BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami
perubahan dimanapun dan kapanpun. Tentang keimanan Allah dan hari akhir
tidak ada perbedaan antara keimanan orang-orang Benua Amerika dengan Benua
Afrika misalnya. Penipuan selalu buruk, dimanapun dan kapanpun. Dalam
segmen tuntunan dan moral ini, islam tidak bisa diberi embel-embel dengan nama
tempat, waktu, maupun tokoh. Sementara yang ketiga yaitu ajaran syariat yag
masih harus dipilah antara qath’iyyat dan ijtihadiyat. Hukum-hukum qath’iyyat
seperti kewajiban sholat, kewajiban puasa di bulan Ramadhan, keharaman
berzina, tata cara melakukan ritual haji, belum dan tidak akan mengalami
perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Tidak akan berbeda
shalatnya orang Asia dengan orang Amerika. Puasa dari zaman Nabi hingga hari
akhir di negeri manapun dimulai sejak subuh dan berakhir saat kumandang adzan
maghrib. Penjelasan Al-Qur’an dan As-sunnah dalam hukum qath’iyyat ini cukup
rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya
tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, thawaf dalam rangkaian ibadah haji
harus mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Oleh sebab itu, akal dituntut patuh
dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.
Karakter lain yang tidak dimiliki oleh penduduk islam lainnya adalah
bahasa Arab-Melayu, yaitu tulisan berbahasa Indonesia dengan memakai aksara
huruf Arab (hijaiyah). Dimasa awal islam, Arab melayu atau Jawi menjadi bahasa
yang universal di Nusantara, surat-surat Raja-Raja Nusantara ditulis dalam huruf
Arab melayu atau dikenal dengan sebutan tulisan Jawi. Tulisan Arab-Melayu
masih sangat kental di wilayah semenanjung Melayu terutama Malaysia hingga
sekarang. Karakter Islam Nusantara tidaklah berlebihan jika dapat menjadi
pedoman berpikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga
terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik
dan kerusakan alam. Karakteristik islam di Nusantara ini merupakan cerminan
proses islamisasi yang telah dilakukan oleh juru dakwah di masa lalu secara damai
(non ekspansi).
1. Maulidan
Maulidan selain sebagai perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, dalam istilah
lain juga merupakan kegiatan pembacaan sirah nabawiyah. Kegiatan ini juga
merupakan hasil dari kebudayaan aran yang sudah ada sejak pra islam. Tercatat
bahwa Arab pra islam sangat menyukai syair yang berisi pengagungan pada hal
yang dicintai serta kebencian pada musuh. Setelah masuknya Islam, syair tersebut
kemudian mulai berganti wajah menjadi pengagungan kerinduan pada sang
pencipta atau syair cinta untuk Nabi Muhammad SAW.
2. Tahlilan
Tahlilan sebagai tradisi Islam Nusantara merujuk pada acara doa bersama
dengan melafalkan dzikir-dzikir. Secara bahasa, tahlilan berarti membaca kalimat
tauhid laa ilaaha illallah. Hal ini menjadi perdebatan karena dilakukan secara
rutin bersama-sama serta dilaksanakan untuk mendoakan orang mati pada tujuh
hari masa kematian, empat puluh hari, seratus hari sampai seribu hari.