Anda di halaman 1dari 3

BUDAYA ISLAM NUSANTARA: TRADISI LELUHUR ATAU

BID’AH DALAM PERSPEKTIF ISLAM?


ESSAY
Penulis : Adiib Mushthofaa

Budaya dan agama? Dua kosa kata yang sering jadi bahan pembahasan dan
perbincangan baik dari kalangan intelek maupun orang awam, bahkan sering
menjadi bahan perdebatan bagi sebagian kalangan. Keduanya memiliki
keterkaitan dan hubungan yang kompleks walaupun merupakan dua unsur yang
berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan relasinya. Perkembangan dan
penyebaran agama Islam di nusantara ini juga tidak terlepas akan pengaruh
budaya dan adat istiadat di Indonesia. Agama Islam yang merupakan tuntunan
hidup dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Allah SWT yang di turunkan kepada
nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan bersifat mutlak tidak bisa di
ubah-ubah karena tempat dan waktu. Sedangkan adat dan budaya adalah suatu
kebiasaan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang sangat di pengaruhi
oleh faktor sosial dan lingkungan serta dapat berubah-ubah seiring berjalannya
waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain.

proses pengislaman nusantara tidak terlepas dari faktor keharmonisan budaya


dan agama. Penyebaran ajaran agama Islam di Indonesia salah satunya melalui
pendekatan budaya, budaya juga membutuhkan agama sebagai sarana
pelestariannya. Islam datang tidak serta-merta menghapus budaya yang dari awal
sudah melekat di Indonesia kala itu, walaupun Sebagian budaya yang ada
bertentangan dengan hukum Islam, tetapi Islam memfiltrasi nilai-nilai dan norma
budaya agar sesuai dengan ajaran agama dan menggunakannya sebagai media
dakwah. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di nusantara menggunakan
metode pendekatan melalui kebudayaan yang telah melekat, seperti
pengaplikasian ajaran Islam lewat pertunjukan wayang, gamelan, macam-macam
sya’ir atau kidung dan lain-lain sehingga agama Islam memiliki tempat di hati
masyarakat kala itu. Hal ini menunjukkan akan relasi kuat antara budaya dan
agama yang telah mengakar sejak agama Islam datang.
Tradisi warisan Wali Songo dan ulama leluhur yang berkembang sampai
sekarang di Indonesia seperti yasinan, tahlilan, mauludan, selametan, mitoni,
pengajian, dan tradisi-tradisi yang merupakan pengaplikasian ajaran agama Islam
di nusantara oleh sebagian kelompok dianggap sebagai bid’ah, mereka menolak
akan tradisi dengan dalih hal itu tidak terdapat di zaman nabi.

Mengutip dari RM.id1, bahwa bid‘ah sering diartikan dan di salah pahami
dengan perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh nabi
Muhammad SAW, tetapi dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam periode
sesudah beliau wafat, padahal Perbuatan Bid’ah yang dilarang oleh nabi itu
dibatasi pengertiannya dalam urusan penambahan atau pengurangan ibadah murni
(mahdhah) seperti menambah atau mengurangi rakaat shalat fardhu, mengganti

gerakan shalat dan lain-lain. Hukum bid’ah dinyatakan tegas dalam hadis Nabi
yaitu: Kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fi al-nar (Setiap bid’ah itu sesat
dan setiap yang sesat itu kelak ke Neraka) sebagai sesuatu yang menyesatkan.

Hadis dari kutipan di atas sering di jadikan dalih oleh sebagian kelompok
yang menafsirkan bid’ah dengan memperluas pengertiannya sampai keluar dari
konteks ibadah murni seperti mengaitkannya dengan ibadah muamalat (human
relation) seperti menolak dan melarang tradisi syukuran, berjabat tangan sesudah
shalat, istighosah, mauludan, peringatan hari besar Islam dan lain-lain dengan
alasan hal tersebut tidak pernah di ajarkan oleh nabi, dan lebih parah nya mereka
sampai mengkafirkan sesama umat muslim di nusantara ini bahkan menganggap
bahwa budaya ialah ancaman yang mengotori eksistensi dan kesuciaan agama
dengan dalih syirik, mistis, dan musyrik atau menyekutukan Allah SWT.

KH. Bisri Musthofa dalam kitab karangannya yang berjudul Azwaad Al


Musthofawiyah (1956:14)2 menjelaskan bahwa menurut mazhab Ahlussunnah wal
Jama’ah, bid’ah yang sesat dan di tolak itu bid’ah yang mendorong kepada
keburukan (bid’ah sayyiah). Menurut Imam Syafi’i bid’ah ada dua macam:
Bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah sayyiah (tercela). Pembahasan seputar bid’ah
1
Rakyat Merdeka Online, Senin-Selasa, 7-8 Maret 2022. (sam/mf)
https://rm.id/baca-berita/kolom/114989/bidah-1. Di akses tanggal 22 Oktober 2023 pukul 20.00.
2
Musthofa, Bisri. (1956). Azwaad Al Musthofawiyah. Kudus: Penerbit Menara Kudus. Cetakan
2019. Hlm 14.
ini tidak keluar dari ibadah yang bersifat murni (mahdhah), jadi urusan sosial
kemasyarakatan atau ibadah muamalah, di luar ibadah mahdhah seperti tradisi-
tradisi Islam di nusantara tidak bisa dikaitkan dengan bid’ah.

Tradisi-tradisi Islam yang berkembang di nusantara seperti yang di sebutkan


di atas merupakan buah tangan dari para Ulama terdahulu dalam penyebaran
agama Islam sebagai upaya pengharmonisan agama dan budaya di Indonesia agar
dapat mudah diterima di hati Masyarakat serta agar mereka tidak keluar dari
ajaran-ajaran agama Islam melalui pendekatan budaya.

Dari pemaparan di atas, kita menyadari bahwa agama dan budaya, walaupun
keduanya merupakan dua hal yang jauh berbeda, namun bukan berarti harus
dibenturkan atau menolak salah satunya. Bahkan jika keduanya mampu bersinergi
dengan baik maka akan saling menguatkan dan melengkapi satu sama lain dan
akan menghasilkan suatu karakteristik yang menjadi ciri khas dari persilangan
tersebut. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang ideal karena
menempatkan keduanya dalam posisi yang seimbang dan proporsional.
Penempatan proporsional seperti ini bisa kita lihat ketika awal mula Islam masuk
ke Indonesia, dimana terjadi proses pengislaman budaya nusantara oleh Wali
Songo yang masa itu sebagian besar masih bercorak agama Hindu dan Budha, dan
diiringi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam sebagai pengaplikasian
ajaran agama Islam di nusantara. Sehingga, keduanya melebur dan menyatu
menjadi identitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara. Tradisi
budaya Islam sebagai pengaplikasian Islam Nusantara adalah hasil dari akulturasi
nilai-nilai agama dan budaya di Indonesia, dan merupakan budaya warisan leluhur
bangsa, bukan suatu perbuatan bid’ah.

REFERENSI

Rakyat Merdeka Online, Senin-Selasa, 7-8 Maret 2022. (sam/mf)


https://rm.id/baca-berita/kolom/114989/bidah-1. Di akses tanggal 22 Oktober
2023 pukul 20.00.
Musthofa, Bisri. (1956). Azwaad Al Musthofawiyah. Kudus: Penerbit Menara
Kudus. Cetakan 2019.

Anda mungkin juga menyukai