebas (Suherman, 2001 : 31). Masyarakat

semakin dihadapkan dengan berbagai persoalan-persoalan yang sangat kompleks

dengan diikuti munculnya berbagai aturan baru dalam masyarakat termasuk di

dalam dunia bisnis dan kejahatan.

Pada tatanan bisnis tingkat elite dan transnasional dalam mengelola

sumber daya kekayaan alam melalui transaksi bisnis, para pejabat pemerintah

yang bertugas menjalankan aset-aset yang dimiliki tiba-tiba saja dapat menjadi

konglomerat, dengan cara menjualnya dengan harga yang sangat murah melalui

penyuapan, atau bahkan memilikinya dengan perantara keluarga dan teman-

teman mereka (Elliot, 1999 : 16). Pelaku bisnis telah melakukan intervensi dan

mempengaruhinya dengan pola suap, mark up, order fee, manajemen fee,
3

komisi, bonus/hadiah, tips yang berlebihan bahkan proyek fiktif yang hasilnya

dapat memberikan andil terhadap pengambilan keputusan dan kebijaksanaan di

bidang ekonomi dan bisnis menjadi penyimpangan terhadap dana-dana

pinjaman dan lembaga keuangan internasional seperti International

Deplovemend Bank (IDB), International Money Found (IMF) dan lain-lain.

Praktek KKN di Indonesia belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Berbagai tekad baru ditandai niat baik para pejabat dilingkungan lembaga

pemerintahan negara yang dalam pernyataannya akan berusaha semaksimal

mungkin untuk menindak KKN secara tegas (Sudarsono, 1969 : 9). Semua

kemampuan bangsa merancangkan Good Governent and Clean Govement

sebagai langkah keluar dari krisis yang bebas dari KKN. Melalui wakil-wakil

rakyat kurun waktu 5 (lima) tahun dari tahun 1998 sampai tahun 2003 telah

dibentuk instrumen hukum yang mengatur tentang KKN sebagai pengganti

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak pidana

korupsi antara lain :

1). Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3851).

2). Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874).


4

3). Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150).

4). Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor

137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250).

Pengaturan hukum tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi

termasuk Kolusi dan Nepotisme telah cukup lengkap bagi aparat penegak hukum

untuk melakukan penindakan terhadap pelaku KKN khususnya dalam praktek

bisnis, namun lemahnya konsistensi penegak hukum membuat masyarakat

menjadi semakin skeptis. Menghadapi KKN dalam praktek bisnis yang seakan-

akan sudah berurat berakar bahkan sebagian kalangan mengatakan sudah

membudaya atau menjadi way of live hampir di seluruh lapisan. Setiap

langkah masyarakat dalam perkembangan dalam praktek bisnis selalu

dibayang-bayangi masalah KKN. Sementara itu masih terdapat kontraversi

perundang-undangan pemberantasan korupsi (Suyata, 2000 : 148) dan banyak

terjadi kontraversi putusan peradilan terhadap kasus KKN. Fakta yang terjadi

hasil vonis peradilan oleh hakim disamping putusannya ringan juga sering bebas

bahkan diberikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal ini

menunjukkan lemahnya kinerja penegak hukum atau hasil penegakan supremasi

hukum yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan (Asrun, 2004 : 4). Oleh

karena itu prosentase kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan hukum

dan keadilan di Indonesia hanya sekitar 30,8 % (Thahir, 1996 : 318).


5

Perbuatan KKN dalam praktek bisnis merupakan fenomena sosial yang

sangat komplek. Kompleksitas ini dapat melekat pada persepsi dan paradigma

kelompok-kelompok bisnis pada ekonomi lemah dan ekonomi kuat sebagai

pelaku bisnis termasuk oknum-oknum birokrat. Selama ini terjadi kesenjangan

yang cukup besar antara ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Kelompok bisnis

ekonomi kuat banyak didukung oleh oknum-oknum birokrat tertentu yang

pada gilirannya dapat menciptakan konflik sosial (sosial conflic). Kelompok

ekonomi kuat mempengaruhi pembuat keputusan, peraturan perundang-

undangan yang menguntungkan kelompok bisnis ekonomi kuat (Baswir, 1999 :

31).

Terjadinya KKN dalam prakek bisnis bagaikan berada dalam suatu

lingkaran yang sulit dicari solusi dan antisipasi. Dunia bisnis antara para

pengusaha/swasta dan birokrasi merupakan pasangan atau mitra yang

saling membutuhkan satu sama lain. Tanpa birokrasi dunia usaha sulit

mengembangkan diri secara sehat. Demikian pula sebaliknya tanpa dunia usaha

dengan bisnis birokrasi akan sulit dalam mengemban tugas pelayanan

publik. Dalam hubungan yang saling membutuhkan telah memberikan

peluang yang sangat besar munculnya perbuatan KKN dalam praktek bisnis atau

sebaliknya menjadi peluang besar untuk sukses usaha bisnis tanpa KKN.

Refleksi ke depan persoalan nuansa KKN dalam praktek bisnis menjadi

sangat esensial yang berhubungan dengan cita-cita mewujudkan kesejahteraan

rakyat sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 (Narang, 2003 : 4).

Di antaranya berupa Revitalisasi dan recovery atas lemahnya supremasi hukum


6

serta paradigma dan solusi penanggulangan KKN dalam praktek bisnis dengan

nuansa bebas KKN. Esensi yang lain adalah menyelamatkan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat dengan kehidupan bisnis yang sehat atau

menyelamatkan sumber keuangan dan ekonomi negara untuk keluar dari dilema,

multi krisis yang belum surut.

Mengacu pada perkembangan sebagaimana telah diuraikan di atas,

penulis tertarik untuk menformulasikan dalam bentuk penulisan tesis dengan

judul: “Korupsi Kolusi dan Nepotisme sebagai fenomena sosial dalam praktek

bisnis serta upaya penanggulangannya”.

1. Perumusan masalah.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini

dimaksudkan untuk menelaah masalah-masalah KKN sebagai fenomena

sosial dalam praktek bisnis serta upaya penanggulangannya dengan

perumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah eksistensi KKN sebagai fenomena sosial dalam praktek

bisnis?

b. Bagaimanakah perkembangan KKN dengan pola baru dan upaya

penanggulangannya?

2. Batasan masalah

Batasan masalah dalam tulisan ini adalah melihat kenyataan

terjadinya KKN yang secara fenomena sosial tidak dapat dipisahkan dengan

rekonstruksi praktek bisnis. Adapun ruang lingkup masalah meliputi


7

perkembangan KKN dengan pola-pola baru dan upaya penanggulangannya

dengan fokus pada kelemahan penegak hukum dan integritas moral

penegakan hukum.

3. Keaslian penelitian

Permasalahan yang diuraikan dengan materi penelitian fenomena

sosial KKN dalam praktek bisnis, menurut pengetahuan penulis adalah

merupakan gambaran masalah aktual yang dihadapi dan belum pernah

dipecahkan oleh peneliti terdahulu. Penelitian ini secara khusus dilakukan

mulai dari isu permasalahan sampai pada fokus paradigma dan solusi dalam

rangka upaya penanggulangan permasalahan yang secara kronologis sebagai

berikut :

a. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan bagian dari bentuk kejahatan

ekonomi yang sangat potensial dalam praktek bisnis serta melibatkan

sektor lembaga pemerintahan (birokrat) dan pelaku bisnis BUMN,

swasta/konglomerat, Koprasi dan bentuk jasa bisnis lainnya.

b. Lemahnya kemampuan penegak hukum serta kemampuan keteladanan

para pemimpin kebijaksanaan (stakeholders) serta memberikan

keputusan yang tegas dan adil dalam penaggulangan kasus KKN.

c. Trend kasus-kasus KKN dalam praktek bisnis semakin meningkat

dengan bentuk dimensi baru : coorporation crime, white collar crime,

bank crime, money laundry, cyber crime dan monopoli yang

mengakibatkan kerugian keuangan dan ekonomi negara (Meliala, 1993 :

19).
8

d. Klasifikasi permasalahan yang spesifik antara hasil perbuatan KKN

dengan jasa praktek dalam bisnis, agar tidak terjadi tekanan dan

penafsiran yang keliru tentang perbuatan KKN dan jasa bisnis. Hasil

klasifikasi dilakukan dengan langkah –langkah kongkrit melalui :

Implementasi hukum terkait KKN dan bisnis, revilaksi atas kinerja

penegak hukum, membentuk paradigma dan solusi pemecahan masalah.

4. Manfaat penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai

pihak, terutama kepada :

a. Peneliti / Penulis

1). Merupakan kesempatan berkarya untuk menuangkan konsep-konsep

yang telah dipelajari dan diperoleh selama proses perkuliahan,

pengalaman-pengalaman ke dalam sebuah tulisan ilmiah.

2). Merupakan pendalaman, latihan dan mengkaji permasalahan yang

berkaitan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menjadi fenomena

sosial dalam praktek bisnis.

3). Mengembangkan kemampuan penalaran hukum dalam menganalisis

permasalahan yang berkaitan dengan KKN dalam praktek bisnis.

b. Perguruan Tinggi

1). Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah.

2). Hasil penelitian menjadi landasan dalam melaksanakan

penelitian selanjutnya.

c. Pemerintah / Negara
9

1). Merupakan masukan guna menganalisis kasus-kasus KKN

dalam praktek bisnis dengan fenomena sosial yang potensial dan

trend meningkat, sangat berbahaya bagi perekonomian dan keuangan

negara.

2). Dapat menjadi paradigma dan solusi efektif sebagai saran-saran

pemecahan masalah KKN serta mewujudkan clean governance, good

governance dan good business sebagai prasyarat utama pemerintah

bangsa dan negara untuk lepas dari krisis.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui dan mengkaji serta mengevaluasi eksistensi KKN sebagai

fenomena sosial dalam praktek bisnis.

2. Mengetahui dan mengkaji serta mengevaluasi perkembangan KKN dengan

pola baru dan penanggulangannya.

C. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam tesis ini tersusun dalam lima bab dengan

kerangka sebagai berikut :

Bab satu memuat tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

yang memuat perumusan masalah, batasan masalah, keaslian penelitian dan

manfaat penelitian, kemudian tujuan penelitian serta sistematika penulisan.

Bab dua tentang tinjauan pustaka memuat sub bab ; pertama, tentang

Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), memuat sub sub bab antara lain ; tentang
10

pengertian Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), tentang pengertian bisnis dan

hukum bisnis dan etika bisnis, dan pengertian penegakan hukum ; kedua, tentang

pengaturan KKN dalam hukum Indonesia memuat sub sub bab antara lain

tentang ; dalam hukum materil, dalam hukum formil, dan tentang konvensi

internasional dan ratifikasi tentang korupsi ; ketiga, sub bab tentang kebijakan

hukum dalam penanggulangan KKN yang memuat sub sub bab antara lain ;

tentang lingkup tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (KPTPK), tentang kekuasaan, integritas moral dan penegakan hukum

terhadap KKN dalam praktek bisnis, dan tentang pembuktian terbalik dalam

praktek peradilan tindak pidana KKN.

Bab tiga tentang metode penelitian yang terdiri dari sub bab ; pertama jenis

penelitian, kedua, pendekatan, ketiga, sumber data yang memuat sub sub bab

antara lain ; tentang bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier ; keempat, tentang metode analisis.

Bab empat adalah bab tentang hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri

dari sub bab ; pertama eksistensi dan identifikasi KKN dalam praktek bisnis yang

memuat sub sub bab tentang ; anatomi KKN dalam praktek bisnis sebagai

fenomena sosial, tentang pemberdayaan kemampuan KPTPK untuk

menanggulangi KKN dalam skala nasional dan transnasional, tentang kekuasaan,

integritas moral dalam penegakan hukum terhadap KKN dalam praktek bisnis,

tentang perkembangan KKN dalam praktek bisnis, dan tentang analisis sosiologis

dan SWOT penanggulangan KKN dalam praktek bisnis ; Kedua, sub bab tentang

upaya penanggulangan KKN dalam praktek bisnis yang memuat sub sub bab
11

tentang ; strategi penanggulangan KKN dalam Praktek Bisnis, tentang plan of

action secara gradual terhadap KKN dalam praktek bisnis, dan tentang strategi

mengungkap akar masalah KKN dalam praktek bisnis.

Bab lima adalah bab penutup yang memuat tentang kesimpulan umum dari

seluruh pembahasan, dan saran sebagai kontribusi pemikiran berkaitan dengan

permasalahan dalam penulisan ini.

Anda mungkin juga menyukai