Disusun Oleh :
NASYA SYAMSINISA
1410210018
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama baru yang datang di Jawa, pada awal masuknya
telah mendapati masyarakat Jawa dengan seluruh kebudayaan dan ritual di
dalamnya. Untuk menarik minat masyarakat Jawa yang awalnya adalah pengikut
Hindhu-Buddha, para penyiar agama Islam menggunakan berbagai metode.
Seperti, menggunakan tembang dan wayang sebagai media dakwah, sampai
memasukkan ajaran agama Islam ke dalam budaya masyarakat yang sudah lazim
dijalankan. Dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah menerima Islam dan
mengenal Islam sebagai agama yang ramah bagi umatnya.
2
menguntungkan antara kedua pihak. Hasilnya, hingga kini masyarakat Jawa
secara mayoritas telah memeluk agama Islam tanpa meninggalkan tradisi dan
budaya yang sudah melekat sebelum memeluk agama Islam, sebagai tradisi umat
Islam.
Budaya wiwit di Desa Mlaten Demak merupakan salah satu budaya yang
telah dimasuki nilai-nilai keislaman. Budaya yang awalnya dilakukan petani untuk
memberi persembahan kepada Dewi Sri menurut kepercayaan Hindhu ini
sekarang telah menjadi budaya yang melekat dengan nilai keislaman. Sehingga
kemudian masyarakat sering sulit memisahkan antara budaya Jawa dan Islam.
Karena telah membaurnya nilai-nilai islam dalam budaya Jawa. Bercermin dari
budaya wiwit ini, penulis ingin meneliti keterkaitan antara Islam dengan budaya-
budaya Jawa, serta hubungan budaya wiwit dengan nilai-nilai keislaman di Desa
Mlaten Demak.
3
3.
BAB II
PEMBAHASAN
3 A. Charis Zubair, Etika Rekayasa Menurut Konsep Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1997),
hlm. 16.
4
Budaya merupakan pengembangan dari kata majemuk budi daya.
Sehingga budaya dapat diartikan daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa.
Sedangkan hasil dari cipta, karsa dan rasa disebut sebagai kebudayaan.4
Kebudayaan (kultur) dapat juga diartikan sebagai hasil karya cipta manusia
dengan kekuatan jiwa (budi) dan raganya yang terwujud dalam berbagai aspek
kehidupan rohaniyah.5 Kebudayaan dapat dikatakan sebagai endapan dari seluruh
keputusan tindakan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata
sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama,
kesenian, filsafat, dan sebagainya, tetapi meluas sampai ke seluruh karya
manusia.6
Budaya dapat berupa tradisi, ritual, ataupun kebiasaaan (adat) yang
dijalankan oleh masyarakat. Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih
bersifat dinamis, bukan statis. Kebudayaan adalah kehidupan manusia itu sendiri,
manusia dalam budaya mewujudkan pikiran, gagasan, ide-ide, kehendak,
perasaan, sikap, dan perilaku ke dalam bentuk fisik material konkret yang
emrupakan hasil dari kebudayaannya.7 Sehingga budaya masyarakat di suatu
daerah memiliki perbedaan yang menjadikan budaya pada masing-masing daerah
tersebut menjadi khas dan unik. Seperti budaya masyarakat Suku Jawa, berbeda
dengan Suku Sunda, berbeda dengan Suku Betawi, Suku Batak, Suku Madura,
dan suku-suku lain. Bahkan budaya Suku Jawa pun memiliki perbedaan di setiap
daerah di Jawa sendiri. Oleh sebab itulah, sebagai masyarakat yang meniliki
kebudayaan, kita harus melestarikan budaya kita karena budaya merupakan suatu
khas yang memberikan ciri bagi masyarakat yang melakoninya.
Budaya Jawa merupakan budaya yang berasal dan berkembang di wilayah
Jawa, khususnya suku Jawa. Meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Budaya-budaya Jawa yang menjadi ritual misalnya, upacara kenduri dan sekaten.
Budaya yang menjadi adat, misalnya puputan dan mendem ari-ari. Ada pula yang
5
menjadi tradisi, seperti dugderan, dandangan, grebek besar, termasuk wiwit
merupakan budaya Jawa khususnya ritual para petani Jawa yang sudah menjadi
tradisi.
Budaya-budaya Jawa yang ada sekarang ini, merupakan budaya yang
sudah ada sejak lama, meskipun tidak dapat diketahui waktunya secara pasti. Oleh
karena perubahan-perubahan zaman yang terjadi di Jawa, budaya-budaya Jawa
tidak bisa dipungkiri telah ikut mengalami perubahan-perubahan. Seperti budaya
wiwit yang dahulu merupakan ritual untuk berterima kasih kepada Dewi Sri, Sang
Dewi Padi bagi umat Hindhu, sekarang telah menjadi ritual yang berisikan doa-
doa Islam dan shalawat Nabi. Faktor agama menjadi salah satu dari sekian sebab
terjadinya pergeseran nilai budaya-budaya Jawa.
6
Begitupun ketika di Jawa telah berkembang ajaran Hindhu-Buddha, budaya-
budaya Jawa pun banyak yang mengandung nilai pemujaan terhadap dewa-dewa.
Pada abad 15 Masehi, para penyiar Agama Islam yang berasal dari India
mulai memasuki wilayah Jawa.10 Sesampainya di Jawa, para penyiar Islam telah
mendapati masyarakat Jawa dengan segala budaya, adat, tradisi, dan ritual yang
sudah sangat melekat. Tidak ada jalan lain, para penyiar Islam tidak bisa serta
merta menggantikan budaya-budaya Jawa dengan budaya Islam, melainkan
dengan memasukkan nilai-nilai keislaman pada budaya-budaya yang sudah ada.
Sehingga dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah menerima Islam dan
menganut ajaran Islam tanpa meninggalkan budaya yang sudah menjadi tradisi
dari leluhur Jawa.
Budaya-budaya yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat Jawa ini
justru dijadikan sebagai media dakwah bagi para penyiar agama Islam di Jawa.
Sehingga para penyiar tidak mengalami kesulitan dalam menyampaikan dan
mengajarkan ajaran Islam sampai kepada masyarakat Jawa yang awalnya
penganut Hindhu-Buddha ini. Selain sebagai media dakwah, budaya-budaya Jawa
juga telah dimasuki nilai-nilai Islam sebagai pengajaran aqidah kepada umat.
Maka tidak heran jika budaya-budaya Jawa yang ada sekarang ini telah justru
menjadi budaya masyarakat Islam. Karena nilai-nilai ajaran yang menyimpang
dengan ajaran Islam kemudian oleh para penyiar Islam digeser dan dimasuki nilai-
nilai yang sesuai dengan syariat agama Islam. Oleh karena itu, kita sering
menjumpai budaya jawa bercampuraduk dengan ajaran Islam.
10 Asnan Wahyudi dan Abu Kholid, Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam di Tanah
Jawa, (Surabaya: Karya Ilmu), hlm. 12.
11 Surono, pemangku adat wiwit Desa Mlaten, Mijen, Demak. Dalam wawancara di rumah beliau,
Mlaten gang 8, pada Hari Sabtu, 21 Maret 1015 pukul 14.30 WIB.
7
syukur atas rizki tersebut. Oleh masyarakat Jawa, disebut sebagai wiwit, yang
mengandung makna “amiwiti ingsun kelawan nyebut dzat asmane Gusti”.
Sebenarnya, wiwit merupakan budaya masyarakat Jawa penganut ajaran
Hindhu-Buddha, khususnya para petani yang hendak memanen hasil buminya.
Mereka menghantarkan sesaji mengelilingi sawah agar hasil bumi yang sudah
hampir dipanen tidak diganggu oleh makhluk-makhluk ghaib yang mereka
percaya jahat, serta untuk mengadakan pemujaan kepada Dewi Sri yang menurut
kepercayaan penganut Hindu-Buddha merupakan Dewi Padi, agar dapat
melindungi keselamatan sawah dan tanamannya sampai panen nanti, dapat
menghasilkan panen yang berlimpah, serta keselamatan yang berlanjut sampai
panen berikutnya. Namun sekarang ini di Desa Mlaten Demak, yang tersisa hanya
tradisi wiwit yang masih dilakukan dengan kandungan nilai-nilai Islam
didalamnya serta dilaksanakan berdasarkan syariat Islam yang jauh dari perbuatan
syirik (menyembah pada selain Allah).
Menurut Mbah Surono, tradisi wiwit dilakukan oleh pemilik sawah
didampingi sesepuh yang ahli dalam prosesi wiwit di sawah yang hendak dipanen.
Proses wiwit dilaksanakan dengan cara nyliwer pojokan papat, yakni mengitari
empat sudut sawah. Maksudnya, berjalan mengitari sawah sampai kembali lagi
pada posisi awal dengan tujuan meminta keselamatan atas Mbok Sri, sebutan bagi
padi yang siap untuk dipanen.
Setiap sampai di satu pojok sawah, pelaku wiwit menyimpul daun padi
dengan tali wangsul. Menyimpul dengan tali wangsul memiliki makna bahwa
Allah akan membawa kembali/pulang ke rumah pemilik padi yang akan dipanen
dengan selamat. Maksudnya, panen akan menghasilkan padi yang melimpah, dan
apabila menanam tanaman lagi dapat berhasil lagi.
Saat mengitari sawah, si pelaku prosesi wiwit membaca ayat kursi, dan
doa-doa. Pembacaan ayat kursi, sarana diungkal, maksudnya sang pelaku terlebih
dahulu harus melakukan puasa selama tujuh hari berturut-turut sebelum
membacakan ayat kursi ini supaya bisa membuat dedemit-dedemit (roh-roh jahat),
setan, dan jin di sawah takut utuk mengganggu padi dan sawahnya. Ayat kursi ini
dikenal sebagai pusaka atau senjata bagi umat Islam sebagai pelindung dari
godaan dan serangan makhluk-makhluk jahat, di samping bacaan ta’awudz. Doa-
8
doa yang dipanjatkan meliputi doa kunut, shalawat nariyah, shalawat nubuwah,
dan doa-doa selamat untuk sawah dan pemiliknya yang dipanjatkan kepada Allah.
Doa-doa dan ayat kursi ini dibaca sepanjang mengitari sawah sampai kembali
pada posisi semula.
Ada beberapa rampean atau bekal yang harus dibawa pada saat melakukan
tradisi wiwit ini, yaitu (1) Nasi, sebagai lambang Mbok Sri. (2) Lele, sebagai
pelengkap dari nasi. Menurut cerita, Mbok Sri pada zaman dahulu menginginkan
seorang suami, yaitu bedhug basu yang diartikan sebagai segara atau laut. Maka
dari itu, pasangan atau lauk yang digunakan sebagai pelengkap Mbok Sri atau nasi
adalah ikan yang berasal dari bedhug basu atau laut. (3) Kembang tiga rupa (tiga
macam bunga) dan sesaji-sesaji. Namun pada tradisi wiwit sekarang ini,
membawa sesaji tidak menjadi keharusan. (4) Cakar, cengger, bawang merah,
bucek.
Saat berhenti pada sudut-sudut sawah untuk menyimpul padi dengan tali
wangsul, pelaku wiwit mengambil pari pitung jodho yaitu tujuh pasang batang
padi, kemudian di sampul dengan ikatan wangsul dan diberi kembang tiga rupa
yang dibawa tadi. Ini merupakan sebuah perlambang pengantin bagi Mbok Sri.
Kemudian pari pitung jodho ini dibawa pulang untuk di gantungkan di pojok-
pojok rumah seperti dinding atau tiang rumah, maksudnya supaya hasil panennya
nanti bisa awet sampai panen berikutnya dan tidak kehabisan bahan makanan.
Sebelum rangkaian proses wiwit selesai, pelaku wiwit hendaknya
meninggalkan beberapa sisa makanan, berupa cakar, cengger, bawang merah, dan
bucek, diletakkan di sudut-sudut sawah supaya kutu-kutu alam suarga atau
lelembut sawah, yaitu cacing-cacing, ular, kelabang, wereng, dan lain-lain ikut
merasakan makanan yang didoakan tadi dengan maksud supaya lelembut sawah
tersebut ikut berdoa terhadap keberhasilan panen yang segera dilakukan. Hal ini
dilakukan bukan semata-mata pemujaan terhadap setan, tapi lebih kepada berbagi
dengan makhluk-makhluk kecil yang ikut menghuni sawahnya supaya tidak
merusak tanaman di sawahnya.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Setelah diuraikan penjelasan mengenai budaya Jawa dengan nilai-nilai
Islam dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
10
Pelaksanaan wiwit dengan nilai-nilai Islam di Desa Mlaten Demak yaitu
dengan memanjatkan doa-doa dan shalawat agar sawah yang akan segera dipanen
mendapatkan keselamatan dan tidak ada halangan apapun dalam panen, serta
menghasilkan panen yang melimpah. Doa-doa yang dipanjatkan ditujukan hanya
kepada Allah dan jauh dari syirik atau menyekutukan Allah. Wiwit menjadi
sebuah contoh dari banyaknya budaya Jawa yang telah bernilaikan Islam dan
menghindarkan ajaran-ajaran yang mendekatkan pada syirik atau pemujaan
kepada apapun selain Allah. Budaya-budaya Jawa yang lain, tidak hanya di Desa
Mlaten Demak saja, melainkan budaya Jawa di daerah manapun yang sekarang
telah berbaur dengan nilai-nilai Islam dan justru berisi tuntunan dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.2 Saran
Demikian karya ilmiah yang penulis sajikan. Penulis berharap semoga
karya ilmiah ini dapat menjadi motivasi bagi pembaca untuk melakukan penelitian
lebih lanjut terhadap budaya-budaya lokal yang mengandung nilai-nilai
keislaman. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini.
Oleh karena itu, semoga dengan adanya karya ilmiah ini, akan ada karya-karya
ilmiah lain yang lebih sempurna untuk menutupi kekurangan yang ada. Penulis
masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun agar dapat
mengembangkan karya ilmiah ini.
11
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Pelajar.
12