RESENSI BUKU
Judul Buku : Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Nusantara, Jilid I
Penulis : Ahmad Baso
Penerbit : Pustaka Afid Jakarta
Cetakan : 1, Juli 2015
Tebal Buku : XIII + 370 halaman
Islam seperti air. Air bila ia masuk ke dalam gelas, ia akan berbentuk
gelas. Bila ia masuk ke dalam teko, ia akan berbentuk teko. Begitu pula Islam. Ia
akan menyesuaikan terhadap budaya dimana ia singgah. Islam tidak seperti balok
padat yang tetap menjadi balok walau ditaruh di manapun. Secara Universal,
Islam memang mempunyai satu kesatuan ikatan dengan Nash Al-Qur’an dan Al-
Hadits yang dimiliki oleh keseluruhan umat Islam di belahan dunia manapun.
Akan tetapi sumber penggalian penerjemahan Nash itu tidak berhenti pada itu,
karena kita mengenal ilmu keislaman untuk melahirkan inovasi-inovasi baru.
Maka diperlukanlah Maqashid Syari’ah untuk memahami secara mendalam
tentang Islam.
Apa itu tujuan dari Syari’ah? Tiada lain adalah keselamatan dunia dan
akhirat. Damai, rukun, guyub antar sesama tanpa ada anarkisme. Salah satu
caranya adalah dengan memahami kultur suatu daerah. Oleh karenanya kita
diharuskan mengkaji kaidah-kaidah fiqh, ushul fiqh, dan keilmuan syari’ah
lainnya untuk bisa bersifat lebih lentur dan eklektik seperti yang telah
dicontohkan oleh ulama-ulama terdahulu.
Bagian pertama buku Islam Nusantara ini disajikan dengan model dialog
antara seorang Kiai Afid dan santrinya. Tujuan penulis agar mudah dipahami oleh
pembaca tentang apa pesan yang ingin disampaikannya. Tentang mengapa harus
ada Islam Nusantara, bagaimana ia lahir, tentang silsilah dan sanadnya, dan
metodologi Islam Nusantara.
Di dalam buku ini, Ahmad Baso menawarkan tiga terobosan strategi Islam
Nusantara yang ia gali dari sejarah ulama-ulama terdahulu. Yang pertama adalah
al-mukhafadha wal akhdzu, menjaga dan mengambil. Maksudnya, tetap menjaga
tradisi-tradisi luhur peninggalan seperti imsak, model tempat beribadah, ta’liq
tholaq, halal-bihalal, dan seterusnya. Ulama Nusantara tidak serta merta
mengenyam ajaran-ajaran Islam Arab, tapi juga memilih dan memilah, mana yang
cocok dengan tradisi budaya Nusantara dan mana yang tidak. Seperti tradisi halal-
bihalal yang Baso ambil, tradisi itu tidak akan kita temukan di daerah Arab, itu
khas nusantara. Hakikat silaturim Islam tetap terjaga sebagai nilai ajaran Islam,
tapi wadahnya dibentuk oleh Ulama Nusantara. Mengambil tradisi “nilai-nilai”
bagus tentang silaturahim Islam sebagai isi, dan menjaga tradisi kumpul-kumpul
di Nusantara sebagai wadah. Sehingga yang awalnya hanya kumpul tanpa makna,
menjadi bernuansa Islam, guyub dengan keilmuan dan seterusnya.
Dilihat dari isinya Islam Nusantara ini sangat menarik dan patut untuk
dipublikasikan ke masyarakat agar tidak terjadi kesalah fahaman tentang anutan
masyarakat tentang Islam Nusantara. Bahasa yang digunakan Ahmad Baso
sederhana, akan tapi memikat para pembaca. Juga, kalimat-kalimat dalam
paragraf disusun secara runtut sehingga mudah untuk dipahami. Namun, di dalam
buku ini terdapat kosakata ilmiah yang mungkin belum banyak diketahui atau
belum sering didengar oleh pembaca. Sehingga kosakata seperti ini menyulitkan
para pembaca untuk mengetahui atinya.
Buku ini juga bermanfaat, karena Islam Nusantara sangat perlu dibahas
guna menanggulangi kesalah fahaman antar pihak. Sebab sudah terlalu banyak
kupasan tentang Islam Nusantara yang menjadikan masyarakat bingung tentang
arti yang sebenarnya. Yang perlu dipertegas adalah Islam Nusantara bukan
ideologi baru, bukan pula agama baru. Perlu adanya pemahaman tentang Islam
Nusantara ke banyak pihak agar nantinya tidak terjadi kesalah fahaman antar
pendapat.
Hal yang perlu kita petik dari buku ini adalah tentang bagaimana kita
harus memahami Islam Nusantara sebenarnya, agar nantinya agama Islam
tidaklah saling berbenturan sehingga menciptakan pemikiran-pemikiran yang
saling memecah belah. Dan juga agar kita mempunyai pemikiran-pemikiran yang
benar, sehingga Islam di Indonesia ini bisa saling bertoleransi dan saling
menghargai antara perbedaan-perbedaan yang ada.