Anda di halaman 1dari 6

BAB 8 BAGAIMANA ISLAM MENGHADAPI TANTANGAN MODERNISASI?

Kelompok 8

1. Sidik hananto
2. Rivaldy jaya putra
3. Dwiyan

Manajemen pelabuhan
Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sangat urgen bagi
kehidupan umat manusia. Tanpa menguasai Iptek manusia akan tetap dalam lumpur
kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Penguasaan manusia terhadap Iptek dapat
mengubah eksistensi manusia dari yang semula manusia sebagai „abdullah saja menjadi
khalīfatullāh. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa hukum mempelajari ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah wajib. Anda sudah mengalami sendiri betapa besar manfaat Iptek bagi
kehidupan Anda sebagai mahasiswa.

A.Islam Dalam Menghadapi Tantangan Modernitas

Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada
posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada
manusia dalam memahami realitas.

Meski demikian, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial
kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan
kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya.

Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu
dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan
berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi
lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup.
B. Zaman Modern

Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna obyektif modern. Secara subyektif makna
modern terkait erat dengan konteks ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid
melihat zaman modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah melalui
zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa Sumeria) sekitar 5000
tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zaman baru, zaman modern, yang dimulai oleh
bangsa Eropa Barat laut sekitar dua abad yang lalu (Majid; 2000, 450).

Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh Majid, dimulai sejak menjelang
akhir abad ke 15 M ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya
sendiri karena telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan.

Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa dalam sains dan
teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya selubung kesalahan dogma gereja
setelah manusia berhasil mengenal hukum-hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut
menjadi kritik terhadap gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusia
menjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris (kekuasaan Tuhan) yang
dihegemonikan gereja selama abad pertengahan diganti dengan doktrin manusia sebagai pusat
kehidupan (antroposentrisme).
C.Tantangan Modernitas

Pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaharuan
terhadap tradisi yang ada. Harun Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan
Islam, bukan gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya sebagai
gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaran agama Katolik dengan sains
dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975,
11).

Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada
pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan Islam tidak selalu sesuai dengan
kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi
Islam dalam kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi
seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)

Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang diimpor dari bangsa Barat membuat
perubahan dalam masyarakat muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa
memikirkan kembali tradisi yang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi.
Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.

Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan tersebut. Degradasi
kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan
pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan
membersihkan praktek-praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.

D.Islam Dan Perubahan

Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam dengan modernitas adalah
keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika upaya tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya,
ketidakberhasilan proses tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman
modern. Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat terulang
kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam.
E. Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab
tantangan tersebut.

Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis;
Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran
Islam tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami
oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki
keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory
democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan
sistematisasi rasional kehidupan sosial (Majid, 467).

Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni dengan perubahan terdapat
dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama
rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan fitrah dan
demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan tengah), waqiiyah (kontekstual),
jelas dan harmoni antara perubahan dan ketetapan (Qardhawi; 1995).

F. Pembaruan Islam

Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi tajdid
(pembaruan, modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim: seruan
kembali kepada fundamen agama dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini
merupakan respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan zaman
akibat modernitas. Model pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran
Islam dari percampuran tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua
disebut dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam.

Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda,
bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang
sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah
pembersihan dari aspek-aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku kaidah
“semua dilarang kecuali yang diperintah”.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan
sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma
(cara pandang) kehidupan.

Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo; 1997, 170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke
wilayah praktis. Ilmu fiqh merupakan salah satu perwujudan yang pertama ini. Sementara yang
kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafat sosial dan teori sosial
terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah
tidak akan merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus
diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial, kemudian menjadi teori perubahan dan baru
melangkah di wilayah perubahan sosial.

Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadap kemampuan manusia. Batas-
batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan
manusia, tetapi sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya
menghadirkan aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah
ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agama akan
kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abad pertengahan.

Penutup

Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-negatifnya, menjadi tantangan
yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja
ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya. Tajdid
sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan
secara maksimal oleh umat Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski
memerlukan cost yang besar. Wallahu a`lam

Anda mungkin juga menyukai