Anda di halaman 1dari 14

ISLAM NUSANTARA: DIALEKTIKA ISLAM DAN KEBUDAYAAN LOKAL

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Islam Indonesia
Dosen Pengampu: Bapak Ahmad Wahyu Sudrajad, M.A.

Disusun oleh:
Ayyu Sania Putri (22011395)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUNAN PANDANARAN
YOGYAKARTA
2024
LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin sudah barang tentu memiliki sifat
universal.1 Hal demikian diartikan bahwa ajaran Islam tidak ditujukkan khusus kepada satu
kelompok atau negara, akan tetapi keberadaan Islam diperuntukkan umat manusia seluruh
dunia tanpa pengecualian. Akan tetapi, pemaknaan universal dalam kalangan umat Islam
sendiri tidak seragam. Terdapat kelompok pro dengan memaknai universalitas Islam sebagai
ajaran yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu sehingga dapat menembus ke seluruh budaya
manusia. Pendapat kelompok lain yang kontra mendefinisikan universalitas Islam sebagai
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yang nota-benenya berbudaya Arab, dan hal
demikian dianggap final.2

Kelompok pertama meyakini letak Islam ada pada nilainya bukan dari budaya yang
ada. Sehingga nilai tersebut bisa mempengaruhi seluruh kebudayaan manusia yang ada.
Kelompok ini disebut sebagai kelompok substantif. Sedangkan kelompok kedua disebut
kelompok fundamentalis. Mereka menginginkan adanya keseragaman budaya sebagaimana
yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw. dan meyakini bahwa budaya yang berbeda
dianggap bukan bagian dari Islam.3

Di wilayah Indonesia, Islam memiliki penganut yang besar. Bahkan sering dikatakan
bahwa Indonesia merupakan negara dengan populasi mayoritas penganut agama Islam.
Sebagai salah satu agama yang diakui, Islam diharapkan mampu memberi dampak bagi
kehidupan masyarakat Indonesia. Hingga apad akhirnya lahirlah gagasan Islam Nusanatara di
abad ke-16 M. Munculnya gagasan ini dinilai bukanlah hal yang baru. Penekanan pada kata
“Nusantara” yang kemudian disandingkan dengan kata “Islam” bukan hanya sebagai
pencitraan nama semata. Akan tetapi menjadi sebuah tawaran bahwa masyarakat Indonesia
memiliki corak keislaman dengan berbagai keunikan dan tradisinya.4

Menguatnya konsep Islam Nusantara sekitar tahun 2016 menambah khazanah budaya
Islam di wilayah tanah air Indonesia. Islam Nusantara bukanlah suatu gerakan yang
mengubah doktrin Islam, melainkan sebuah upaya untuk menentukan cara-cara membangun

1
Muhammad Makmun Rasyid, “Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif K.H. Hasyim Muzadi,”
Episteme 11, No. 1 (Juni, 2016): 94.
2
Khabibi Muhammad Luthfi, “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal,” Shahih 1, No. 1
(Januari-Juni, 2016): 2.
3
Khabibi Muhammad Luthfi, hlm 2.
4
M. Al-Qautsar Pratama dkk, “Islam Nusantara dalam tantangan Global,” Humanities and
Contemporary Studies 4, No. 1 (2021): 126

2
budaya Islam dalam konteks masyarakat yang plural.5 Mengutip dari Kasdi yang menyatakan
bahwa model yang dikembangkan dalam Islam Nusantara merupakan bentuk empiris dari
nilai-nilai Islam yang berkembang di Indonesia sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi,
pribumisasi, interpretasi dan vernakularisasi ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersifat
universal dengan realitas sosio-kultural masyarakat Indonesia. 6 Penyerapan nilai-nilai Islam
yang disandingkan dengan budaya lokal Indonesia dan diwujudkan, nantinya akan
mendorong terciptanya masyarakat multikultural yang harmonis.7

Tulisan ini akan memahami konsep Islam Nusantara lebih dalam beserta pemaknaan
dari “Islam Nusantara” itu sendiri, karakteristik dari Islam Nusantara, serta corak dan warna
Islam Nusantara.

HASIL DAN PEMBAHASAN


5
Rosana Ellya, “Agama dan Sekularisasi Pada Masyarakat Modern,” Al-Adyan 12, No. 1 (2018): 141.
6
Abdurrohman Kasdi, “Dialektika Silam dan Budaya dalam Membangun Paradigma Islam Nusantara:
Model Ragam islam Nusantara untuk Indonesia,” Addin 12, No. 2 (2018): 301
7
Abdurrohman kasdi, hlm 312.

3
A. Makna Islam Nusantara

Dalam tataran praktik, Islam Nusantara telah terwujud di wilayah Nusantara sejak
alam. Akan tetapi hal ini kembali ditegaskan pada tahun 2015 oleh Nahdlatul Ulama dalam
Muktamar NU yang dilakukan di Jombang. Akan tetapi, penggunaan istilah “Nusantara”
sudah ada sejak abad ke-16 M. 8 Dalam memahami Islam Nusantara, terdapat dimensi
keagamaan dan kebudayaan yang berkompromi. Gus Dur mengatakan bahwa tumpang tindih
antara agama dan kebudayaan akan terus terjadi sebagai suatu proses yang akan memperkaya
kehidupan dan membuatnya tidak gersang.9 Dengan begitu, Islam tidak akan menampilakn
diri sebagai ajaran yang kaku dan tertutup. Akan tetapi menampilkan wajah Islam sebenarnya
yaitu agama yng terbuka.10

Istilah Nusantara sendiri pertama kali tercatat dalam literatur Bahasa Jawa sekitar
prtengahan abad ke-12 M. Sejauh ini, masih ditemukan ambiguitas dalam memaknai Islam
Nusantara itu sendiri. Jika Nusantara diartikan sdebagai tempat atau wilayah, maka sebutan
Islam Nusantara harus mencakup seluruh ormas Islam di wilayah Nusantara dan tidak
terbatas pada Nahdliyin saja. Sedangkan, jika Nusantara dimaknai sebagai nilai-nilai khas,
maka harus mencakup watak dan karakteristik Islam di Indonesia yang memuat unsur ibadah
dan muamalah. Hal yang demikian juga terjagi di Amerika, terdapat dua term:Aamerican
Islam dan Islam in America.11

Dalam sebuah forum diskusi muktamar NU di Jombang, Kiai Afifuddin Muhajir


menjelaskan makna Islam Nusantara dari gramatikal Bahasa Arab yaitu berupa susunan
idhafah. Dengan begitu, Islam Indonesia memiliki setidaknya tiga makna. 12 Pertama, Islam
Nusantara merupakan Islam yang dipahami dan dipraktekkan serta diintegrasikan dengan
kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut Kiai Afifuddin, dalam rangkaian kata tersebut
mengandung huruf jer “fi” (Islam fi Nusantra). Kedua, di anatara kata Islam dan Nusantara
terdapat huruf jer “ba” atau Islam bi Nusantra yang maknanya merujuk pada letak geografis.
Dengan begitu, makna yang dihasilkan adalah Islam yang berada di wilayah Nusantara.
Nusantara sendiri merupakan wilayah Indonesia modern yaitu bagian dari pulau besar dan
kecil dari Sabang sampai Merauke. Atau dalam cakupan lebih besar, Nusantara merupakan

8
Saiful Mustofa, “meneguhkan Islam Nusantara untuk Islam Berkemajuan: Melaak Akar Epistimologis
dan Historis Islam (di) Nusantara,” Episteme: Relasi Islam dan Budaya Lokal 10, No. 2 (2015): 409
9
Syaiful Arif, NU dan Islam Nusantara, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2015, hlm 59.
10
Saiful Mustofa, hlm 407.
11
Saiful Mustofa, hlm 408.
12
2 Abd Moqsith, “Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metododlogi Islam
Nusantara),” Jurnal Multikultural dan Multireligius 15, No. 2 (November, 2016): 21.

4
cakupan dari Indonesia modern, Kalimantan bagian Utara, Mindanao, Thailand bagian
selatan, hingga Formusa dan Madagaskar.13

Dari dua pengertian di atas, Islam Nusantara merujuk pada segi sosiologis-
antropologis.14 Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa kehadiran Islam senantiasa
berdialektika dengan kebudayaan masyarakat di wilayah Nusantara sehingga tidak jarang
mampu menciptakan simbol-simbol keislaman yang baru dan berbeda dengan Islam di
wilayah Timur Tengah. Ketiga, terdapat huruf jer “lam” di anatara kata Islam dan Nusantara.
Dan makna yang dihasilkan adalah pegejawantahan ajaran Islam yang ada di wilayah
Nusantara. Misalnya Walisongo dalam menyebaran ajaran Islam dengan santun dan ramah.
Nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan yang bersifat sufistik tersebut yang membentuk corak
keislaman di wilayah tanah air.15

Selain definisi di atas, ada beberapa ahli yang menawarkan definisi Islam Nusantara,
antara lain: “Islam Nusantara merupakan paham serta praktek keagamaan di bumi
Nusantara sebagai bentuk dialektika antara teks syariat dan kebudayaan serta realitas
masyarakat setempat”. Dari definisi ini bisa diambil kesimpulan bahwa secara substantif,
Islam Nusantara merupakan Islam yang diimplementasikan di kawasan Nusantara sebagai
akibat adanya dialek teks syariat dan kebudayaan serta realitas masyarakat. 16 Pemaknaan
senada bahwa “Islam Nusantara merupakan Islam khas ala Indonesia, gabungan anatar
nilai Islam teologis dan nilai tradisi lokal, budaya dana dat istiadat di tanah air”. Dari
definisi ini dibatasi hanya Islam yang berkarakter Indonesia dan hasil dari proses
penggabungan anatar nilai Islam teologis dan nilai Islam kultural hanya saja wilayahnya
dibatasi di bagian Indonesia saja.17

Indonesia sebagai negara yang mayoritas menganut agama Islam dirasa memerlukan
adanya wacana Islam baru yang khas dengan Indonesia dan sesuai dengan martabatnya yang
multikultural dan moderat. Hal demikian diharapkan mampu mereduksi dan menangkal
radikalisme dan ekstrimisme yang mncul dari Islam sendiri. menurut Said Aqil Siradj, Islam
yang dibangun di Indonesia bukanlah Islam di wilayah Timur Tengah karena faktanya kultur,
adat-istiadat serta tradisi masyarakatnya berbeda. Oleh karena itu, konsep Islam Nusantara

13
Abd Moqsith, hlm 13.
14
M. Isom Yusqi dkk, Mengenal Konsep Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka STAINU, 2015, hlm 15
15
Abd Moqsith, hlm 13.
16
Mujamil Qomar, “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran, Pemahaman, dan
Pengamalan Islam,” el-Harkah 17, No. 2 (2015): 200.
17
Akhmad Sahal dan Munawir Aziz, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan,
Bandung: Mizan, 2015, hlm 239.

5
merupakan suatu pemikiran yang menjadi tandingan dari pemikiran kelompok ekstrimisme
yang sesuai dengan wilyah Indonesia dalam segala aspek.18

Dari beberapa definisi yang ditawarkan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Islam
Nusantara yang diharapkan adalah buah dari pemahaman, pemikiran serta pengamalan ajaran
agama Islam yang dikemas dalam budaya dan tradisi yang berkembang di wilayah Asia
Tenggara. Dalam komponen teologi keislaman menggunakan teologi Asyariyah, fiqih
Syafi’iyyah dan tasawuf Al-Ghazai. Sedangkan dalam komponen pemertahanan konsep Islam
Nusantara disandingkan dengan politik, pendidikan dan budaya setempat.19

B. Karakteristik Islam Nusantara

Agama memiliki peran penting sehingga keberadaannya harus digali, dipahami serta
diamalkan oleh para pemeluk agama. Begitupun dengan agama Islam, sehingga Islam itu
sendiri akan menjadi milik dan kepribadian dalam kehidupan sehari-hari. 20 Indonesia sebagai
negara multikultural mengedepankan budaya. Dalam Islam Nusantara, budaya menjadi
bagian dari agama.21 Proses islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang panjang
sehingga agama Islam terintegrasi dengan tradisi, norma dan cara hidup penduduk setempat.
Dari proses tersebut, terdapat penyesuaian antara agama dan budaya sehingga melahirkan
wujud baru baik secara fisik maupun non-fisik.22

Islam Nusantara yang dimaknai sebagai Islam khas Indonesia menguutamakan nilai-
nilai yang telah mengakar di masyarakat, seperti: toleransi, menerima perbedaan dalam segi
ras, suku, bahasa, agama maupun budaya. Doktrin Islam Nusantara yang ditawarkan adalah
nilai-nilai inklusivitas seperti tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (tolong-
menolong), dan lain-lain. Akar-akar nilai inklusivitas tersebut telah mengakar dan menjadi
kesadaran bagi masyarakat Indonesia. Alih-alih ekspresi ibadah dan ritual keagamaan semata,
Islam Indonesia sudah terbentuk dan melakat di dalam budaya, tradisi dan adat istiadat
masyarakat sejak dahulu kala.23 Artinya, tingkah laku hidup masyarakat Indonesia sudah
mengandung nilai-nilai keislaman jauh sbeelum Islam sendiri menyebar.

18
M. Al Qautsar Pratama dkk, hlm 128.
19
Mujamil Qomar, hlm 202.
20
Hanum Jazimah Puji Astuti, “Islam Nusantara: Sebuah Argumentasi Beragam dalam Bingkai
Kultural,” INJECT: Interdisciplinary Journal of Communication 2, No. 1 (Juni, 2017): 37.
21
Hanum Jazimah Puji Astuti, hlm 29.
22
Ali Mursyid Azizi, “Islam Nusantara: Corak Keislaman Indonesia dan Perannya dalam Menghadapi
Kelompok Puritan,” Empirisma: Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam 9, No. 2 (Juli, 2020): 124.
23
Sudarto Murtaufiq, “Islam Nusantara: Antara Ideologi dan Tradisi,” Proceedings Annual Conference
for Muslim Scholars, Surabaya: 21-22 April 2018, 1014.

6
Islam Nusantara memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan Islam
yang berada di wilayah Timur Tengah. Hal tersebut meliputi keunikan geografis, sosio-
politik dan tradisi peradaban. Islam Nusantara sejalan dengan kondisi sosial masyarakat yang
cenderung ramah, terbuka, inklusif serta mampu memberi solusi dalam masalah hidup sehari-
hari sehingga pesan rahmatan lil alamin dari Islam sendiri tersampaikan.24 Pada akhirnya,
Islam dan tradisi yang saling bersinggungan tanpa bisa dipilah antara Islam dan budaya
(tradisi) menyebabkannya diamalkan setiap hari dan turun menurun. Implikasi dari hal
demikian menjadikan antara Islam, budaya dan aspek lainnya tidak lebih dominan. Semua
aspek menyatu menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai akulturasi budaya.25

Di Indonesia, bisa dikatakan tidak ada agama yang yang bebas dari tradisi yang
dimiliki oleh pemeluknya. Islam yang dijalankan oleh masyarakat suku Jawa, sama dengan
Islam yang dijalankan oleh masyarakat suku Sunda. Dalam skala lebih luas, Islam yang
dihayati oleh orang Timur Tengah, dalam batasan tertentu, berbeda dengan Islam yang
dihayati orang Indoensia. Hal demikian karena tradisi tidak pernah statis atau berhenti.
Tradisi akan selalu berkembang melalui pewarisan dari generasi ke generasi. Dan tradisi
mentransmisikan anatar nilai, norma, budaya dan jalan hidup.26

Islam berdialog secara damai dengan kebudayaan lokal Nusantara yang berbeda sama
sekali dengan budaya Arab dan Timur Tengah. Dialog damai juga dilakukan Islam dengan
agama lainnya serta kepercayaan terdahulu seperti animisme-dinamisme, dan lain-lain.
Dialog damai tersebut anatara lain dipengaruhi oleh faktor sufistik dalam penyebarannya.
Melalui pendekatan ini, kepercayaan lokal mampu dengan mudah merapat pada ajaran agama
Islam sebagai keyakinan baru bagi mereka. Proses ini yang melahirkan “Islam Nusantara”. 27

Dari aspek geografis, keberadaan Indonesia yang terpaut jauh dengan wilayah Timur
Tengah menghasilkan proses islamisasi yang berbeda. Akan tetapi posisi ini mengandung
nilai ganda, di satu sisi, Islam Nusantara dipandang kurang Islam karena interaksinya dengan
Timur Tengah yang kurang mendalam. Namun di sisi lain, hal demikian menguntungkan dari
segi keamanan politik. Namun perlu ditekankan bahwa letak geografis mampu
mempengaruhi pengamalan ajaran agama.28

24
Akhmad Sahal dan Munawir Aziz, 240.
25
Mujamil Qomar, 206.
26
Mujamil Qomar, 207.
27
Mujamil Qomar, 207.
28
Mujamil Qomar, 209.

7
Dalam perspektif agama, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
penganut agama Islam yang banyak. Akan tetapi secara regio-politik-ideologis, Indonesia
tidak bisa disebut sebagai negara Islam. Menurut pemikiran orang Timur Tengah, hal
demikian merupakan kejanggalan dan kelemahan bagi umat Islam. Sedangkan bagi orang
Indonesia, hal demikian adalah kearifan lokal. Tidak semua masyarakat Indonesia beragama
Islam dan eksistensi mereka harus diakui. Maka menurut para ahli, hal yang paling penting
adalah ajaran Islam mampu dijalankan dengan baik di wilayah Indonesia tanpa perlu
menjadikannya negara Islam. Multikulturalisme yang ada di Indonesia mampu mereduksi
arabisasi sebagaimana yang terjadi di wilayah negara Islam lainnya.29

Mekanisme kerja Islam Nusantara di Indonesia melalui pendekatan adaptif-selektif


yang ketat terhadap kebudayaan lokal yang mengakar di masyarakat. Dengan pendekatan ini,
diharapkan Islam mampu berperan aktif mempengaruhi budaya maupun tradisi lokal di
masyarakat.30 Kehadiran Islam Nusantara didasari oleh motif yang sangat manusiawi dan
adaptif, bukan konfrontatif. Kondisi kehidupan keagamaan umat Islam saat ini tidak bisa
dilepaskan dari proses dakwah yang disampaikan dahulu. 31 Proses ini melahirkan satu hal
baru yang disebut sebagai local genius atau kemampuan untuk menyerap sekaligus
melakukan seleksi terhadap pengaruh budaya asing yang nantinya akan menghasilkan satu
hal baru yang unik.32

Ide Islam Nusantara muncul bukan untuk menggerus doktrin Islam, namun hanya
mencari jalan tengah untuk membumikan Islam sesuai dengan konteks masyarakat yang
ada.33 Lahirnya Islam Nusantara adalah murni kreasi berpikir serta cara memahmai Islam
sebagaimana konteks masyarakat. Tidak ada campurtangan Barat ataupun rekayasa orang-
orang non-muslim. Cara yang demikian dapat dilihat dari pengaplikasian Islam dalam
kehidupan sehari-hari di wilayah Nusantara. Berkaitan dengan perngaruh budaya lokal dan
adat istiadat dengan agama, sudah pasti terdapat pergulatan dalam upaya mendialogkan
antara pesan religiusitas dengan muatan lokal. Di anatar bentuk yang diambil dalam proses
tersebut adalah:

29
Mujamil Qomar, 210.
30
Mujamil Qomar, 210.
31
Sudarto Murtaufiq, 1014.
32
Sudarto Murtaufiq, 1015.
33
Akhmad Sahal dan Munawir Aziz, 106.

8
1. Mengalami suatu benturan (clash). Dalam proses ini, budaya setempat dihabisi dan
diganti dengan hal baru, islamisasi mislanya. Seperti yang terjadi di Indonesia dahulu
kala.
2. Melalui akomodasi. Artinya, terdapat pertemuan yang saling mengisi dan tidak saling
menjatuhkan. Islam diterima dari segi simboliknya. Sedangkan kebudayaan lokal
seperti kepercayaan terhadap leluhur tetap lestari.
3. Mengambil bentuk hibridasi. Artinya, agama diterima sebagian, selebihnya dilengkapi
oleh budaya setempat. Bentuk ini kemudian yang dikenal dengan, mislanya, Islam
Jawa, islam Sunda, Islam Banjar, dan lain-lain.34

Dengan demikian, proses reidiologisasi dan retraisionalisasi Islam Nusantara memiliki


pijakan yang kokoh dari aspek doktrinal, historis, maupun budaya.

C. Corak Islam Nusantara


1. Corak Awal islam Nusantara
a. Adaptif dan Tasawuf

Menurut teori A.H. Johns, para sufi di era abad ke-13 mampu
mengislamkan banyak penduduk di wilayah kepulauan Melayu-Indoneisa. Para
sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif yaitu menyesuaikannya dengan
kepercayaan dan budaya lokal. Sehingga kunci utama kesuksesan para sufi dalam
menyampaikan Islam terletak pada substansi dan karakter ajaran para sufi itu
sendiri.35

b. Adhesi atau Islamisasi terbatas

Adhesi dimaknai sebagai perubahan keyakinan pada islam tanpa


meninggalkan kepercayaan dan praktek keagamaan yang lama. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Walisanga di wilayah jawa, mereka mengenalkan Islam
kepada masyarakat lokal dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan lokal yang
masih kental dengan animistik, takhayul, dan lain sebagainya. Fakta geografis
menjadi titik penting dalam memahami serta menjelaskan Islam. 36

c. Walisanga, Islam Sufistik dan Nusantara

34
Sudarto Murtaufiq, 1017.
35
Nicodemus Boenga, “Corak dan Warna-Warni islam Nusantara: Awal, Tengah dan Modern,” Nuansa
8, No. 1 (Juni, 2020), 15.
36
Nicodemus Boenga, 15.

9
Kesuksesan islam di tanah Jawa dimulai dengan kedatngan muslim
Champa yang memiliki hubungan dengan kerajaan majapaht. Berawal dari situ,
islamisasi memanfaatan jaringan kekeluargaan, kekuasaan, kepiawaian merebut
simpatik masa, dll. Kekuatan gerakan ini terletak pada tiga aspek, yaitu

1) Ajaran sufisme wahdatul wujud (kesatuan wujud) dan wahdatus syuhud


(kesatuan pandangan). Ajaran ini sudah sikenal oleh masyarakat yang
meyakini adanya roh di mana-mana serta menganggap benda-benda alam
terpengaruh oleh aura ketuhanan.
2) Asmilisasi dalam pendidikan.
3) Dakwah melalui seni dan budaya. Para sufi berusaha mengikuti tradisi
masyarakat dengan menanamkan nilai keislaman di dalamnya. Seperti dalam
pergelaran wayang, di dalamnya akan disesuaikan dan diisi dengan nafas
Islam. Sehingga masyarakat tidak merasa disalahkan.
4) Membentuk tatanan masyarakat muslim Nusantara.37
d. Sintetis mistik

Kunci dakwah dari para sufi adalah melalui penggabungan dua tradisi
yang berbeda. Menurut Ricklefs, terdapat tiga pilar utama kesadaran identitas
islam yang kuat, yaitu: menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim;
melaksanakan lima rukun islam; dan penerimaan terhadap realitas kekuatan
spiritual lhas masyarakat.38

2. Corak dan Warna Pertengahan Islam Nusantara


a. Neo-Sufisme

Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar abad ke-17 M mulai dilakukan


pembaharuan atau pemurnian ajaran “Sistesis Mistik”. Gejala ini dipengaruhi
dengan telaah hadis dan pengaruh ilmu syariat. Neo-sufisme merupakan
perkawinan silang anatar tasawuf dan syariat, bukan lagi dengan kepercayaan
lokal sebagaimana yang terjadi dlaam “Sistesis Mistik”. Akan tetapi, proses
pembaharuan ini tetap terjadi dengan damai tanpa menggunakan kekerasan.39

b. Polarisasi “Putihan” dan “Abangan”

37
Nicodemus Boenga, 15-16.
38
Nicodemus Boenga, 16.
39
Nicodemus Boenga, 17.

10
Proses sebelumnya terjadi cukup lama hingga melahirkan polarisasi antara
putihan dan abangan. Kelompok putihan ingin senantiasa melakukan perubahan
secara bertahap hingga radika, dn sering disebut golongan santril. Sedangkan
abangan tetap ingin menekankan kontiunitas dengan lokalitas dan bersikap
longgar pada syariat. Perbedaan ini juga diakibatkan oleh keberadaan Belanda
yang mulai mempengaruhi politik pada saat itu.40

3. Corak dan Warna Modern Islam Nusantara

Dalam fase ini turut lahir agama Kristen di Nusantara akibat dari kedatangan
kolonialisme. Segala aspek kehidupan mulai terpangaruh dengan keberadaan mereka.
Tiga sumber utama dari modernisasi adalah teori kapitalisme, industrialisasi dan
negara bangsa. Pada fase ini juga kesadaran masyarakat untuk keluar dari belenggu
kolonialisme mulai lahir dan ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi yang
berusaha memperjuangkan kemerdekaan negara. Pada fase ini, Nusantara sudah
terlibat aktif dalam dunia politik. Selain itu, pergeseran paradigma beragama juga
mulai terjadi dan ditandai dengan posisi ulama yang dulunya menduduki golongan
elite mulai tergantikan dnegan cendekiawan muslim.41

Gejala-gejala tersebut menjadi awal perubahan besar di kalangan umat islam


karena mulai masuknya pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan. Wajah
islam Nusantara mulai mengalami perubahan yang yang berarti dan berkemajuan.
Islam Nusantara berhadapan dengan tantangan kontekstualisasi nilai-nilai Islam
dengan perkembangan zaman modern. Ketika umat islam absen dalam perubahan
modernitas ini maka Islam tidak akan mampu berkembang lagi. Islam akan terjajah
dari segi kulyural dan psikologis oleh bangsa yang didominasi dengan pengetahuan
dan peradaban teknologi.42

KESIMPULAN

Istilah Islam Nusantara sudah dikena jauh sebelum akhirnya menguat pada tahun
2015 dalam Muktamar NU di Jombang. Islam Nusnatara dimaknai sebagai proses
penggabungan antara nilai agama Islam dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat.

40
Nicodemus Boenga, 17-18.
41
Nicodemus Boenga, 19.
42
Nicodemus Boenga, 19.

11
Keberadaan islam Nusantara tidak untuk mereduksi nilai-nilai keislaman sebagaimana yang
diamalkan di wilayah Timur Tengah, hanya saja diperlukan adanya akulturasi dengan
kebudayaan setempat. Hal dmeikian karena faktor geografis menjadi titik penting dalam
proses persebaran agama Islam.

Islam Nusantara yang dimaknai sebagai Islam khas Indonesia menguutamakan nilai-
nilai yang telah mengakar di masyarakat, seperti: toleransi, menerima perbedaan dalam segi
ras, suku, bahasa, agama maupun budaya. Doktrin Islam Nusantara yang ditawarkan adalah
nilai-nilai inklusivitas seperti tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (tolong-
menolong), dan lain-lain. Akar-akar nilai inklusivitas tersebut telah mengakar dan menjadi
kesadaran bagi masyarakat Indonesia. Alih-alih ekspresi ibadah dan ritual keagamaan semata,
Islam Indonesia sudah terbentuk dan melakat di dalam budaya, tradisi dan adat istiadat
masyarakat sejak dahulu kala. Artinya, tingkah laku hidup masyarakat Indonesia sudah
mengamdung nilai-nilai keislaman jauh sbeelum Islam sendiri menyebar.

Warna dan corak Islam Nusantara mengalami perubahan dari generasi ke generasi.
Duimulai dnegan generasi awal yang dilakukan dengan pendekatan secara kuktural agar
Islam mampu diterima secara mudah oleh masyarakat dan Islam tidsk dianggap sebagai
tuntutan yang menyeramkan akrena harus menghilangkan identitas. Pada fase kedua, mulai
dilakukan pemurnian ajaran, khususnya dalam ranah sufisme mistik. Hingga pada akhirnya
Islam Nusantara menemui masa modern akibat kedatangan kolonialisme di wilayah
Indonesia. Jika islam tidak mampu menyeimbangkan diri, maka nilai yang sudah dibangun
dan ditanamkan selama ini akan dikalahkan oleh golongan yang memiliki dominitas dalam
dunia modern dan ilmu pengetahuan serta teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syaiful. NU dan Islam Nusantara. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2015.

12
Astuti, Hanum Jazimah Puji. “Islam Nusantara: Sebuah Argumentasi Beragam dalam
Bingkai Kultural.” INJECT: Interdisciplinary Journal of Communication 2,
No. 1 (Juni, 2017): 27-52.
Azizi, Ali Mursyid. “Islam Nusantara: Corak Keislaman Indonesia dan Perannya
dalam Menghadapi Kelompok Puritan.” Empirisma: Jurnal Pemikiran dan
Kebudayaan Islam 9, No. 2 (Juli, 2020): 123-136. doi:
10.30762/empirisma.v29i2.430.
Boenga, Nicodemus. “Corak dan Warna-Warni islam Nusantara: Awal, Tengah dan
Modern.” Nuansa 8, No. 1 (Juni, 2020), 11-20.
Ellya, Rosana. “Agama dan Sekularisasi Pada Masyarakat Modern.” Al-Adyan 12,
No. 1 (2018): 135-151.
Kasdi, Abdurrohman. “Dialektika Silam dan Budaya dalam Membangun Paradigma
Islam Nusantara: Model Ragam islam Nusantara untuk Indonesia.” Addin 12,
No. 2 (2018): 301.
Luthfi, Khabibi Muhammad. “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal.”
Shahih 1, No. 1 (Januari-Juni, 2016): 2.
Moqsith, Abd. “Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara Hingga
Metododlogi Islam Nusantara).” Jurnal Multikultural dan Multireligius 15,
No. 2 (November, 2016): 21.
Murtaufiq, Sudarto. “Islam Nusantara: Antara Ideologi dan Tradisi.” Proceedings
Annual Conference for Muslim Scholars, Surabaya: 21-22 April 2018, 1014.
Mustofa, Saiful. “meneguhkan Islam Nusantara untuk Islam Berkemajuan: Melaak
Akar Epistimologis dan Historis Islam (di) Nusantara.” Episteme: Relasi
Islam dan Budaya Lokal 10, No. 2 (2015): 409.
Pratama, M. Al-Qautsar dkk. “Islam Nusantara dalam tantangan Global.” Humanities
and Contemporary Studies 4, No. 1 (2021): 126
Qomar, Mujamil. “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran, Pemahaman,
dan Pengamalan Islam.” el-Harkah 17, No. 2 (2015): 200.
Rasyid, Muhammad Makmun. “Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif K.H. Hasyim
Muzadi.” Episteme 11, No. 1 (Juni, 2016): 94.
Sahal, Akhmad dan Munawir Aziz. Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham
Kebangsaan. Bandung: Mizan, 2015.
Yusqi, M. Isom dkk. Mengenal Konsep Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka STAINU,
2015.

13
14

Anda mungkin juga menyukai