Anda di halaman 1dari 12

KARYA ILMIAH

BUDAYA WIWIT DENGAN NILAI-NILAI ISLAM


DI DESA MLATEN DEMAK

Disusun Oleh :
NASYA SYAMSINISA
1410210018

JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tradisi atau budaya-budaya masyarakat Jawa hingga saat ini masih


sering kita jumpai. Masyarakat Jawa dikenal menjunjung tinggi dan cermat dalam
melestarikan budaya dan tradisi mereka. Meskipun suku Jawa dikenal sebagai
suku tertua, namun kebudayaannya hingga kini tidak pernah luntur. Budaya-
budaya Jawa masih dapat bertahan dengan berubahnya zaman yang
mengiringinya. Bahkan pergantian ajaran agama di wilayah Jawa pun tidak dapat
memudarkan tradisi-tradisi yang telah mendarahdaging di kalangan masyarakat
Jawa. Mulai dari agama Hindhu, Buddha, hingga Islam kebudayaan Jawa tidak
tergoyahkan. Meskipun tidak bisa dipungkiri, bahwa ada pengaruh agama (baik
besar maupun kecil) terhadap perkembangan budaya dan tradisi masyarakat Jawa.
Maka dari itu, apabila dilihat dari segi kebudayaannya, Islam dan Jawa sering
dijumpai beberapa hubungan dan keterkaitan.

Islam sebagai agama baru yang datang di Jawa, pada awal masuknya
telah mendapati masyarakat Jawa dengan seluruh kebudayaan dan ritual di
dalamnya. Untuk menarik minat masyarakat Jawa yang awalnya adalah pengikut
Hindhu-Buddha, para penyiar agama Islam menggunakan berbagai metode.
Seperti, menggunakan tembang dan wayang sebagai media dakwah, sampai
memasukkan ajaran agama Islam ke dalam budaya masyarakat yang sudah lazim
dijalankan. Dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah menerima Islam dan
mengenal Islam sebagai agama yang ramah bagi umatnya.

Para penyiar Islam membutuhkan kebudayaan dan tradisi-tradisi Jawa


sebagai media dakwahnya, sedangkan masyarakat Jawa begitu antusias terhadap
budaya-budayanya yang dilestarikan oleh para penyiar Islam. Sehingga hubungan
budaya Jawa dengan Islam seperti simsiosis mutualisme, hubungan yang saling

2
menguntungkan antara kedua pihak. Hasilnya, hingga kini masyarakat Jawa
secara mayoritas telah memeluk agama Islam tanpa meninggalkan tradisi dan
budaya yang sudah melekat sebelum memeluk agama Islam, sebagai tradisi umat
Islam.

Budaya-budaya Jawa yang sekarang telah menjadi budaya umat Islam di


Jawa diantaranya, budaya tingkep yakni upacara tujuh bulanan kehamilan pertama
seorang ibu Jawa yang sekarang dilestarikan dengan selamatan; budaya puput
yakni budaya merayakan kelahiran anak tali pusar sang bayi putus sekitar tujuh
hari setelah dilahirkan yang sekarang dilestarikan dengan aqiqah sekaligus
memberikan nama bagi sang anak; mengubur ari-ari (plasenta bayi) yang sampai
sekarang dilestarikan dengan membacakan doa dan adzan sebelum
menguburkannya; dan budaya wiwit.

Budaya wiwit di Desa Mlaten Demak merupakan salah satu budaya yang
telah dimasuki nilai-nilai keislaman. Budaya yang awalnya dilakukan petani untuk
memberi persembahan kepada Dewi Sri menurut kepercayaan Hindhu ini
sekarang telah menjadi budaya yang melekat dengan nilai keislaman. Sehingga
kemudian masyarakat sering sulit memisahkan antara budaya Jawa dan Islam.
Karena telah membaurnya nilai-nilai islam dalam budaya Jawa. Bercermin dari
budaya wiwit ini, penulis ingin meneliti keterkaitan antara Islam dengan budaya-
budaya Jawa, serta hubungan budaya wiwit dengan nilai-nilai keislaman di Desa
Mlaten Demak.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah


sebagai berikut :

1. Bagaimana keterkaitan antara Islam dengan budaya-budaya Jawa ?


2. Bagaimana hubungan antara budaya wiwit dengan nilai-nilai keislaman di
Desa Mlaten Demak?

3
3.
BAB II
PEMBAHASAN

3.1 Islam dan Budaya Jawa


3.1.1 Islam Sebagai Agama
Islam merupakan nama bagi agama yang diambil dari kata bahasa arab
yang berati taat kepada Allah. Akar katanya adalah salm yang berarti kedamaian
atau ketentraman.1 Islam sebagai agama meupakan sebuah wahyu yang berasal
dari Allah, dibawakan oleh Nabi Muhammad untuk diberitakan kepada seluruh
umat manusia di bumi.
Sebagai agama wahyu, ajaran agama Islam bersumber dari pengetahuan
dan pemberitahuan Ilahiyat yang terkandung dalam Quran dan sunnah Rasul. 2
Sebagaimana agama-agama lain, Islam memuat ajaran-ajaran yang bersifat
doktrin dan mengikat bagi pemeluknya. Baik ajaran mengenai tauhid atau
Mengesakan Tuhan, ajaran yang bersifat hukum-hukum dalam segala aspek
kehidupan manusia, hingga tradisi-tradisi keagamaan. Tentu saja, dari semua
ajaran yang disampaikan mengandung nilai kebenaran yang mutlak, universal,
serta tidak bergantung pada ruang dan waktu sebagai pengikat bagi umatnya.
Agama Islam hendaknya menjadi acuan dalam hidup manusia secara
umum termasuk dalam melakukan ritual dan tradisi-tradisi. Sehingga diperlukan
upaya pengendalian diri menyangkut keputusan tindakan manusia melalui sistem
normatif sebagai pedoman yang diyakini kebenarannya. Menurut Charis Zubair 3,
sahnya agama ditentukan oleh keampuhannya dalam menyelesaikan tantangan
kultural, meskipun refleksi keagamaan tetap harus menjiwai perilaku dan
keputusan tindakan manusia.

3.1.2 Budaya Jawa


1 Mahmud Aziz siregar, Islam untuk Berbagai Aspek Kehidupan, (Yogyakarta:Tiara Wacana
Yogya, 1999), hlm. ix.

2 Ibid, hlm. 127.

3 A. Charis Zubair, Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1997),
hlm. 16.

4
Budaya merupakan pengembangan dari kata majemuk budi daya.
Sehingga budaya dapat diartikan daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa.
Sedangkan hasil dari cipta, karsa dan rasa disebut sebagai kebudayaan.4
Kebudayaan (kultur) dapat juga diartikan sebagai hasil karya cipta manusia
dengan kekuatan jiwa (budi) dan raganya yang terwujud dalam berbagai aspek
kehidupan rohaniyah.5 Kebudayaan dapat dikatakan sebagai endapan dari seluruh
keputusan tindakan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata
sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama,
kesenian, filsafat, dan sebagainya, tetapi meluas sampai ke seluruh karya
manusia.6
Budaya dapat berupa tradisi, ritual, ataupun kebiasaaan (adat) yang
dijalankan oleh masyarakat. Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih
bersifat dinamis, bukan statis. Kebudayaan adalah kehidupan manusia itu sendiri,
manusia dalam budaya mewujudkan pikiran, gagasan, ide-ide, kehendak,
perasaan, sikap, dan perilaku ke dalam bentuk fisik material konkret yang
emrupakan hasil dari kebudayaannya.7 Sehingga budaya masyarakat di suatu
daerah memiliki perbedaan yang menjadikan budaya pada masing-masing daerah
tersebut menjadi khas dan unik. Seperti budaya masyarakat Suku Jawa, berbeda
dengan Suku Sunda, berbeda dengan Suku Betawi, Suku Batak, Suku Madura,
dan suku-suku lain. Bahkan budaya Suku Jawa pun memiliki perbedaan di setiap
daerah di Jawa sendiri. Oleh sebab itulah, sebagai masyarakat yang meniliki
kebudayaan, kita harus melestarikan budaya kita karena budaya merupakan suatu
khas yang memberikan ciri bagi masyarakat yang melakoninya.
Budaya Jawa merupakan budaya yang berasal dan berkembang di wilayah
Jawa, khususnya suku Jawa. Meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Budaya-budaya Jawa yang menjadi ritual misalnya, upacara kenduri dan sekaten.
Budaya yang menjadi adat, misalnya puputan dan mendem ari-ari. Ada pula yang

4 Mahmud Aziz siregar, Op.Cit, hlm. 135-136.

5 Ibid, hlm. 128.

6 A. Charis Zubair, Op.Cit, hlm. 31-32.

7 Ibid, hlm. 33.

5
menjadi tradisi, seperti dugderan, dandangan, grebek besar, termasuk wiwit
merupakan budaya Jawa khususnya ritual para petani Jawa yang sudah menjadi
tradisi.
Budaya-budaya Jawa yang ada sekarang ini, merupakan budaya yang
sudah ada sejak lama, meskipun tidak dapat diketahui waktunya secara pasti. Oleh
karena perubahan-perubahan zaman yang terjadi di Jawa, budaya-budaya Jawa
tidak bisa dipungkiri telah ikut mengalami perubahan-perubahan. Seperti budaya
wiwit yang dahulu merupakan ritual untuk berterima kasih kepada Dewi Sri, Sang
Dewi Padi bagi umat Hindhu, sekarang telah menjadi ritual yang berisikan doa-
doa Islam dan shalawat Nabi. Faktor agama menjadi salah satu dari sekian sebab
terjadinya pergeseran nilai budaya-budaya Jawa.

3.1.3 Nilai-Nilai Islam dengan Budaya Jawa


Agama Islam mengajarkan bahwa dengan akalnya, manusia mengetahui
hukum-hukum di alam semesta, menggunakan, memanfaatkan, dan mengatur
segala sesuatu di bumi ini. Islam juga mengajarkan bahwa manusia bebas dalam
berpikir dan berbuat.8 Dalam nilai agama, manusia menghadapi alam semesta
sebagai penjelmaan dari rasa keimanan dan kebesaran tuhan pencipta alam. Dalam
kenyataannya, manusia menghendaki hidup yang bermartabat sebagai makhluk
berbudi.9 Manusia mempunyai tanggungjawab pada dirinya, pada Tuhan yang
menciptakan dirinya, dan alam semesta. Disinilah manusia menempatkan diri
dalam kebesaran alam semesta yang penuh rahasia, budi manusia mendapatkan
martabat, dan kebudayaan yang dilahirkannya dapat membawa seluruh alam
semesta ke tingkat kesucian Tuhan.
Budaya-budaya Jawa pada umumnya dipengaruhi oleh agama yang
berkembang di Jawa sesuai dengan masanya. Sebelum datangnya Islam di wilayah
Jawa pada sekitar abad ke 15 Masehi, masyarakat Jawa mempercayai kepercayaan
Animisme dan Dinamisme, sehingga budaya-budaya Jawa pada masa itupun sarat
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kepercayaan Animisme dan Dinamisme.

8 Mahmud Aziz siregar, Op.Cit, hlm. 132-133.

9 Ibid, hlm. 130.

6
Begitupun ketika di Jawa telah berkembang ajaran Hindhu-Buddha, budaya-
budaya Jawa pun banyak yang mengandung nilai pemujaan terhadap dewa-dewa.
Pada abad 15 Masehi, para penyiar Agama Islam yang berasal dari India
mulai memasuki wilayah Jawa.10 Sesampainya di Jawa, para penyiar Islam telah
mendapati masyarakat Jawa dengan segala budaya, adat, tradisi, dan ritual yang
sudah sangat melekat. Tidak ada jalan lain, para penyiar Islam tidak bisa serta
merta menggantikan budaya-budaya Jawa dengan budaya Islam, melainkan
dengan memasukkan nilai-nilai keislaman pada budaya-budaya yang sudah ada.
Sehingga dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah menerima Islam dan
menganut ajaran Islam tanpa meninggalkan budaya yang sudah menjadi tradisi
dari leluhur Jawa.
Budaya-budaya yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat Jawa ini
justru dijadikan sebagai media dakwah bagi para penyiar agama Islam di Jawa.
Sehingga para penyiar tidak mengalami kesulitan dalam menyampaikan dan
mengajarkan ajaran Islam sampai kepada masyarakat Jawa yang awalnya
penganut Hindhu-Buddha ini. Selain sebagai media dakwah, budaya-budaya Jawa
juga telah dimasuki nilai-nilai Islam sebagai pengajaran aqidah kepada umat.
Maka tidak heran jika budaya-budaya Jawa yang ada sekarang ini telah justru
menjadi budaya masyarakat Islam. Karena nilai-nilai ajaran yang menyimpang
dengan ajaran Islam kemudian oleh para penyiar Islam digeser dan dimasuki nilai-
nilai yang sesuai dengan syariat agama Islam. Oleh karena itu, kita sering
menjumpai budaya jawa bercampuraduk dengan ajaran Islam.

3.2 Budaya Wiwit dengan Nilai-Nilai Islam di Desa Mlaten Demak


Wiwit berasal dari bahasa Jawa yang berarti mulai, atau permulaan.
Menurut Mbah Surono11,wiwit itu tradisi, yang oleh para ulama Islam dahulu itu
dilakukan ketika Gusti Allah memberikan rizki dari hasil bumi, berupa padi,
jagung, bawang, maupun semangka dengan cara slametan sebagai wujud rasa

10 Asnan Wahyudi dan Abu Kholid, Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam di Tanah
Jawa, (Surabaya: Karya Ilmu), hlm. 12.

11 Surono, pemangku adat wiwit Desa Mlaten, Mijen, Demak. Dalam wawancara di rumah beliau,
Mlaten gang 8, pada Hari Sabtu, 21 Maret 1015 pukul 14.30 WIB.

7
syukur atas rizki tersebut. Oleh masyarakat Jawa, disebut sebagai wiwit, yang
mengandung makna “amiwiti ingsun kelawan nyebut dzat asmane Gusti”.
Sebenarnya, wiwit merupakan budaya masyarakat Jawa penganut ajaran
Hindhu-Buddha, khususnya para petani yang hendak memanen hasil buminya.
Mereka menghantarkan sesaji mengelilingi sawah agar hasil bumi yang sudah
hampir dipanen tidak diganggu oleh makhluk-makhluk ghaib yang mereka
percaya jahat, serta untuk mengadakan pemujaan kepada Dewi Sri yang menurut
kepercayaan penganut Hindu-Buddha merupakan Dewi Padi, agar dapat
melindungi keselamatan sawah dan tanamannya sampai panen nanti, dapat
menghasilkan panen yang berlimpah, serta keselamatan yang berlanjut sampai
panen berikutnya. Namun sekarang ini di Desa Mlaten Demak, yang tersisa hanya
tradisi wiwit yang masih dilakukan dengan kandungan nilai-nilai Islam
didalamnya serta dilaksanakan berdasarkan syariat Islam yang jauh dari perbuatan
syirik (menyembah pada selain Allah).
Menurut Mbah Surono, tradisi wiwit dilakukan oleh pemilik sawah
didampingi sesepuh yang ahli dalam prosesi wiwit di sawah yang hendak dipanen.
Proses wiwit dilaksanakan dengan cara nyliwer pojokan papat, yakni mengitari
empat sudut sawah. Maksudnya, berjalan mengitari sawah sampai kembali lagi
pada posisi awal dengan tujuan meminta keselamatan atas Mbok Sri, sebutan bagi
padi yang siap untuk dipanen.
Setiap sampai di satu pojok sawah, pelaku wiwit menyimpul daun padi
dengan tali wangsul. Menyimpul dengan tali wangsul memiliki makna bahwa
Allah akan membawa kembali/pulang ke rumah pemilik padi yang akan dipanen
dengan selamat. Maksudnya, panen akan menghasilkan padi yang melimpah, dan
apabila menanam tanaman lagi dapat berhasil lagi.
Saat mengitari sawah, si pelaku prosesi wiwit membaca ayat kursi, dan
doa-doa. Pembacaan ayat kursi, sarana diungkal, maksudnya sang pelaku terlebih
dahulu harus melakukan puasa selama tujuh hari berturut-turut sebelum
membacakan ayat kursi ini supaya bisa membuat dedemit-dedemit (roh-roh jahat),
setan, dan jin di sawah takut utuk mengganggu padi dan sawahnya. Ayat kursi ini
dikenal sebagai pusaka atau senjata bagi umat Islam sebagai pelindung dari
godaan dan serangan makhluk-makhluk jahat, di samping bacaan ta’awudz. Doa-

8
doa yang dipanjatkan meliputi doa kunut, shalawat nariyah, shalawat nubuwah,
dan doa-doa selamat untuk sawah dan pemiliknya yang dipanjatkan kepada Allah.
Doa-doa dan ayat kursi ini dibaca sepanjang mengitari sawah sampai kembali
pada posisi semula.
Ada beberapa rampean atau bekal yang harus dibawa pada saat melakukan
tradisi wiwit ini, yaitu (1) Nasi, sebagai lambang Mbok Sri. (2) Lele, sebagai
pelengkap dari nasi. Menurut cerita, Mbok Sri pada zaman dahulu menginginkan
seorang suami, yaitu bedhug basu yang diartikan sebagai segara atau laut. Maka
dari itu, pasangan atau lauk yang digunakan sebagai pelengkap Mbok Sri atau nasi
adalah ikan yang berasal dari bedhug basu atau laut. (3) Kembang tiga rupa (tiga
macam bunga) dan sesaji-sesaji. Namun pada tradisi wiwit sekarang ini,
membawa sesaji tidak menjadi keharusan. (4) Cakar, cengger, bawang merah,
bucek.
Saat berhenti pada sudut-sudut sawah untuk menyimpul padi dengan tali
wangsul, pelaku wiwit mengambil pari pitung jodho yaitu tujuh pasang batang
padi, kemudian di sampul dengan ikatan wangsul dan diberi kembang tiga rupa
yang dibawa tadi. Ini merupakan sebuah perlambang pengantin bagi Mbok Sri.
Kemudian pari pitung jodho ini dibawa pulang untuk di gantungkan di pojok-
pojok rumah seperti dinding atau tiang rumah, maksudnya supaya hasil panennya
nanti bisa awet sampai panen berikutnya dan tidak kehabisan bahan makanan.
Sebelum rangkaian proses wiwit selesai, pelaku wiwit hendaknya
meninggalkan beberapa sisa makanan, berupa cakar, cengger, bawang merah, dan
bucek, diletakkan di sudut-sudut sawah supaya kutu-kutu alam suarga atau
lelembut sawah, yaitu cacing-cacing, ular, kelabang, wereng, dan lain-lain ikut
merasakan makanan yang didoakan tadi dengan maksud supaya lelembut sawah
tersebut ikut berdoa terhadap keberhasilan panen yang segera dilakukan. Hal ini
dilakukan bukan semata-mata pemujaan terhadap setan, tapi lebih kepada berbagi
dengan makhluk-makhluk kecil yang ikut menghuni sawahnya supaya tidak
merusak tanaman di sawahnya.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Setelah diuraikan penjelasan mengenai budaya Jawa dengan nilai-nilai
Islam dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

3.1.1 Islam dan Budaya Jawa


Keterkaitan antara Islam dan budaya Jawa memang sulit untuk dipisahkan,
mengingat budaya-budaya Jawa selalu dipengaruhi oleh agama-agama yang
berkembang di Jawa sesuai dengan masanya. Pada masa kepercayaan Animisme
dan Dinamisme berkembang di Jawa, budaya Jawapun sarat dengan nilai-nilai
kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Begitupun dengan agama Hindhu-
Buddha saat berkembang di Jawa, banyak mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa
pada masa itu.
Ketika Islam berkembang dan meluas menggantikan kepercayaan-
kepercayaan masyarakat Jawa sebelumnya, nilai-nilai keislaman pun merambah
luas dan merasuk sampai ke seluruh budaya-budaya Jawa. Apalagi para penyiar
agama Islam turut mengapresiasi budaya-budaya Jawa sebagai media dakwahnya
serta memasukkan nilai dan ajaran Islam (utamanya tauhid) di dalamnya untuk
menggeser ajaran yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Sehingga budaya Jawa
yang sekarang ini masih delestarikan, banyak diantaranya yang mencerminkan
nilai Islam dan mengandung ajaran-ajaran yang sesuai dengan syariat agama
Islam.

3.1.2 Budaya Wiwit dengan Nilai-Nilai Islam di Desa Mlaten Demak


Di Desa Mlaten Demak, budaya wiwit yang awalnya merupakan budaya
Jawa penganut Hindhu-Buddha untuk memuja Dewi Padi, sekarang ini telah
dijalankan berdasarkan nilai-nilai Islam yang sarat akan makna. Meskipun ada
beberapa ritual yang masih dipertahankan, namun inti ajarannya tidak
menyimpang dari syariat Islam. Islam memasukkan nilai-nilainya ke dalam
budaya wiwit, sehingga budaya wiwit menjadi budaya yang dilakukan sebagai
wujud syukur para petani kepada Allah SWT atas rizki yang sudah ada di depan
mata, yang dalam waktu dekat akan segera dibawanya pulang (panen).

10
Pelaksanaan wiwit dengan nilai-nilai Islam di Desa Mlaten Demak yaitu
dengan memanjatkan doa-doa dan shalawat agar sawah yang akan segera dipanen
mendapatkan keselamatan dan tidak ada halangan apapun dalam panen, serta
menghasilkan panen yang melimpah. Doa-doa yang dipanjatkan ditujukan hanya
kepada Allah dan jauh dari syirik atau menyekutukan Allah. Wiwit menjadi
sebuah contoh dari banyaknya budaya Jawa yang telah bernilaikan Islam dan
menghindarkan ajaran-ajaran yang mendekatkan pada syirik atau pemujaan
kepada apapun selain Allah. Budaya-budaya Jawa yang lain, tidak hanya di Desa
Mlaten Demak saja, melainkan budaya Jawa di daerah manapun yang sekarang
telah berbaur dengan nilai-nilai Islam dan justru berisi tuntunan dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT.

3.2 Saran
Demikian karya ilmiah yang penulis sajikan. Penulis berharap semoga
karya ilmiah ini dapat menjadi motivasi bagi pembaca untuk melakukan penelitian
lebih lanjut terhadap budaya-budaya lokal yang mengandung nilai-nilai
keislaman. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini.
Oleh karena itu, semoga dengan adanya karya ilmiah ini, akan ada karya-karya
ilmiah lain yang lebih sempurna untuk menutupi kekurangan yang ada. Penulis
masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun agar dapat
mengembangkan karya ilmiah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Mahmudi Aziz. 1999. Islam untuk Berbagai Aspek Kehidupan.

Yogyakarta: Tiara wacana.


Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid. Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam

di Tanah Jawa. Surabaya: Karya Ilmu.


Zubair, A. Charis. 1997. Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

12

Anda mungkin juga menyukai