Oleh:
Kelompok IV : 1. Nurhayati ( 90300123056 )
2. Putri Andini ( 90300123063 )
3. Nabilah ( 90300123022 )
4. Dzun Nuraeni ( 90300123131 )
5. Khairul ( 90300123097 )
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam di indonesia
1. Pengertian Islam di indonesia
Masuknya Islam ke Indonesia belum dapat diketahui dengan pasti waktu dan
siapa pembawanya. Dalam bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue
de I’Histoire des Religious, jilid I, Snouck Hurgronje, seorang ahli agama Islam
kebangsaan Belanda, mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-
13 dan dibawa oleh pedagangdari Gujarat, India. Hal ini berdasarkan bukti-bukti yang
ada, yaitu Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India
telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam terdapat di Sumatra
memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Islam di Indonesia tersebar melalui peranan para ulama, yang disebut dengan
walisongo. Kesembilan wali ini menyebarkan agama Islam dengan menggunakan
caranya masing-masing. Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para wali dengan
ditempatkannya 5 wali. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil
wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh
Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang
sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Jawa Tengah kebagian
3 wali dalam penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Kudus di
Kudus, dan Sunan Muria di daerah pegunungan Muria. Sedangkan Jawa Barat hanya
didatangi oleh 1 wali, yaitu Sunan Gunung Jati yang memilih tempat dakwahnya di
Cirebon.
4
1
pada tahun 1825-1830, perang ini disebut Perang Sabil yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro. Di daerah Barat Laut Jawa juga terjadi pemberontakan
pada tahun 1840-1880 yang dilatar belakangi dari penindasan Tanam Paksa di
Banten. Selanjutnya, di Aceh pada tahun 1873- 1903 yang berhasil
mengacaukan imperialisme Belanda selama 30 tahun. Ada juga perlawanan dari
Si Singamangaraja XII, yang juga gugur sebagai seorang muslim, yang berakhir
dengan tewasnya beliau pada 17 Juni 1907. Kartini juga ikut meramaikan
pemberontakan dengan pimikirannya sebagai perempuan yang melawan adat
dan penjajah.
1 1
Wikipedia, Islam di Indonesia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia diunduh Rabu, 1 Februari
2012 pukul 08.42 WIB.
5
١٠٧ ََو َما ٓ أَ ۡر َس ۡل َٰنَكَ ِإ اَّل َرحۡ َم ٗة ل ِۡل َٰ َع َلمِ ين
Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa’: 107)
6
2
darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara
Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang
berkedaulatan Rakjat dengan berdasar kepada Ke-Tuhanan, dengan kewadjiban
mendjalankan sjariat Islam bagi pemeluk-pemeluk, menurut dasar kemanusiaan
jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh
hikmat-kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan
mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia.”
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini ada perubahan yang sangat berpengaruh
dari apa yang sudah disetujui oleh para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI,
pada konstitusi yang dipakai bangsa Indonesia, yaitu sebagai berikut.16
1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.
2
Snouck Hurgronje dalam Ahmad Mansur Suryanegara, 1995, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan, hal. 75. 3 Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit., hal. 104-106.
7
Serangan tersebut pun berlangsung cukup lama, sehingga PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) merasa perlu untuk campur tangan dalam hal mendamaikan
kedua negara dengan membentuk suatu konferensi yang disebut dengan
Konferensi Meja Bundar (KMB). Buntut dari KMB ini adalah Negara Kesatuan
Republik Indonesia berubah wajah menjadi Republik Indonesia Serikat dengan
beberapa negara bagian di dalamnya, termasuk Republik Indonesia.
Bersamaan dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat, lahir pula konstitusi
yang mendampingi berdirinya negara federal tersebut, yaitu Konstitusi
Republik Indonesia Serikat yang belaku mulai tanggal 27 Desember 1949.17
Ternyata usia Republik Indonesia Serikat sendiri tidaklah lama karena
kehendak rakyat menginginkan kembali bentuk negara kesatuan seperti awal
berdirinya negara Indonesia. Dari keinginan tersebut, maka para pemimpin
bangsa ini sepakat kembali kepada bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kesepakatan ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang
Federal No. 7 tahun 1950 pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku
pada tanggal 17 Agustus 1950. 18 Undang-undang ini dikenal dengan sebutan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).
Untuk menindaklanjuti UUDS, maka dibentuklah Badan Konstituante
yang dilantik pada tanggal 10 November 1956 yang bertugas membuat sebuah
undang-undang dasar baru menggantikan UUDS.19 Setelah 2,5 tahun bekerja,
tidak ada hasil yang diberikan oleh Badan Konstituante untuk pembuatan
Undang-Undang Dasar yang baru bagi Republik Indonesia. Untuk mengatasi
keadaan tersebut Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik
Indonesia, Presiden Soekarno, pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan sebuah
dekrit yang kita kenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menyatakan bahwa pada intinya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
berlaku lagi sebagai konstitusi Republik Indonesia.
Setelah sekian lama UUD 1945 menjadi konstitusi Indonesia sampai
pada masa Orde Baru, pada tanggal 19 Oktober 1999 perubahan pertama pada
UUD 1945 dilakukan. 21 Hal ini sebagai langkah awal yang sangat bersejarah
bagi bangsa Indonesia karena sebelumnya UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu
yang sakral dan tidak dapat dirubah. Setelah sakralisme berhasil dirobohkan,
MPR-RI kembali melakukan perubahan yang kedua pada UUD 1945, yaitu
pada tanggal 18 Agustus 2000. 22 Agenda perubahan dilanjutkan lagi, MPR-RI
8
berhasil menetapkan naskah perubahan ketiga UUD 1945 pada tanggal 9
November 2001.23 Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang
reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang
ditetapkan dalam sidang tahunan MPR-RI tahun 2002. Pengesahan naskah
perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Secara historis kesepakatan MPR pernah dilakukan oleh para pemimpin
nasional pada saat menyusun Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Pada saat itu
terdapat kesepakatan mengenai essentialia UUD 1945 yang meliputi 3 (tiga)
pasal yang tidak boleh berubah, yakni Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 33 UUD
1945. Atas dasar kesepakatan tentang essentialia itu ketiga pasal tersebut tidak
mengalami perubahan sama sekali, sekalipun terjadi pergantian UUD 1945 oleh
Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sampai pada amandemen yang terakhir pada
tahun 2002. Pada amandemen yang terakhir Pasal 33 tidak mengalami
“perubahan”, tetapi hanya mengalami penambahan ayat.
Akan tetapi berkaitan dengan orisinalitasnya, ada banyak nuansa Islam yang
menjiwai pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pasca amandemen. Di pembukaan
misalnya, kandungan yang termuat dalam pembukaan UUD ituakan terasa bahwa gaya
bahasanya bernuansa keislaman. Hal ini tidak mengherankan karena yang
mengusulkannya adalah para tokoh kalangan Islam. Yang menarik adalah pernyataan
Soekarno dalam paragraf lima dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang
menginstruksikan untuk kembali pada UUD 1945. Soekarno menyatakan, “... kami
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang
Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut.” 27 Hal tersebut menandaskan bahwa Islam “menjiwai” terbentuknya
konstitusi Indonesia karena kata “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 dapat
diterjemahkan sebagai “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Di batang tubuh UUD 1945 juga tidak luput dari adanya nuansa ke- Islam-
an, misalnya hal yang menyangkut tentang kebebasan beragama. Dalam UUD
1945, kebebasan beragama diatur dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
3
3 3
Ahmad Mansur Suryanegara, Op. Cit., hal. 131-183.
9
Bunyi Pasal 29 ayat (2) dapat dipahami sebagai manifestasi firman Allah
SWT dalam Q.S. Al-Baqarah: 256 yang berbunyi:
ۢ ت َوي ُۡؤ
مِن ِ طغُو ٱلر ۡشدُ مِنَ ۡٱلغ َِّۚي ِ فَ َمن يَ ۡكفُ ۡر بِٱل َٰ ا
ُّ َِين قَد تابَيان ِ ِۖ َّل إِ ۡك َراهَ فِي ٱلد
َٓ
٢٥٦ علِي ٌم ُ ام لَ َه ۗا َو ا
َ ٱَّلل َسمِ ي ٌع َ ص َ ٱَّلل فَقَ ِد ٱسۡ تَمۡ َسكَ بِ ۡٱلعُ ۡر َوةِ ۡٱل ُو ۡثقَ َٰى ََّل ٱن ِف
ِ بِ ا
Islam mengakui kebebasan ini dan melarang keras setiap orang merusak
akidahnya secara bebas, meskipun berlandaskan akalogik dan teori yang benar.
Hal itu karena Islam menjadikan dasar teologi dan keimanan untuk dibahas dan
dikaji, tidak ada unsur paksaan.
Atas dasar itu, keperluan akan adanya peninjauan lebih jauh tentang
kandungan Al-Qur’an yang ada dalam konstitusi Indonesia menjadi sangat
penting mengingat ada banyak sekali sumbangsih para tokoh umat Islam dalam
perjuangan bangsa Indonesia yang bisa menimbulkan pemikiran dari umat
Islam bahwa perlu adanya ketentuan-ketentuan Islam yang tercantum dalam
konstitusi Indonesia.
3
Robert Van Niel, 1970, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, The Hague: W. Van Hoeve, hal. 2 dalam
Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1996, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang percaturan dalam Konstituante, Jakarta:
LP3ES, hal. 79.
10
2. Kerangka Pemikir
UUD
1945
Hak
Milik
Kebebasan
Keyakinan
Jaminan
Sosial
Hak
Hidup
Pernikahan
Ilmu Pengetahuan
Pengaturan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 terpengaruh oleh tiga aliran
pemikiran, yaitu Islam, Barat, dan Adat. Tetapi dalam HAM tersebut ternyata ada 8 bidang
yang bisa dipilah-pilah berdasarkan ruang lingkup yang dikaji. Kedelapan bidang tersebut
adalah keadilan, musyawarah, hak milik, kebebasan keyakinan, jaminan sosial, hak hidup,
pernikahan, dan ilmu pengetahuan. Setelah dilakukan penelitian, ternyata kedelapan bidang
yang menjadi ruang lingkup hak asasi manusia (HAM) di dalam konstitusi Indonesia menganut
pemikiran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4 4
Muhammad Ramdhoni, Metodologi Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim (Ibnu Katsir), diunduh dari
http://hadyussari.wordpress.com/2010/09/06/metodologi-tafsir-al-qur%E2%80%99anul-
%E2%80%98azhim-ibnu-katsir/ pada hari Selasa, 30 Oktober 2012 pukul 15.43
11
B. Nasionalisme Di Indonesia
1. Pengertian Nasionalisme di indonesia
Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) dan Natie (Belanda), yang berarti
bangsa. Bangsa adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan
memiliki hasrat serta kemampuan untuk bersatu, karena adanya per-samaan nasib, cita-cita,
dan tujuan. Nasionalisme merupakan suatu konsep penting yang harus tetap dipertahankan
untuk menjaga agar suatu bangsa tetap berdiri kokoh dalam kerangka sejarah pendahulunya,
dengan semangat nasionalisme yang tinggi maka eksistensi suatu negara akan selalu terjaga
dari segala ancaman, baik ancaman secara internal maupun eksternal. Sasaran nasionalisme
adalah penyebaran kesadaran berbangsa atau terbentuknya sebuah nation-state.
Nasionalisme melahirkan upaya untuk membentuk bangunan kebangsaan (nation building)
yaitu upaya yang terencana dan sistematis untuk menanamkan kesadaran bahwa walaupun
darikeanekaragaman ras, etnik, agama ataupun budaya, namun itu semua merupakan dalam
satu wadah yaitu bangsa.
Nasionalisme untuk pertama kalinya muncul di Eropa pada abad ke- 18. Lahirnya
paham ini diikuti dengan terbentuknya negara-negara nasional atau negara kebangsaan.
Awal terbentuknya negara kebangsaan dilatarbelakangi oleh faktor- faktor objektif seperti
persamaan keturunan, bahasa, adat-istiadat, tradisi, dan agama. Akan tetapi kebangsaan yang
dibentuk atas dasar paham nasionalisme lebihmenekankan kemauan untuk hidup bersama
dalam negara kebangsaan. Sejalan dengan ini, rakyat Amerika Serikat tidak menyatakan
harus satu keturunan untuk membentuk suatu negara, sebab disadari bahwa penduduk
Amerika Serikat terdiri atas berbagai suku bangsa, asal-usul, adat-istiadat, dan agama yang
berbeda. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, masyarakat Indonesia menyadari bahwa
negaranya terbentuk dari berbagai individu yang memiliki latar belakang yang berbeda,
namun memiliki keinginan kuat untuk hidup bersama dalam satu negara kebangsaan.
Berdasar itu pula Indonesia disebut negara multikultur.
Nasionalisme di Indonesia muncul dari adanya kesadaran yang terus ber- kembang,
yaitu kesadaran terhadap situasi ketertindasan yang melahirkan keinginan untuk bebas dan
merdeka. Kesadaran tersebut pada akhir abad 19 melahirkan beberapa pergerakan
organisasi modern, salah satunya Budi Utomo. Sejak berdirinya Budi Utomo, perkembangan
nasionalisme Indonesia menjadi sangat cepat. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai
organisasi pergerakan yang mempunyai tujuan sama, yaitu mencapai kemerdekaan atau
membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme. Nasionalisme yang terjadi di
Indonesia adalah nasionalisme yang berkeadilan sosial, anti kolonialisme, imperialisme dan
12
kapitalisme. Nasional- isme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional
yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara ini.
Selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang perjuangan
bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa
dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala bentuk
perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah lagi.
13
pada generasi muda. Pendidikan di sekolah melalui kegiatan kurikuler maupun
ekstrakurikuler berupaya menumbuhkan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai
nasionalisme, misalnya melalui pelajaran PKn dan kegiatan upacara bendera. Karena itu,
pendidikan di sekolah seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada peserta
didik. Namun kenyataannya dalam proses pendidikan di sekolah, guru hanya menekankan
ranah kognitif daripada afektif. Nasionalisme seringkali disangka akan muncul secara
otomatis ketika siswa mampu menghafal nama-nama tokoh pejuang kemerdekaan dan aneka
nama budaya bangsa Indonesia. Nasionalisme bukan sekedar pengetahuan, karena
nasionalisme merupakan kesadaran yang terbangun dari akal dan rasa. Penanaman
nasionalisme melalui pendidikan harus bertumpu pada ranah afektif yang terus menerus
dipupuk pada siswa sehingga membuat peserta didik menjadi nasionalis-nasionalis yang
mencintai Indonesia.
14
(2011) menunjukkan bahwa film Nagabonar jadi 2 dapat dijadikan sebagai alternatif media
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena mengandung nilai nasionalisme dan
patriotisme di era globalisasi yang dikemas dalam suasana modern. Sesuai dengan realita
kehidupan masyarakat sekarang ini, sehingga penonton dapat dengan mudah menangkap arti
dan memaknai pesan yang terdapat dalam film tersebut.
Novel dapat dijadikan sebagai media yang menanamkan nilai nasionalisme, karena
dengan membaca kepekaan jiwa dan perasaan pembaca dapat tergugah dan meniru figur atau
tokoh yang baik di dalamnya. Novel yang baik adalah novel yang mengandung nilai
pendidikan di dalamnya. Salah satu contoh novel yang mengandung nilai pendidikan
adalah novel Perempuan Berkalung Sorban. Hasil penelitian Cahyaningsih (2013)
menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy yaitu nilai cinta, kebahagiaan, dan tanggung
jawab.
Akan tetapi fakta atau kenyataan yang ditemui tidak sebagaimana gambaran di atas,
baik yang ditemui dalam pembelajaran di sekolah, kegiatan organisasi, maupun produksi
film, dan novel yang terbit. Cukup banyak yang tidak sesuai dengan menanamkan nilai
nasionalisme. Guru dalam proses pembelajarannya sebatas menanamkan pengetahuan,
aspek nilai atau penghayatan rasa nasionalisme kurang optimal. Sehingga nasionalisme
peserta didik untuk mencintai kebudayaannya ter-kikis, mereka lebih suka pada K-Pop
(Korean Pop). Lagu-lagu K-Pop menjadi trend dikalangan remaja dibandingkan lagu Pop
Indonesia. Model baju yang dipakai lebih condong ke fashion barat, memakai rok mini
menjadi sesuatu yang wajar bagi anak muda. Film yang beredarpun dan disukai kebanyakan
film-film yang kurang bahkan tidak menanamkan nilai nasionalisme, seperti film percintaan
dan horor. Sama seperti film, sebagian besar novel remaja yang beredar hanya menceritakan
kisah cinta remaja tanpa muatan nilai tertentu. Film dan novel yang dimaksud diantaranya
“Misteri Cipularang”, “Suster Keramas”, dan “Cinta Brontosaurus”.
Penanaman nasionalisme melalui berbagai media tersebut pada saat ini sangat
diperlukan, mengingat munculnya krisis nasionalisme akibat gempuran globalisasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang informasi, komunikasi
dan transportasi, membuat dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi sebuah kampung
tanpa mengenal batas negara. Kondisi ini menciptakan struktur baru, yaitu struktur global.
Kondisi ini mempengaruhi struktur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, termasuk Indonesia, sekaligus mem- pengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan
masyarakat, termasuk nilai-nilai nasional- isme. Pemuda saat ini lebih bangga dengan
budaya luar, seperti menggunakan bahasa Korea atau Inggris. Pakaian yang digunakan juga
kurang mencerminkan budaya Indonesia, mereka lebih menyukai fashion budaya Barat.
15
Lagu K-Pop (Korean Pop) juga lebih disukai dari pada musik Pop Indonesia. Rasa cinta
terhadap produk makanan dalam negeri pun terkikis dengan banyaknya produk makanan
dari luarnegeri seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut dan Fried Chicken. Kebanggaan
diri menggunakan budaya dari luar tersebut merupakan cermin kurangnya nasionalisme.
Karena itu penanaman nasionalisme dengan memanfaatkan berbagai media sangat penting
dilakukan di era global ini.
Salah satu media penanaman nasionalisme yang dimaksud adalah novel. Karya sastra
novel dapat dikatakan sebagai media belajar, karena merupakan salah satu karya sastra
yang berbentuk cerita. Pada dasarnya menyenangi cerita adalah sifat alamiah manusia,
sekaligus berpengaruh pada perasaan manusia yang membacanya, itulah yang menjadikan
dasar untuk menetapkan novel sebagai media pendidikan. Novel yang dapat digunakan
sebagai media belajar adalah novel yang dikemas dengan baik, yaitu memiliki kandungan
nilai-nilai edukatif yang dapat memberi inspirasi, dan membantu perkembangan apresiasi
budaya, serta memperluas pengetahuan. Salah satu contoh novel yang dapat dijadikan media
pembelajaran adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, karena novel Laskar Pelangi
memberikan pelajaran pada siswa untuk lebih tekun dalam menuntut ilmu. Alur cerita novel
Laskar Pelangi sangat inspiratif, novel ini mampu mengobarkan semangat siswa yang
selalu dirundung kesulitan dalam belajar di sekolah, namun tetap bersemangat dan optimis.
Tokoh-tokohnya digambarkan sebagai sosok sederhana, jujur, sabar, gigih, penuh dedikasi,
ulet, tawakal dan takwa. Alur cerita dalam novel tersebut dituturkan secara indah (Zainure,
2008).
Namun demikian tidak semua novel seperti Laskar Pelangi. Novel yang ada
kebanyakan berisi kisah cinta yang kurang dengan nilai-nilai positif, bahkan negatif, salah
satunya karya Enny Arrow. Novel Enny Arrow tidak tebal, hanya puluhanlembar, namun
isinya luar biasa vulgar. Pembaca diajak berimajinasi liar mem-bayangkan sepasang
kekasih berasyik masyuk. Tidak ada alur cerita di dalam novelitu, hanya dari satu adegan
seks ke adegan seks berikutnya. Novel karya Enny Arrow dimaksud diantaranya “Malam
Kelabu”, “Gairah dan Cinta”, dan “Selembut Sutera”. Novel sejenis meski tidak sevulgar
contoh di atas adalah novel Belenggu. Novel ini kontroversial, ada yang menerima dan
menolak. Pihak yang mendukungnya ber- anggapan bahwa novel ini benar-benar
mencerminkan konflik yang dihadapi para intelektual Indonesia, sementara yang menolak
beranggapan bahwa novel ini porno karena memasukkan tokoh pelacur dan tema
perselingkuhan (Anonim, 2013). Karena itu penulis tertarik untuk mengkaji novel yang
memiliki muatan nilai positif sebagaimana isi cerita novel Laskar Pelangi di atas, khususnya
yang mengandung nilai-nilai nasionalisme. Dalam hal ini meneliti muatan nasionalisme
pada novel Sebelas Patriot.
16
Novel Sebelas Patriot berikut nilai nasionalisme yang ada di dalamnya dapat dijadikan
sebagai media dalam pembelajaran PKn, karena PKn merupakan mata pelajaran yang
menekankan pemahaman dan menanamkan nasionalisme. Hal tersebut secara jelas
tercerminkan dalam visi pembelajaran PKn, yaitu berfungsi sebagai sarana pembinaan
watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara. Diperjelas
lagi dalam misinya, yaitu membentuk warga negara yang baik yakni warga negara yang
sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bernegara, dilandasi oleh
kesadaran politik, kesadaran hukum, dan ke-sadaran moral.
Visi dan misi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam tujuan umum pelajaranPKn yang
sangat kental dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme. Tujuan di- maksud adalah
mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang memiliki jiwa patriotik,
toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis, Pancasilais sejati
(Somantri dalam Parulian, 2013). Secara resmi tujuan PKn adalah untuk membentuk
kompetensi sebagai berikut:
1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarga-
negaraan.
2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi.
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-
bangsa lainnya.
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
(BSNP, 2006:201).
Berdasarkan visi, misi, dan tujuan PKn tersebut jelas bahwa penanaman nilai
nasionalisme menjadi bagian yang penting dalam mata pelajaran PKn. Melalui penanaman
nilai nasionalisme diharapkan dapat membentuk peserta didik yang sanggup melaksanakan
hak dan kewajibannya dalam kehidupan bernegara. Selain itu diharapkan mampu mendidik
peserta didik menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan warga negara
yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis dan
Pancasilais sejati.
Penanaman nasionalisme dijabarkan secara lebih rinci melalui materi atau pokok
bahasan PKn. Namun materinya disajikan terintegrasi dalam bahasan pokok materi lain.
17
Salah satu contohnya yaitu Standar Kompetensi “Menampilkan partisipasi dalam usaha
pembelaan negara” dan Kompetensi Dasar “Menjelaskan pentingnya usaha pembelaan
negara”, dari materi tersebut siswa akan mengetahui pentingnya memiliki rasa nasionalisme
untuk tetap mempertahankan keutuhannegara. Setelah mengetahui pentingnya memiliki
rasa nasionalisme untuk mem- pertahankan keutuhan negara, diharapkan siswa mampu
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya materi bela negara
yang dapat diintegrasikan dengan nasionalisme, tetapi pokok bahasan globalisasi juga bisa
digunakan untuk menanamkan nilai nasionalisme dalam pembelajaran. Salah satu contohnya
yaitu Standar Kompetensi “Memahami dampak globalisasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” dan Kompetensi Dasar “Men- jelaskan
pengertian dan pentingnya globalisasi bagi Indonesia”, dari materi tersebut siswa akan
mengetahui pentingnya globalisasi bagi Indonesia, sehingga tidak menyalahgunakan masuk
bebasnya budaya dari luar.
Novel merupakan karya sastra yang memiliki fungsi sebagai penyampai pesan moral
dan pembentuk karakter. Selain itu novel juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran
dalam dunia pendidikan. Karena itu, guru PKn dapat menjadikan novel sebagai media
pembelajaran, dengan membaca novel siswa akan lebih bisa meng- hayati isi cerita dan
mengikuti alur cerita, sehingga siswa dapat mengambil intisari yang terkandung di
dalamnya. Guru PKn dalam memilih novel yang digunakan sebagai media pembelajaran
harus selektif, terutama yang mengandung nilai nasionalisme, karena nilai nasionalisme
sangat penting ditanamkan pada siswa sebagai generasi penerus bangsa. Tujuannya adalah
agar siswa dapat menangkap nilai nasionalisme yang terkandung dalam novel dan mampu
mengimplementasikannyadalam kehidupan sehari-hari. Penanaman nilai nasionalisme salah
satunya terdapat dalam novel Sebelas Patriot.
Analisis isi pada novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata untuk pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Oleh karena itu, k i t a perlu mengetahui definisi-definisi
mengenai nilai, nasionalisme, novel, analisis isi, pembelajaran, dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
1. Nilai, pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan
objek itu sendiri (Budiyono, 2007:69), atau keyakinan yang membuat seseorang
bertindak atas dasar pilihannya (Allport dalam Mulyana, 2011:9). Dirumuskan pula
sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya
diantara cara-cara tindakan alternatif (Kuperman dalam Mulyana, 2011:9). Jadi nilai
merupakan sifat yang melekat pada suatu objek dan dapat dijadikan patokan normatif
untuk bertindak atas dasar pilihannya.
2. Nasionalisme, adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara (Renan dalam Hadisarjono,
18
2011), atau suatu persatuan perangai (karakter) yang timbul karena perasaan senasib
(Bauar dalam Hadisarjono, 2011). Disebut pula sebagai suatu paham yang menciptakan
dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan satu
konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Subadi, 2010:55). Jadi
nasionalisme adalah suatu kehendak untuk bersatu yang dimiliki oleh sekelompok
manusia karena perasaan senasib dalam mempertahan- kan kedaulatan sebuah negara.
3. Novel, adalah sebuah karya fiksi yang tertulis dan naratif, biasanya dalam bentuk cerita
(Mistamiroh, 2013), atau karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat
setiap pelaku (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008:1079). Jadi novel merupakan karya sastra
yang mengandung cerita kehidupan seseorang dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku.
4. Analisis isi, atau content analysis pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik
untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi
dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih (Budd
dalam Hadi dan Haryono, 2005:175). Disebut pula sebagai suatu teknik penelitian untuk
membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan
memperhatikan konteksnya (Bungin, 2011:163). Jadi analisis isi atau content analysis
adalah teknik penelitian untuk menganalisis isi dan mengolah pesan.
5. Pembelajaran, adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (Barizi,
2009:87), atau suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk
membelajarkan peserta didik (Warsita dalam Dedi, 2013). Dirumuskan pula sebagai
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 20 dalam Dedi, 2013).
Jadi pembelajaran merupakan suatu cara untuk membuat peserta didik belajar.
19
C. KKN di indonesia
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) yang selama ini hanya menjadi isu nasional,
akhirnya meningkat semakin endemis dan kecenderungan tetapparah akibatnya bangsa
dan negara dilanda multi krisis termasuk dalam dunia bisnis, kredebilitas dan kemampuan
daya saing para pelaku bisnis melemah. Hal ini menjadi tantangan dunia usaha dalam
menghadapi perdagangan bebas.
20
bisnis tradisional, konvensional, nasional menuju bisnis global seiring dengan era
perdagangan bebas (Suherman, 2001 : 31). Masyarakat semakin dihadapkan dengan
berbagai persoalan-persoalan yang sangat kompleks dengan diikuti munculnya berbagai
aturan baru dalam masyarakat termasuk di dalam dunia bisnis dan kejahatan.
Pada tatanan bisnis tingkat elite dan transnasional dalam mengelola sumber daya
kekayaan alam melalui transaksi bisnis, para pejabat pemerintah yang bertugas
menjalankan aset-aset yang dimiliki tiba-tiba saja dapat menjadi konglomerat, dengan
cara menjualnya dengan harga yang sangat murah melalui penyuapan, atau bahkan
memilikinya dengan perantara keluarga dan teman- teman mereka (Elliot, 1999 : 16).
Pelaku bisnis telah melakukan intervensi dan mempengaruhinya dengan pola suap, mark
up, order fee, manajemen fee, komisi, bonus/hadiah, tips yang berlebihan bahkan proyek
fiktif yang hasilnya dapat memberikan andil terhadap pengambilan keputusan dan
kebijaksanaan di bidang ekonomi dan bisnis menjadi penyimpangan terhadap dana-dana
pinjaman dan lembaga keuangan internasional seperti International Deplovemend Bank
(IDB), International Money Found (IMF) dan lain-lain.
Praktek KKN di Indonesia belum dapat diselesaikan secara tuntas. Berbagai tekad
baru ditandai niat baik para pejabat dilingkungan lembaga pemerintahan negara yang
dalam pernyataannya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menindak KKN secara
tegas (Sudarsono, 1969 : 9). Semuakemampuan bangsa merancangkan Good Governent
and Clean Govement sebagai langkah keluar dari krisis yang bebas dari KKN. Melalui
wakil-wakil rakyat kurun waktu 5 (lima) tahun dari tahun 1998 sampai tahun 2003 telah
dibentuk instrumen hukum yang mengatur tentang KKN sebagai pengganti Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak pidanakorupsi antara lain :
1). Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851).
21
3). Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4150).
4). Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250).
Perbuatan KKN dalam praktek bisnis merupakan fenomena sosial yang sangat
komplek. Kompleksitas ini dapat melekat pada persepsi dan paradigma kelompok-
kelompok bisnis pada ekonomi lemah dan ekonomi kuat sebagai pelaku bisnis termasuk
oknum-oknum birokrat. Selama ini terjadi kesenjangan yang cukup besar antara ekonomi
lemah dan ekonomi kuat. Kelompok bisnis ekonomi kuat banyak didukung oleh oknum-
oknum birokrat tertentu yang pada gilirannya dapat menciptakan konflik sosial (sosial
conflic). Kelompok ekonomi kuat mempengaruhi pembuat keputusan, peraturan
perundang- undangan yang menguntungkan kelompok bisnis ekonomi kuat (Baswir,
1999 : 31).
Terjadinya KKN dalam prakek bisnis bagaikan berada dalam suatu lingkaran yang
sulit dicari solusi dan antisipasi. Dunia bisnis antara para pengusaha/swasta dan
22
birokrasi merupakan pasangan atau mitra yangsaling membutuhkan satu sama lain.
Tanpa birokrasi dunia usaha sulit mengembangkan diri secara sehat. Demikian pula
sebaliknya tanpa dunia usaha dengan bisnis birokrasi akan sulit dalam mengemban
tugas pelayanan publik. Dalam hubungan yang saling membutuhkan telah
memberikan peluang yang sangat besar munculnya perbuatan KKN dalam praktek bisnis
atausebaliknya menjadi peluang besar untuk sukses usaha bisnis tanpa KKN.
Refleksi ke depan persoalan nuansa KKN dalam praktek bisnis menjadi sangat
esensial yang berhubungan dengan cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai
amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 (Narang, 2003 : 4).Di antaranya berupa
Revitalisasi dan recovery atas lemahnya supremasi hukum serta paradigma dan solusi
penanggulangan KKN dalam praktek bisnis dengan nuansa bebas KKN. Esensi yang lain
adalah menyelamatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan kehidupan bisnis
yang sehat atau menyelamatkan sumber keuangan dan ekonomi negara untuk keluar dari
dilema, multi krisis yang belum surut.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasionalisme dalam bingkai Pancasila atau nasionalisme seperti yang dipahami hatta tidak
dapat dikategorikan sebagai bertentangan dengan Islam. Bahkan dalam menghadapi
imperialisme dan kolonialisme, Islam telah bahu membahu dengan nasionalisme di Indonesia.
Tapi sekali negara-bangsa warisan konsep Hegel dan Rousseau, sebagai bagian esensial dari
nasionalisme Barat dijadikan sesembahan, maka Islam akan mengatakan bahwa itu adalah
perbuatan bodoh dan tidak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang luhur, karena
pasti akan membawa kepada parokialisme, peperangan, dan kemusyrikan. Negara-negara yang
didewakan pasti menjurus kepada penghancuran perumahan kemanusiaan. Islam dan bahkan
semua agama punya misi utama untuk menjaga dan melindungi perumahan kemanusiaan itu.
Jadi Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran wajib yang dimuat dalam
kurikulum di setiap jenjang pendidikan untuk membentuk warganegara yang mampu
melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warganegara Indonesia. Permasalahan yang
diuraikan dengan materi penelitian fenomena sosial KKN dalam praktek bisnis, menurut
pengetahuan penulis adalah merupakan gambaran masalah aktual yang dihadapi dan belum
pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu. Penelitian ini secara khusus dilakukan mulai dari
isu permasalahan sampai pada fokus paradigma dan solusi dalam rangka upaya
penanggulangan permasalahan yang secara kronologis.
24
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, T. Ibrahim, “Perang Aceh 1872-1912: Perang di Jalan Allah.” Suara Muhammadiyah, Th. ke-
61, No. 2 (Juni 1981).
Anshary, Muhammad Isa, Islam dan Nasionalisme. Bandung-Jakarta: t.p., 1954.
Benda, Harry J., Continuity and Change in Southeast Asia. New Haven: Yale University Southeast Asia
Studies, 1972.
Bousquet, G.H., A French View of The Netherlands Indies, terj. Philip E.
Lilienthal. London and New York: Oxford University Press, 1940.
Hatta, Mohammad, Memoir. Jakarta: Tintamas, 1978.
Kahin, George McTurnan, Nasionalism and Revolution in Indonesia. Ithaca and London: Cornell
University Press, 1970.
Legge, J.D., Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1964.
McVey, Ruth T., The Rise of Indonesian Communism. Ithaca, New York: Cornell University Press,
1965.
https://e-jurnal.uajy.ac.id/4153/2/1MIH00900.
https://ejurnal.uin;malang.ac.id
25