Anda di halaman 1dari 14

Chanthonx

Selasa, 22 April 2014


MAKALAH KEBUDAYAAN SUKU JAWA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul
“Kebudayaan Suku Jawa”.

Makalah ini berisikan tentang informasi suku jawa dan kebudayaan di dalamnya.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua apa saja yang ada
pada kebudayaan masyarakat jawa sehingga kita bias mengetahui keunikan yang terkandung
di dalam kebudayaannya dan menjadikannya berbeda dengan kebudayaan – kebudayaan lain
yang tersebar di Indonesia.

Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin

Indonesia,………………
…..

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Asal Usul Suku Jawa
B. Letak Geografis Suku Jawa
C. Sistem kekerabatan Jawa
D. Bahasa Suku Jawa
E. Kepercayaan Suku Jawa
F. Seni Suku Jawa
G. Rumah Tradisional Suku Jawa
H. Kejawen Pakaian Khas Jawa Yang Masih Lestari

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan
memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut
kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti
bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa
terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi
tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara.
Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku
Jawa juga memiliki sub-suku, seperti suku Osing, orang Samin, suku Bawean/Boyan,
Naga, Nagaring, suku Tengger dan lain-lain. Selain itu, suku Jawa ada pula yang berada
di negara Suriname, Amerika Tengah karena pada masa kolonial Belanda suku ini
dibawa ke sana sebagai pekerja dan kini suku Jawa disana dikenal sebagai Jawa
Suriname.

B. Maksud Dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi
salah satu tugas mata pelajaran IPS, juga bertujuan untuk dijadikan bahan presentasi
sehingga siswa – siswa lainpun bisa merasakan ilmu yang terdapat dari makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Suku Jawa


Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa
terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi
tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara.
Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku
Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
B. Letak Geografis Suku Jawa
Suku jawa merupakan suku yang terbesar di Indonesia, yang meliputi dari Banten,
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tenggah, Yogyakarta. Indonesia sebenarnya
terkenal dengan etnis jawa yang sangat kental dengan kebudayaannya seperti letak
geografis, bahasa, kepercayaan, sifat, dan seni. Letak geografis pulau jawa 132.000 km²,
berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Jawa Tengah di timur, Samudera Hindia di
selatan, serta Banten dan DKI Jakarta di barat.
Pulau jawa merupakan pulau yang sangat padat di Indonesia Penduduk di suku
jawa ini sangat kontras Di survey bangsa Indonesia kurang lebih hanya 12% orang jawa
menggunakan bahasa Indonesia sebagian bahasa mereka sehari-hari sekitar 18%
menggunakan bahasa jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya
menggunakan bahasa jawa saja. Dalam bahasa jawa yang sebenarnya memiliki beberapa
aturan perbedaan kosa kata dan intonasi setiap berbicara dengan lawan bicara. Dan tata
cara bicara orang suku jawa sangat lembut dan pelan. Maka dari itu suku jawa sering
dianggap oleh kalangan luas sebagai suku yang lembah lembut.
Dalam kepercayaan suku jawa sangat kental dengan agama Islam. Tapi ada juga
yang memeluk agama lain selain agama Islam, seperti Protestan, Keristen, Buddha,
Hindu dan Katolik. Tapi ada juga orang suku jawa yang mempercayai agama Kejawen.
Kejawen sebagai kata benda yang memiliki arti di dalam bahasa Indonesia yaitu segala
yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan jawa. Kejawen merupakan sebuah
kepercayaan yang dianut di pulai Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang
menetap di Jawa.
Kesenian pulau jawa sangat beragam, seperti ludruk, wayang kulit, wayang orang,
tari jaipong, dll. Biasanya kesenian ini di pentaskan pada acara tertentu seperti acara
pernikahan dan adat. Tapi dengan berjalannya waktu kesenian itu harus kita lestarikan
meskipun berbagai kesenian dari Negara lain yang masuk ke Negara kita. Kita sebagai
warga Negara Indonesia harus menjaga peninggalan nenek moyang kita dengan baik.

C. Sistem Kekerabatan Jawa


Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/ Patriakhat. Hal
ini terlihat dari pemakain nama belakang seseorang sering memakai nama ayah, anak
laki-laki juga menjadi kebanggaan keluaraga dan mendapatkan perhatian khusus
dibanding anak perempuan karena diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah
tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa pikul anak wadon sak gendongan.
Yang mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak laki-laki diibaratkan sa pikul
yang lebih besar dari sa gendongan yang diberikan kepada anak perempuan. Dikenal
pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga laki-laki saja.

Silsilah keturunan jawa


1. Anak
2. Putu
3. Buyut
4. Canggah
5. Wareng
6. Udheg- udheg
7. Gantung siwur
8. Gropak senthe
9. Kandhang bubrah
10. Debog bosok
11. Galih asem
Dalam 7 turunan tersebut masih sapat disebut keluaraga dekat dan keturuanan 8
dan seterusnya merupakan keluarga jauh.
Selain itu juga di kenal Pa jipat lima/ pancer sedulur papt lima pancer yang
merupakan saudara orang Jawa saat dilahirkan. Sedulu papat lima pancer ini diambil dari
Kitab Kidungan Purwajati seratane , yang dimulai dari tembang Dhandanggula yaitu :
Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken
saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing
kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken
pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken
karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku
Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud
ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen ” Sedulur Papat ” iku Marmati, Kawah,
Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel)
yaiku mancer ing Bayi.
Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang
Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi?. Marmati iku tegese Samar Mati ! lire yen wong
wadon pas nggarbini ( hamil ) iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas
kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi
mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong
nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak
durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani
Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi
banjur disusul Metune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane
Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran
tartamtu ngetokake Rah ( Getih ) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu
akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume
PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep
Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen
” SEDULUR PAPAT LIMA PANCER
” Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar
Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat
mungguhing manungsa.

Yang intinya sedulur papat tadi melambangkan 4 macam nafsu yang dimiliki manusia
- Macan melambangkan nafsu amarah
- Banteng melambangkan nafsu supiyah (seksual)
- Kethek(monyet) melambangkan nafsu aluamah (makan tidur)
- Merak melambangkan nafsu mutmainah (kebaikan)
Artinya setiap manusia harus bisa mengendalikan keempat nafsu yang dibawanya
sejak lahir. Apa bela seorang manusia tidak dapat mengendalikannya maka akan
hancurlah hidupnya dan bila nafsu tersebut terkendali dengan baik maka akan tercipta
keselarasan atau harmoni.

D. Bahasa Suku Jawa


Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur
sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa
1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan
Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan
hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh.
Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan
membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

E. Kepercayaan Suku Jawa


Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung
tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini
adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, keyakinan
adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti tuhan, tradisi ziarah ke makam orang-
orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan
kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu. Setelah dikaji
inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan
ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tuhan yang mereka
tuju dalam keyakinan mereka jelas bukan Allah, tetapi dalam bentuk dewa dewi seperti
Dewi Sri, Ratu Pantai Selatan, roh-roh leluhur, atau yang lainnya. Begitu juga bentuk-
bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam
yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah,
tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu
diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
Selain itu, masyarkat jawa juga mempunyai tradisi upacara adat dalam setiap
kegiatan – kegian besar, seperti :
- Kematian ( Mendhak )
- Upacara nyewu dina (memohon pengampunan kepada Tuhan )
- Upacara Brobosan (penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua dan leluhur
mereka yang telah meninggal dunia )
- Upacara-upacara sebelum pernikahan (Siraman, Upacara Ngerik, Upacara
Midodareni, Upacara diluar kamar pelaminan, Srah-srahan atau Peningsetan, Nyantri,
Upacara Panggih atau Temu, Balangan suruh Penganten, dll )
- Upacara untuk kelahiran bayi, seperti :
1) Wahyu Tumurun
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat.
2) Sido Asih
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan
dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih
3) Sidomukti.
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa,
yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya.
4) Truntum.
Maknanya agar keluhuran budi orangtuanya menurun (tumaruntum) pada sang
bayi.
5) Sidoluhur.
Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur.
6) Parangkusumo.
Maknanya agar anak memiliki kecerdasan bagai tajamnya parang dan
memiliki ketangkasan bagai parang yang sedang dimainkan pesilat tangguh.
7) Semen romo.
Maknanya agar anak memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta
kasih Rama dan Sinta pada rakyatnya.
8) Udan riris.
Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak
dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya.
9) Cakar ayam.
Maknanya agar anak pandai mencari rezeki bagai ayam yang mencari makan
dengan cakarnya karena rasa tanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya,
sehingga kebutuhan hidupnya tercukupi, syukur bisa kaya dan berlebihan.
10) Grompol.
Maknanya semoga keluarga tetap bersatu, tidak bercerai-berai akibat
ketidakharmonisan keuarga (nggrompol : berkumpul).
11) Lasem.
Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan
YME.
12) Dringin.
Bermotif garis horisontal, bermakna semoga anak dapat bergaul,
bermasyarakat, dan berguna antar sesama.

F. Seni Suku Jawa


Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh
agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon
sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh
India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua
bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang
peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa. Contoh kesenian yang
berkembang di mastarakat jawa adalah :
- Topeng (topeng madura, topeng malang, topeng dongkrek)
- Angklung
- Bali-balian
- Wayang ( kuli, klitik, purwo, godog, golek, dll )
- Tarian (tari topeng kuncaran, tari merak, tari serimpi, tari blambangan cakil, tari
remong, reog ponorogo dan jaipong )

G. Rumah Tradisional Suku Jawa


Joglo merupakan rumah adat tradisional suku jawa. Ada bermacam-macam jenis
rumah jonglo diantaranya joglo limas, joglo sinom, joglo pangrawit dan sebagainya.
Rumah jenis joglo memiliki struktur bangunan yang unik dimana biasanya rumah
tersebut memiliki dua bagian utama yaitu bagian pendapa yang biasanya ukuranya sangat
luas, ruangan ini biasanya dipergunakan sebagai tempat meneriam tamu maupun tempat
untuk musyawarah. Sedangkan bagian kedua adalah bagian dalam dari rumah joglo yang
biasanya bersifat tertutup untuk orang luar karena merupakan ruang privasi yang berupa
kamar dapur dan sebagainya. Rumah joglo pada masa lampau biasanya hanya dimiliki
oleh para pembesar atau orang-orang kaya saja.

Susunan Bangunan dan Ruangan dari Rumah Joglo


Pada dasarnya rumah jenis ini memiiki bentuk dasar berupa persegi panjang atau
bujur sangkar. Pembangunan rumah joglo ini sama sekali tidak menggunakan paku, hal
ini berbeda dengan pembangunan joglo yang kita jumpai pada jaman modern sekarang
ini. Pembangunan rumah ini dulunya hanya menggunakan system knock down, sehingga
setiap bagian bisa saling berkait dan menguatkan. Kita dapat menjumpai system ini pada
rumah-rumah yang memiliki struktur bangunan lama.
Pada setiap rumah joglo selalu memiliki empat pilar pada ruangan utama atau
pendoponya yang biasanya disebut dengan nama soko guru, inilah yang merupakan
sebuah ciri unik dari pembangunan rumah tersebut yang tidak dimiliki oleh rumah jenis
yang lain.
Pada arsitektur yang terdapat pada bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan
hanya sekadar sebagai pemahaman seni konstruksi rumah, namun juga merupakan
refleksi atau pencerminan dari nilai dan norma yang ada dalam masyarakat
pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa sebuah keindahan, bahkan sikap
religiusitasnya ikut terefleksikan dalam seni arsitektur rumah dengan gaya seperti ini.
Pada bagian pintu masuk rumah joglo memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama
di bagian tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan disamping kanan pintu
utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna atau arti simbolis bahwa kupu
tarung yang berada di bagian tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di bagian
samping kanan dan samping kiri untuk besan.
Pada ruang bagian dalam dari rumah joglo yang disebut gedongan pada umumnya
dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam untuk memimpin salat yang umumnya dikaitkan
dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan oleh
pemilik rumah joglo tersebut. Selain itu gedongan biasanya juga merangkap sebagai
tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dan dijadikan sebagai
ruang tidur pengantin serta bagi anak-anaknya.
Ruang depan dari rumah joglo yang biasanya disebut juga dengan nama jaga satru
disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, pada bagian sebelah kiri untuk
jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di
depan pintu masuk rumah tersebut terdapat satu tiang di bagian tengah ruang yang
disebut tiang keseimbangan atau soko geder. Selain merupakan simbol kepemilikan
rumah, tiang tersebut juga memiliki fungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk
mengingatkan para penghuni rumah joglo tersebut tentang keesaan Tuhan.

H. Kejawen Pakaian Khas Jawa Yang Masih Lestari


Aneka ragam suku budaya yang ada di Indonesia memberikan corak terhadap jenis
pakaian setiap sukunya salah satunya pakaian kahs Jawa memberikan keunikan serta
keindahan yang sanagt menarik untuk dikenakan.
Kejawen sudah kenal sejak dahulu hingga sekarang kejawen merupakan jenis
pakaian khas Jawa, kerajaan Demak, dan kerajaan Mataram. Pakaian Kejawen terdiri
dari celana panji-panji (cinden), baju surjan, kebayak, teni atau blenggen, iket blankon,
kemben, kuluk (untuk upacara raja dengan menteri-menterinya) dan lain sebagainya.
Namun pakaian tradisional khas laki-laki Jawa sehari-hari adalah Surjan yang
dilengkapi dengan blangkon dan bebetan. Sedangkan untuk putri menggunakan Kebaya
atau Jaritan.
Jenis pakaian Mesiran, kebanyakan digunakan untuk menggambarkan suasana asal
dari pemakai. Pakaian ini berasal dari Negara Timur Tengah dan masih dipergunakan,
khususnya dalam acara-acara ketoprak. Sedangkan pakaian yang terbuat dari kain bludru
yang dibordir terdiri dari celana panjang gombyor, kemeja panjang, rumpai, jubah, udel,
simbar.
Basahan merupakan jenis pakaian tradisional gabungan antara pakaian Kejawen
dengan Mesiran. Biasanya dipegunakan oleh para wali atau dapat dilihat saat pertunjukan
tarian cerita Menak. Gedhog, pakaian terdiri dari tropong, jamang dan sumping, kelat
bahu, dan lain sebagainya.

I. Makanan Tradisional Jawa


Salah satu makanan khas Jawa, jenang, tidak lepas dari kebudayaan dan
kepercayaan orang Jawa. Beberapa upacara selametan yang digelar keluarga berlatar
belakang Jawa selalu menggunakan sajian atau sesajen jenang. “Orang mau melahirkan,
atau tujuh bulanan, syukurannya pakai jenang. Dibagikan ke para tetangga,” kata salah
satu peserta Festival Jenang, Muryati, saat ditemui Espos di stannya di Ngarsopuro, Solo

BAB III

KESIMPULAN
Suku jawa yang berada di daerah pulau Jawa merupakan suku yang memiliki
berbagai kebudayaan, mulai dari adat istiadat sehari-hari, kesenian, acara ritual, dan lain-
lain.
Semua itu membuktikan bahwa suku jawa merupakan suku yang kaya akan budaya
daerah. Dan dari kekayaan budaya yang di miliki suku jawa itulah yang menbuatnya
berberda dengan kebudayaan – kebudayaan lain yang ada di Indonesia.
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang
budiman pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Drs.Eddy Supriyatno, 1994. "Bahan Acuan kegiatan belajar mengajar Antropologi"


PT.Rakaditu, Jakarta.
Yad Mulyadi, 1999. ”Antropologi" Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kodiran. 1975, "Kebudayaan Jawa", dalam Koentjaraningrat, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1975, "Antropology in Indonesia",Jakarta.
Edel, May and Abraham edel, 1968. "Antropology and Ethics. The Press of Case Western
Reserve University Press".
Dewey, Alice G. "Antropology Agama" Jakarta ,1975.
Kamlah, W ,1973 "philosophische Anthropology" , Mannheim/wien/Zurich ;
Bibliographisches institute, Jakarta.
Kartodirdjo,1975 "sejarah nasional Indonesia", Jakarta; Departemen pendidikan dan
kebudayaan, Jakarta.
Koentjoroningrat, 1977 "system gotong-royong dan jiwa gotong royong", dalam berita
anthropology, Jakarta
Mulder, Niels. 1973 "Kepribadian jawa dan pembangunan nasional". Yigyakarta; Gadjah
mada University press.
Sajogo, 1978 "Lapisan masyarakat yang paling lemah di pedesaan jawa". Dalam
prisma.Bandung.

Diposkan oleh Chanthonx cammoranessi di 22.03


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

5 komentar:

1.

Muhamad Khoirul Anam23 Desember 2014 08.42

mas ijin kopi paste ya..

Balas

2.

git gita26 April 2015 17.44

kok ga bisa di copy ya :(

Balas

3.

Agus Irianto11 Oktober 2015 18.51

Ijin copas, terima kasih

Balas
4.

Rabiyatul Adawiyah12 November 2015 04.11

izin copy, tapi gabisa dicopy

Balas

5.

Rudy Hardo1 Desember 2015 03.15

ijin copas gan, untung saya tau caranya makasih gan

Balas

Muat yang lain...


Posting Lebih Baru Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Mengenai Saya

Chanthonx cammoranessi
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
 ▼ 2014 (6)
o ► Mei (1)
o ▼ April (5)
 MAKALAH KEBUDAYAAN SUKU DAYAK
 MAKALAH KEBUDAYAAN SUKU MINANGKABAU
 MAKALAH KEBUDAYAAN SUKU BATAK
 MAKALAH KEBUDAYAAN SUKU BUGIS
 MAKALAH KEBUDAYAAN SUKU JAWA

Template Travel. Gambar template oleh Raycat. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai