Anda di halaman 1dari 6

PRO-KONTRA ISLAM NUSANTARA

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Islam adalah agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen.


Indonesia merupakan negara dengan mayoritas terbesar umat muslim di dunia.
Data sensus penduduk 2010 menunjukkan ada sekitar 87,18% atau 207 juta jiwa
dari total 238 juta jiwa penduduk beragama islam. Meski islam menjadi
mayoritas, namun Indonesia bukanlah negara yang berasaskan islam. Banyak
sekali istilah islam yang muncul seiring berjalannya waktu. Salah satunya adalah
islam nusantara. Islam nusantara adalah suatu wujud empiris islam yang
dikembangkan di nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi,
kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakulariasi terhadap ajaran-
ajaran dan nilai-nilai islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-
kultural Indonesia. Model pemikiran islam nusantara menggambarkan identitas
islam yang bernuansa metodologis. Identitas ini ketika disosialisasikan dikalangan
umat islam menuai tanggapan yang kontroversial : ada yang menolak identitas
islam nusantara itu karena menurut mereka islam itu hanya satu, yaitu islam yang
diajarkan oleh Nabi. Sebaliknya, banyak pemikir islam yang menerima identitas
islam nusantara itu. Bagi mereka, islam hanya satu itu benar secara substantive,
tetapi ekspresinya beragam sekali, termasuk islam nusantara. Keberagaman islam
demikian ini terjadi lantaran perjumpaan islam dengan budaya (tradisi) local,
khususnya Jawa, yang biasa disebut akulturasi budaya. Islam Indonesia patut
menjadi contoh cara berislam yang menyejukkan lingkungan sekitar dan perlu
dipublikasikan secara internasional dan diharapkan mampu meruntuhkan persepsi
dunia bahwa islam penuh dengan kekerasan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa definisi islam nusantara ?

2. Apa saja karakteristik Islam Nusantara ?

3. Apa saja contoh Islam Nusantara?


4. Bagaimana pendapat orang-orang tentang Islam Nusantara ?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi Islam Nusantara

2. Untuk mengetahui karakteristik Islam Nusantara

3. Untuk mengetahui contoh-contoh Islam Nusantara

4. Untuk mengetahui pendapat orang-orang tentang Islam Nusantara

BAB II : PEMBAHASAN

2.1. Definisi Islam Nusantara

Islam Nusantara sebenarnya menyimpan kata “di” pada istilahnya. Jadi


maknanya adalah Islam di Nusantara yakni islam yang bersumber dari Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ Ulama, dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bahwa Al-
Qur’an sebagai sumber utama agama islam yang memuat tiga ajaran. Pertama,
ajaran akidah, yaitu ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh
mukallaf menyangkut eksistensi Allah, Malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah,
dan hari pembalasan. Kedua, ajaran akhlak atau tasawwuf, yaitu ajaran yang
berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat
tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga, ajaran syariat, yaitu
aturan-aturan praktis yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai
dari peribadatan, transaksi, dan sebagainya.

Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami
perubahan dimanapun dan kapanpun. Tentang keimanan Allah dan hari akhir
tidak ada perbedaan antara keimanan orang-orang Benua Amerika dengan Benua
Afrika misalnya. Penipuan selalu buruk, dimanapun dan kapanpun. Dalam
segmen tuntunan dan moral ini, islam tidak bisa diberi embel-embel dengan nama
tempat, waktu, maupun tokoh. Sementara yang ketiga yaitu ajaran syariat yag
masih harus dipilah antara qath’iyyat dan ijtihadiyat. Hukum-hukum qath’iyyat
seperti kewajiban sholat, kewajiban puasa di bulan Ramadhan, keharaman
berzina, tata cara melakukan ritual haji, belum dan tidak akan mengalami
perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Tidak akan berbeda
shalatnya orang Asia dengan orang Amerika. Puasa dari zaman Nabi hingga hari
akhir di negeri manapun dimulai sejak subuh dan berakhir saat kumandang adzan
maghrib. Penjelasan Al-Qur’an dan As-sunnah dalam hukum qath’iyyat ini cukup
rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya
tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, thawaf dalam rangkaian ibadah haji
harus mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Oleh sebab itu, akal dituntut patuh
dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.

Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyat bersifat dinamis, berpotensi


untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan
kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu yang dahulunya haram, boleh jadi
dikemudian hari hukumya menjadi boleh. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad
agar selaras dengan tuntunan kemaslahatan lingkungan masyarakat. Dalam
pengertian hukum yang terakhir ini, maka sah-sah saja dan wajar menambahkan
pada “islam” kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir,
dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan,
dan penerapan islam dalam segmen fiqih muamalah sebagai hasil dialektika antara
nash, syariat, dan ‘urf, budaya dan realita di bumi nusantara. Dalam istilah “Islam
Nusantara”, tidak ada sentiment benci terhadap bangsa dan budaya negara
manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran islam
dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an.

Dalam pengertian substansial, islam nusantara adalah islam ahlu Sunnah


wal jamaah yang diamalkan, didakwahkan dan dikembangkan sesuai karakteristik
masyarakat dan budaya di Nusantara oleh para pendakwahnya. Islam nusantara
bukan paham aliran, bukan sekte atau madzhab baru yang dikembangkan di
Indonesia. Tetapi islam yang menghormati budaya, menghormati tradisi yang ada
selama tidak bertentangan dengan syariat. Sebagai contoh adalah penggunaan
beduk untuk penanda waktu sholat. Asalnya beduk itu alat music, kemudian
diterima oleh para alim ulama yang kegunaannya diganti untuk menandakan
masuknya waktu sholat.
2.2. Karakteristik Islam Nusantara

Keberhasilan islamisasi di Nusantara yang dimulai sejak abad ke-13


merupakan hasil kebijakan toleransi yang diberikan islam terhadap budaya
setempat. Kebijakan tersebut memberi pengaruh terhadap kebudayaan Nusantara
sehingga wajah islam di nusantara berbeda dengan wajah islam di dunia manapun.
Ada beberapa budaya yang mencerminkan karakteristik Islam Nusantara. Seperti
ritual tepung tawar, ritual ini merupakan salah satu tradisi pra-islam yang telah
melekat dalam budaya islam. Tepung tawar dilakukan saat terselenggaranya
momen-momen istimewa seperti pernikahan, kelahiran, dan lain-lain. Tujuan dari
tradisi ini yaitu mengharapkan suatu kebaikan dari setiap peristiwa. Prosesi
tepung tawar ini diisi dengan pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW
dan berdoa kepada Allah SWT. Tradisi ini biasa dilakukan dikalangan penduduk
Aceh dan Melayu.

Karakter lain yang tidak dimiliki oleh penduduk islam lainnya adalah
bahasa Arab-Melayu, yaitu tulisan berbahasa Indonesia dengan memakai aksara
huruf Arab (hijaiyah). Dimasa awal islam, Arab melayu atau Jawi menjadi bahasa
yang universal di Nusantara, surat-surat Raja-Raja Nusantara ditulis dalam huruf
Arab melayu atau dikenal dengan sebutan tulisan Jawi. Tulisan Arab-Melayu
masih sangat kental di wilayah semenanjung Melayu terutama Malaysia hingga
sekarang. Karakter Islam Nusantara tidaklah berlebihan jika dapat menjadi
pedoman berpikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga
terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik
dan kerusakan alam. Karakteristik islam di Nusantara ini merupakan cerminan
proses islamisasi yang telah dilakukan oleh juru dakwah di masa lalu secara damai
(non ekspansi).

Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasut (moderat), rahmah


(pengasih), anti-radikal, inklusif, dan toleran. Dalam hubungannya dengan budaya
local, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam
menjalankan syiar islam; ia tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi
budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta
melestarikan budaya local. Salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah
mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dalam merumuskan Fiqih. Islam
Nusantara dikembangkan secara local melalui institusi pendidikan tradisional
pesantren. Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama
ketimuran. Salah satu aspek khasnya adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil
‘alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal islam yang memajukan
perdamaian, toleransi, saling menghormati, serta pandangan yang berbhineka
dalam hubungannya dengan sesama umat islam ataupun hubungan antar agama
dengan pemeluk agama lain.

2.3. Contoh-Contoh Islam Nusantara

Contoh tradisi Islam di Nusantara adalah maulidan, sholawatan, tahlilan,


ziarah, grebeg maulid dan sebagainya. Tradisi tersebut lazim di rutinkan oleh
kaum nahdliyyin di Indonesia. Berikut contoh pengaplikasian konsep Islam
Nusantara dan budaya masyarakat.

1. Maulidan

Maulidan secara khusus adalah merayakan kelahiran Nabi Muhammad


SAW. Umumnya kegiatan maulidan diadakan dengan menggelar pembacaan
sholawat atau dilengkapi dengan pengajian. Namun, di setiap daerah berbeda-beda
tradisi maulidan yang digelar. Contohnya di Madura, di Madura terdapat ritual
Mauludhen. Kegiatan ini hampir sama dengan acara grebeg maulud yang biasanya
terdapat arak-arakan buah-buahan. Buah-buahan yang telah ditata dengan cara
ditusuk lidi itu kemudian dibawa ke Masjid Agung bertepatan tanggal 12 Rabi’ul
Awal.

Berbeda lagi dengan perayaan maulidan di Padang Sumatera Barat, di kota


ini terdapat tradisi Islam berupa Bunga Lado. Lado berasal dari bahasa Padang
yang berarti Cabai. Biasanya cabai sebelum berbuah akan berbunga terlebih
dahulu. Kebanyakan warga Padang memang merupakan petani cabai, oleh karena
itu, ritual ini sebagai perumpamaan untuk mendapatkan berkah sebelum panen
tiba. Bunga Lado adalah pohon hias yang daun-daunnya terdiri dari uang dengan
nominal beragam. Uang tersebut nantinya dikumpulkan untuk pembangunan
rumah ibadah. Konsep dari tradisi ini adalah bersedekah untuk keberkahan.
Dengan sedekah, maka diharapkan rizki akan dilancarkan.

Maulidan selain sebagai perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, dalam istilah
lain juga merupakan kegiatan pembacaan sirah nabawiyah. Kegiatan ini juga
merupakan hasil dari kebudayaan aran yang sudah ada sejak pra islam. Tercatat
bahwa Arab pra islam sangat menyukai syair yang berisi pengagungan pada hal
yang dicintai serta kebencian pada musuh. Setelah masuknya Islam, syair tersebut
kemudian mulai berganti wajah menjadi pengagungan kerinduan pada sang
pencipta atau syair cinta untuk Nabi Muhammad SAW.

Beberapa karya monumental yang hingga kini masih sering dibaca di


seluruh dunia adalah Maulid Ad-Diba’i, Maulid Barzanji, Maulid Simtud Duror.
Selain itu, terdapat pula beberapa qosidah tentang pengagungan Nabi Muhammad
seperti karya Imam Bushiri dengan Burdahnya.

2. Tahlilan

Tahlilan sebagai tradisi Islam Nusantara merujuk pada acara doa bersama
dengan melafalkan dzikir-dzikir. Secara bahasa, tahlilan berarti membaca kalimat
tauhid laa ilaaha illallah. Hal ini menjadi perdebatan karena dilakukan secara
rutin bersama-sama serta dilaksanakan untuk mendoakan orang mati pada tujuh
hari masa kematian, empat puluh hari, seratus hari sampai seribu hari.

Menjadi salah satu kearifan lokal bahwa nusantara memang memiliki


kebiasaan bergotong royong. Kebiasaan ini diusung dalam bingkai islam dengan
mendoakan secara berjamaah atas mayit sebagai bentuk kepedulian. Selain itu,
masyarakat Nahdliyyin khususnya di Jawa terbiasa mengadakan selamatan bukan
hanya ketika terjadi kematian, namun juga ketika hendak memulai usaha,
menempati rumah baru, atau akan melakukan perjalanan jauh.

Bacaan tahlil yang dibaca adalah bentuk doa sekaligus mendoakan


keluarga yang telah wafat. Hal tersebut tentu sangat baik karena dapat dijadikan
sebagai salah satu sarana untuk tetap berbakti bahkan kepada mereka yang telah
dipanggil oleh Allah.

Anda mungkin juga menyukai