Budaya dan agama? Dua kosa kata yang sering jadi bahan pembahasan dan
perbincangan baik dari kalangan intelek maupun orang awam, bahkan sering
menjadi bahan perdebatan bagi sebagian kalangan. Keduanya memiliki
keterkaitan dan hubungan yang kompleks walaupun merupakan dua unsur yang
berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan relasinya. Perkembangan dan
penyebaran agama Islam di nusantara ini juga tidak terlepas akan pengaruh
budaya dan adat istiadat di Indonesia. Agama Islam yang merupakan tuntunan
hidup dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Allah SWT yang di turunkan kepada
nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan bersifat mutlak tidak bisa di
ubah-ubah karena tempat dan waktu. Sedangkan adat dan budaya adalah suatu
kebiasaan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang sangat di pengaruhi
oleh faktor sosial dan lingkungan serta dapat berubah-ubah seiring berjalannya
waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Mengutip dari RM.id1, bahwa bid‘ah sering diartikan dan di salah pahami
dengan perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh nabi
Muhammad SAW, tetapi dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam periode
sesudah beliau wafat, padahal Perbuatan Bid’ah yang dilarang oleh nabi itu
dibatasi pengertiannya dalam urusan penambahan atau pengurangan ibadah murni
(mahdhah) seperti menambah atau mengurangi rakaat shalat fardhu, mengganti
gerakan shalat dan lain-lain. Hukum bid’ah dinyatakan tegas dalam hadis Nabi
yaitu: Kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fi al-nar (Setiap bid’ah itu sesat
dan setiap yang sesat itu kelak ke Neraka) sebagai sesuatu yang menyesatkan.
Hadis dari kutipan di atas sering di jadikan dalih oleh sebagian kelompok
yang menafsirkan bid’ah dengan memperluas pengertiannya sampai keluar dari
konteks ibadah murni seperti mengaitkannya dengan ibadah muamalat (human
relation) seperti menolak dan melarang tradisi syukuran, berjabat tangan sesudah
shalat, istighosah, mauludan, peringatan hari besar Islam dan lain-lain dengan
alasan hal tersebut tidak pernah di ajarkan oleh nabi, dan lebih parah nya mereka
sampai mengkafirkan sesama umat muslim di nusantara ini bahkan menganggap
bahwa budaya ialah ancaman yang mengotori eksistensi dan kesuciaan agama
dengan dalih syirik, mistis, dan musyrik atau menyekutukan Allah SWT.
Dari pemaparan di atas, kita menyadari bahwa agama dan budaya, walaupun
keduanya merupakan dua hal yang jauh berbeda, namun bukan berarti harus
dibenturkan atau menolak salah satunya. Bahkan jika keduanya mampu bersinergi
dengan baik maka akan saling menguatkan dan melengkapi satu sama lain dan
akan menghasilkan suatu karakteristik yang menjadi ciri khas dari persilangan
tersebut. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang ideal karena
menempatkan keduanya dalam posisi yang seimbang dan proporsional.
Penempatan proporsional seperti ini bisa kita lihat ketika awal mula Islam masuk
ke Indonesia, dimana terjadi proses pengislaman budaya nusantara oleh Wali
Songo yang masa itu sebagian besar masih bercorak agama Hindu dan Budha, dan
diiringi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam sebagai pengaplikasian
ajaran agama Islam di nusantara. Sehingga, keduanya melebur dan menyatu
menjadi identitas baru yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara. Tradisi
budaya Islam sebagai pengaplikasian Islam Nusantara adalah hasil dari akulturasi
nilai-nilai agama dan budaya di Indonesia, dan merupakan budaya warisan leluhur
bangsa, bukan suatu perbuatan bid’ah.
REFERENSI