Anda di halaman 1dari 4

A.

Dampak Positif Pencampuran Agama dan Budaya


1. Memudahkan masuknya islam ke nusantara
Seorang antropolog bernama Clifford Geertz mengemukakan bahwa
agama
merupakan sistem budaya yang dipengaruhi oleh berbagai proses perubahan
sosial dan dengan sendirinyan mampu mempengaruhi perubahan sistem
budaya.
Saat islam datang, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang
mengandung nilai-nilai yang bersumber pada keyakinan animisme,
dinamisme, Hindu dan Buddha. Ajaran Islam dan budaya justru saling
terbuka untuk berinteraksi dalam praktik kehidupan masyarakat. Sikap toleran
terhadap budaya lama yang dilakukan oleh para wali dalam menyebarkan
agama Islam ternyata cukup berhasil. Para wali membiarkan budaya lama
tetap hidup, tetapi diisi dengan nilai-nilai ke Islaman. Perpaduan Islam yang
telah dilakukan oleh para penyebar agama Islam di masa lampau ternyata
memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan budaya. Budaya
semakin diperkaya nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan
pedoman kehidupan bagi masyarakat pendukungnya.
2. Melahirkan keanekaragaman tradisi di Indonesia
Contohnya dalam tradisi Jawa mengenal istilah 'selametan'. Tradisi
syukuran atas karunia Allah ini, diwujudkan dengan mengundang beberapa
tetangga, untuk berbagi makanan. Ketika Wali Songo masuk ke tanah Jawa,
tradisi ini tidak serta merta ditinggalkan dan dihapus dalam kehidupan
bermasyarakat. Keduanya bisa menyatu dan berkembang menjadi 'tahlilan'
yang masih dilakukan hingga saat ini. Hal ini menunjukkan, akulturasi antara
agama dan budaya telah melahirkan tradisi yang bisa diterima oleh semua
pihak. Selain tradisi ini masih banyak tradisi lain yang berasal dari
pencampuran agama dan budaya sehingga melahirkan keanekaragaman
tradisi yang ada di Indonesia. Dengan keanekaragaman inilah kekayaan
budaya Indonesia semakin terasa.
Islam mampu berkulturasi dengan baik dengan budaya yang ada. Sebelum
Islam datang sudah ada pengaruh agama Hindu-Budha dan kepercayaan
animisme dan dinamisme di Idonesia. Saat kepercayaan dan kebudayaan
Hindu datang, maka sesungguhnya telah terjadi akulturasi kebudayaan
nusantara dengan budaya Hindu. Akibat akulturasi ini terbentuk corak
kebudayaan Hindu dan pernak-perniknya. Kemudian saat Islam datang,
terjadi lagi akulturasi dengan corak Islam yang mempengaruhi corak
kebudayaan lokal.
Semangat akulturasi juga bisa dipotret dari sudut pandang agama Islam.
Menurut Sidi Gazalba19, ajaran Islam mempunyai semangat akulturasi,
berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al- Hujarat (49) ayat 13:

Artinya:

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat di atas mengakui bahwa umat manusia terdiri dari kesatuankesatuan


sosial, disuruh saling kenal mengenal karena mereka sudah memiliki
kebudayaan tersendiri, maka sebaliknya mengenal dalam kebudayaan untuk
terjadinya akulturasi. Nilai kebudayaan dalam Islam bukan terletak pada
tingginya derajat kebudayaan, tetapi justru pada nilai ketakwaannya kepada
Allah Swt.

3. Memperbaiki “penyimpangan” sebuah tradisi


Agama tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan setiap pemeluknya
untuk tetap menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik, dan
meninggalkan tradisi lainnya yang dianggap buruk.
Contohnya pakaian orang Jawa kuno. Kewajaran cara berpakaian mereka
berbeda dengan kewajaran yang dianut saat ini. Pakaian orang Jawa kuno
terungkap dari sastra, relief candi, dan prasasti.
Dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, kebanyakan
perempuan digambarkan tak menutupi auratnya. Namun budaya berubah,
interaksi dengan budaya lain membuat perempuan Jawa mengenal kewajaran
baru dalam berpakaian. Mereka mulai mengenal pakaian yang menutupi
payudara, bahu, dan punggung. Jenis pakaian itu lalu disebut kebaya. Denys
Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya, mengatakan bahwa
kebaya berasal dari bahasa Arab.
Kata abaya dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut pakaian yang
menutupi dada, bahu, dan punggung. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangan
bangsa Arab turut mengubah budaya berpakaian perempuan Jawa, sehingga
mereka menutupi bagian dada, bahu, dan punggungnya. Agama dengan
demikian adalah "warisan" dari tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan
sebelumnya yang saling melengkapi, dan tentu saja agama berkecenderungan
untuk memperbaiki setiap "penyimpangan" sebuah tradisi.

B. Dampak Negatif Pencampuran Agama dan Budaya

Sebelum datangnya Islam ke Nusantara, agama Hindu-Budha dan


kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah berakar di
kalangan masyarakat Nusantara, khususnya di Jawa. Upacara-upacara seperti
nelung dino, mitung dino, matang puluh, nyatus, mendhak, sewu yang merupakan
tradisi pra Islam dalam rangka menghormati kematian sesorang tidak begitu saja
dihilangkan oleh para mubaligh, tetapi dibiarkan berlanjut dengan diwarnai dan
diisi dengan unsur-unsur dari agama Islam. Sikap toleran dan akomodatif terhadap
kepercayaan budaya setempat membawa dampak negatif yaitu singkritisme.

Secara etimologis, singkritisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau
kerannynai yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.
Singkritisme dalam agama adalah suatu sikap yang mencampuradukkan antara
Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lain, sehingga sulit dibedakan mana yang
benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang berasal dari tradisi. Namun terdapat
sisi positifnya yaitu ajaran yang disingkritismekan tersebut telah menjadi
jembatan yang memudahkan masyarakat Nusantara khususnya Jawa dalam
menerima Islam sebagai agama mereka yang baru.

Karena ajaran Islam tidak boleh berubah, sementara kebudayaan selalu


berubah, telah memunculkan beberapa permasalahan di kalangan umat Islam.
garis pembatas (pemisah) antara agama dan budaya sering kali menimbulkan
pertanyaan dan kebingungan yang berujung pada masalah. Hal yang perlu dicatat
adalah kita harus mengerti wilayah mana yang tidak boleh berubah dan wilayah
mana yang dapat berubah sesuai dengan perjalanan sejarah dan dinamika
pemikiran manusia. Misalnya, pakaian penutup aurat dengan berbagai syarat
terkait dengannya, seperti bahan kain yang tidak transparan, harus longgar tidak
membentuk badan, adalah wilayah agama yang tidak boleh berubah. Tetapi
model, style dan bahan pakaian adalah wilayah budaya yang dapat berubah sesuai
dengan kebutuhan dan kenyamanan manusia.

Sumber:

Ardhani Prameswari. 2018. Akulturasi Budaya dan Agama Saling


Menguatkan [online].Tersedia:
https://www.kompasiana.com/ardhani.prameswari/5acc3949cf01b404fd63cd64/ak
ulturasi-budaya-dan-agama-saling-menguatkan

https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia

Roszi, J., & Mutia, M. (2018). Akulturasi Nilai-Nilai Budaya Lokal dan
Keagamaan dan Pengaruhnya terhadap Perilaku-Perilaku Sosial. FOKUS Jurnal
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, 3(2), 171-198.

Anda mungkin juga menyukai