Asal muasal Suku Tidung, subsuku Dayak beragama Islam yang baju adatnya disangka baju adat
China.
diperbincangkan karena ada yang mengira salah seorang di gambar uang itu mengenakan baju
adat China. Padahal, itu adalah baju adat milik Suku Tidung yang mendiami wilayah Kalimantan
Utara (Kaltara).
Tjilik Riwut, mantan gubernur Kalimantan Tengah, menjelaskan dalam Maneser Panatau Tatu
Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur bahwa Suku Tidung merupakan subsuku dari Suku Dayak
Murut, salah satu dari tujuh suku besar, yang mendiami bagian utara Kalimantan bagian timur.
Enam suku besar Dayak lainnya adalah Ngaju, Apu Kayan, Iban, Klemantan, Punan, dan Ot
Danum. Suku Tidung sendiri terbagi lagi menjadi sepuluh suku kecil.
Hartatik, peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin, menyebut Suku Tidung bermukim di wilayah
pesisir dan menganut agama Islam. Kendati namanya diambil dari kata tiding atau tideng artinya
"Nama ini menggambarkan kalau Suku Tidung berasal dari daerah hulu atau daerah pegunungan
dan Data Arkeologi pada Suku Tidung dan Dayak di Wilayah Nunukan: Data Bantu untuk
Rekonstruksi Sejarah dan Perubahan Budaya" yang terbit dalam jurnal Naditira Widya, Vol. 8
No. 1/2014.
Suku Tidung mempunyai pergerakan yang dinamis. Mereka pindah dari pedalaman Kalimantan,
Kabupaten Tanah Tidung hingga ke Malaysia, Malinau, mendekati pantai di Nunukan, Tarakan,
dan Berau.
Kedinamisan itu, menurut Hartatik, membuat Suku Tidung mendapat banyak pengaruh dari luar,
terutama dari pelaut dan pedagang muslim. Sehingga, kini hampir semua orang Tidung beragama
Islam.
Arkeolog Balai Arkeologi Banjarmasin, Nugroho Nur Susanto dalam "Pengaruh Islam Terhadap
Identitas Tidung Menurut Bukti Arkeologi" yang terbit dalam Naditira Widya, Vol. 7 No.
2/2013, menyebut bahwa Suku Tidung berpindah melalui Sungai Sesayap atau Sungai Malinau
ke daerah hilir dan mendiami pesisir juga pulau-pulau kecil sisi timur Kalimantan lainnya.
Perkiraannya mereka sudah meninggalkan tempat asalnya hampir 100 tahun yang lalu.
Karenanya sudah banyak cerita tutur yang terputus. Salah satunya Suku Tidung tak mengenal
legenda atau mitos kejadian asal-usul moyangnya sebagaimana masyarakat Dayak lainnya.
Khususnya yang meninggali wilayah Nunukan, seperti Tahol, Tenggalan, dan Agabag.
Kepercayaannya pun berbeda dibanding suku Dayak di Kalimantan Utara lainnya. "Karena Suku
Tidung identik dengan muslim, sedangkan suku Dayak lainnya beragama Kristen," tulis Hartatik.
Kendati begitu, masih ada tradisi pra-Islam yang tersisa di antara masyarakat Tidung. Ini
menjadi salah satu bukti hubungan kekerabatan mereka dengan suku Dayak.
"Sebagian dari mereka masih melakukan ritual yang berkaitan dengan tradisi nenek moyang,
Walaupun sudah beragama Islam, kepercayaan adanya roh leluhur merupakan salah satu konsep
megalitik yang dikenal oleh Suku Tidung hingga kini. Ada yang dikenal dengan ritual
memanggil arwah di Batu Lumampu, membayar nazar di Batu Lumampu dan Batu Kelangkang,
Tidung dahulu mempunyai kepercayaan yang sama dengan suku Dayak Agabag, Tahol, dan
Tenggalan," tulis Hartatik.
Nugroho menambahkan bahwa persahabatan Suku Tidung dengan alam yang masih dijaga
secara umum mencerminkan spiritual Dayak. Akulturasi antara budaya pendatang dari luar,
dalam hal ini Bugis, Melayu, dan Bajau yang mempengaruhi konsep religi mereka. Prosesnya
panjang. Unsur budaya dari luar secara perlahan diterima oleh Suku Tidung kemudian diolah ke
Kedatangan Islam
Menurut Nugroho, selain sebagai sebuah suku, nama Tidung juga menunjuk kepada sebuah
kerajaan yang kental dengan nuansa keislaman. Makam Maharaja Dinda I di Desa Sesayap,
Kecamatan Sesatap Hilir, Kabupaten Tana Tidung; dan makam tokoh yang dihormati seperti
Datu Bendahara dan Datu Mandul di Kecamatan Tana Lia, Pulau Mandul, Kabupaten Tana
Tidung, menandakan kawasan ini sebagai daerah perpindahan awal orang Tidung. Mereka
"Kerajaan ini terbentuk dari aktualisasi hegemoni yang berasal dari komunitas masyarakat
berlatar belakang Suku Tidung," tulis Nugroho. "Ada kemungkinan mereka terpisahkan dari
Institusi yang terbentuk ini dipercaya berupa kerajaan kecil. Secara tradisi, komunitas ini berdiri
sendiri kemudian dikuasai oleh Kesultanan Bulungan yang mendapat pengakuan dari
pemerintah kolonial Belanda.
Secara formal, Islam hadir ketika Kesultanan Bulungan menguasai Tidung, khususnya pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad 'Alimuddin (1817–1861). Hal ini ditandai dengan
datangnya seorang ulama dari Arab yang singgah dahulu di Demak. Ulama yang melakukan
Selain Bil Faqih, beberapa ulama lain ikut mendekatkan Suku Tidung dengan Islam. Buktinya
adalah makam penyiar agama, Said Ahmad Maghribi di Desa Salim Batu, Kecamatan Tanjung
Palas, Kabupaten Bulungan. Letaknya di lereng tebing, di sebelah barat aliran Sungai Pimping
yang bermuara di Teluk Sekatak. Berdasarkan angka tahun di nisan, ulama ini wafat pada 1832.
Orang Tidung memang lebih mudah menerima budaya luar karena umumnya mereka bermukim
di pesisir, bagian hilir sungai dan pantai yang strategis. Jalurnya bisa lewat perdagangan, maupun
System kemasyarakatan
menggambarkan keceriaan dan kegembiraan, memadukan gerak kaki mengikuti irama. Dan,