Anda di halaman 1dari 7

ISLAM DAN KEBUDAYAAN LOKAL JAWA

JUWITA DWI AYU UTAMI

201710170311079

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Abstrak

Artikel ini mendiskusikan tentang Islam dan kebudayaan yang khususnya ada di jawa. Agama
Islam turun bersentuhan dengan kebudayaan. Agama memberikan warna (spirit) pada
kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Agama Islam turun
bersentuhan dengan kebudayaan. khususnya yang terkait Islam dan budaya lokal Jawa. luas
wilayah dan banyaknya masyarakat menjadikan Indonesia kaya akan kebudayaan. Sehingga,
budaya yang ada di setiap daerah itu berbeda-berbeda yang disebabkan masyarakat Indonesia
bersifat multikultural. Dalam perspektif antropologi, Indonesia terdiri dari ratusan suku dan ras.
Suku bangsa Indonesia ini memiliki kebudayaannya sendiri, memiliki nilai-nilai luhur sendiri
contohnya suku bangsa jawa.

Kata kunci: budaya islam,islam di jawa.


A. Pendahuluan

Islam dan budaya Jawa merupakan dua entitas berbeda. Namun, dalam kenyataannya
keduanya dapat hidup berdampingan secara damai (peacfully).Seperti diketahui bahwa
masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang
yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan beragam dialeknya secara
turun temurun (H.M. Dareri Amin, 2003: 3).Menurut Niels Mulder Jawa adalah kelompok etnik
terbesar diasia tenggara yang berjumlah kurang lebih 40% dari 200 juta penduduk Indonesia
(2001: 1).

Islam Jawa secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya Jawa.
Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena dipulau Jawa terdapat
budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa, seperti budaya Sunda dengan
bahasa Sunda (Jawa Barat), budaya Betawi dengan bahasa Melayu Betawi (Jakarta) dan budaya
Madura dengan bahasa Madura (Jawa Timur bagian utara dan timur). Masyarakat Jawa
merupakan masyarakat yang melahirkan dan menopang kebudayaan Jawa.

Nilai-nilai budaya yang merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai,
berharga, dan penting dalam hidup. Berdasarkan dari hal tersebut, nilai budaya tersebut dapat
berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan
masyarakatIslam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk semua umat manusia
telah memainkan peranannya di dalam mengisi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
Kehadiran Islam di tengah- tengah masyarakat yang sudah memiliki budaya tersendiri, ternyata
membuat Islam dengan budaya setempat mengalami akulturasi, yang pada akhirnya tata
pelaksanaan ajaran Islam sangat beragam. Namun demikian, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
sumber hukum Islam tetap menjadi ujung tombak di dalam suatu masyarakat muslim, sehingga
Islam begitu identik dengan keberagaman.

Dalam perspektif anthropologi budaya, setiap manusia dan masyarakat tidak dapat
menghindarkan diri dari upaya menafsirkan obyek yang disandarkan pada kondisi histories yang
mempengaruhinya. Hal ini berarti bahwa manusia dan masyarakat memiliki kemampuan
memahami dan menginterpretasikan suatu obyek (termasuk agama) dengan berbekal pada
kondisi histories dan tradisi yang melingkupinya..

Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta.
Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Islam
yang berdialektika dengan budaya lokal tersebut pada akhirnya membentuk sebuah varian Islam
yang khas dan unik, seperti Islam Jawa, Islam Madura, Islam Sasak, Islam Minang, Islam Sunda,
dan seterusnya. Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang tercerabut dari akar kemurniannya,
tapi Islam yang di dalamnya telah berakulturasi dengan budaya lokal. Dalam istilah lain, telah
terjadi inkulturasi. Dalam studi kebudayaan lokal, inkulturasi meng andaikan sebuah proses
internalisasi sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal dalam bentuk akomodasi
atau adaptasi.

Pembicaraan tentang Islam dalam diskusi kebudayaan selalu menjadi sesuatu yang menarik.
Namun seperti diketahui bahwa dalam perspektif Islam, agama mengajarkan kepada manusia dua
pola hubungan yaitu hubungan secara vertikal yakni dengan Allah SWT dan hubungan dengan
sesama manusia.

B. Kebudayaan Dan Ruang Lingkupnya


1. Pengertian kebudayaan
Kebudayaan adalah alat konseptual untuk melakukan penafsiran dan analisis (Garna,
2001: 157). Jadi keberadaan kebudayaan sangatlah penting, karena akan menunjang
terhadap pembahasan mengenai eksistensi suatu masyarakat. Kebudayaan sebagai
suatu system budaya, aktivitas dan hasil karya fisik manusia yang berada dalam suatu
masyarakat dimana kemunculannya itu diperoleh melalui proses belajar, baik itu formal
maupun informal. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan tidak akan hadir dengan
sendirinya, melainkan ada karena adanya manusia dalam komunitas sosial, sehingga
antara manusia, masyarakat dan kebudayaan akan saling mendukung. Manusia
menciptakan kebudayaan sebagai usaha untuk mempertahankan hidupnya di muka
bumi ini, karena dengan kebudayaan manusia akan mampu melaksanakan tugasnya di
muka bumi ini sebagai khalifah. Dengan kebudayaan pula kehidupan keagamaan
manusia akan nampak, dan ini menjadikan pembeda terhadap jenis makhluk lainnya
yang ada di muka bumi ini.
2. Unsur Kebudayaan
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas
unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian
dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Ada beberapa
unsur yang terdapat dalam kebudayaan, dimana kita sebut sebagai
cultural universals, yang meliputi:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
2. Mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi
3. Sistem kemasyarakatan
4. Bahasa (lisan dan tulisan)
5. Kesenian
6. Sistem pengetahuan
7. Religi (system kepercayaan).
ketika memahami unsur-unsur kebudayaan tersebut,
maka kita bisa mengetahui tentang terdapatnya unsur-unsur
kebudayaan yang mudah berubah dan ada pula unsur-unsur
kebudayaan yang susah berubah. Adapun unsur-unsur budaya yang
mudah berubah meliputi; seni, bahasa, teknologi. Sedangkan unsurunsur budaya
yang sulit berubah meliputi: agama (system
kepercayaan), system social, dan system pengetahuan

C. Hubungan Islam dan Kebudayaan Local Jawa


Islam datang ke bumi Jawa di saat budaya dan tradisi non-Islam terutama Hindu
dan Buddha telah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa.Saat islam datang, masyarakat
Jawa telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai-nilai yang bersumber pada
keyakinan animisme, dinamisme, Hindu dan Buddha. Ajaran Islam dan budaya Jawa
justru saling terbuka untuk berinteraksi dalam peraktik kehidupan masyarakat. Sikap
toleran terhadap budaya lama yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan
agama Islam di Jawa ternyata cukup berhasil.Para wali membiarkan budaya lama tetap
hidup, tetapi diisi dengan nilai-nilai ke Islaman.atau menerangkan dengan akal pikiran
gejala-gejala yang ada di sekitarnya. Pada sisi yang lain, agama juga bisa muncul sebagai
akibat adanya krisis-krisis yang membuat gelisah dalam kehidupan manusia. Mereka
ingin kegelisahan itu hilang dan menemukan jawaban untuknya dalam agama
(Koentjaraningrat, 1994: 237).
Dalam penyebaran Islam di Jawa, walisongo memiliki peranan yang cukup besar
dalam proses akulturasi Islam dengan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya
kebudayaan sebagai media penyebaran Islam. Untuk memperkenalkan unsur-unsur
budaya baru hasil akulturasi Islam dengan budaya Jawa, para wali melakukan pengenalan
nilai-nilai baru secara persuasif. Dalam hal-hal yang sensitif, seperti bidang kepercayaan,
para wali membiarkan penghormatan terhadap leluhur sebagaimana yang biasa dilakukan
masyarakat Jawa.
Perpaduan Islam Jawa yang telah dilakukan oleh para penyebar agama Islam di
Jawa masa lampau ternyata memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan
budaya Jawa. Budaya Jawa semakin diperkaya nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi
sumber inspirasi dan pedoman kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Perpaduan
Islam dan kebudayaan Jawa dapat kita jumpai dalam upacara tradisional.
Upacara tradisional merupakan salah satu wujud ekspresi manusia dalam rangka
mengungkapkan kehendak atau pikirannya melalui upacara.Dalam upacara terdapat nilai-
nilai kehidupan dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Melalui upacara juga akan
dapat diketahui pandangan hidup masyarakat dan hubungan mereka dengan lingkungan
sekitarnya. Menurut Koentjaraningrat (1974: 12-13), sistem religi dan upacara
keagamaan merupakan unsur kebudayaan universal yang paling sulit berubah dan paling
sulit dipengaruhi kebudayaan lain.

D. Tradisi Kultural Jawa


Islam datang ke bumi Jawa di saat budaya dan tradisi non-Islam terutama Hindu
dan Buddha telah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa. secara mendalam fenomena
agama Jawa, dengan menggunakan tiga tipologi, yakni abangan , santri dan priyayi
(Geertz, 1964: 64). Varian abangan dan santri mengacu kepada afiliasi dan komitmen
keagamaan, sementara varian priyayi merupakan kategorisasi sosial. Abangan merupakan
sebutan bagi mereka yang tidak secara taat menjalankan komitmennya terhadap aturan
keagamaan. Santri merupakan sebutan bagi mereka yang memiliki komitmen keagamaan
yang diukur berdasarkan tingkat ketaatannya menjalankan serangkaian aturan agama.
Priyayi merupakan sebutan bagi mereka yang secara sosial maupun ekonomi dianggap
memiliki derajat dan stratifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan
masyarakat desa di Jawa.
Ritual slametan juga menjadi salah satu media kelompok abangan dalam
mengekspresikan wajah komitmen dan keagamaannya. Varian abangan juga merupakan
representasi keagamaan dengan afiliasinya pada animisme. Hal ini bisa dilihat dari
ekspresi kelompok ini dalam berbagai ritual slametan , magis, “perdukunan” dan lain-
lain. Varian abangan pada umumnya berpusat di desa, tempat dipraktikkannya slametan
merupakan inti ritual agama Jawa yang paling popular dan bertahan hingga sekarang.
Slametan yang berwujud tingkeban , yakni ritual yang dilaksanakan bagi perempuan yang
mencapai usia hamil tujuh bulan ke atas, kelahiran, kematian, bersih desa, sunatan dan
lainlain, masih terlihat dominan pada kehidupan masyarakat Jawa, baik yang beragama
Islam murni maupun Islam Jawa (sinkretis). Bagi kelompok/varian Jawa, terdapat
keyakinan bahwa kehidupan, penderitaan, kematian dan keberkahan, merupakan
pemberian roh-roh halus yang harus dipuja melalui berbagai ritual tersebut.
Dalam ritual slametan , semua elemen masyarakat, mulai dari penganut animisme,
mistisisme, Islam normatif, kejawen dan hinduisme hadir tanpa membawa serta atribut
dan simbol-simbol yang membedakan satu dengan yang lain. Menu slametan biasanya
terdiri dari nasi kuning dan apem yang dimakan secara bersama-sama segera setelah
dipimpin doa oleh seseorang yang “dituakan”. Doa biasanya diawali dengan puji-pujian
(salawat ) kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabat,
Meskipun dalam bidang kepercayaan penghormatan terhadap leluhur dibiarkan,
namun perlengkapan upacara seperti sesaji diganti dengan pemberian makan kepada
tetangga dan sanak saudara, yang dikenal dengan hajatan. Sementara itu mantra-mantra
diganti dengan kalimat tayyibah (puji-pujian kepada Allah).
Beberapa karya lain yang menunjukkan perpaduan Islam dengan budaya Jawa
yang telah dihasilkan oleh para wali antara lain wayang dan gamelan. Dalam bidang
sastra, kitab Anbiya yang berisi tentang kisah-kisah nabi adalah karya para wali. Upaya
memadukan unsur Islam dan budaya Jawa di masa selanjutnya dilakukan oleh Sultan
Agung di Mataram. Media yang pernah digunakan walisongo dalam menyebarkan ajaran
Islam, seperti grebeg besar, digunakan pula oleh Sultan Agung dan keturunannya.
Penguasa Keraton Yogyakarta maupun Surakarta, sampai sekarang masih melestarikan
perayaan sekaten untuk memperingati maulid Nabi. Perayaan sekaten itu merupakan
salah satu bentuk perpaduan unsur Islam dan budaya Jawa. Sedangkan unsur yang tidak
dapat disatukan, seperti pemujaan arwah leluhur dibiarkan tetap berada dalam bentuknya
masing-masing.
Ajaran Islam sebagai agama pun telah melembaga dalam upacara adat, khususnya
perkawinan. Pesta perkawaninan ternyata mengadopsi istilah walimah dalam teks hadist
yang menyerukan upacara atau pesta perkawinan awlim walau bisyatin.
Pemandangan-pemandangan paradoksal di atas, menggambarkan betapa Islam di
Jawa dibangun dengan tradisi-tradisi pra-Islam, yang membentuk uniformitas dalam
diversitas. Mereka yang berasal dari elemen, latar belakang, dan orientasi ideologis yang
berbeda, berintegrasi secara kokoh melalui beragam ritual (Sumbulah, 2012: 54). Di sini
dapat terlihat bahwa wajah Islam di Jawa merupakan hasil dialog dan dialektika antara
Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Jawa yang
kemudian disebut Islam Jawa (Muqoyyidin, 2012: 31).

E. Penutup
Islam sebagai agama universal dan agama bagi semesta alam, telah
membuktikannya sebagai agama besar yang menghargai akan keberadaan budaya lokal
suatu masyarakat.bila islam dan budaya Lokal berakulturasi, maka pemahaman
keagamaan yang terjadi pada suatu masyarakat akan bergam pula. Hal ini, menunjukan
apabila islam berbaur dengan budaya lokal, maka Islam mampu mewarnai budaya lokal
tersabut yang dianut oleh masyarakat. Akibat dari akulturasi ini, maka Islam dalam
tataran ritualnya sangat beragam.
Islam dan budaya lokal merupakan dua komponen yang saling mendukung
terhadap perkembangannya, dimana Islam berkembang karena menghargai budaya lokal,
begitu pula budaya lokal tetap eksis karena mengalami perbauran dengan ajaran Islam.
Akulturasi dan asimilasi antara budaya jawa dengan ajaran Islam telah membentuk ciri
yang khas pada masyarakat jawa.
Islam Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan yang unik. Hal ini
karena penyebaran Islam di Jawa, lebih dominan mengambil bentuk akul turasi, baik
yang bersifat menyerap maupun dialogis. Pola akulturasi Islam dan budaya Jawa, di
samping bisa dilihat pada ekspresi masyarakat Jawa, juga didukung dengan kekuasaan
politik kerajaan Islam Jawa, terutama Mataram yang berhasil mempertemukan Islam
Jawa dengan kosmologi Hinduisme dan Buddhisme. Kendati ada fluktuasi relasi Islam
dengan budaya Jawa terutama era abad ke-19-an, namun wajah Islam Jawa yang
akulturatif terlihat dominan dalam hampir setiap ekspresi keberagamaan masyarakat
muslim di wilayah ini sehingga “sinkretisme” dan toleransi agama-agama menjadi satu
watak budaya yang khas bagi Islam Jawa.
Daftar Pustaka

Abadi, Moh. Mashur dan Susanto, Edi. 2012. “Tradisi Ngunya Muslim Pegayaman Bali”
dalam Jurnal KARSA , Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman edisi Vol. 20, No. 2,
Desember 2012.

al-Humaidy, M. Ali. 2007. “Tradisi Molodhan: Pemaknaan Kontekstual Ritual Agama


Masyarakat Pamekasan, Madura” dalam Jurnal ISTIQRO’ , Jurnal Penelitian Islam
Indonesia edisi Vol. 06, No. 01, 2007/1428.

Hasan, M. Thalhah, 2005, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural, Cet. III; Jakarta:
Lantabora Press.

Hendroprasetyo. 1993. “Mengislamkan Orang Jawa: Antropologi Baru Islam Indonesia”


dalam Jurnal Islamika edisi No. 3, 1993.

Hodgson, Marshall GS. 2002. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Dunia diterj. oleh Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina.

Kasdi, Abdurrahman. 2002. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi,


Kritik Wacana, dan Politisasi Agama” dalam Jurnal Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi
Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan edisi No. 13, 2002.

Anda mungkin juga menyukai