Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam bukan hanya mayoritas di Indonesia, tetapi adalah terbesar di dunia. Tetapi
tidak begitu saja Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara Islam. Justru banyak syariat
Islam belum dapat dilaksanakan di Indonesia, pendidikan masih terbelakang dan bahkan
politik islam pun menjadi kelompok minoritas. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan
kurangnya wawasan ummat Islam di Indonesia tentang keindonesiaan serta keislamannya
sekaligus. Tetapi masa dapat Indonesia sebenarnya sangat ditentukan oleh ummat Islam
yang mayoritas itu.

Umat Islam Indonesia sebagai komponen mayoritas bangsa, tentu saja mempunyai
peran dan tanggung jawab yang besar bagi tercapainya cita-cita nasional masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sehubungan dengan misi yang mulia
ini, umat Islam bertanggung jawab penuh terhadap pengemabang dan penataan kehdupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanggung jawab seperti itu, merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari posisinya sebagai kaum Muslimin dan warga negara Indonesia.
Sebagai implementasi tanggung jawab itu, ada dua permasalahan mendasar yang perlu
dicermati oleh segenap umat Islam Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut
:
1. Bagaimana memahami Islam dan keindonesiaan ?
2. Bagaimana peranaan Islam dalam membangun Indonesia
3. Bagaimana memahami Islam, Demokrasi Pancasila,
C. Tujuan
1. Dapat mengidentifikasi islam dan wawasan keindonesiaan
2. Mengetahui islam dan wawasan keindonesiaan
3. Dapat mengetahui penerapan islam dan wawasan keindonesiaan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Memahami Istilah Islam Nusantara


Nusantara adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari
Sumatra hingga Papua. Kata ini berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar abad
ke-12 Masehi sampai ke-16 Masehi sebagai konsep Negara Majapahit. Sementara
dalam literatur berbahsa Inggris abad ke-19 Masehi, Nusantara merujuk paa
kepulauan Melayu. Karena kepulauan tersebut mayoritas berada di wilayah negara
Indonesia, maka Nusantara biasanya disinonimkan dengan Indonesia1

Islam Nusantara sebenarnya merupakan sebuah identitas Islam dengan


berbagai nilainya yang diimplementasikan di bumi Nusantara yang telah lama
mengakar dan dipraktikkan oleh rakyat Indonesia dalam kurun waktu yang sangat
lama. Salah satu ciri Islam Nusantara yaitu kesantunan dan kesopanan dalam beragam
dan penyebaran agama di tengah-tengah masyarakat. Agama Islam disebarkan oleh
para ulama yang memiliki wawasan keislaman yang mendalam sekaligus wawasan
kebangsan yang benar, sehingga Islam yang diajarkan adalah Islam yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

B. Nasionalisme Dalam Islam


Nasionalisme adalah kerinduan terhadap tanah (nasionalisme kerinduan), atau
keharusan berjuang membebaskan tanah air dari imprealisme (nasionalisme
kehormatan dan kebebasan), atau memperkuat ikatan kekeluargaan antar-
masyarakatnya (nasionalisme kemasyarakatan), atau membebaskan negeri-negeri lain
(nasionalisme pembebasan), hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang fitrah dan dapat
diterima bahkan ada yang dianggapsbagai kewajiban. Sebaliknya apabila
nasionalisme itu dimaksudkan untuk memilah umat islam menjadi kelompok-
kelompok sehingga mereka menjadi berseteru satu sama lain, kemudian umat
dieksploitasi untuk memenuhi ambisi pribadi (nasionalisme kepartaian), maka itu
pasti nasionalisme palsuan yang tidak akan memberi manfaat sedikitpun.

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara daring

2
Nasionalisme yang utama adalah nasionalisme yang membuka diri tehadap
peranan wahyu. Pengabdian kepada bangsa dan negara merupakan ibadah. Namun ia
mengecam nasionalisme sempit dan berkelebihan, sebab dengan demikian cinta
bangsa yang berlebihan akan menimbulkan kecongkakan dan kesombongan bangsa.

C. Hubungan Antara Islam dan Indonesia


Hubungan antara Islam dan Indonesia dapat dipahami sejak masuknya Islam
di Nusantara yang kemudian bernama Indonesia. Sejarah Islam di Nusantara
mengalami perkembangan seiring dengan sejarah perkembangan Islam di berbagai
wilayah di Nusantara. Perkembangan Islam di Nusantara lebih terlihat lagi sejak
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang dimulai dari Kerajaan
Samudera Pasai di Pulau Sumatera. Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam tumbuh dan
berkembang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya di wilayah
Nusantara. Sejarah panjang tumbuh dan berkembangnya Islam dalam bingkai
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara menggambarkan hubungan yang begitu kuat
antara Islam dan Indonesia.

Hubungan kedekatan dan keeratan antara Islam dan Indonesia dapat dilihat
dalam berbagai kajian. Islam masuk ke Indonesia dengan tujuan mengislamkan
masyarakat Indonesia. Islam dengan nilai-nilainya yang universal mempengaruhi
masyarakat Indonesia dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Dalam hubungan
ini, budaya yang dibawa Islam untuk memengaruhi Nusantara berupa sistem nilai
substantif atau universal, teologi, dan ritual ibadah yang sifatnya pasti. Sementara
budaya Islam yang bersifat fisik – dalam pengertian sosiologis – seperti cara
berpakaian, berjilbab, dan nada membaca Alquran dianggap sebagai budaya Arab
yang tidak perlu dibawa ke Nusantara2

Budaya Indonesia sebagai ”tuan rumah” aktif dalam menjaga, memberi


tempat, dan membina Islam agar tidak berbenturan. Ini menunjukkan bahwa ketika
masuk dalam budaya lokal, Islam diletakkan dalam posisi tertentu sehingga tidak
mempengaruhi unsure-unsur budaya Nusantara. Ibarat rumah, islam hanya
diperbolehkan masuk ke kamar tertentu tetapi dilarang masuk kamar lain (Luthfi,
2
https://uinsgd.ac.id/berita/hubungan-islam-negara/ daring

3
2016: 8-9). Inilah yang menjadi kekuatan Islam Nusantara yang sangat berbeda
dengan Islam di negara-negara lain yang tidak didukung oleh kekuatan budaya dan
nilai-nilai lokal dan kebangsaan. Dengan relasi yang sangat kuat dan sinergis inilah
Islam di Indonesia bisa eksis dan terus berkembang dengan peradaban khas Indonesia
yang menjadikan Islam di Indonesia menjadi model baru dalam percaturan Islam di
tengah masyarakat dunia.

D. Peranan Islam Dalam Membangun Indonesia

“ Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk)
menyampaikankabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka
Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan…”  (QS. Al-Baqarah : 213)

Apakah Islam itu sebenarnya? Umumnya, agama Islam yang kita ketahui
ialah  suatu agama yang menjadi penyempurna bagi agama-agama sebelumnya.
Begitu juga dengan kitabnya, yakni al-Qur’an sebagai pedoman yang dibawa dan
disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw kepada seluruh umat manusia. Namun
benarkah Islam merpakan agama pemersatu? Yakni, agama yang bersifat Universal,
Inklusif dan Egaliter, dalam arti memandang semua manusia itu dalam kedudukan
yang sama? Sebagaimana dalam Q.S. Al-baqarah ayat 213 di atas, Nurcholish Madjid
menafsirkannya bahwa ayat tersebut menegaskan soal kesatuan umat dan
kemanusiaan.
Padahal, sesuai dengan realita dunia yang ada dihadapan kita sekarang, bahwa
seluruh manusia di dunia memanglah berbeda-beda baik dalam segi apapun. Dalam
perbedaan, manusia hidup saling berkompetisi dan berselisih satu sama lain untuk
menjadi yang paling baik dari yang terbaik. Akibat dari perselisihan itu biasanya akan
melahirkan perpecahan antar sesama individu ataupun komunitas manusia. Lalu
apakah yang dapat menyatukannya kembali? Apakah yang mampu mendamaikan dan
memberikan gambaran juga penjelasan secara jelas bahwa dibalik perbedaan mestilah
ada persatuan yang akan membawa umat manusia kepada jalan hidup yang lebih baik?
Dan apakah Islam memiliki jalan keluar untuk memecahkan masalah tersebut?

Berabad-abad setelah wafatnya Rasulullah Saw, Islam masih menyebar ke


seluruh pelosok dunia. Khususnya setelah runtuhnya Dinasti Abbasyiah yang berpusat
di Baghdad, yang disebut sebagai sebuah masa keemasan dan kejayaan Islam (Golden

4
Age), Islam kemudian menyebar jauh hingga ke Asia Tenggara. Dalam
bukunya Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Prof. Dr. Amtsal Bakhtiar
menyebutkan bahwa terdapat tujuh cabang Peradaban Islam setelah hancurnya
Baghdad. Diantaranya adalah Arab, Persi, Turki, Afrika Hitam, Anak benua India,
Arab Melayu di Asia Tenggara dan Cina. Sedangkan Indonesia merupakan Negara
yang ada di Asia Tenggara. Itu artinya, Indonesia juga merupakan Negara yang
mayoritas penduduknya menganut agama Islam.

Padahal, jika kita tengok lagi sejarah, sebelum datangnya Islam di Indonesia,
mayoritas penduduk Indonesia, terutama di Pulau Jawa pada masa itu menganut
agama Hindu. Salah satu kerajaan Hindu di kepulauan Jawa dahulu ialah Kerajaan
Tarumanegara. Namun yang menjadi pertanyaan ialah, disaat Hindu sudah menjadi
agama pribumi yang dianut secara mayoritas oleh kalangan penduduk Indonesia,
mengapa Islam yang datang saat itu bisa begitu mudah diterima di Indonesia secara
sempurna, bahkan masih bertahan hingga saat ini sebagai agama yang mayoritas di
anut oleh para rakyatnya? Kekuatan apakah yang mampu membuat Islam begitu
mudah diterima di Indonesia? Nilai-nilai dan konsep-konsep apa sajakah yang ia
tawarkan?

Indonesia pada masa kini dikenal sebagai Negara yang multikultur,


multiagama dan menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Dengan segala
perbedaan yang ada di Indonesia, Indonesia menyatukannya dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila inilah yang
merupakan nilai Keindonesiaan pada Indonesia. Karena ia mencakup seluruh
kemajemukan/keberagaman dalam segi kultur maupun agama di Indonesia. Menurut
Nurcholish Madjid, apa yang menjadi Tujuan Indonesia ialah masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila.

Sedangkan keindonesiaan dalam arti kebangsaan Indonesia menurut Ahmad


Syafi’i Ma’arif ialah Bangsa Indonesia yang tidak beralih menjadi kebangsaan yang
ekspansif yang tidak lain dari Imperialisme modern, berdasar pada Pernyataan Bung
Karno yang mengutip dari perkataan Mahatma Gandhi “My Nationalism is
Humanity (Kebangsaan saya adalah perikemanusiaan)”3.
3
. Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 29.

5
Pada dasarnya, Keindonesiaan itu tidak bisa lepas dari nilai-nilai pancasila.
karena tujuan bangsa Indonesia terkait erat dengan nilai-nilai tersebut. Soekarno
dalam pidatonya mengatakan“Pancasila adalah salah satu alat pemersatu, yang saya
seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat
bersatu padu di atas dasar pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di
atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu
alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita
lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme…”4.

Lalu apakah hubungannya Islam dengan keindonesiaan ini? Dan apakah daya
tarik Islam hingga Ahmad Syafi’i ma’arif pun mengatakan bahwa hubungan antara
Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan itu tidak bisa dipisahkan? Menurut seorang
5
Antropolog penulis buku kocak-serius Indonesia Handbook, Bill Dalton .
mengatakan bahwa, daya tarik yang paling utama dari Islam adalah karena ia bersifat
psikologis. Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa semua orang di mata Allah
adalah sama-sama dibuat dari tanah, bahwa tak seorang pun dibenarkan untuk
diistimewakan sebagai lebih unggul. Dalam Islam tidak ada sakramen/ acara-acara
inisiasi yang misterius, juga tidak ada kelas pendeta. Islam memiliki kesederhanaan
yang hebat dengan hubungannya yang langsung dan pribadi antara manusia dan
Tuhan.
Selain itu, Islam di sisi lain memiliki pandangan-pandangan sosio-politik.
Akarnya ada pada semangat egalitarianisme, yang merupakan hasil dari pengikatan
diri antar anggota masyarakat dan meliputi semua anggota masyarakat tanpa
memandang latar belakang hidupnya (kalangan atas, menegah ataupun rakyat kecil).
Hal ini dibuktikan dalam sejarah ketika Islam berhasil diterima secara baik dan
sempurna oleh Indonesia. Tentunya hal itu dapat terjadi karena Islam telah berhasil
mempengaruhi dalam segala segi secara menyeluruh. Dalam arti, tidak hanya
mempengaruhi nilai-nilai religiusnya yang kental dengan sufismenya, seperti budaya
kejawen yang merupakan ilmu kebathinan (spiritualisme Jawa) yang terpengaruh oleh
Islam, namun juga mempengaruhi bidang-bidang lain terutama budaya Indonesia di
bidang kemasyarakatan dan kenegaraan.

4
Latif, Yudi. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, hal. 1.
5
.Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 48.

6
Jika kita hubungkan dengan perumusan pada nilai-nilai Pancasila, Nurcholis
Madjid mengatakan bahwa kita akan segera menemukan unsur-unsur Islam dalam
konsep-konsep tentang adil, adab , rakyat, hikmat, musyawarah dan wakil. Dan
sebagaimana yang kita ketahui, bahwa kata-kata yang terdapat dalam pancasila
sebagiannya berasal dari Bahasa Arab seperti adil, adab, hikmat, musyawarah yang
merupakan konsep-konsep utama yang terdapat dalam ajaran Islam.

Negara Indonesia memanglah menjunjung persatuan karena berbagai


keragaman yang dikandungnya, sesuai dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika
(Berbeda-beda namun tetap satu jua). Dalam hubungannya dengan Islam, lagi
Nurcholis Madjid memaparkan, bersamaan dengan rasa dan kesadaran hukum yang
diwujudkan oleh Nabi dalam rintisannya untuk membentuk komunitas Negara yang
berkonstitusi, semangat Egalitarianisme yang ada pada Islam memberikan kontribusi
yang paling penting bagi pembangunan Indonesia di masa depan, khususnya
pembangunan demokrasi. Semangat saling menghormati yang tulus dan saling
menghargai adalah pangkal bagi adanya pergaulan kemanusiaan dalam sistem sosial
dan politik yang demokratis.

Memang, Permaslahatan mengenai agama itu tidak bisa lepas dari Indonesia,
karena sesuai dengan pancasila dalam sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Prinsip-prinsip ketuhanan yang bernilai moral dan etika yang bagus
memang dibutuhkan dalam membangun nasionalisme bangsa juga mewujudkan
budaya demokrasi demi kemajuan bangsa. Yudi Latif dalam bukunya Negara
Paripurna mengatakan bahwa, perlulah untuk menghidupkan dimensi etis dan misi
profetik agama yang bersifat universal, yang diarahkan bagi perwujudan
kemaslahatan bersama dengan memenuhi prinsip-prinsip deliberatif untuk membuat
agama bermanfaat bagi kehidupan publik demokratis.

Adalah ekslusif jika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling
benar daripada agama-agama yang lain. Kemudian memaksa orang-orang yang
beragama selain Islam untuk masuk Islam karena agama-agama selain Islam adalah
salah ataupun sesat. Justru Islam itu bersifat Inklusif dengan semangat saling
menghormati dan menghargai, Islam bersifat universal dan netral, bukanlah fanatik
ataupun ekstrem, bukan bersifat paksaan dan kekerasan. Bukankah Islam itu cinta

7
damai? Hal ini terbukti dalam firman Allah dalam Q.S. Yunus : 99,“ Seandainya
Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua orang di muka bumi, tanpa kecuali.
Apakah engkau (hai Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka
menjadi beriman?” Lalu dalam potongan ayat al-Ma’idah ayat 48 berbunyi,“……
Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali,
lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,”
sudah jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut bahwa manusia itu berbeda-beda, baik
itu dalam agama, budaya, ras, suku, dan lain sebagainya. Terutama dalam agama, al-
Qur’an pun sudah menegaskan bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan
pemaksaan terhadap orang lain untuk memasuki agama Islam dan harus saling
menghormati juga berlomba-lomba dalam kebajikan. Sehingga jelaslah, bahwa Islam
pada esensinya memiliki nilai toleran yang tinggi terhadap adanya keberagaman di
dunia ini dan memiliki prinsip moral yang bisa diterapkan demi tegaknya keadilan di
Negara Indonesia ini. menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, terdapat beberapa prinsip
hukum Islam untuk publik yang bisa diintegrasikan dalam hukum nasional, sehingga
tidak bersifat eksklusif, kecuali bertalian dengan hukum keluarga, seperti perkawinan,
warisan, wakaf, dan juga yang menyangkut masalah zakat.

Jika kita melihat keadaan Indonesia saat ini, nampaknya terlihat bahwa nilai-
nilai pancasila dan nilai-nilai ketuhanan sudah semakin memudar. Nilai Politik sudah
dipandang tidak murni lagi dan sudah ternodai akibat banyaknya kasus-kasus korupsi
di Indonesia. Rakyat kurang sejahtera mayoritas disebabkan oleh krisis ekonomi yang
menghimpitnya, akibatnya banyak tindak kriminal dimana-mana dengan
menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, akhir-akhir
dipandang bahwa hukum di Indonesia dinilai sudah tidak adil dan tidak setara lagi.
Akhirnya nilai-nilai pancasila yang luhur sebagai ideology yang terbuka tidak lagi
dianggap berarti. Nilai-nilai ketuhanan pun semakin memudar dengan semakin
maraknya tindak kriminal dan korupsi yang tidak mencerminkan kehidupan yang
berlandaskan landasan moral dan etika.

Pada kenyataannya, tantangan utama negeri Indonesia dari generasi ke


generasi (dari sejak pra kemerdekaan hingga era reformasi) belumlah berubah dari

8
dulu hingga sekarang, yakni kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakdaulatan. Jika
melihat fakta lapangan, berdasarkan data statistik, sebanyak 30,02 juta atau 12,49%
penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, 11,05 juta ada di perkotaan
dan 18,97 juta jiwa di pedesaan6. Betapa permasalahan yang Indonesia hadapi kini
kian pelik. Setelah mengetahui fakta ini, kemanakah sebenarnya permasalahan itu
kembali?

Ketidakadilan dan ketidakdaulatan itu sebenarnya kembali lagi pada nilai-nilai


dasar pancasila Indonesia yang hampir oleh sebagian orang dianggap hanya sekedar
sebagai simbol saja yang tak memiliki pengaruh yang berarti bagi Negara. padahal
Pancasila itulah yang mampu menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak
pulau, berbagai suku dan beragam budaya dan agama. Sebagaimana yang Bung Karno
katakan bahwa, tak mungkin Indonesia bisa bersatu tanpa dasar pancasila itu. Oleh
karena itulah Nurcholis Madjid mengatakan bahwa, kita haruslah bersikap proaktif
terhadap nilai-nilai pancasila, yakni usaha mengetahui dan menghayati apa
sebenarnya yang dikehendaki oleh nilai-nilai luhur itu, dengan keberanian
mengadakan “pengusutan” kepada keadaan sekarang.
Maka disini berarti dikehendaki adanya persepsi kepada pancasila sebagai
ideology terbuka dan disanalah nilai keindonesiaan. Tidak lupa disertai dengan faktor
paling fundamental dan dinamis dari etika sosial yang diberikan oleh Islam, yakni
egalitarianisme dalam arti semua anggota keimanan itu, tidak peduli warna kulit, ras,
dan status sosial/ ekonominya, adalah partisipan yang sama dalam komunitas.
Sehingga kedua prinsip dari Indonesia dan Islam ini bisa selaras dan mewujudkan
Bangsa yang demokratis, adil dan makmur sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila
sebagai Dasar Negara Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran

6
Dikutip dari Republika Jum’at 20 April 2012, Berubah Kinerja sekaligus Karakternya oleh Zaky al-
Hamzah, hal. 10
9
Manusia Indonesia yang mengamalkan agamanya dengan tulus, mesti akan
memiliki sikap dan perbuatan produktif seperti jujur, displin, tanggung jawab, santun,
peduli, dan percaya diri dalam kehidupan sehari-hari.

Mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari ajaran Islam


merupakan bentuk ketaatan kepada Tuhan. Nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari
ajaran Islam di antaranya kejujuran dalam berkata dan bertindak, displin dalam
mencapai tujuan, bertanggung jawab atas kontrak perkejaan yag diberikan pihak lain,
santun terhadap sesame, peduli pada penderitaan orang lain, dan percaya diri dalam
memilih jalan menuju tujuan yang dicita-citakan.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara

10
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/4881

https://uinsgd.ac.id/berita/hubungan-islam-negara/ daring

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal. 29.
Latif, Yudi. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, hal. 1.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 48.

https://kabepiilampungcom.wordpress.com/2009/09/25/wawasan-keislaman-dan-
keindonesiaan/

Albertus, D.K. (2012). Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.

Al-Buchory, Abi Abdillah Muhammad ibn Isma’il. (online). Shahih bukhary (versi
elektronik).

Dikutip dari Republika Jum’at 20 April 2012, Berubah Kinerja sekaligus Karakternya oleh Zaky al-
Hamzah, hal. 10

http://id.lidwa.com/app/.

Amin, A. (1988). Etika Ilmu Akhlak. (Terjemahan Ma’ruf Amin). Jakarta: Bulan Bintang.

Amin, K. . (2018). Kata Sambutan Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Dalam Suwendi dkk

(ed.). Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi

Keagamaan Islam, Ditjen Pendis Kemenag RI.

Bagus, L. (1996). Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bahar, S. (ed). (1992). Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei - 19 Agustus 1945. Jakarta:
Sekretariat Negara.

Bandura, A. (1989). Human agency in social cognitive theory. American Psychologist, 14,
1175-1184.

11

Anda mungkin juga menyukai