Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Allah yang di anugrahi akal,
fikiran, dan fisik untuk menunjang kehidupannya sebagai
seorang insan yang di tunjuk oleh Allah untuk menjadi khalifah di
bumi Allah Yang Maha Kuasa ciptakan. Oleh karena manusia
adalah khalifah di bumi ini sepatutnya seorang manusia haruslah
mempunyai perilaku yang sesuai dengan yang Tuhan inginkan
untuk dipercayakan menjaga keutuhan bumi yang Allah ciptakan
dengan segala makhluk hidup di dalamnya untuk manusia jaga
kelestariannya.
Manusia yang menjadi seorang terpilih dan tinggi derajatnya
di mata Tuhan, manusia haruslah mempunyai kepercayaan, ilmu,
dan menjalankan segala apa yang di perintahkan Allah dan
menjauhi yang dilarang oleh Allah SWT. Sebagai makhluk yang
mempunyai akal dan fikiran serta fisik manusia haruslah
memanfaatkan anugrah yang diberikan oleh Allah itu dengan
sebaik-baiknya dan jangan menyalahgunakannya sebagai suatu
yang Allah benci. Manusia haruslah mempunyai budaya yang
baik untuk menjadikannya seorang manusia yang memiliki derajat
tinggi di mata Allah SWT. Maka manusia harus menjadikan budaya
yang baik sebagai bagian dari dirinya tanpa mengabaikan apa
yang menjadi kewajiban sebagai makhluk yang berketuhanan.
Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan
tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, maka peradaban bangsa tersebut tinggal
menunggu waktu untuk punah. untuk itu dengan keterbatasan ilmu dan
pengetahuan, saya mencoba merangkum berbagai tulisan yang berkaitan dengan
budaya Jawa dari berbagai sumber.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Budaya Jawa?
2. Apa Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa?

1
3. Bagaimana Sistem Kekerabatan Masyarakat Jawa?
4. Bagaimana Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Jawa?
5. Apa Jenis Kesenian yang Berkembang di Masyarakat Jawa?
6. Bagaimana Sistem Religi di Masyarakat Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya Jawa


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya diartikan
pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan
yang sudah berkembang (beradab, maju), sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sedangkan
Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin
(akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat
istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Menurut Koentjaraningrat (1980), kata kebudayaan berasal
dari kata sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi
yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat
diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Sedangkan kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari
budi daya yang berarti daya dari budi. Sehingga dibedakan antara
budaya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, rasa,
karsa, dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, rasa dan
karsa.
Selanjutnya menurut konsep-konsep B.Malinowske,
kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal yakni:
1. Bahasa
2. Sistem Teknologi
3. Sistem mata pencaharian (ekonomi)
4. Organisasi sosial
5. Sistem pengetahuan
6. Religi
7. Kesenian
Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan masyarakat asli Jawa
yang telah berkembang semenjak masa prasejarah. Sebagai
halnya suku-suku sederhana lainnya budaya asli Jawa ini

2
bertumpu dari religi animisme dan dinamisme. Dasar pikiran
dalam religi animisme dan dinamisme bahwa dunia ini juga
didiami oleh roh-roh halus termasuk roh nenek moyang dan juga
kekuatan-kekuatan (daya-daya) ghaib.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup
bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian, organisasi sosial,
corak berpikir, sistem keagamaan dan kesenian yang dianut dan
dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Dalam antropologi budaya dikenal beragam suku dan
budaya, salah satunya masyarakat atau suku Jawa. Masyarakat
Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya
menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara
turun-menurun. Suku bangsa Jawa adalah mereka yang bertempat
tinggal di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, serta mereka yang
berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis suku bangsa
Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi: Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Sedangkan di
luar itu, dinamakan pesisir dan ujung timur. Surakarta dan
Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada
sekitar abad ke-XVI adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Keduanya
adalah tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan Raja-raja
Jawa.
Yang dimaksud orang Jawa atau Javanese menurut Franz
Magnis Suseno adalah orang yang memakai Bahasa Jawa sebagai
bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan
timur pulau Jawa (Suseno, 2003: 11). Sementara Tony Whitten,
sebagaimana dikatakan oleh Roehayat Soeriatmadja dan Suraya
Afif, The Ecology Java and Bali (1996), bahwa penduduk asli
pertama Pulau Jawa adalah mirip dengan suku Aborigin di
Australia. Mereka disebut Austroloid. Namun demikian, kemudian
mereka tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara. Mereka
tidak dapat hidup di Jawa, tetapi saat ini keturunan mereka dapat
ditemukan di suku Anak Dalam atau Kubu di Sumatera Tengah
atau Indonesia bagian timur.

3
Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam
di negara Indonesia. Suku Jawa hidup dalam lingkup budaya yang
sangat kental, yang mereka gunakan dalam berbagai kegiatan
masyarakat, bahkan mulai dari kehamilan sampai kematian.
Menurut Sujamto, 1997 budaya Jawa memiki empat ciri-ciri
utama, yaitu:
1. Religius
Sebelum agama-agama besar masuk ke Jawa, masyarakat
Jawa sudah mempercayai kepercayaan adanya tuhan yang
melindungi mereka, dan keberagaman agama itu semakin
berkualitas dengan masuknya agama besar, seperti: Hindu,
Budha, Islam dan Kristen, yang menjadikan masyarakat Jawa
mempunyai toleransi keagamaan yang besar.
2. Non doktriner
Artinya budaya Jawa itu luwes (fleksibel), karena sejak zaman
dahulu masyarakat Jawa berpendapat bahwa perbedaan
agama yang masuk sebenarnya hanya berbeda caranya saja,
untuk menuju pada tercapainya satu tujuan yang sama.
3. Toleran
Masyarakat Jawa selalu mengutamakan gotong royong, selain
itu juga bisa menerima perbedaan pendapat dan menghormati
pendapat orang lain.
4. Akomodatif
Kebudayaan Jawa selain penuh dengan pelajaran-pelajaran
mengenai budi pekerti luhur juga mau menerima masuknya
budaya asing yang masuk yang sesuai dan bermanfaat bagi
masyarakat.
Secara kodrati budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya
akan selalu mengalami proses perubahan atau perkembangan
dalam arti yang luas. Pengembangan nilai budaya Jawa
merupakan upaya secara sadar untuk secara terus menerus
meningkatkan kualitasnya.
Bahasa Jawa misalnya, perkembangannya sangat jauh
sehingga menjadi bahasa yang tak tertandingi oleh bahasa
manapun, terutama mengenai kekayaan kosa katanya.

4
Di dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-
perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada
waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus
memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang
diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia
maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua
macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya.
Yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama.
Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah
dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta
lebih rendah derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi
adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Sebaliknya,
bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan yang
belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun
derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta
status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini, kemudian
ada variasi berbagai dan kombinasi-kombinasi antara kata-kata
dari bahasa Jawa Ngoko dan Krama, dan yang pemakaiannya
disesuaikan dengan keadaaan perbedaan usia dan derajat sosial.
Demikian ada misalnya bahasa Jawa Madya, yang terdiri dari tiga
macam bahasa yaitu Madya Ngoko, Madyaantara dan Madya
Krama; ada bahasa Krama Inggil yang terdiri dari kira-kira 300
kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota
badan, aktivitas, benda milik, sifat-sifat dan emosi-emosi dari
orang-orang yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat
sosialnya; bahasa Kedaton yang khusus dipergunakan di
kalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-
orang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah
satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang
yang sedang dalam kedaan marah atau mengumpat seseorang.

B. Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa


Tidak ada mata pencaharian yang khas yang dilakoni oleh
masyarakat suku Jawa. Pada umumnya, orang-orang disana

5
bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan
kemiliteran yang memang didominasi oleh orang Jawa. Selain itu,
mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan,
perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian
dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol
dibandingkan mata pencaharian lain, karena seperti yang kita
tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan
pertanian yang beberapa cukup dikenal, karena memegang
peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti padi,
tebu dan kapas. Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki
bakat yang menonjol dalam bidang industri dan bisnis seperti
halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat, bahwa
pemilik industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki
dan dikelola oleh etnis tionghoa.
Di dalam melakukan pekerjaan pertanian, masyarakat orang
Jawa ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat
kebun kering, terutama mereka yang hidup di daerah
pegunungan, sedangkan yang lain, yaitu yang bertempat tinggal
di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah-tanah
pertanian tersebut guna menjadikan sawah. Biasanya di samping
tanaman padi, beberapa jenis tanaman palawija juga
ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama di tegalan maupun
sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu-waktu musim
kemarau dimana air sangat kurang untuk pengairan sawah-sawah
itu, seperti ketela pohon, ketela rambat, kedelai, kacang tanah
dan kacang tunggak.
Selain sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan pokok
bertani tersebut, ada pula sumber pendapatan lain yang diperoleh
dari usaha-usaha kerja sambilan membuat makanan tempe kara
benguk, mencetak batu merah, mbotok atau membuat minyak
goreng kelapa, membatik, menganyam tikar dan menjadi tukang-
tukang kayu, batu atau reparasi sepeda dan lapangan-lapangan
pekerjaan lain yang mungkin dilakukan.

6
C. Sistem Kekerabatan Masyarakat Jawa
Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/ Patriakhat.
Hal ini terlihat dari pemakaian nama belakang seseorang sering memakai nama
ayah, anak laki-laki juga menjadi kebanggaan keluarga dan mendapatkan perhatian
khusus dibanding anak perempuan karena diyakini seorang laki-laki adalah
pemimpin rumah tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa pikul anak
wadon sak gendongan. Yang mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak
laki-laki diibaratkan sapikul yang lebih besar dari sa gendongan yang diberikan
kepada anak perempuan. Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga
laki-laki saja.
Silsilah keturunan jawa:
1. Anak
2. Putu
3. Buyut
4. Canggah
5. Wareng
6. Udheg- udheg
7. Gantung siwur
8. Gropak senthe
9. Kandhang bubrah
10. Debog bosok
11. Galih asem
Dalam 7 turunan tersebut masih dapat disebut keluarga dekat dan keturunan 8
dan seterusnya merupakan keluarga jauh. Selain itu juga di kenal Pa jipat lima/
pancer sedulur papat lima pancer yang merupakan saudara orang Jawa saat
dilahirkan. Sedulur papat lima pancer ini diambil dari Kitab Kidungan Purwajati
seratane, yang dimulai dari tembang Dhandanggula yaitu:
Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken
saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya
Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki
Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang
kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti
ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi
pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen
Sedulur Papat iku Marmati, Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani
Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.
Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang
Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi? Marmati iku tegese Samar Mati! lire yen

7
wong wadon pas nggarbini (hamil) iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati.
Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari
lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka
Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune
Banyu Kawah sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa
kang lumrahe diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur
disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul Metune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari
iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut
Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah (Getih) sapirang-
pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep
Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume PUPAK yen bayi wis umur pitung
dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep
Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen SEDULUR PAPAT
LIMA PANCER.
Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar
Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur
Papat mungguhing manungsa.
Yang intinya sedulur papat tadi melambangkan 4 macam nafsu yang dimiliki
manusia, yaitu:
1. Macan melambangkan nafsu amarah
2. Banteng melambangkan nafsu supiyah (seksual)
3. Kethek (monyet) melambangkan nafsu aluamah (makan tidur)
4. Merak melambangkan nafsu mutmainah (kebaikan)
Artinya setiap manusia harus bisa mengendalikan keempat nafsu yang dibawanya
sejak lahir. Apabila seorang manusia tidak dapat mengendalikannya maka akan
hancurlah hidupnya dan bila nafsu tersebut terkendali dengan baik maka akan
tercipta keselarasan atau harmoni.

D. Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Jawa


Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang
masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari
pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan
yang disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang dan
pekerja kasar lainnya, di samping keluarga kraton dan keturunan
bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan

8
masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan atas gensi-
gensi itu, kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas,
sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah.
Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang Jawa
biasanya membedakan orang santri dengan orang agama
kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah orang-orang
yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka
tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam itu;
misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk
melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara
mendatar di dalam susunan masyarakat orang Jawa itu, ada
golongan santri dan ada golongan agama kejawen. Di berbagai
daerah di Jawa baik yang bersifat kota maupun pedesaaan orang
santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang
beragama kejawen-lah yang dominan.
Orang tani di desa-desa, yang menurut pelapisan sosial
tersebut di atas, termasuk golongan wong cilik, di antara mereka
sendiri juga pembagian secara berlapis. Lapisan yang tertinggi
dalam desa adalah wong baku. Lapisan ini terdiri dari keturunan
orang-orang yang dulu pertama-tama datang menetap di desa.
Mereka ini memiliki sawah-sawah, rumah dengan tanah
pekarangannya. Lapisan kedua di dalam angka sistem pelapisan
sosial di desa adalah lapisan kuli gendok atau lindung. Mereka
adalah orang-orang laki-laki yang telah kawin, akan tetapi tidak
mempunyai tempat tinggal sendiri, sehingga terpaksa menetap di
rumah kediaman mertuanya. Namun begitu, tidaklah berarti
bahwa mereka ini tidak mempunyai tanah-tanah pertanian yang
dapat diperoleh dari warisan atau pembelian. Adapun golongan
lapisan ketiga ialah lapisan joko, sinoman, atau bujangan. Mereka
semua belum menikah dan masih tinggal bersama-sama dengan
orang tua sendiri atau ngenger di rumah orang lain. Golongan
bujangan ini bisa mendapat atau memiliki tanah-tanah pertanian,
rumah-rumah dan pekarangannya, dari pembagian warisan dan
pembelian-pembelian.

9
Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-
bagian kecil yang disebut dengan dukuh, dan setiap dukuh
dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam melakukan tugasnya sehari-
hari, para pemimpin desa ini dibantu oleh para pembantu-
pembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa. Masing-
masing pamong desa memiliki tugas dan peranannya masing-
masing. Ada yang bertugas menjaga dan memelihara keamanan
dan ketertiban desa, sampai dengan mengurus masalah perairan
bagi lahan pertanian warga.
Dalam hal menjalankan usaha memelihara dan membangun
masyarakat desanya para pamong desa harus sering
mengerahkan bantuan penduduk desa dengan gugur gunung,
atau kerik desa guna bekerja sama membuat, memperbaiki, atau
memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan
sekolah desa atau balai desa, menggali saluran-saluran air,
memelihara bendungan-bendungan atau pintu-pintu airnya,
merawat makam desa, masjid atau surau-surau, dan mengadakan
upacara bersih desa.

E. Jenis Kesenian yang Berkembang di Masyarakat Jawa


Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam,
mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta
masih ada berbagai macam kesenian lainnya.
Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata
beksa yang berasal dari kata ambeg dan esa kata tersebut mempunyai maksud
dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu
tujuan, yaitu menyerahkan seluruh jiwanya pada tarian. Seni tari di Jawa sendiri
mengalami kejayaan pada masa Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit. Pada
masa sekarang ini, kota Surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di
Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: Tari Klasik, Tari
Tradisional dan Tari Garapan Baru. Beberapa contoh tarian sebagai bagian dari
kebudayaan suku Jawa antara lain :

10
1. Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja
pertama dari kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga. Tari
Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya ditampilkan pada saat penobatan raja yang
baru, tetapi juga tiap tahunnya, yang bertepatan dengan hari penobatan raja
atau ratu. Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot
Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring
pun sangat spesial, karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan
Kyai Manis Renggo. Pada zaman Sri Susuhunan PakuBuwono XII,
pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu diselenggarakan pada hari kedua
bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam kalender Jawa.
2. Tari Srimpi
Tarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan
keraton. Tetapi diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke keraton.
Tarian ini dipentaskan oleh empat orang putri yang melambangkan empat
unsur, dan empat penjuru mata angin. Dari beberapa jenis tari Srimpi, ada satu
yang dianggap sakral atau suci, yaitu Tari Srimpi Anghlir Mendhung.
3. Tari Pethilan
Tari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakannya terinspirasi atau
mengambil salah satu bagian dari cerita pewayangan. Dalam pementasannya,
tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama atau tidak antar penarinya, boleh
menggunakan ontowacono atau dialog dalam tariannya, pakaian yang
digunakan tidak sama setiap penarinya, kecuali yang memerankan lakon
kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian pun, ada peran yang mati dan
yang tetap bertahan hidup.
4. Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada
perayaan pernikahan KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun
1910. Tarian ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang
baru memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan menarik.
5. Tari Bondan
Tari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan
Marsidiwi, dan Bondan Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan

11
Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk mengungkapkan
kegembiraan atas kelahiran anak.
6. Tari Topeng
Tarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong,
atau wayang orang. Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan
Majapahit. Lalu pada masa masuknya islam, sunan kalijaga menggunakannya
sebagai media penyebaran islam. Beliau jugalah yang menciptakan 9 jenis tari
topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari,
Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan Turas. Tari topeng sendiri
dianggap sebagai perlambang sifat manusia, karena banyaknya model topeng
yang menggambarkan emosi manusia yaitu marah, sedih, dan kecewa.
Biasanya cerita yang diangkat dalam tari topeng adalah bagian dari hikayat
atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita panji.
7. Tari Dolalak
Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum
ala prajurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik
seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dan lain-lain. Menurut legenda,
tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat Aceh yang
kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.
Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di
masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Patolan atau
prisenan yang dikenal di daerah Rembang, Jawa Tengah. Kesenian ini adalah
semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit dari
masing-masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini biasanya dimainkan di
tempat berpasir seperti di pinggir pantai. Daerah Blora dikenal memiliki
kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang krucil (sejenis wayang kulit,
namun terbuat dari kayu).
Di daerah Pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren. Kuntulan
adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dengan tarian dengan iringan bunyi-
bunyian seperti bedug, dan lain-lain. Sedangkan sintren, yang juga dikenal luas
di Cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan unsur mistis. Dimana
sang penari melakukan gerakan tarian dalam keadaan tidak sadar. Pertunjukan
sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan purnama setelah panen.

12
Lengger calung, adalah kesenian tradisional yang berasal dari daerah
Banyumas. Tarian ini terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat musik
bambu). Gerakan tariannya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama dari
calung. Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol, gedhag, dan
lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para pria yang berdandan seperti
wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah sebagai pelengkap tarian
saja.
Selain kesenian yang berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki kesenian
dalam bentuk lain, misalnya saja dalam seni musik. Baik berbentuk alat musik
khas daerah, maupun berbentuk lagu-lagu daerah.
Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah
gamelan Jawa. Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda
dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada
yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan
Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling.
Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang
diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Satu set gamelan biasanya
terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem, Gambang, Gong, Kempul,
Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.
Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan
Gamelan Pelog. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi
pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Sedangkan
Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya
kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki
oleh grup-grup kesenian di masyarakat.
Alat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah
salah satu gendhing khas dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan untuk
mengiringi Ludruk dan Tari Remo. Sedangkan bentuk kesenian seni musik
yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: Bapak Pucung, Cublak-
Cublak Suweng, Gambang Suling, Gai Bintang, Gek Kepriye, Gundul-Gundul
Pacul, Lir-ilir, Jamuran, Kembang Malathe, Karapan Sape

13
F. Sistem Religi di Masyarakat Jawa
Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan, bahkan
sejak masa prasejarah. Kepercayaan yang dianutnya adalah
kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya
roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan-tumbuhan, dan juga
pada manusia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama
mereka yang pertama. Semua benda yang bergerak diangap
hidup dan memiliki roh, baik itu roh berwatak baik atau jahat.
Suku-suku bangsa Indonesia dan khususnya suku Jawa
sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur
dengan religi animisme-dinamisme sebagai akar spiritualitasnya,
dan hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial mereka.
Adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang
suku bangsa Indonesia asli telah hidup dalam persekutuan-
persekutuan desa yang teratur dan mungkin di bawah
pemerintahan atau kepala adat desa, walaupun masih dalam
bentuk yang cukup sederhana. Religi animisme-dinamisme yang
merupakan akar budaya asli Indonesia dan khususnya dalam
masyarakat Jawa cukup mengakar dalam sehingga punya
kemampuan yang kenyal (elastis). Dengan demikian, dapat
bertahan walaupun mendapat pengaruh dan berhadapan dengan
kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.
Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa
disamping semua roh yang ada, terdapat roh yang paling
berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan, agar terhindar dari
roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan
upacara disertai dengan sesaji.
Pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah
agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Cara yang
ditempuh untuk menghadirkan arwah nenek moyang adalah
dengan mengundang orang yang sakti dan ahli dalam bidang
tersebut yang disebut prewangan untuk memimpin acara.
Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji
dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari

14
oleh nenek moyang. Selain itu mereka juga menyempurnakan
upacara dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian.
Seperti upacara kematian secara berurutan diadakan sebagai
berikut :
1. Selametan surtanah atau geblak yang diadakan pada saat
meninggalnya seseorang.
2. Selametan nelung dina, yaitu upacara selamatan kematian
yang diadakan pada hari ketiga sesudah kematian seseorang.
3. Selametan mitung dina, yaitu upacara selamatan kematian
yang diadakan pada hari ketujuh.
4. Selametan matang puluh dina, yaitu upacara selamatan
kematian yang diadakan pada hari keempat puluh.
5. Selametan nyatus, yaitu upacara selamatan kematian yang
diadakan pada hari keseratus.
6. Selametan mendak sepisan dan mendak pindo, yaitu upacara
selamatan kematian yang diadakan pada tahun pertama dan
kedua kematian seseorang.
7. Selametan nyewu, yaitu upacara selamatan kematian yang
diadakan pada hari keseribu.
8. Selametan nguwis-nguwisi, yaitu upacara selamatan kematian
yang diadakan terakhir kali.
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka
bangun adalah hasil adaptasi pergaulan dengan alam.
Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari,
hujan, angin dan hama. Tetapi mereka masih mempercayai
kekuatan adikodrati dibalik semua kekuatan alam itu.
Dalam kepercayaan Jawa terdapat usaha untuk menambah
kekuatan batin. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan benda-
benda bertuah atau berkekuatan gaib yang sering disebut dengan
jimat.

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup bahasa,
sistem teknologi, mata pencaharian, organisasi sosial, corak
berpikir, sistem kegamaan dan kesenian yang dianut dan
dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Budaya Jawa memiliki empat ciri utama, yaitu religius, non
doktriner, toleran dan akomodatif. Di lihat dari kriteria
tingkatannya, ada dua macam bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa
Ngoko dan Krama.
2. Pada umumnya, orang-orang Jawa bekerja pada segala bidang,
terutama administrasi negara dan kemiliteran. Selain itu, mereka
bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan
dan pertanian dan perkebunan.
3. Silsilah keturunan jawa: anak, putu, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg,
gantung siwur, gropak senthe, kandhang bubrah, debog bosok, galih asem.
4. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau
Bendara, Santri dan Wong Cilik.
5. Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam, mulai dari
tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta masih ada
berbagai macam kesenian lainnya.
6. Kepercayaan masyarakat jawa adalah kepercayaan animisme,
yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada

16
benda-benda, tumbuhan-tumbuhan, dan juga pada manusia
sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Aveling, Harry, The Development of Indonesian Socirty, 1979.

Daroji, Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media,


2000.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia


edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Hana, Siti, Makalah Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Jawa Di Era


Globalisasi, Semarang: IAIN Walisongo, 2010.

Khalim, Samidi, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media


Group, 2008.

Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta:


Djambatan, 2007.

Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta:


Jambatan, 1954.

M, Munandar, Sualiman, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: Rosda Offset,


1988.

Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013.

Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa.

17
Sofwan, Ridin, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa,
Yogyakarta: Gama Media, 2004.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena taufik dan hidayah-
Nya jualah penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini yang berjudul
KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini. Ucapan terima kasih ini penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Kepala MTs Negeri 2 Rantau.
2. Guru pembimbing mata pelajaran SKI
3. Teman-teman yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Penulis sadar bahwa tidak ada manusia yang tidak terlepas dari kekhilafan, begitu
juga pada makalah ini. Seperti kata pepatah Tak ada gading yang tak retak. Penulis
mengharapkan kritik maupun saran agar tercapai kesempurnaan pada pembuatan
makalah ini.

18
Rantau, Pebruari 2017
Penulis

19
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................................
i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULIUAN..............................................................................................
1
A. Latar Belakang...............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
2
A. Pengertian Budaya Jawa.................................................................................
2
B. Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa....................................................
5
C. Sistem Kekerabatan Masyarakat Jawa...........................................................
6
D. Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Jawa.....................................................
8
E. Jenis Kesenian yang Berkembang di Masyarakar Jawa.................................
9
F. Sistem Religi di Masyarakat Jawa..................................................................
13
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
15
A. Kesimpulan.....................................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
16

20
ii

21

Anda mungkin juga menyukai