Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

TRADISI MEGENGAN DALAM MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN

Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Study of Al Qur’an and Al Hadits

Dosen Pengampu : Hasanal Khuluqi, M.Ag.

TBI 1 A

Disusun Oleh :

Umi Zulfah (12203193013)

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN TULUNGAGUNG)

MEI 2020
A. PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin menurut
para wali1 yang difahami sebagai penyebar Islam di tanah Jawa,
sehingga dalam penyebarannya dilakukan secara bijaksana dan
tanpa adanya unsur kekerasan. Kebijakannya dalam menyebarkan
agama Islam dapat dilihat dari bagaimana mereka tidak merusak
tradisi, bahkan mereka menyesuaikannya antara tradisi tersebut
dengan ajaran atau syariat islam.
Realitas tersebut menjadikan tanah Jawa menjadi daerah
yang menyimpan banyak tradisi dan masih terjaga dalam kurun
waktu yang cukup panjang bahkan hingga sekarang. Perkembangan
agama Islam di Indonesia telah berhasil menanamkan keimanan,
keislaman serta keindahan akhlak. Walaupun sebelum datangnya
islam masyarakat telah memeluk agama seperti animisme,
dinamisme, veteisme dan sebagainya.
Akan tetapi, masyarakat Jawa sistemnya lebih kompleks.
Didalam sumber yang berbeda , seperti religiositas masyarakat Jawa
terdapat ajaran Kapitayan. Keyakinan yang sudah ada pada masa
sebelum kedatangan Hindu-Budha. Agama-agama yang menjadi
representasi nyata dari dua kerajaanbesar dimasa itu, Sriwijaya dan
Majapahit.
Jika kita melihat melalui sejarah, Islam merupakan agama
yang diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW yang
tinggal di Jazirah Arab. Maka dari itu, baik ritual keagamaan atau
ajarannya masih kental dengan budaya Arab.

1
Wali atau Waliyullah adalah orang orang yang dikasihi Allah. Kata wali mengandung banyak arti. Bisa
bermakna 'teman', 'kekasih', atau 'pengikut'. Dalam Al-Qur'an, dijumpai kata auliya Allah yang berarti
'kekasih Allah', 'orang-orang terkasih dan dicintai'. Secara umum, wali/aulia Allah adalah hamba yang
sungguh-sungguh mengabdi, menaati Allah dan Rasul-Nya sehingga diistimewakan dan mendapat
maqam (kedudukan/derajat) mulia di sisi-Nya. (Q.S. Yunus: 62-63) Tanah Jawa (Nusantara) konon
dikenal dengan sebutan negeri sejuta wali, setelah Hadralmaut, Yaman.
B. PEMBAHASAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya
mayoritas seorang muslim. Terlepas dari itu, Indonesia memiliki
beragam Tradisi yang berhubungan dengan keislaman. Tradisi itu
sendiri merupakan nilai yang diberikan pada suatu kebiasaan atau
adat istiadat. Namun secara lebih lengkap, tradisi adalah keseluruhan
benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu, namun
wujudnya masih dirasakan hingga saat ini.2 Tanpa adanya tradisi,
hidup manusia akan terbelangkai, pergaulan bersama akan kacau.
Dulu tradisi diibaratkan penerang dari yang padam. Namun, sekarang
tradisi mulai bersifat absolute yang akan menjadi tembok yang
menghalagi menuju kemajuan. Maka dari itu, tradisi yang telah lama
kita terima sudah selayaknya memerlukan perenungan-perenungan
kembali dengan menyesuaikan akan perubahan zaman.3
Menurut Hasan Hanafi, tradisi diartikan sebagai segala bentuk
warisan masa lampau, hingga berjalan sampai menuju zaman saat ini
dan menjadi bagian dari kebudayaan yang sekarang berlaku. Jadi,
bagi pandangan Hasan, bahwa tradisi tidak hanya berbentuk
peninggalan sejarah, tetapi juga sekaligus merupakan persoalan
zaman ini dengan berbagai tingkatan-tingkatannya.4
Sedangkan A.R. Idham Kholid mengutip pendapat Abdullah
Ali mengatakan, bahwa tradisi sebagai suatu adat istiadat atau
kebiasaan yang seringkali dianggap irasional, pada prakteknya selalu
melahirkan pro dan kontra, antara kelompok masyarakat yang
mendukung dan yang menentang. Bahkan tidak jarang aktivitas
tradisiaonal selalu dianggap menghambat upaya pembangunan yang
mengarah pada perubahan dan kemajuan suatu masyarakat

2
Nanang Martono, Sosisologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern,
dan Poskolonial, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), h. 315
3
Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12-13
4
Muhammad Nur Hakim, Islam Tradisional dan Reformasi Pragmatisme (Agama Dalam
Pemikiran Hasan Hanafi), (Malang: Bayu Media Publishing, 2003), h. 29
modern.5 Seiring perkembangannya, tradisi mulai dipersepsikan oleh
masyarakat umum dengan kata ‘Adat’ dan dipahami sebagai sebuah
konsep yang sama. Salah satu tradisi yang hingga saat ini masih
menjadi corak keberagaman masyarakat tanah Jawa yang setiap
datangnya bulan Ramadhan nampak dilakukan adalah tradisi
Megengan6. Megengan diartikan orang jawa ngempet atau menahan
dan berarti sebenarnya mengingat akan memasuki Bulan Ramadhan.
Megengan merupakan budaya yang dikenal upacara yang
disakralkan secara tradisi.
Dalam islam terdapat bulan yang dinyatakan sebagai bulan
suci, yaitu bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rajab, Sya’ban,
Ramadhan, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Pada bulan-bulan tersebut,
masyarakat Jawa melakukan berbagai ritual untuk memperingatinya,
karena bulan- bulan tersebut memanglah memiliki arti penting
sehingga harus dirayakan. Jika ingin mengetahui filosofis bulan-bulan
tersebut, bisa melihat menggunakan pendekatan sejarah islam dan
kitab suci al-Qur’an dan Hadits menjadi rujukan utama pengambilan
hukum. Bentuk peringatan banyak dengan ritual keagamaan, seperti
berdo’a, sholat sunnah, berpuasa, sholawat, membaca al-Quran,
membaca riwayat tokoh muslim atau mauizhah al-hasanah
menyangkut kemuliaan bulan-bulan tersebut, menyediakan makanan
atau benda-benda lain sebagai symbol perayaannya.7 Perilaku seperti
itu bisa kita lihat didusun Raos Baru Kecamatan Gempol Kabupaten
Pasuruan. Hingga saat ini, masyarakat didaerah tersebut masih rutin
melakukan tradisi Megengan setiap tahunnya. Tepatnya pada awal
datangnya bulan suci ramadhan.
Seiring berjalannya masa, tradisi megengan mulai mengalami
perubahan atau bahkan sedikit demi sedikit ditinggalkan. Hal tersebut
5
A.R. Idham, Cholid, Wali Songo: Eksistensi Dan Perannya Dalam Islamisasi dan
Implikasinya Terhadap Munculnya Tradisi-Tradisi di Tanah Jawa, Jurnal Tamaddun, Vol 4, Edisi
1 Januari-Juni, (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2016), h. 26
6
Muntoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 1998), cet. I, h. 7
7
Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, h. 173
terjadi disebabkan kemajuan teknologi, perkembangan ilmu
pengetahuan dan pengaruh dari luar. Namun, dibeberapa daerah
seperti di daerah Raos Baru, tradisi tersebut masih dipegang teguh
dan masih tetap berlangsung sampai saat ini. Bagi masyarakat
daerah tersebut, Megengan merupakan tradisi yang ditunggu-tunggu
dengan rasa antusias oleh masyarakat. Karena merupakan perayaan
demi menyambut bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat
Islam. Perayaan tradisi Megengan, biasa dilakukan dengan ungkapan
rasa syukur (Syukuran) dengan membagi-bagikan makanan kepada
tetangga terdekat.
Jika melihat sistematisnya serangan yang dilakukan oleh
Islam corak Saudi Arabia terhadap umat islam Indonesia yang
melakukan ritual keagamaan semacam megengan, slametan
berargumentasi bahwa tradisi tersebut tidak diajarkan oleh Islam.
Namun, tradisi seperti megengan didalamnya merupakan
perkumpulan antara umat muslim dengan memanjatkan do’a kepada
Allah SWT. Tetapi, umat Islam arab tetap bersikeras dan
menganggap tradisi tersebut sebagai bid’ah atas dasar pemikiran jika
tradisi seperti megengan, tahlilan, tingkepan tidak sesuai dengan
ajaran agama Islam. Hal ini pada dasarnya merupakan pengaruh dari
gerakan kaum puritan seperti yang pernah menjadi permasalahan
umat muslim setelah kemenangan Ibn Sa’ud di Semenanjung Arab.
Pasca tahun 1924, jatuhnya Makkah dan sekitarnya ke tangan Ibn
Sa’ud, kebijakan untuk memberantas tradisi atau praktik yang tidak
sesuai dengan pemikirannya mengenai ajaran agama Islam
diterapkan di Arab.
Tradisi megengan bisa dijadikan sebagai sarana pengenalan
dan penyebaran agama Islam. Dengan tujuan dakwah seperti itu,
maka kita bisa memahami dimunculkannya berbagai macam tafsir
otak-atik dalam tradisi tersebut. Ini memang bukanlah tafsir baku,
namun pemikiran kreatif untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah
melalui perayaan tradisi, yakni megengan. Selain itu, megengan juga
sebagai wujud do’a kepada leluhur. Makanan yang biasa ada didalam
tradisi megengan dinamakan apem, konon filosofi nama apem ini
berasal dari kosa kata Arab al-‘afw (‫) العفو‬. Kue apem sendiri memiliki
makna saling memaafkan terhadap sesama dan meminta maaf jika
berbuat salah. Lebih mulia lagi jika kita memberi maaf terhadap orang
yang berbuat salah terhadap kita. Rasulullah saw bersabda: ”Musa
bin Imran a.s, berkata: Wahai Tuhanku diantara hamba-hamba-Mu,
siapakah orang yang paling mulia dalam pandangan-Mu? Allah Azza
Wajalla menjawab: Orang yang memaafkan walaupun ia mampu
membalas.”8
Namun ada pendapat lain dari M. Quraish Shihab, al-‘afw
diambil dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, fa dan wauw berarti
“menghapus dan membinasakan serta mencabut sesuatu” yang
berarti menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah
memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka itu atau masih
ada dendam didalam hati. Usahakanlah untuk menghilangkan noda-
noda itu, sebab dengan begitu kita baru bisa dikatakan memaafkan
orang lain.9
Tradisi megengan ini juga merupakan suatu bentuk
pengamalan terhadap anjuran Nabi Muhammad saw, yakni
bersedekah kepada orang lain. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda:
“Dari Abi Dzar r.a. ia berkata “Wahai Abu Dzar, jika kamu memasak
kuah, maka perbanyaklah airnya, dan bagi-bagikanlah kepada
tetanggamu.”10

C. KESIMPULAN

8
HR. Imam Baihaqi.
9
M. Quraish Shihab, Op. Cit, 364.
10
Syaikh al-Arif al-Sya‟rawi, Faidh al-Qadir, Juz III, h. 272

Anda mungkin juga menyukai